Kisah Jangan Berdebat Dengan Keledai
Pepatah "Jangan Berdebat Dengan Keledai" kerap digunakan untuk menggambarkan situasi di mana tidak ada gunanya terlibat dalam perdebatan atau argumen dengan seseorang yang keras kepala atau tidak mau mendengarkan alasan.
Pesan moral dari cerita Jangan Berdebat Dengan Keledai adalah Anda tidak boleh mencoba menghindari pekerjaan yang diberikan kepada Anda . Menghindari pekerjaan itu mudah, tetapi menyelesaikan pekerjaan adalah hal yang benar untuk dilakukan. Setiap pekerjaan yang Anda lakukan akan mengajarkan Anda sesuatu, dan itu akan membantu Anda tumbuh dalam hidup Anda. Keledai yang bodoh mencoba menipu pedagang itu tetapi ditipu olehnya.
Mengapa keledai disebut bodoh ?
Keledai ditemukan dalam karya-karya Homer, Aesop, dan Apuleius, di mana mereka umumnya digambarkan sebagai sosok yang bodoh dan keras kepala, atau paling banter seperti budak, dan umumnya mewakili kelas bawah. Mereka sering kali dikontraskan dengan kuda, yang dianggap kuat dan cantik.
Kenapa suara keledai dibenci ?
Suara keledai dicontohkan sebagai suara kasar hingga sombong. Untuk itu, kita dianjurkan untuk melembutkan suara.
Alkisah suatu hari keledai dungu ngobrol dengan temannya harimau yang cerdas, isi percakapan mereka begini :
"Jangan Berdebat dengan Keledai, Tak Ada Bukti yang Bisa Meyakinkan Orang Dungu"
Keledai, “Rumput itu berwarna biru.”
Harimau menjawab, “Tidak dong, rumput itu warnanya hijau.”
Terjadi perdebatan. Diskusi jadi memanas, dan akhirnya keduanya memutuskan untuk membawa masalah itu ke depan singa si Raja Hutan yang bijaksana.
Baru sampai gerbang depan sebelum sampai di tempat singa duduk di singgasananya, keledai sudah berteriak-teriak, “Rumput warnanya biru, rumput warnanya biru”, begitu terus celotehnya. Akhirnya sampai di depan singgasana, “Yang Mulia, benarkah rumput itu warnanya biru?”, tanya keledai dengan wajah dungunya"
Singa memandang keledai, akhirnya menjawab datar, “Benar, rumput itu berwarna biru.”
Keledai girang bukan kepalang, lalu dengan bergegas ia melanjutkan, “Tapi harimau itu tidak setuju denganku dan menentang serta menggangguku. Tolong hukum saja dia”.
Singa si Raja Hutan kemudian bersabda, “Harimau ini akan mendapatkan hukuman”.
Keledai itu pun girang bukan kepalang untuk kedua kalinya, melompat-lompat dengan riang dan melanjutkan perjalanannya, puas, sambil mengulangi kredonya, “Rumput itu warnanya biru, rumput itu warnanya biru”, begitu seterusnya.
Tinggalah harimau dengan singa si Raja Hutan. Harimau yang cerdas itu kebingungan dan ia pun akhirnya bertanya kepada singa, “Yang Mulia, mengapa anda menghukumku? Lagipula, sebenarnya rumput itu warnanya hijau khan?”.
Singa si Raja Hutan menjawab dengan nada bijak, “Memang benar katamu rumput itu warnanya hijau.”
Harimau bertanya, “Lalu, mengapa justru aku yang di hukum?”
Singa menjawab tenang, “Itu tidak ada hubungannya dengan pertanyaan apakah rumput itu warnanya biru atau hijau. Hukumannya adalah karena tidaklah bijaksana makhluk pemberani dan cerdas sepertimu membuang-buang waktu untuk berdebat dengan keledai dungu lalu datang dan menggangguku dengan pertanyaan itu.”
Buang-buang waktu. Pemborosan waktu terburuk adalah berdebat dengan orang dungu dan fanatik yang tidak peduli dengan kebenaran atau kenyataan. Hanya berpegang para keyakinan yang didasarkan rasa kebencian, jadinya ilusi dan halusinasi. Pandangannya jelas myopic, maka janganlah pernah membuang-buang waktu untuk adu argumen dengan pihak yang tidak memakai akal sehat.
Kedunguan tidak peduli seberapa banyak bukti yang kita berikan, mereka tidak mau sehingga tidak mampu memahami realitas. Mereka telah dibutakan oleh kegelapan ego, rasa kebencian dan dendam yang mendalam. Istilahnya sudah kesumat.
Satu-satunya yang mereka inginkan hanyalah kebenaran menurut versi mereka sendiri, meskipun sebenarnya tidak bersesuaian dengan realitas itu sendiri.
Ingatlah, ketika ketidak tahuan berteriak lantang, berkoar-koar kesana-kemari mencari perhatian, maka kecerdasan tunduk terdiam, bungkam. Janganlah lupa, kedamaian dan ketenangan kita lebih berharga.
Moral cerita, janganlah berdebat dengan keledai, hanya buang-buang waktu saja. Mark Twain bilang, “Tidak ada bukti yang bisa meyakinkan orang bodoh”. Percuma.
Ada ironi tajam dari pernyataan Mark Twain ini, tentang sifat keras kepala dan bias manusia. Ketika seseorang sudah memutuskan untuk percaya pada sesuatu, bukan karena fakta tetapi karena emosi atau keyakinan yang tidak rasional, maka bukti sekuat apa pun tak akan mengubah pikirannya.
Kebodohan dalam konteks ini bukan soal rendahnya kecerdasan, tetapi sikap menutup diri terhadap kebenaran. Orang yang terjebak dalam kebodohan cenderung mempertahankan pendapatnya mati-matian meskipun jelas keliru. Ia menolak logika, menyangkal data, dan hanya menerima hal-hal yang sesuai dengan prasangkanya.
Inilah yang membuat dialog atau diskusi menjadi buntu, karena orang seperti itu tidak sedang mencari kebenaran, melainkan pembenaran.
Kutipan ini mengajak kita untuk lebih rendah hati dalam berpikir. Bukan hanya agar tidak menjadi si “bodoh” yang tak bisa diyakinkan, tetapi juga agar kita tahu kapan harus berhenti berdebat, sebab kadang, membuktikan sesuatu bukan soal menyampaikan kebenaran, tapi menunggu kesiapan orang lain untuk menerimanya.
Semoga kita dan anak turun kita, bukan golongan keledai dungu yang fasik.
Al-Quran menyebutkan kisah keledai dalam beberapa konteks, termasuk kisah Nabi Uzair dan keledainya yang dihidupkan kembali setelah mati, serta kisah Luqman Al-Hakim yang menggunakan keledai sebagai pelajaran bagi anaknya. Selain itu, Al-Quran juga menyinggung tentang keledai dalam kaitannya dengan perumpamaan dan larangan meniru suara keledai.
Kisah Nabi Uzair dan Keledainya :
Surat Al-Baqarah ayat 259 menceritakan kisah seorang laki-laki (yang diyakini sebagai Nabi Uzair) yang melewati sebuah kota yang telah hancur dan melihat tulang belulang keledainya yang telah mati.
Allah menghidupkan kembali keledai tersebut, menunjukkan kekuasaan-Nya atas kehidupan dan kematian.
Kisah Luqman Al-Hakim dan Keledai :
Kisah Luqman Al-Hakim dan putranya serta keledai mereka diceritakan dalam beberapa tafsir dan cerita populer.
Kisah ini menyoroti bagaimana Luqman mengajarkan anaknya untuk tidak terlalu peduli dengan omongan orang lain, dengan cara bergantian menaiki dan menuntun keledai, yang selalu mendapat komentar negatif dari orang-orang yang mereka temui.
Kisah ini mengajarkan tentang hikmah, kebijaksanaan, dan pentingnya tidak terjebak dalam penilaian negatif orang lain.
Keledai dalam Konteks Perumpamaan dan Larangan :
Al-Quran menggunakan perumpamaan keledai untuk menggambarkan orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran, seperti dalam surat Al-Jumu'ah ayat 5.
Allah juga melarang umat Muslim untuk meniru suara keledai karena dianggap buruk, seperti yang disebutkan dalam surat Luqman ayat 19.
Pelajaran dari Kisah Keledai :
Kisah-kisah keledai dalam Al-Quran memberikan pelajaran tentang kekuasaan Allah, hikmah, kebijaksanaan, dan pentingnya menjaga adab dan akhlak.
Meskipun keledai adalah hewan yang biasa digunakan sebagai tunggangan dan pengangkut barang, Al-Quran juga menyoroti aspek-aspek lain dari keledai, termasuk suaranya yang buruk dan perannya dalam perumpamaan.
Kanti Suci Project