ELIZABETH I DAN 2
By, Rr. Rahma Kanthi Suci
Elizabeth lahir tahun 1533 di Greenwich, Inggris.
Ayahnya, Raja Henry VIII, perintis babak pembaharuan Inggris. Ibunya, Anne
Boleyn, adalah istri kedua Henry. Anne dipenggal kepalanya hingga menggelinding
bagai sebutir nyiur tahun 1536 dan beberapa bulan kemudian parlemen keluarkan
pengumuman bahwa Elizabeth yang waktu itu berumur tiga tahun sebagai "anak
sundal." (Ini merupakan sikap umumnya kaum Katolik Inggris yang tidak
menganggap sah perceraian Henry dengan istri pertamanya). Meski ada kutukan
parlemen, Elizabeth dibesarkan dalam rumah tangga kerajaan dan peroleh
pendidikan baik.
Henry VIII tutup usia tahun 1547 tatkala umur Elizabeth
tiga belas tahun. Sebelas tahun sesudah itu tidak ada penguasa Inggris yang
bisa dianggap berhasil. Edward VI, saudara tiri Elizabeth naik tahta antara
tahun 1547 sampai 1553. Di bawah pemerintahannya, kentara sekali politik pro Protestannya.
Ratu Mary I memerintah lima tahun sesudah itu mendukung supremasi kepausan dan
pengokohan kembali Katolik Romawi. Selama pemerintahannya kaum Protestan
Inggris diuber-uber dan ditindas, bahkan sekitar tiga ratus pemeluknya dihukum
mati. (Ini menyebabkan ratu dapat julukan tak sedap: "Mary yang
berdarah." Elizabeth sendiri ditahan dan disekap di Menara London. Kendati
akhirnya dibebaskan, hidupnya dalam beberapa waktu berada dalam ancaman bahaya.
Tatkala Mary tutup usia (tahun 1558) Elizabeth yang sudah berumur dua puluh
lima tahun naik tahta. Kenaikan ini memberi kecerahan buat penduduk Inggris.
Banyak masalah yang menghalang ratu muda belia ini:
peperangan melawan Perancis; hubungan tegang dengan Skotlandia dan Spanyol;
kondisi moneter pemerintah; dan di atas segala-galanya itu adalah awan gelap
perpecahan agama yang bergantung di atas kepala Inggris.
Kemelut terakhir ini ditangani lebih dulu. Tak lama
sesudah Elizabeth naik tahta, undang-undang tentang "Supremasi dan
Persamaan" disahkan tahun 1559, menetapkan Anglican sebagai agama resmi
Inggris. Ini memuaskan pihak kaum Protestan moderat, tetapi kaum Puritan
menghendaki perubahan yang lebih drastis. Meskipun menghadapi oposisi kaum
Puritan di satu pihak dan kaum Katolik di lain pihak, selama masa
pemerintahannya tetap bertahan memantapkan kompromi yang tertera dalam
undang-undang tahun 1559.
Situasi keagamaan menjadi ruwet dengan keadaan yang
berkaitan dengan Ratu Mary dari Skotlandia. Mary dipaksa meninggalkan
Skotlandia dan melarikan diri ke Inggris. Sesampai di Inggris dia menjadi
tahanan Ratu Elizabeth. Langkah Elizabeth ini bukanlah atas dasar kekerasan dan
semau-maunya: Mary penganut Katolik Romawi dan juga punya tuntutan yang layak
menggantikan tahta Elizabeth. Ini berarti, andaikata ada pemberontakan atau
pembunuhan yang berhasil, Inggris akan punya lagi ratu beragama Katolik. Selama
penahanan Mary yang sembilan belas tahun itu memang ada beberapa kali komplotan
menghadapi Elizabeth dan ada cukup bukti keterlibatan Mary. Akhirnya di tahun 1587
Mary dihukum mati. Elizabeth menandatangani vonis hukuman itu dengan agak
ogah-ogahan. Para menterinya dan umumnya anggota parlemen menginginkan supaya
Mary dibunuh lebih cepat lebih baik.
Pertentangan agama betul-betul membahayakan Elizabeth. Di
tahun 1570 Paus Pius V mengucilkan dan memerintahkannya turun tahta; dan di
tahun 1580 Paus Gregory XIII mengeluarkan pengumuman bahwa tidaklah berdosa
membunuh Elizabeth. Tetapi, keadaan juga yang menguntungkan Elizabeth.
Sepanjang masa pemerintahannya, kaum Protestan tercekam rasa takut terhadap
kebangunan kembali Agama Katolik di Inggris. Elizabeth menampakkan dirinya
bagai perisai menghadapi kebangunan itu. Dan ini merupakan sumber penyebab
pokok kepopulerannya di kalangan massa Protestan Inggris yang besar itu.
Elizabeth menangani politik luar negeri dengan cermat,
luwes, dan berpandangan jauh. Di awal-awal tahun 1560 dia merampungkan
"Perjanjian Edinburgh" yang menjamin penyelesaian damai dengan
Skotlandia. Perang dengan Perancis berakhir dan hubungan kedua negara membaik.
Tetapi, angsur-berangsur keadaan memaksa Inggris terlibat pertentangan dengan
Spanyol. Elizabeth berusaha menghindari perang, tetapi buat Katolik militan
Spanyol abad ke-16, perang antara Spanyol dengan Protestan Inggris sulit
terelakkan. Pemberontakan di Negeri Belanda melawan penguasa Spanyol merupakan
faktor pembantu: pemberontak Belanda umumnya penganut Protestan dan tatkala
Spanyol menggenjot pemberontak, Elizabeth membantu Negeri Belanda, meskipun
sebenarnya Elizabeth pribadi tak punya gairah berperang. Umumnya rakyat Inggris
seperti juga para menteri dan parlemen lebih bernafsu angkat senjata daripada
Elizabeth. Karena itu, ketika perang dengan Spanyol akhirnya meletus juga di
tahun 1580an, Elizabeth peroleh dukungan kuat rakyat Inggris.
Bertahun-tahun Elizabeth secara tekun membangun Angkatan
Laut Inggris; tetapi, Raja Philip II dari Spanyol juga bergegas membangun
armada besar --Armada Spanyol-- untuk melabrak Inggris. Armada Spanyol punya
kapal-kapal yang hampir seimbang banyaknya dengan kepunyaan Inggris, tetapi
kelasinya lebih sedikit; lebih dari itu, pelaut Inggris lebih terlatih baik dan
kualitas kapal serta persenjataan meriamnya lebih bagus. Pertarungan pun pecah
tahun 1588, dan pertempuran laut yang seru itu berakhir dengan kekalahan mutlak
pihak Spanyol. Sebagai akibat kemenangan ini, Inggris menjadi mantap selaku
kekuatan Angkatan Laut paling jempol di dunia, posisi yang tetap dipegangnya
hingga abad ke 20 ini.
Elizabeth senantiasa cermat dalam soal keuangan. Di
awal-awal pemerintahannya kondisi keuangan kerajaan Inggris sungguh sehat.
Tetapi-tentu saja cekcok dengan Spanyol meminta biaya mahal dan di akhir
pemerintahannya keadaan keuangannya amat miskin. Tetapi, kendati kerajaan
miskin, keadaan negara secara keseluruhan berkondisi lebih makmur ketimbang
pada waktu Elizabeth melekatkan mahkota di ubun-ubunnya.
Pemerintahan Elizabeth selama empat puluh lima tahun
(dari tahun 1558 sampai 1603) sering dianggap "Jaman keemasan
Inggris." Beberapa penulis termasyhur Inggris, termasuk William
Shakespeare, hidup di jaman itu. Jelas-jelas Elizabeth punya saham dalam perkembangan
kultural ini. Dia beri
semangat teater Shakespeare menghadapi oposisi
pemerintahan lokal kota London. Tetapi, tak ada perkembangan musik atau lukisan
yang bisa menandingi perkembangan kesusastraan.
Era Elizabeth juga menyaksikan bangkitnya Inggris selaku
penjelajah. Ada berulang kali perjalanan ke Rusia dan percobaan-percobaan oleh
Martin Frobisher dan oleh John Davis mencari jalan arah barat laut menuju Timur
Jauh. Sir Francis Drake berlayar keliling dunia (dari tahun 1577 hingga 1580),
menjejakkan kaki di California dalam perjalanan itu. Juga ada percobaan yang
gagal (oleh Sir Walter Raleigh dan lain-lainnya) mendirikan pemukiman di
Amerika Utara.
Kekurangan Elizabeth terbesar mungkin ogah-ogahan
menyediakan peluang buat pergantian tahtanya. Bukan saja dia tak pernah kawin,
tetapi dia selalu menghindari menetapkan penggantinya. (Mungkin karena dia
takut, jika dia tunjuk seseorang jadi penggantinya akan segera jadi rivalnya).
Apa pun alasan Elizabeth tidak mau menyebut penggantinya, kalau saja dia mati
muda (atau kapan saja sebelum matinya Mary dari Skotlandia), Inggris mungkin
sudah kecemplung dalam kancah perang saudara sesudah penggantian. Nasib baik
buat Inggris, Elizabeth hidup sampai umur tujuh puluh tahun. Di atas tempat
tidur menjelang rohnya melayang, dia sebut Raja James II dari Skotlandia
(putera Mary dari Skotlandia) menjadi penggantinya. Meskipun ini berarti
persatuan antara Inggris dan Skotlandia di bawah satu mahkota, ini merupakan
pilihan yang membingungkan. Baik James maupun puteranya Charles I terlampau
otoriter buat selera Inggris, dan di abad tengah perang saudara pun meledaklah.
Elizabeth punya kecerdasan yang melebihi orang biasa dan
seorang politikus yang cakap, tegas, punya pandangan luas. Berbarengan dengan
itu dia punya kehati-hatian dan konservatif. Dia mengidap ketidaksukaan
berperang dan pertumpahan darah meskipun jika diperlukan dia bisa bersiteguh.
Seperti halnya ayahnya, dia menjalankan pemerintahan dengan kerjasama parlemen
dan bukan melawannya. Karena dia tidak kawin, maka tampaknya dia masih perawan
seperti dikemukakannya di muka umum. Tetapi, tidaklah pula terlalu benar jika
dianggap dia itu termasuk jenis perempuan pembenci lelaki. Malah sebaliknya,
dia jelas menyukai pria dan gemar bergaul dengannya. Elizabeth punya kemampuan
memilih menteri-menterinya yang becus. Sebagian dari hasil-hasil yang
dicapainya antara lain berkat Williarn Cecil (Lord Burghley), yang menjadi
penasihat utamanya sejak tahun 1558 hingga matinya di tahun 1598.
Pokok-pokok keberhasilan Elizabeth bisa diringkas sebagai
berikut Pertama, dia memimpin Inggris selama tahap kedua jaman pembaharuan
tanpa pertumpahan darah yang berarti. (Berbeda dengan Jerman di mana tiga puluh
tahun perang (1618-1648) membunuh lebih dari dua puluh lima persen penduduk,
sungguh menyolok). Selain dia, meredakan rasa benci keagamaan antara Katolik
Inggris dan Protestan Inggris, dia berhasil pula menjaga persatuan bangsa.
Kedua, empat puluh lima tahun pemerintahannya --Era Elizabeth-- umumnya
dianggap jaman keemasan suatu bangsa besar di dunia. Ketiga, adalah juga di
masa pemerintahannya Inggris muncul selaku kekuatan pokok, posisi yang bisa
dipertahankannya berabad berikutnya.
Kedudukan Elizabeth di dalam daftar urutan buku ini punya
keluar biasaan yang jelas. Pada pokoknya, buku ini merupakan daftar para
inovator besar, orang-orang yang mengedepankan gagasan-gagasan baru atau
membawa perubahan sesuatu keadaan. Elizabeth bukanlah seorang pembaharu, bukan
seorang inovator, dan garis kebijaksanaan politiknya umumnya berhati-hati dan
konservatif. Kendati begitu, banyak kemajuan terjadi di masa pemerintahannya
dibanding umumnya penguasaa yang dengan sadar menghendaki kemajuan.
Elizabeth tidak mencoba berhubungan langsung dengan
persoalan gawat yang merupakan urusan wewenang parlemen dan kerajaan. Tetapi,
dengan cara hanya menjauhi diri menjadi seorang despot, dia mungkin jadi
pendorong utama hidupnya demokrasi di Inggris daripada dia mengumumkan sebuah
konstitusi demokratis. Elizabeth tidak mencari kehebatan bidang militer dan
pula tidak berminat membangun suatu empirium besar. (Memang, di bawah
Elizabeth, Inggris tidaklah punya tanda-tanda sebuah empirium). Kendati begitu,
dia mewariskan Inggris Angkatan Laut terkuat di dunia dan meletakkan
dasar-dasar empirium Inggris yang menyusul kemudian.
Kebesaran empirium seberang lautan Inggris diperoleh
sesudah matinya Elizabeth, paling tidak sebagian terbesamya. Banyak orang yang
memainkan peranan penting pembentukan empirium Inggris yang dalam beberapa hal
bisa dianggap sebagai hasil wajar ekspansi Eropa secara umum dan kedudukan
geografis Inggris. Haruslah pula dicatat bahwa banyak negara Eropa lain yang
berpantaikan Samudera Atlantik (Perancis, Spanyol dan bahkan Portugis) juga
membangun empirium besar.
Lagi pula, peranan Elizabeth mempertahankan Inggris dan
ancaman Spanyol mudah dilebih-lebihkan. Jika dikaji, tidaklah tampak Spanyol
itu pernah merupakan ancaman serius terhadap kemerdekaan Inggris. Haruslah
diingat, pertarungan antara armada Inggris lawan armada Spanyol sama sekali tidak
terlalu berlangsung secara jarak dekat. (Tak satu pun Inggris kehilangan
kapalnya!). Dan lebih jauh dari itu, bahkan andaikata Spanyol berhasil
mendaratkan pasukan di Inggris, sukarlah dibayangkan mereka dapat
menaklukkannya. Angkatan bersenjata Spanyol tidak pernah mencapai kemenangan
yang mengesankan di mana pun di Eropa. Jika Spanyol tidak mampu menumpas
pemberontakan di negeri Belanda, jelaslah tak ada potongan dia bisa menaklukkan
Inggris. Menjelang abad ke-16, nasionalisme Inggris jauh lebih kuat dari
kemungkinan Spanyol bisa menaklukkannya.
Lantas di mana Elizabeth mesti ditempatkan di daftar buku
ini? Dasarnya dia tokoh lokal. Jika dibandingkan dengan Peter yang Agung dari
Rusia tampaknya tak setara. Ditilik dari sudut fakta jelas Peter jauh lebih
inovatif ketimbang Elizabeth. Saya akan peroleh kesulitan meyakinkan orang
Rusia yang punya pikiran jernih bahwa Elizabeth ditempatkan lebih tinggi dalam
urutan dari Peter. Sebaliknya, diukur dari pentingnya peranan yang dimainkan
Inggris dan orang Inggris di abad-abad sesudah Elizabeth adalah suatu kesalahan
menempatkannya terlampau jauh di belakang Peter. Dalam banyak hal, tampaknya
jelas hanya sedikit raja-raja dalam sejarah punya keberhasilan sebanyak
Elizabeth.
RATU ELIZABETH 2
By, Kanthi
Ratu Inggris. Lahir April 21, 1926, di London, untuk
Pangeran Albert, Duke of York (kemudian dimahkotai sebagai Raja George VI), dan
Elizabeth Bowes-Lyon. ratu diproklamasikan pada tanggal 6 Februari 1952,
setelah kematian ayahnya, dan dimahkotai pada tanggal 2 Juni 1953. Menikah
Philip Mountbatten, Duke of Edinburgh (kemudian bernama Pangeran Philip), pada
tahun 1947. Mereka memiliki tiga putra, Charles Philip Arthur George (b.
November 14, 1948), Andrew Albert Christian Edward (b. 19 Februari 1960), dan
Edward Anthony Richard Louis (b. 10 Maret 1964), dan seorang putri , Anne
Elizabeth Alice Louise (b. 15 Agustus 1950).
Putri Elizabeth Alexandra Mary lahir pada tanggal 21
April 1926, di bagian Mayfair London. Dia adalah anak pertama dari Prince
Albert, Duke of York, dan Elizabeth Bowes-Lyon, Duchess of York, yang kemudian
menjadi Raja George VI dan Ratu Elizabeth. Adiknya, Putri Margaret, lahir pada
tahun 1930. Sebagai seorang anak, Elizabeth dididik di rumah oleh ibunya dan
pengasuh, Marion Crawford. Dia menerima pendidikan lanjutan nya melalui tutor
pribadi Henry Marten, yang bekerja untuk Eaton College, serta instruktur swasta
lainnya.
Selama tahun pertama Perang Dunia II, Elizabeth dan
adiknya dipindahkan ke berbagai lokasi, akhirnya menetap di Windsor Castle Mei
1940. Bersangkutan untuk keselamatan dirinya, banyak menyarankan agar ia dan
adiknya dipindahkan ke Kanada, tetapi ditolak oleh ibunya, yang tidak akan
mengirim anak-anak sendirian dan tidak akan meninggalkan suaminya, raja, tahu
bahwa ia tidak akan pernah meninggalkan negara dalam waktu kebutuhan. Saat itu
pada tahun 1940, dari Windsor Castle, bahwa Elizabeth membuat siaran radio
pertama selama anak-anak BBC Jam.Berbicara kepada anak-anak Inggris yang telah
dievakuasi dari kota-kota, Elizabeth meyakinkan mereka bahwa & pada
akhirnya?, Semua akan menjadi baik.? Pada tahun 1945, pada usia 19, ia
bergabung dengan Women's Auxiliary Teritorial Service, dan dilatih sebagai
sopir dan mekanik. Dia adalah kepala negara yang masih hidup terakhir yang
bertugas di seragam selama Perang Dunia II.
Pada tahun-tahun setelah perang, ayah Elizabeth, George
VI, jatuh ke kesehatan menurun, dan dia sering berdiri di atas dia di
acara-acara publik. Pada tanggal 6 Februari 1952, George VI meninggal ketika
Elizabeth dan Philip adalah tur Australia dan Selandia Baru. Elizabeth cepat
pulang ke rumah. Pada tanggal 2 Juni 1953, ia dinobatkan Ratu Elizabeth II di
Westminster Abbey, dalam sebuah upacara televisi.Jutaan menyaksikan acara ini,
dengan mendengarkan jutaan lebih di radio. penobatan ini memberinya tanggung
jawab seorang yg beraja ratu, memiliki dan melaksanakan semua kekuasaan
penguasa monarkis. Sebagai sebuah monarki konstitusional, bagaimanapun, Ratu
Elizabeth secara politik netral dan, dengan konvensi, perannya sebagian besar
seremonial. Sebagai kepala negara, Elizabeth memelihara kontak dekat dengan
perdana menteri dalam pertemuan mingguan dan menerima laporan harian tentang
peristiwa di parlemen. tugas nya meliputi memimpin semua cabang militer
Inggris, dan dia adalah presiden atau pendukung keuangan lebih dari 700
organisasi.
Ratu Elizabeth II (Elizabeth Alexandra Mary, lahir 21
April 1926) adalah ratu monarki konstitusional dari 16 negara berdaulat
(dikenal sebagai Alam Persemakmuran) dan teritori beserta dependensinya, serta
ketua dari 54 anggota Negara-Negara Persemakmuran. Ratu Elizabeth juga
merupakan Gubernur Agung Gereja Inggris.
Setelah naik takhta pada tanggal 6 Februari 1952, Ratu
Elizabeth menjadi Ketua Persemakmuran sekaligus ratu dari tujuh Alam
Persemakmuran (Commonwealth Realms) merdeka, yaitu: Britania Raya, Kanada,
Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Pakistan dan Sri Lanka. Sejak tahun
1956 hingga 1992, jumlah Alam Persemakmuran nya bervariasi dan beberapa wilayah
merdeka bertransformasi menjadi negara republik. Saat ini, selain empat negara
pertama yang disebut di atas, Elizabeth juga merupakan Ratu dari Jamaika,
Barbados, Bahama, Grenada, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Tuvalu, Saint
Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Belize, Antigua dan Barbuda, serta Saint
Kitts dan Nevis. Masa pemerintahannya selama 61 tahun merupakan masa
pemerintahan terpanjang kedua dalam sejarah Monarki Britania Raya setelah Ratu
Victoria, yang memerintah selama 63 tahun.
Elizabeth lahir di London dan menempuh pendidikan secara
privat. Ayahnya naik takhta menjadi George VI pada tahun 1936 setelah pamannya,
Edward VIII, melepaskan takhtanya, dan secara tidak terduga Elizabeth menjadi
penerus takhta berikutnya. Elizabeth mulai menjalankan tugas sosialnya selama
terjadinya Perang Dunia II dengan bertugas di palang merah. Pada tahun 1947, ia
menikah dengan Pangeran Philip, Adipati Edinburgh, dan kemudian dikaruniai
empat orang anak, yaitu Charles, Anne, Andrew, dan Edward. Upacara penobatannya
dilaksanakan pada tahun 1953 dan merupakan upacara penobatan pertama yang
disiarkan melalui televisi.
Ratu Elizabeth sudah melakukan berbagai pertemuan dan
kunjungan kenegaraan bersejarah, termasuk kunjungan kenegaraan ke Republik
Irlandia dan kunjungan timbal balik dari dan ke Paus Katolik Roma. Ratu
Elizabeth juga telah menjadi saksi hidup atas berbagai perubahan besar yang
terjadi dalam konstitusi Alam Persemakmurannya, seperti devolusi di Britania
Raya, dan pemisahan konstitusi Kanada. Sedangkan secara personal, Ratu juga
telah menyaksikan berbagai peristiwa penting yang terjadi dalam monarkinya,
termasuk kelahiran dan pernikahan anak serta cucunya, upacara penobatan
Pangeran Wales, dan perayaan Jubilee perak, emas, dan berlian Ratu pada tahun
1977, 2002, dan 2012.
Berbagai peristiwa bersejarah juga terjadi selama masa
pemerintahan Ratu Elizabeth, diantaranya peristiwa the Troubles di Irlandia
Utara, Perang Falklands, dan Perang Afganistan. Ada juga saat-saat duka yang
dilaluinya, termasuk kematian ayahandanya pada usia 56 tahun, pembunuhan paman
Pangeran Philip, kehancuran rumah tangga putra-putrinya pada tahun 1992,
kematian menantunya, Diana, Putri Wales pada tahun 1997, serta kematian ibu dan
adiknya pada tahun 2002. Ratu Elizabeth dan keluarga kerajaannya seringkali
menerima berbagai kritikan dan kecaman dari media massa dan tokoh-tokoh pro-republik,
namun popularitas pribadi dan dukungan yang mengalir untuk kerajaan tetap
tinggi.
Elizabeth adalah anak pertama dari Pangeran Albert,
Adipati York (kemudian menjadi Raja George VI), dan istrinya, Elizabeth Angela
Marguerite Bowes-Lyon (kemudian lebih dikenal sebagai Ratu Elizabeth, Ibu
Suri). Ayahnya adalah anak kedua dari Raja George V dan Ratu Mary. Sedangkan
ibunya adalah putri bungsu dari bangsawan Skotlandia bernama Claude Bowes-Lyon.
Elizabeth dilahirkan melalui operasi caesar pada pukul 2:40 AM (GMT) tanggal 21
April 1926 di kediaman kakeknya di 17 Bruton Street, Mayfair, London. Elizabeth dibaptis oleh Uskup Agung Anglikan
York bernama Cosmo Gordon Lang di sebuah kapel pribadi di Istana Buckingham
pada tanggal 29 Mei 1926, dan dinamai Elizabeth Alexandra Mary; Elizabeth
diturunkan dari nama ibundanya, Alexandra diturunkan dari nama ibu Raja George
V, Alexandra dari Denmark, yang meninggal dunia enam bulan sebelumnya,
sedangkan Mary adalah nama neneknya dari pihak ayah. Keluarga dekatnya memanggil
Elizabeth dengan sebutan "Lilibet". Raja George V sangat menyayangi
cucunya. Saat Raja mengidap penyakit serius pada tahun 1929, dilaporkan bahwa
kunjungan rutin dari Elizabeth turut membantu menumbuhkan semangat dan
mempercepat proses kesembuhan sang Raja.
Elizabeth memiliki seorang saudara perempuan, yaitu Putri
Margaret, yang usianya empat tahun lebih muda dari usianya. Keduanya dididik
secara privat di rumah dengan pengawasan dari ibu dan pengasuh mereka, Marion
Crawford atau "Crawfie”. Pelajaran yang diajarkan pada mereka berdua
adalah sejarah, bahasa, sastra, dan musik Untuk menggambarkan kehidupan
keluarga kerajaan, pada tahun 1950 Crawford menerbitkan sebuah biografi masa
kecil Elizabeth dan Margaret yang berjudul The Little Princesses. Buku ini
menggambarkan Elizabeth kecil yang mencintai kuda dan anjing, serta bersikap
tertib dan bertanggungjawab. Winston Churchill menggambarkan Elizabeth saat
berusia dua tahun sebagai "sebuah karakter yang memantulkan keajaiban dari
sosok seorang bayi." Sepupunya, Margaret Rhodes menggambarkan Elizabeth
kecil sebagai "seorang gadis kecil yang periang, namun pada dasarnya
bijaksana dan berperilaku baik"
Sebagai cucu dari Raja Britania Raya, gelar Elizabeth
setelah kelahirannya adalah Her Royal Highness Princess Elizabeth of York (Yang
Mulia Putri Elizabeth dari York). Elizabeth berada di posisi ketiga dalam garis
suksesi takhta setelah pamannya, Edward, Pangeran Wales, dan ayahnya, Adipati
York. Meskipun kelahirannya telah menarik perhatian publik, Elizabeth tidak
diunggulkan untuk menjadi ratu karena Pangeran Wales masih muda, dan banyak
yang menduga kalau Pangeran Wales akan menikah dan memiliki penerus sendiri.
Pada tahun 1936, setelah kakeknya, Raja George V meninggal dunia, pamannya
Edward VIII naik takhta menjadi raja. Posisi Elizabeth-pun bergeser menjadi
orang kedua di garis takhta setelah ayahnya. Kemudian, masih pada tahun yang
sama, tanpa diduga Edward turun takhta karena berniat menikahi Wallis Simpson,
seorang sosialita yang berstatus janda. Tindakan Edward ini memicu krisis
konstitusional di lingkungan kerajaan. Ayahanda Elizabeth kemudian naik takhta
menjadi raja dan Elizabeth otomatis menjadi putri mahkota atau penerus takhta
berikutnya dengan gelar Her Royal Highness The Princess Elizabeth. Namun, jika
kemudian orang tuanya memiliki putra, maka saudara laki-lakinya akan menjadi
putra mahkota dan Elizabeth akan kehilangan posisinya sebagai penerus takhta
berikutnya.
Elizabeth menerima beasiswa pribadi dari Eton College,
dan kemudian mulai mempelajari bahasa Perancis. Sebuah lembaga Pandu Putri
bernama 1st Buckingham Palace Company khusus dibentuk dengan tujuan agar
Elizabeth bisa bersosialisasi dengan gadis-gadis seusianya. Setelah itu,
Elizabeth sempat terdaftar sebagai anggota kepanduan Sea Ranger pada tahun
1937.
Pada tahun 1939, orang tua Elizabeth melakukan kunjungan
kenegaraan ke Kanada dan Amerika Serikat. Sebelumnya, pada tahun 1927 orang
tuanya juga melakukan kunjungan ke Australia dan Selandia Baru, namun Elizabeth
tetap di Inggris. Ayahnya berpikir bahwa dia terlalu muda untuk melakukan
kunjungan publik. Elizabeth "tampak menangis" saat ayahnya pergi.
Selama kunjungan, ia dan ayahnya tetap berhubungan secara teratur. Pada tanggal
18 Mei 1939, Elizabeth dan ayahnya melakukan panggilan telepon kerajaan
trans-atlantik untuk pertama kalinya.
Pada bulan September 1939, Britania Raya memasuki Perang
Dunia II yang berlangsung sampai tahun 1945. Selama periode ini, ketika London
berulang kali diserang dan di bom oleh Jerman, banyak anak-anak di London yang
dievakuasi. Seorang politisi senior bernama Lord Hailsham menyarankan agar
kedua putri harus dievakuasi ke Kanada. Namun saran ini ditolak oleh ibu
Elizabeth, yang menyatakan bahwa "Anak-anak tidak akan pergi tanpa saya.
Saya tidak akan pergi tanpa Raja. Dan Raja tidak akan pernah meninggalkan
Inggris". Putri Elizabeth dan Margaret tinggal di Istana Balmoral,
Skotlandia, hingga hari Natal tahun 1939, kemudian mereka pindah ke Sandringham
House di Norfolk. Dari bulan Februari hingga bulan Mei 1940, mereka tinggal di
Royal Lodge, Windsor, setelah itu pindah lagi ke Istana Windsor. Di tempat
terakhir inilah kedua putri menetap selama lima tahun berikutnya. Di Windsor,
kedua putri ikut berpartisipasi dalam pementasan pantomim pada hari Natal dalam
rangka menggalang dana untuk memproduksi pakaian militer. Pada tahun 1940,
Elizabeth yang pada saat itu berusia 14 tahun melakukan siaran radio pertamanya
dalam program BBC, Children's Hour. Dalam program tersebut, Elizabeth menyalami
dan menghibur anak-anak lain yang telah di evakuasi dari kota. Dia menyatakan:
Kita harus berusaha melakukan semua yang kita bisa untuk
membantu pelaut, tentara dan penerbang kita yang gagah berani, dan kita juga
harus berusaha menjauhkan diri dari bahaya dan kesedihan perang. Kita tahu,
setiap orang dari kita, bahwa pada akhirnya semuanya akan baik-baik saja.
Pada tahun 1943, saat berusia 16 tahun, Elizabeth
melakukan penampilan publik solo pertamanya saat mengunjungi Pasukan Pengawal
Grenadier. Saat ia mendekati ulang tahun ke-18, hukum berubah sehingga dia bisa
bertindak sebagai salah satu dari lima Konselor Negara yang mewakili Britania
Raya jika ayahnya tidak mampu atau sedang melakukan kunjungan luar negeri,
seperti saat ayahnya berkunjung ke Italia pada bulan Juli 1944. Pada bulan
Februari 1945, Elizabeth bergabung dengan Women's Auxiliary Territorial Service
sebagai Subaltern kehormatan dengan nomor layanan 230873. Dia dilatih menjadi
sopir dan mekanik dan dipromosikan menjadi Komandan Junior kehormatan lima
bulan kemudian.
Ketika perang berakhir di Eropa, saat perayaan kemenangan
di Britania Raya, Putri Elizabeth dan Putri Margaret berbaur secara anonim
bersama kerumunan massa dalam perayaan di jalan-jalan kota London. Elizabeth
kemudian mengatakan dalam sebuah wawancara yang jarang terjadi, "Kami
bertanya pada orang tua kami apakah kami bisa keluar dan melihat perayaan. Saya
ingat mereka takut kalau nanti kami akan dikenali ... Saya ingat barisan
orang-orang tak dikenal yang saling menautkan lengan dan berjalan menyusuri
Whitehall, kami semua hanya menyatu bersama gelombang kebahagiaan dan kelegaan.
Selama perang, beberapa usulan diajukan oleh pemerintah
untuk memadamkan nasionalisme yang merebak di Wales dengan cara mendekatkan
Elizabeth dengan rakyat Wales, Usulan ini termasuk menjadikan Elizabeth sebagai
juru kunci Kastil Caernarvon, posisi yang pada saat itu dijabat oleh David
Lloyd George. Menteri Dalam Negeri Herbert Morrison mengusulkan rencana lain,
yaitu agar menjadikan Elizabeth sebagai pelindung Urdd Gobaith Cymru (Persatuan
Pemuda Wales). Para politisi Wales mengusulkan agar Elizabeth dinobatkan
sebagai Putri Wales pada saat ulang tahunnya yang ke-18. Namun ide-ide ini pada
akhirnya ditinggalkan karena berbagai alasan, termasuk adanya ketakutan untuk
mempersatukan Elizabeth dengan para penentang di Urdd, apalagi saat itu
Britania Raya sedang menghadapi peperangan. Tahun 1946, Elizabeth dilantik
menjadi Wales Gorsedd of Bards di Eisteddfod Nasional Wales.
Pada tahun 1947, Putri Elizabeth melakukan kunjungan luar
negeri pertamanya saat menemani orang tuanya melakukan kunjungan kenegaraan ke
Afrika Selatan. Selama kunjungan, dalam siarannya untuk Negara-Negara
Persemakmuran pada hari ulangnya yang ke-21, Elizabeth membuat janji sebagai
berikut:
"Saya menyatakan bahwa selama hidup saya, entah itu
berumur panjang atau pendek, akan dikhususkan untuk melayani dan melayani
keluarga imperium raya yang kita miliki bersama
Elizabeth bertemu dengan calon suaminya, Pangeran Philip
dari Yunani dan Denmark pada tahun 1934 dan 1937. Mereka berdua merupakan sepupu dalam garis
kedua berdasarkan silsilah Raja Christian IX dari Denmark dan sepupu ketiga
dalam garis Ratu Victoria. Setelah pertemuan lainnya di Sekolah Angkatan Laut
Britania Raya di Dartmouth pada bulan Juli 1939, Elizabeth yang pada saat itu
masih berusia 13 tahun mengungkapkan bahwa ia jatuh cinta pada Pangeran Philip
dan kemudian mereka berdua mulai berkirim surat. Pertunangan mereka diumumkan
secara resmi pada tanggal 9 Juli 1947.
Pertunangan mereka ini diiringi oleh mencuatnya berbagai
kontroversi: Philip tidak memiliki dasar keuangan yang memadai dan merupakan
seorang kelahiran asing (meskipun ia pernah bertugas di Royal Navy selama
Perang Dunia Kedua). Philip juga memiliki saudara perempuan yang telah menikah
dengan seorang bangsawan Jerman Nazi. Marion Crawford menulis: "Beberapa
penasehat Raja berpikir bahwa dia [Philip] tidak cukup baik untuk Elizabeth.
Dia adalah seorang pangeran tanpa rumah atau kerajaan. Beberapa penasehat juga
mempermasalahkan status Philip yang merupakan seorang kelahiran asing."
Dalam biografinya di kemudian hari, dilaporkan bahwa Sri Ratu Elizabeth Bowes
pada awalnya menentang pertunangan ini, bahkan ia menyebut Philip dengan
sebutan "dia".Namun, Sri Ratu mengatakan kepada penulis biografinya,
Tim Heald, bahwa Philip adalah "seorang pria Inggris".
Sebelum pernikahan dilangsungkan, Philip menanggalkan
gelar Yunani dan Denmark nya, pindah agama dari Ortodoks Yunani menjadi
Anglikan, serta mengganti gelarnya menjadi "Letnan Philip
Mountbatten", mengadopsi nama keluarga Inggris pihak ibunya Tepat sebelum
pernikahan, Philip dinobatkan menjadi Adipati Edinburgh, dengan gelar His Royal
Highness (Yang Mulia).
Elizabeth dan Philip menikah pada tanggal 20 November
1947 di Westminster Abbey. Mereka berdua menerima 2500 hadiah pernikahan dari
para tamu dan undangan di seluruh dunia. Karena Britania Raya belum sepenuhnya
pulih dari kehancuran pasca perang dunia, Elizabeth menggunakan kupon rangsum
untuk membeli bahan gaunnya, yang dirancang oleh Norman Hartnell. Pasca-perang,
keluarga kerajaan tidak diperkenankan menjalin hubungan apapun dengan Jerman.
Begitu juga dengan Philip yang memiliki tiga saudara perempuan di Jerman,
saudara-saudaranya tersebut selanjutnya diketahui tidak diundang ke
pernikahannya. Selain itu, Adipati
Windsor (sebelumnya Raja Edward VIII) juga tidak diundang ke pesta pernikahan
Elizabeth dan Philip.
Elizabeth melahirkan anak pertamanya, Pangeran Charles,
pada tanggal 14 November 1948. Satu bulan sebelumnya, Raja telah mengeluarkan
surat paten yang mengizinkan putra dan putri Elizabeth untuk menggunakan gelar
pangeran atau putri kerajaan meskipun Elizabeth belum naik takhta. Anak kedua
mereka, Putri Anne, lahir pada tahun 1950
Setelah pernikahan mereka, pasangan ini menyewa
Windlesham Moor di dekat Istana Windsor, dan menetap disana hingga tanggal 4
Juli 1949. Setelah itu, mereka pindah ke Clarence House di London. Antara tahun
1949 sampai 1951, Adipati Edinburgh ditugaskan di Protektorat Britania di Malta
sebagai perwira Angkatan Laut yang melayani Royal Navy. Dia dan Elizabeth
menetap selama beberapa bulan di sebuah villa milik paman Philip di
Gwardamanġia, Malta, sedangkan anak-anak tetap tinggal di Inggris.
Naik takhta dan penobatan
Pada tahun 1951, kesehatan Raja George VI menurun dan
Elizabeth sering diutus untuk mewakilinya dalam acara-acara publik. Ketika dia
melakukan kunjungan ke Kanada dan mengunjungi Presiden Truman di Washington,
D.C. pada bulan Oktober 1951, sekretaris pribadinya, Martin Charteris, membawa
surat perintah deklarasi naik tahta untuk digunakan jika Raja meninggal ketika
dia sedang melakukan kunjungan. Pada awal tahun 1952, Elizabeth dan Philip
berangkat untuk melakukan kunjungan ke Australia, Selandia Baru, dan Kenya.
Pada tanggal 6 Februari 1952, mereka berdua baru saja sampai di kediaman mereka
di Kenya saat Philip diberitahu kabar mengenai kematian Raja. Philip kemudian
menyampaikan kabar tersebut kepada istrinya. Martin Charteris meminta Elizabeth
untuk memilih nama penyandang kekuasaan yang ingin dipakainya, namun dia
memutuskan untuk tetap menggunakan nama Elizabeth, atau lebih tepatnya,
Elizabeth II. Elizabeth langsung
diproklamasikan sebagai ratu Britania Raya dan seluruh alam Persemakmuran pada
saat itu juga dan setelah itu dia langsung kembali ke Inggris. Setelah menjadi
Ratu, ia dan Adipati Edinburgh kemudian pindah ke Istana Buckingham.
Dengan naik takhtanya Elizabeth, ada kemungkinan bahwa
wangsa kerajaan akan menggunakan nama suaminya; menjadi Wangsa Mountbatten,
sejalan dengan kebiasaan seorang istri yang menggunakan nama keluarga suaminya
setelah menikah. Nenek Elizabeth, Ratu Mary, dan Perdana Menteri Britania Raya,
Winston Churchill, menyarankan untuk tetap mempertahankan nama Wangsa Windsor,
dan usul ini diterima. Namun Adipati Edinburgh mengeluh: "Saya
satu-satunya orang di negara ini yang tidak diperbolehkan untuk mewariskan
namanya kepada anak-anaknya sendiri." Pada tahun 1960, setelah kematian
Ratu Mary pada tahun 1953 dan pengunduran diri Churchill pada tahun 1955, nama
keluarga Mountbatten-Windsor diadopsi untuk keturunan laki-laki Philip dan
Elizabeth yang tidak dianugerahi gelar kerajaan.
Di tengah persiapan penobatan, Putri Margaret memberitahu
kakaknya bahwa dia ingin menikahi Peter Townsend, seorang duda dua anak yang
usianya 16 tahun lebih tua dari Margaret, namun Ratu memintanya untuk menunggu
selama satu tahun. Martin Charteris mengungkapkan, "Ratu sebenarnya
bersimpatik terhadap Putri Margaret, tapi menurut saya Ratu berpikir—atau
berharap—jika diberi waktu, maka skandal itu akan mereda dengan
sendirinya." Para politisi senior menentang pernikahan itu dan Gereja
Inggris juga tidak mengizinkan pernikahan setelah perceraian. Jika Putri
Margaret tetap memaksa menikah, maka ia akan tersingkir dari garis pewaris
takhta, sama seperti kasus Edward VIII. Pada akhirnya, Putri memutuskan untuk
membatalkan rencana pernikahannya dengan Townsend. Pada tahun 1960, Margaret
menikah dengan Antony Armstrong-Jones, yang kemudian bergelar Pangeran Snowdon.
Mereka bercerai pada tahun 1978 dan setelah itu Putri Margaret tidak menikah
lagi.
Meskipun Kerajaan Britania Raya dilanda kesedihan dengan
meninggalnya Ratu Mary pada tanggal 24 Maret, upacara penobatan Ratu Elizabeth
tetap dilangsungkan pada tanggal 2 Juni 1953. Upacara digelar di Westminster
Abbey, kecuali untuk sesi Perminyakan dan Perjamuan Kudus. Upacara ini juga
menjadi upacara penobatan kerajaan yang pertama kalinya disiarkan melalui
televisi. Gaun penobatan Ratu Elizabeth dirancang oleh Norman Hartnel dan
dibordir dengan lambang dari Negara-Negara Persemakmuran: mawar Tudor Inggris,
kardo Skotlandia, bawang perai Wales, shamrock Irlandia, pial Australia, daun
mapel Kanada, pakis perak Selandia Baru, protea Afrika Selatan, bunga seroja
untuk India dan Sri Lanka, serta gandum, kapas, dan rami untuk Pakistan
Sepanjang hidupnya, Ratu telah menyaksikan proses
transformasi negara-negara jajahan Britania Raya dari Imperium Britania menjadi
Negara-Negara Persemakmuran. Pada saat ia naik takhta pada tahun 1952, peran
Ratu sebagai kepala negara dari beberapa negara-negara merdeka sudah terbentuk
dengan sendirinya. Dalam rentang tahun 1953-1954, Ratu dan suaminya memulai
kunjungan kenegaraan selama enam bulan ke berbagai negara di dunia. Ia menjadi
kepala monarki pertama yang mengunjungi Australia dan Selandia Baru. Selama
kunjungan, kerumunan massa yang sangat ramai menyambut kedatangan Ratu, sekitar
tiga perempat dari populasi Australia diperkirakan ikut menyambut kedatangan
Ratu Elizabeth pada saat itu. Sepanjang pemerintahannya, Ratu Elizabeth telah
melakukan berbagai kunjungan kenegaraan ke berbagai negara Persemakmuran
ataupun non-Persemakmuran dan dia tercatat sebagai kepala negara yang paling
sering bepergian dalam sejarah.
Pada tahun 1956, Perdana Menteri Perancis Guy Mollet dan
Perdana Menteri Britania Raya Sir Anthony Eden membahas kemungkinan Perancis
untuk bergabung dengan Persemakmuran. Namun usulan tersebut tidak pernah
diterima, dan pada tahun berikutnya, Perancis menandatangani Perjanjian Roma
sebagai dasar pendirian Masyarakat Ekonomi Eropa, pendahulu dari Uni Eropa.
Pada bulan November 1956, Britania Raya dan Perancis menginvasi Mesir dalam
upaya untuk mengambil alih Terusan Suez, namun upaya ini berakhir dengan
kegagalan. Lord Mountbatten mengklaim bahwa Ratu menentang invasi ini, meskipun
Eden menyangkalnya. Eden mengundurkan diri dua bulan kemudian.
Tidak adanya mekanisme formal dalam Partai Konservatif
untuk memilih seorang pemimpin berarti bahwa setelah pengunduran diri Eden,
Ratu berhak untuk memutuskan siapa yang akan menjadi perdana menteri. Eden
menganjurkan agar ia berkonsultasi dengan Lord Salisbury, Presiden Agung House
of Lords. Lord Salisbury dan Lord Kilmuir (Konselor Agung) kemudian
berkonsultasi dengan Kabinet Britania, Winston Churchill, dan Ketua Komite
1922. Sebagai hasilnya, Ratu menyetujui calon perdana menteri yang mereka
rekomendasikan: Harold Macmillan
Krisis Suez dan terpilihnya pengganti Eden pada tahun
1957 telah menuai berbagai kritik atas kepemimpinan Ratu Elizabeth. Dalam
sebuah majalah yang dimiliki oleh Lord Altrincham, ia menuduh Ratu telah
"keluar batas". Altrincham kemudian dikecam dan diserang secara fisik
oleh masyarakat yang tidak suka atas komentarnya. Enam tahun kemudian,
Macmillan mengundurkan diri pada tahun 1963 dan menyarankan agar Ratu menunjuk
Earl of Home sebagai perdana menteri, dan sarannya ini diikuti. Atas
tindakannya ini, Ratu sekali lagi menerima berbagai kritikan karena menunjuk
perdana menteri atas saran dari sejumlah kecil, atau seorang menteri. Pada
tahun 1965, Partai Konservatif menetapkan mekanisme formal untuk memilih perdana
menteri, sehingga mengurangi keterlibatan ratu dalam Kabinet.
Pada tahun 1957, Ratu Elizabeth II melakukan kunjungan
kenegaraan ke Amerika Serikat. Dalam kunjungan tersebut, Ratu berpidato dalam
Majelis Umum PBB atas nama Persemakmuran. Dalam kunjungan yang sama, Ratu
meresmikan Parlemen Kanada ke-23, yang merupakan pemerintahan monarki Kanada
pertama yang memiliki Parlemen, Dua tahun kemudian, Elizabeth sekali lagi
mengunjungi Kanada dan Amerika Serikat, meskipun pada saat itu Ratu sedang
mengandung anak ketiganya. Pada tahun 1961, dia mengunjungi Siprus, India,
Pakistan, Nepal, dan Iran. Dalam
kunjungannya ke Ghana pada tahun yang sama, Ratu menepis kekhawatiran akan
keselamatannya, meskipun Presiden Kwame Nkrumah, yang menggantikan posisinya
sebagai kepala negara Ghana, adalah sasaran utama pembunuhan. Harold Macmillan
menulis: "Ratu benar-benar tabah pada saat itu ... Dia tidak suka
orang-orang yang memperlakukannya seolah-olah dia;... seorang bintang film ...
Dia memang memiliki 'hati dan perut selayaknya seorang pria' ... Dia mencintai
tugasnya dan posisinya sebagai seorang Ratu." Menjelang kunjungannya ke Quebec pada tahun
1964, media melaporkan bahwa beberapa gerakan separatis telah merencanakan
pembunuhan Ratu Elizabeth. Tidak terjadi apa-apa selama kunjungan berlangsung,
namun beberapa kerusuhan pecah saat ia berada di Montreal; "ketenangan dan
keberanian Ratu dalam menghadapi kekerasan" patut dicatat.
Masa kehamilan Ratu Elizabeth saat mengandung Pangeran
Andrew dan Pangeran Edward pada tahun 1959 dan 1963 adalah dua saat dimana ia
tidak melakukan peresmian Parlemen Britania Raya selama masa pemerintahannya.
Selain tampil dalam berbagai perayaan tradisional, Ratu juga menerapkan
praktek-praktek baru. Jalan kaki kenegaraan dan pertemuan dengan anggota
masyarakat biasa dilangsungkan selama kunjungannya ke Australia dan Selandia
Baru pada tahun 1970.
Pada periode 1960-an dan 1970-an, Ratu Elizabeth menjadi
saksi atas dekolonisasi negara-negara jajahan Britania Raya di Afrika dan
Karibia. Lebih dari 20 negara memperoleh kemerdekaan dari Britania Raya sebagai
bagian dari transisi negara-negara tersebut untuk membentuk pemerintahan
sendiri. Pada tahun 1965, Perdana Menteri Rhodesia, Ian Smith, menyatakan
kemerdekaan sepihak atas Britania Raya disaat sebagian besar rakyat Rhodesia
masih menyatakan "kesetiaan dan pengabdiannya" pada Ratu Elizabeth.
Meskipun Ratu menolak deklarasi sepihaknya dan dunia internasional menerapkan
sanksi terhadap Rhodesia, rezim Smith tetap bertahan selama lebih dari satu
dekade berikutnya.
Pada bulan
Februari 1974, Perdana Menteri Edward Heath menyarankan pada Ratu untuk
menyelenggarakan pemilihan umum ditengah-tengah kunjungannya ke Austronesia
Pasifik, yang menyebabkan Ratu harus terbang kembali ke Inggris. Pemilihan umum
ini menghasilkan parlemen yang menggantung; Partai Konservatif pimpinan Heath
tidak berhasil memperoleh suara mayoritas, namun partai ini bisa tetap tinggal
di Westminster jika berkoalisi dengan Partai Liberal. Rencana koalisi ini
akhirnya kandas dan Heath kemudian mengundurkan diri setelah Ratu meminta
pemimpin oposisi, Harold Wilson dari Partai Buruh untuk membentuk pemerintahan.
Setahun kemudian,
pada puncak krisis konstitusi Australia 1975, Perdana Menteri Australia Gough
Whitlam diberhentikan dari jabatannya oleh Gubernur Jenderal John Kerr setelah
oposisi yang dikendalikan Senat menolak proposal anggaran Whitlam. Karena
Whitlam memiliki suara mayoritas dalam Dewan Perwakilan Rakyat Australia, juru
bicara Gordon Scholes mengimbau kepada Ratu untuk membalikkan keputusan Kerr.
Namun Ratu menolak, menyatakan bahwa dia tidak akan ikut campur dalam
keputusan-keputusan Gubernur Jenderal yang dilindungi oleh Konstitusi
Australia. Krisis ini memicu munculnya gerakan Republikanisme Australia.
Jubilee Perak
Pada tahun 1977, Ratu Elizabeth memasuki 25 tahun masa
pemerintahannya (Jubilee Perak). Berbagai pesta dan perayaan berlangsung di
seluruh Persemakmuran. Perayaan-perayaan ini kembali menegaskan betapa besarnya
popularitas Ratu, meskipun sempat dinodai oleh pemberitaan negatif media
berkaitan dengan perceraian Putri Margaret dengan suaminya. Pada tahun 1978,
Ratu menerima kunjungan kenegaraan dari diktator komunis Rumania, Nicolae
Ceaușescu dan istrinya Elena, Setahun
kemudian, Ratu dihadapkan pada dua pukulan: salah satu inspektur di Istana
Buckingham terbuka kedoknya sebagai mata-mata komunis, pukulan lainnya adalah
tewasnya sang mertua, Lord Mountbatten, oleh Tentara Republik Irlandia
Sementara.
Menurut Paul Martin, Sr., pada akhir tahun 1970-an, Ratu
khawatir bahwa mahkotanya sudah "tidak berarti" lagi buat Perdana
Menteri Kanada Pierre Trudeau. Tony Benn berkata bahwa Ratu menganggap Trudeau
"agak mengecewakan".Trudeau mengolok-ngolok Kerajaan dengan
mengatakan bahwa Persemakmuran seperti "meluncur di bawah kendali Istana
Buckingham dan berputar-putar di belakang Ratu" pada tahun 1977, dan
menghapuskan beberapa simbol monarki Kanada selama masa jabatannya. Pada tahun
1980, beberapa politisi Kanada yang dikirim ke London untuk membahas mengenai
pemisahan Konstitusi Kanada mengungkapkan bahwa Ratu "lebih informatif ...
dibandingkan dengan politisi atau birokrat Britania lainnya". Ratu sangat peduli mengenai masalah Kanada
ini setelah kegagalan Bill C-60 yang mempengaruhi perannya sebagai kepala
negara. Pemisahan konstitusi ini pada akhirnya menghasilkan keputusan yang
menghapus peran Parlemen Britania Raya dalam Konstitusi Kanada, namun monarki
tetap dipertahankan. Trudeau menuliskan dalam memoarnya bahwa Ratu menghargai
usahanya untuk mereformasi Konstitusi dan Trudeau juga terkesan oleh
"sopan santun dan kebijaksanaan yang Ratu tampilkan di depan umum".
1980-an
Dalam perayaan Trooping the Colour pada tahun 1981, enam
minggu sebelum pernikahan Pangeran Charles dengan Diana Spencer, enam tembakan
dari jarak dekat diarahkan kepada Ratu saat ia sedang mengendarai kudanya
menuju The Mall, London. Polisi kemudian menemukan bahwa tembakan itu kosong.
Penyerangnya adalah seorang remaja berusia 17 tahun bernama Marcus Sarjeant,
yang selanjutnya dihukum lima tahun penjara dan dibebaskan setelah menjalani
tiga tahun hukumannya. Ketenangan Ratu dalam menghadapi situasi saat itu dipuji
secara luas. Dari bulan April hingga September 1982, Ratu masih memikirkan
peristiwa itu, namun ia juga bangga karena putranya, Pangeran Andrew melayani
tentara Britania dalam Perang Falklands. Pada tanggal 9 Juli, Ratu terbangun di
kamarnya di Istana Buckingham dan mendapati seorang penyusup telah memasuki
kamar tidurnya. Dengan tenang, Ratu memanggil petugas keamanan istana dan
sembari menunggu bantuan, ia berbicara dengan sang penyusup yang kemudian
diketahui bernama Michael Fagan sampai petugas keamanan tiba tujuh menit
kemudian. Saat menerima kunjungan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan di
Istana Windsor pada tahun 1982, ia memarahi Reagan karena telah memerintahkan
Invasi Grenada, yang merupakan salah satu Alam Persemakmurannya di Karibia
tanpa memberitahukannya terlebih dahulu.
Meningkatnya perhatian media terhadap kehidupan pribadi keluarga kerajaan
selama tahun 1980-an menghasilkan serangkaian cerita sensasional di media
massa, meskipun tidak semuanya yang sepenuhnya benar. Kelvin MacKenzie, editor
surat kabar The Sun, berkata kepada stafnya: "Terbitkan edisi Minggu dan
Senin tentang keluarga kerajaan. Jangan cemaskan apakah berita itu benar atau
tidak, asalkan tidak menimbulkan keributan setelah dimuat." Editor surat
kabar Donald Trelford menulis dalam The Observer pada tanggal 21 September
1986: "Opera sabun kerajaan telah mencapai titik jenuh perhatian publik.
Batas antara fakta dan fiksi tidak bisa lagi ditentukan ... beberapa surat
kabar bukan hanya tidak memeriksa fakta-fakta sebelum dipublikasikan, namun
mereka sama sekali tidak peduli apakah berita itu benar atau tidak." The
Sunday Times melaporkan pada tanggal 20 Juli 1986 bahwa Ratu mengkhawatirkan
kebijakan ekonomi Perdana Menteri Margaret Thatcher akan memupuk perpecahan
sosial mengingat tingginya angka pengangguran, terjadinya serangkaian
kerusuhan, pemogokan para penambang, dan penolakan Thatcher untuk menerapkan
sanksi terhadap rezim apartheid di Afrika Selatan. Rumor tersebut juga
mengabarkan bahwa berita tersebut bersumber dari seorang pembantu kerajaan dan
sekretaris Persemakmuran, Michael Shea dan Shridath Ramphal, namun Shea
membantah tuduhan tersebut. Thatcher konon juga mengatakan bahwa Ratu akan
memberikan suaranya pada Partai Sosial Demokratik, yang merupakan lawan politik
Thatcher John Campbell, Penulis biografi Thatcher mengungkapkan bahwa
"laporan itu cuma merupakan sepotong kenakalan jurnalistik".Menanggapi
laporan negatif mengenai hubungannya dengan Ratu, Thatcher kemudian
mengungkapkan kegaguman pribadinya pada Ratu
Setelah Thatcher digantikan oleh John Major, Ratu Elizabeth memberikan
dua penghargaan untuk Thatcher, yakni Order of Merit dan Order of the Garter.
Mantan Perdana Menteri Kanada, Brian Mulroney, mengungkapkan bahwa Ratu
Elizabeth merupakan "pihak di belakang layar" yang mengakhiri
apartheid di Afrika Selatan. Pada tahun 1987, di depan publik Kanada, Ratu
Elizabeth menyampaikan dukungannya terhadap pemisahan politik Kanada dari
Britania Raya. Tindakannya ini memicu berbagai kritik dari para penentang
amandemen konstitusi, termasuk Pierre Trudeau. Pada tahun yang sama, Pemerintah
Fiji yang terpilih digulingkan dalam kudeta militer. Elizabeth, sebagai Ratu
Fiji, mendukung upaya Gubernur-Jenderal Penaia Ganilau untuk menegaskan
kekuasaan eksekutif dan menegosiasikan upaya penyelesaian. Pemimpin kudeta
Sitiveni Rabuka kemudian berhasil menggulingkan Ganilau dan mendirikan Republik
Fiji. Pada awal 1991, para republikan di Britania Raya dibuat panas dengan
munculnya laporan media mengenai kekayaan pribadi Ratu yang bertentangan dengan
laporan dari istana, serta adanya rumor mengenai skandal pernikahan yang
terjadi di lingkungan keluarga kerajaan. Keikutsertaan beberapa keluarga
kerajaan dalam acara amal televisi yang berjudul It's a Royal Knockout juga
dicibir oleh aktivis pro-republik, dan Ratu menjadi sasaran dari sindiran
mereka.
1990-an
Pada tahun 1991, setelah kemenangan dalam Perang Teluk,
Ratu menjadi pemimpin monarki Britania pertama yang berbicara dalam Kongres
Amerika Serikat.[
Dalam pidatonya pada tanggal 24 November 1992 saat
peringatan ulang tahun ke-40 takhtanya, Ratu menyebut tahun 1992 sebagai tahun
"annus horribilis", atau "tahun yang mengerikan"
untuknya; pada bulan Maret, putra
keduanya, Pangeran Andrew, bercerai dengan istrinya, Sarah, Duchess of York.
Sebulan kemudian, putrinya, Anne, juga bercerai dengan suaminya, Kapten Mark
Phillips. Saat Ratu melakukan kunjungan kenegaraan ke Jerman pada bulan
Oktober, para demonstran yang marah di Dresden melemparkan telur busuk
padanya, dan pada bulan November, Istana
Windsor mengalami kerusakan parah setelah terbakar hebat. Kerajaan semakin
sering dikritik dan pengawasan publik pada Kerajaan juga semakin meningkat.
Dalam salah satu pidato pribadinya, Ratu menyatakan bahwa lembaga apapun pasti
mengharapkan kritik, namun disarankan bahwa kritik itu dilontarkan dengan
"sedikit sentuhan humor, kelembutan, dan bisa dipahami" Dua hari
kemudian, Perdana Menteri John Major mengumumkan mengenai reformasi keuangan
kerajaan yang telah direncanakan sejak tahun 1992. Reformasi itu termasuk
kebijakan baru yang mengharuskan bahwa mulai tahun 1993, Ratu wajib membayar
pajak penghasilan untuk pertama kalinya. Pada bulan Desember, Pangeran Charles
secara resmi berpisah dengan istrinya, Putri Diana. Di penghujung tahun, Ratu
menggugat surat kabar The Sun atas tuduhan pelanggaran hak cipta karena
mempublikasikan pesan Natal tahunan Ratu dua hari sebelum disiarkan. Surat kabar
itu dipaksa untuk membayar denda dan menyumbang sebesar £ 200.000 untuk amal.
Pada tahun-tahun berikutnya, minat publik terhadap
kehidupan rumah tangga Charles dan Diana meningkat. Meskipun dukungan untuk
republikan di Britania Raya meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, dukungan
untuk Ratu masih lebih tinggi dibanding dukungan untuk republikan. Kritik
terhadap keluarga kerajaan terutama sekali difokuskan pada sikap dan tindakan
para anggota keluarga kerajaan. Setelah berkonsultasi dengan Uskup Agung
Canterburry, sekretaris pribadi, serta suaminya, Ratu menulis surat kepada
Charles dan Diana pada akhir Desember 1995 yang menyatakan bahwa ia menyetujui
perceraian mereka. Setahun setelah perceraian mereka pada tahun 1996, Putri
Diana tewas dalam sebuah kecelakaan mobil di Paris pada tanggal 31 Agustus
1997. Pada saat itu, Ratu sedang berlibur bersama anak dan cucu-cucunya di
Istana Balmoral. Ratu terakhir kali tampil di depan publik saat menemani kedua
putra Diana mengikuti pelayanan gereja pada pagi terjadinya kecelakaan. Setelah
itu, selama lima hari berikutnya, Ratu dan Pangeran Philip berusaha melindungi
kedua cucunya dari incaran media dengan memindahkan mereka berdua ke Istana
Balmoral, di sana mereka bisa berduka secara pribadi Namun menghilangnya keluarga
kerajaan dan tidak dikibarkannya bendera setengah tiang pasca kecelakaan Diana
menyebabkan munculnya kecurigaan publik Karena semakin ditekan, Ratu pada
akhirnya setuju untuk memberikan pernyataan langsung dan kemudian ia kembali ke
London untuk melakukan jumpa media pada tanggal 5 September, sehari sebelum
pemakaman Diana. Dalam pernyataannya, Ratu menyatakan kekagumannya pada Diana
dan juga mengungkapkan perasaan dan kewajibannya "sebagai nenek" dari
William dan Harry. Sebagai hasilnya, kecurigaan publik terhadap kerajaan
perlahan-perlahan mulai menguap.
Jubilee Emas
Pada tahun 2002, Ratu Elizabeth memasuki 50 tahun masa
pemerintahannya sejak naik takhta pada tahun 1952(Jubilee Emas). Adik dan
ibunya meninggal dunia pada Februari dan Maret, dan media berspekulasi mengenai
ancaman kegagalan dalam perayaan Jubileenya. Ratu kembali melakukan berbagai
kunjungan ke Alam Persemakmurannya, yang dimulai dengan mengunjungi Jamaika
pada bulan Februari Seperti pada tahun 1977, dalam kunjungannya Ratu kembali
disambut oleh berbagai perayaan, pesta jalanan, dan pendirian berbagai monumen
untuk menghormati kedatangannya. Lebih dari sejuta orang menghadiri perayaan
Jubilee Emas Ratu Elizabeth di London, dan tingginya antusiasme yang
ditunjukkan oleh masyarakat membuktikan bahwa spekulasi media tidak menjadi
kenyataan.
Meskipun secara umum Ratu terlihat sehat sepanjang
hidupnya, pada tahun 2003 ia menjalani operasi laparoskopik pada kedua
lututnya. Pada bulan Oktober 2006, Ratu melewatkan pembukaan Stadion Emirates
karena mengalami kejang otot punggung yang telah diidapnya sejak musim panas.
Dua bulan kemudian, Ratu terlihat tampil di depan umum dengan perban di tangan
kanannya, yang menimbulkan spekulasi kalau Ratu sedang sakit. Ratu juga pernah
digigit oleh seekor anjing corgi saat memisahkan dua ekor anjing yang sedang
berkelahi.
Pada bulan Mei 2007, surat kabar The Daily Telegraph
melaporkan klaim dari sumber yang tidak disebutkan namanya bahwa Ratu merasa
"jengkel dan frustrasi" dengan kebijakan Perdana Menteri Tony Blair.
Menurut laporan surat kabar itu, Ratu menganggap bahwa Angkatan Bersenjata
Britania Raya yang dikirim ke Irak dan Afghanistan sudah berlebihan, masalah
kebijakan perdesaan Blair juga dikhawatirkan oleh Ratu. Meskipun demikian, Ratu
tetap mengagumi upaya Blair untuk mewujudkan perdamaian di Irlandia Utara. Pada
tanggal 20 Maret 2008, bertempat di Gereja Irlandia Katedral St Patrick, Ratu
menghadiri layanan Maundy pertama yang diikutinya di luar Inggris dan Wales.
Pada bulan Mei 2011, atas undangan dari Presiden Irlandia Mary McAleese, Ratu
mengadakan kunjungan kenegaraan ke Republik Irlandia. Kunjungan ini merupakan
kunjungan pertama yang dilakukan oleh monarki Britania Raya ke Republik
Irlandia setelah negara itu memisahkan diri pada tahun 1922.
Ratu berpidato dalam Sidang Umum PBB untuk kedua kalinya
pada tahun 2010, sekali lagi dalam kapasitasnya sebagai ratu dari semua Alam
Persemakmurannya. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyebut dirinya sebagai
"jangkar bagi zaman kita" Dalam kunjungannya ke New York pada tahun
2010, Ratu meresmikan pembukaan taman peringatan untuk warga negara Britania
yang menjadi korban serangan 11 September 2001. Ratu mengunjungi Australia pada
bulan Oktober 2011, yang merupakan kunjungannya yang ke-16 sejak tahun 1954.
Dalam pernyataannya pada media, Ratu menyebut kunjungannya saat itu sebagai
"kunjungan perpisahan", karena usianya yang semakin lanjut.
Jubilee Berlian dan sesudahnya
Jubilee Berlian Ratu Elizabeth pada tahun 2012 menandai
60 tahun masa jabatannya sebagai ratu. Berbagai perayaan dilangsungkan di
Britania Raya dan seluruh Persemakmuran. Dalam sebuah pesan yang dirilis pada
Hari Aksesi, dia menyatakan: "Dalam tahun istimewa ini, saya sekali lagi
mendedikasikan diri saya untuk melayani Anda, saya berharap kita semua masih
ingat akan kekuatan dari kebersamaan dan kekeluargaan, persahabatan dan
keramahtamahan ... saya juga berharap bahwa Jubilee tahun ini akan menjadi
waktu untuk mensyukuri atas kemajuan besar yang telah dibuat sejak tahun 1952
dan menatap masa depan dengan kepala jernih dan hati yang hangat". Ratu
dan suaminya melakukan tur panjang ke seantero Britania Raya, sedangkan anak
dan cucunya memulai kunjungan kenegaraan ke berbagai Negara-Negara
Persemakmuran atas nama Ratu. Pada tanggal 4 Juni, suar jubilee dinyalakan di
berbagai penjuru dunia.
Ratu Elizabeth adalah penguasa monarki yang hidupnya
paling lama dan dengan masa kekuasaan terpanjang kedua (setelah Ratu Victoria)
dalam sejarah monarki Britania Raya. Selain itu, Ratu juga merupakan kepala
negara dengan masa jabatan terlama kedua di dunia saat ini (setelah Raja
Bhumibol Adulyadej dari Thailand). Dia tidak berniat untuk turun takhta,
meskipun proporsi tugas publik yang dilakukan oleh Pangeran Charles dan
Pangeran William semakin meningkat seiring dengan usia dan kondisi kesehatan
Ratu.
Ratu Elizabeth membuka Olimpiade Musim Panas 2012 pada
tanggal 27 Juli dan Paralimpiade pada tanggal 29 Agustus 2012 di London. Dia
memerankan dirinya sendiri dalam sebuah film pendek sebagai bagian dari rangkaian
upacara pembukaan Olimpiade bersama aktor Daniel Craig, yang memerankan James
Bond. Sebelumnya, ayahnya membuka Olimpiade London 1948 dan kakek buyutnya,
Edward VII, membuka Olimpiade London 1908. Ratu Elizabeth juga membuka
Olimpiade Musim Panas 1976 di Montreal dan Pangeran Philip juga pernah membuka
Olimpiade Musim Panas 1956 di Melbourne. Dia adalah kepala negara pertama yang
membuka dua penyelenggaraan Olimpiade di dua negara yang berbeda.
Pada bulan Agustus dan September 2012, citra kerajaan lagi-lagi
ternoda dengan dipublikasikannya foto-foto vulgar cucu Ratu Elizabeth, Pangeran
Harry, oleh salah satu media Amerika Serikat, serta foto-foto berlibur
Catherine, Duchess of Cambridge oleh media Perancis. Menanggapi munculnya
foto-foto tersebut, salah satu sumber kerajaan menyatakan bahwa "Ratu
sangat marah. Dia sangat menginginkan hal semacam ini takkan pernah terjadi
lagi". Selain itu, terkait dengan foto-foto Duchess, Ratu sangat mendukung
keputusan Pangeran William untuk menyeret fotografer dan pihak yang terlibat ke
dalam proses hukum.
Penerimaan publik dan karakter
Karena Ratu Elizabeth jarang memberikan wawancara,
sedikit yang diketahui mengenai kepribadiannya. Sebagai pemimpin dari Monarki
Konstitusional, dia tidak mengungkapkan pendapat politiknya di depan publik.
Ratu memiliki kepercayaan yang kuat terhadap agamanya dan memenuhi sumpah
penobatannya dengan sungguh-sungguh. Selain menganut sekaligus menjabat sebagai
Gubernur Agung Gereja Inggris, Ratu secara pribadi juga menjadi pengikut dari
Gereja Skotlandia. Dia sangat mendukung dialog lintas agama dan telah bertemu
dengan para pemimpin gereja dan agama lain, termasuk tiga paus: Yohanes XXIII,
Yohanes Paulus II, dan Benediktus XVI. Catatan pribadi mengenai keyakinannya
sering ditampilkan dalam Pesan Natal Kerajaan tahunan yang disiarkan ke seluruh
Persemakmuran, seperti dalam pesan natalnya pada tahun 2000, saat ia berbicara
mengenai makna teologi dari milenium yang menendai ulang tahun Yesus Kristus
ke-2000.
Ratu Elizabeth adalah pelindung lebih dari 600 organisasi
dan badan amal. Kegiatannya di waktu senggang termasuk menunggang kuda dan
memelihara anjing, khususnya anjing ras Pembroke Welsh Corgi. Kecintaannya
terhadap corgi dimulai pada tahun 1933 dengan seekor anjing bernama Dookie,
corgi pertama yang dipelihara oleh keluarganya, Menurut seorang sumber dalam kerajaan,
Elizabeth dan keluarganya dari waktu ke waktu menyiapkan makanan bersama-sama
dan langsung mencucinya setelah itu.
Pada tahun 1950, sebagai seorang wanita muda pada awal
pemerintahannya, Elizabeth digambarkan sebagai "Ratu negeri dongeng"
yang glamor. Pasca-perang dunia yang merupakan masa-masa penuh harapan, publik
menggambarkan pemerintahan Elizabeth sebagai "era Elizabethan baru"
(merujuk pada masa pemerintahan Ratu Elizabeth I). Pada tahun 1957, Lord
Altrincham mengkritik pidato Elizabeth seperti pidato seorang "anak
sekolahan. Pada akhir 1960-an, ia mencoba membawa citra kerajaan menjadi lebih
modern dengan merilis sebuah film dokumenter berjudul Royal Family dan
menyiarkan upacara penobatan Charles sebagai Pangeran Wales melalui media televisi.
Ratu Elizabeth dikenal sering tampil di depan publik dengan mengenakan mantel
berwarna cerah dan topi yang dekoratif, yang memungkinkan ia bisa dilihat
dengan mudah dalam kerumunan massa.
Saat peringatan Jubilee Perak-nya pada tahun 1977,
berbagai kerumunan dan perayaan berlangsung dengan sangat antusias, namun saat
kritik publik terhadap keluarga kerajaan meningkat pada tahun 1980, kehidupan
pribadi dan kinerja putra-putri Elizabeth berada di bawah pengawasan media.
Popularitas Elizabeth jatuh ke titik terendah pada tahun 1990-an. Di bawah
tekanan dari media dan publik, ia mulai membayar pajak penghasilan untuk
pertama kalinya dan Istana Buckingham mulai dibuka untuk umum. Ketidakpuasan
publik terhadap kerajaan mencapai puncaknya pasca kematian Putri Diana pada
tahun 1997. Popularitas Elizabeth dan dukungan untuk kerajaan kembali meningkat
setelah dia melakukan siaran langsung ke seluruh dunia lima hari setelah
kematian Diana.
Pada bulan November 1999, hasil referendum di Australia
untuk menentukan masa depan monarki Australia menunjukkan bahwa Elizabeth tetap
disukai dan didukung untuk menjadi kepala negara. Hasil poling di Britania Raya
pada tahun 2006 dan 2007 juga menunjukkan bahwa dukungan untuk Elizabeth masih
tinggi. Hasil jajak pendapat di Tuvalu pada tahun 2008 dan di Saint Vincent dan
Grenadines pada tahun 2009 juga menunjukkan hasil yang sama.
Kekayaan pribadi Ratu Elizabeth telah menjadi subyek
spekulasi media selama bertahun-tahun. Majalah Forbes memperkirakan bahwa
kekayaan bersih Ratu berjumlah sekitar US $ 450 juta pada tahun 2010, namun
pihak Istana Buckingham menyatakan bahwa jumlah kekayaan Ratu yang sebesar £
100 juta itu "terlalu dilebih-lebihkan". Jock Colville, mantan
sekretaris pribadinya dan direktur dari bank kerajaan memperkirakan bahwa
jumlah kekayaan Ratu pada tahun 1971 sebesar £ 2 juta (setara dengan sekitar
£21 juta saat ini). Koleksi kerajaan, yang meliputi karya seni dan Mahkota
Kerajaan, tidak dimiliki oleh Ratu secara pribadi dan kepemilikannya diatur di
bawah ketentuan Undang-Undang Amanah. Properti lainnya yang kepemilikannya sama
termasuk istana-istana seperti Istana Buckingham dan Istana Windsor, dan tanah
milik Duke di Lancaster, serta portofolio properti senilai £ 383 juta pada
tahun 2011. Sedangkan Sandringham House dan Istana Balmoral dimiliki secara
pribadi oleh Ratu. Properti dan perabotan Kerajaan, dengan kepemilikan sebesar
£ 7,3 miliar pada tahun 2011 dimiliki oleh negara dan Ratu tidak diperkenankan
untuk menjual atau memilikinya secara pribadi.
Gelar
Elizabeth telah memegang dan dianugerahi banyak gelar dan
posisi militer kehormatan di seluruh Persemakmuran dan dari seluruh dunia.
Secara resmi, dia memiliki gelar yang berbeda di setiap Alam Persemakmuran nya:
Ratu Kanada di Kanada, Ratu Australia di Australia, dan lain sebagainya. Di
Kepulauan Channel dan Isle of Man, yang merupakan Dependensi Mahkota Britania
Raya, Ratu Elizabeth dikenal sebagai Adipati Normandia dan Lord of Mann. Gelar
lainnya termasuk "Defender of the Faith" dan Adipati Lancaster.
Ketika sedang berbicara dengan Ratu, kebanyakan orang umumnya menggunakan
panggilan Your Majesty (Yang Mulia) untuk pertama kalinya, dan kemudian boleh
memanggilnya Ma'am.
Lambang
Dari tanggal 21 April 1944, lambang resmi untuk Elizabeth
berbentuk sebuah belah ketupat yang meniru desain Lambang Britania Raya,
dibedakan oleh tiga label di dalamnya yang menampilkan mawar Tudor ditengahnya
dan salib St George di kedua sisinya. Setelah naik takhta, dia masih
menggunakan lambang yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan lambang
sebelumnya. Desain perisai juga digunakan dalam Standar Kerajaan Britania Raya.
Elizabeth memiliki bendera pribadi untuk dipergunakan di Kanada, Selandia Baru,
Australia, Jamaika, Barbados, dan di negara-negara lainnya.