7 PAHLAWAN INDONESIA YANG HEBAT
BY,Rr. Rahma Kanthi Suci
7 wanita yang luar biasa yang lahir di bumi Indonesia.
Walaupun tidak semua dianugerahi oleh negara dengan gelar kepahlawanan. Tapi,
kepahlawanan mereka tetap hadir bagi masyarakat yang ada di sekitarnya karena
jasa-jasanya yang luar biasa.
Biasanya,
Kaum feminis bilang susah jadi
wanita ISLAM, lihat saja peraturan dibawah ini :
Wanita auratnya lebih susah dijaga
berbanding lelaki.
Wanita perlu meminta izin dari
suaminya apabila mau keluar rumah tetapi tidak sebaliknya.
Wanita saksinya kurang berbanding
lelaki.
Wanita menerima pusaka kurang dari
lelaki.
Wanita perlu menghadapi kesusahan
mengandung dan melahirkan anak.
Wanita wajib taat kpd suaminya
tetapi suami tak perlu taat pd isterinya.
talak terletak di tgn suami dan
bukan isteri.
Wanita kurang dlm beribadat karena
masalah haid dan nifas yg tak ada pada lelaki.
makanya mereka nggak capek-capeknya
berpromosi untuk "MEMERDEKAKAN WANITA ISLAM"
Tetapi bangsa Indonesia mempunyai
para pejuang dan pahlawan wanita yang tiada taranya di mka bumi ini .
Berikut adalah 7 wanita yang bisa dikatakan pahlawan di
Bumi Indonesia :
1. Raden Ajeng Katini
R.A Kartini lagir pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara, pahlawan nasional yang lahir dari kalangan Priayi kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat seorang Bupati Jepara, dan keturunannya pernah di telusuri bahwa ia adalah salah satu keturunan dari Sri Sultan Hangkubowono IV. Anak ke – 5 dari 11 bersaudara ini memperjuangkan pendidikan gratis di daerah Jepara dan Rembang yang dikhususkan untuk para kaum putri yang ada pada saat itu.
R.A Kartini lagir pada tanggal 21 April 1879 di kota Jepara, pahlawan nasional yang lahir dari kalangan Priayi kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat seorang Bupati Jepara, dan keturunannya pernah di telusuri bahwa ia adalah salah satu keturunan dari Sri Sultan Hangkubowono IV. Anak ke – 5 dari 11 bersaudara ini memperjuangkan pendidikan gratis di daerah Jepara dan Rembang yang dikhususkan untuk para kaum putri yang ada pada saat itu.
Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang,
itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal.
Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu
kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk
melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Upaya dari puteri seorang Bupati Jepara ini telah membuka penglihatan kaumnya di berbagai daerah lainnya. Sejak itu sekolah-sekolah wanita lahir dan bertumbuh di berbagai pelosok negeri. Wanita Indonesia pun telah lahir menjadi manusia seutuhnya.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.
2. Cut Nyak dhien (Perempuan Aceh Berhati Baja)
Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap. Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1850, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Ketika Lampadang, tanah kelahirannya, diduduki Belanda pada bulan Desember 1875, Cut Nyak Dien terpaksa mengungsi dan berpisah dengan ayah serta suaminya yang masih melanjutkan perjuangan. Perpisahan dengan sang suami, Teuku Ibrahim Lamnga, yang dianggap sementara itu ternyata menjadi perpisahan untuk selamanya. Cut Nyak Dien yang menikah ketika masih berusia muda, begitu cepat sudah ditinggal mati sang suami yang gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum bulan Juni 1878.
Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap. Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1850, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Ketika Lampadang, tanah kelahirannya, diduduki Belanda pada bulan Desember 1875, Cut Nyak Dien terpaksa mengungsi dan berpisah dengan ayah serta suaminya yang masih melanjutkan perjuangan. Perpisahan dengan sang suami, Teuku Ibrahim Lamnga, yang dianggap sementara itu ternyata menjadi perpisahan untuk selamanya. Cut Nyak Dien yang menikah ketika masih berusia muda, begitu cepat sudah ditinggal mati sang suami yang gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum bulan Juni 1878.
Cut Nyak Dien diputuskan mejadi Pahlawan Nasional
Indonesia pada tanggal 2 Mei 1964 oleh Presiden Soekarno.
3. Cut Nyak Meutia
Cut Nyak Meutia, wanita asal Nangroe Aceh Darussalam, yang terus berjuang melawan Belanda hingga tewas diterjang tiga peluru di tubuhnya. Wanita kelahiran Perlak, Aceh, tahun 1870, ini adalah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang hingga titik darah penghabisan tetap memegang prinsip tak akan mau tunduk kepada kolonial.
Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh yang digelari serambi Mekkah tersebut. Perlakuan Belanda yang semena-mena dengan berbagai pemaksaan dan penyiksaan akhirnya menimbulkan perlawanan dari rakyat. Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan. Suasana perang pada saat kelahiran dan perkembangannya itu, di kemudian hari sangat memengaruhi perjalanan hidupnya.
Perang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak Meutia bersama suaminya Teuku Cik Tunon langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda.
Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan pejuang kemerdekaan yang dipimpin pasangan suami istri itu melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.
Bersama suaminya, tanpa kenal takut dia terus melakukan perlawanan. Namun naas bagi Teuku Cik Tunong, suaminya. Suatu hari di bulan Mei tahun 1905, Teuku Cik Tunong berhasil ditangkap pasukan Belanda. Ia kemudian dijatuhi hukuman tembak.
4. Raden Dewi Sartika
Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 – Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
5. Siti Aisyah We Tenriolle.
Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 – Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
5. Siti Aisyah We Tenriolle.
Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan,
tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli
sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos
La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar
itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan
sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik
untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.Martha Christina Tiahahu ( 4 Januari
1800 – 2 Januari 1818 )
6. Martha Christina Tiahahu
6. Martha Christina Tiahahu
Martha Christina Tiahahu adalah seorang gadis dari Desa
Abubu di Pulau Nusalaut. Lahir pada tanggal 4 Januari 1800, anak dari Paulus
Tiahahu, seorang kapitan dari negeri Abubu yang juga sebagai teman perjuangan
dari Thomas Matulessy Kapitan Pattimura dalam perang Pattimura tahun 1817
melawan Belanda.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dari peperang dan jiwanya yang terkenal dengan pantang mundur. Penampilan dari pahlawan nasional ini selalu membuat rambutnya yang panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (merah) yang di lingkarkan di kepalannya. Ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua, tidak mengenal siang dan malam ia selalu ada dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita yang ada pada saat itu agar ikut membantu kaum pria disetiap medan pertempuran dan berdampak pada Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang. Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya dilemparkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
7. Nyi Ageng Serang (1752 – 1828 )
Nyi Ageng Serang yang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi yang di perkirakan lahir pada tahun 1752, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putri dari Pangeran Natapraja yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Ayahnya Pangeran Natapraja adalah panglima perang dari Sultan Hamengku Buwono I yang yang melawan pemerintahan kolonial di daerah Serang, dan pada saat itu juga Nyi Ageng Serang sudah dibawa dan ikut ayahnya berperang ketika ia masih anak – anak.
Sejak awal perjuangan, ia selalu ikut mengambil bagian dari peperang dan jiwanya yang terkenal dengan pantang mundur. Penampilan dari pahlawan nasional ini selalu membuat rambutnya yang panjang terurai ke belakang dengan sehelai kain berang (merah) yang di lingkarkan di kepalannya. Ia tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran baik di Pulau Nusalaut maupun di Pulau Saparua, tidak mengenal siang dan malam ia selalu ada dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Ia bukan saja mengangkat senjata, tetapi juga memberi semangat kepada kaum wanita yang ada pada saat itu agar ikut membantu kaum pria disetiap medan pertempuran dan berdampak pada Belanda kewalahan menghadapi kaum wanita yang ikut berjuang. Di Kapal Perang Eversten, Martha Christina Tiahahu menemui ajalnya dan dengan penghormatan militer jasadnya dilemparkan di Laut Banda menjelang tanggal 2 Januari 1818. Menghargai jasa dan pengorbanan, Martha Christina dikukuhkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.
7. Nyi Ageng Serang (1752 – 1828 )
Nyi Ageng Serang yang bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi yang di perkirakan lahir pada tahun 1752, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putri dari Pangeran Natapraja yang menguasai wilayah terpencil dari kerajaan Mataram tepatnya di Serang yang sekarang wilayah perbatasan Grobogan-Sragen. Ayahnya Pangeran Natapraja adalah panglima perang dari Sultan Hamengku Buwono I yang yang melawan pemerintahan kolonial di daerah Serang, dan pada saat itu juga Nyi Ageng Serang sudah dibawa dan ikut ayahnya berperang ketika ia masih anak – anak.
Dikabarkan bahwa Nyi Ageng Serang adalah salah satu keturunan Sunan Kalijaga, dan juga ia juga mempunyai keturunan seorang Pahlawan nasional yaitu Soewardi Soerjaningrat atau biasa di kenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Ketika perang Diponegoro meletus, Nyi Ageng Serang turut serta dan didampingi oleh menantunya Raden Mas Pak-pak yang juga ikut bertempur melawan Belanda. Nyi Ageng bertempur dan memimpin pasukannya dari tandu karena usianya yang sudah mencapai 73 tahun. Setelah 3 tahun ikut membantu Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang mengundurkan diri dari medan perang dan digantikan oleh menantunya Raden Pak-Pak. Dan tidak lama setelah itu pada tahun 1828 ia menutup usianya dan dimakamkan di Kalibawang, Kulon Progo.