WAHYU
Dalam Islam, wahyu adalah firman atau perintah Allah SWT yang disampaikan kepada nabi dan rasul melalui malaikat Jibril. Wahyu ini merupakan sumber utama ajaran Islam, dan Al-Qur'an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Berikut adalah penjelasan lebih detail mengenai wahyu dalam Islam :
1. Pengertian Wahyu.
Wahyu secara bahasa berarti pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat, yang khusus ditujukan kepada orang tertentu dan tidak diketahui orang lain. Secara istilah, wahyu adalah kalam (perkataan) Allah yang diturunkan kepada seorang nabi.
2. Sumber Wahyu.
Wahyu bersumber dari Allah SWT dan disampaikan kepada nabi dan rasul melalui malaikat Jibril atau langsung dari Allah SWT.
3. Jenis Wahyu.
Ada beberapa jenis wahyu, di antaranya :
- Wahyu Jalli: Wahyu yang jelas dan terang, seperti Al-Qur'an.
- Wahyu Khofi: Wahyu yang tersembunyi atau tidak jelas, seperti wahyu melalui mimpi atau ilham.
4. Peran Wahyu.
Wahyu berperan sebagai sumber ajaran agama Islam, pedoman hidup, dan sumber kebenaran.
5. Contoh Wahyu.
Al-Qur'an adalah contoh wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan menjadi pedoman hidup bagi umat Islam. Hadis Qutsi dan Hadis Nabawi juga termasuk wahyu.
6. Cara Wahyu Diturunkan.
Wahyu diturunkan dengan berbagai cara, seperti melalui ilham, mimpi, atau secara langsung dari Allah SWT.
7. Makna Wahyu.
Wahyu memiliki makna yang mendalam, yaitu sebagai petunjuk, pedoman, dan sumber kebenaran bagi umat manusia.
Dengan memahami konsep wahyu, umat Islam dapat lebih memahami ajaran agama Islam dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Al-Qur'an, wahyu adalah pemberitahuan dari Allah kepada hamba-Nya yang dipilih, baik secara langsung maupun melalui perantara malaikat, untuk disampaikan kepada umat manusia. Wahyu ini dapat berupa petunjuk, perintah, atau informasi penting yang diperlukan untuk kehidupan di dunia dan akhirat.
Berikut adalah beberapa poin penting mengenai wahyu menurut Al-Qur'an :
1. Sumber Wahyu.
Wahyu berasal dari Allah SWT, dan Al-Qur'an sendiri adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Cara Penerimaan Wahyu.
Wahyu dapat diterima melalui berbagai cara, seperti mimpi yang benar, penglihatan, atau percakapan langsung antara Allah dan nabi-Nya.
3. Perantara Wahyu.
Wahyu dapat disampaikan melalui perantara malaikat, terutama Malaikat Jibril, yang bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi.
4. Makna Wahyu.
Wahyu mengandung berbagai makna, seperti petunjuk, hukum, moral, dan petunjuk praktis untuk menjalani kehidupan sehari-hari.
5. Tujuan Wahyu.
Wahyu bertujuan untuk memberikan bimbingan dan petunjuk kepada umat manusia agar dapat hidup sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Al-Qur'an menekankan bahwa wahyu adalah kebenaran yang langsung diturunkan dari Allah, tanpa adanya campur tangan manusia atau malaikat dalam proses penerimaan dan penyampaiannya. Wahyu juga dianggap sebagai mukjizat yang luar biasa yang diberikan Allah kepada hamba-Nya untuk membimbing mereka menuju jalan yang benar.
Makna & Macam Macam Wahyu Menurut Al-Qur’an
Wahyu atau al-Wahy adalah kata masdar (infinitif); dan kata itu memiliki dua arti dasar, tersembunyi dan cepat. Wahyu ialah pemberitaan secara tersembunyi dan cepat yang secara khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa orang lain mengetahuinya. Sedangkan menurut ilmu bahasa, wahyu adalah isyarat yang cepat dengan tangan dan dengan yang lainnya. Makna Wahyu juga berarti surat, tulisan, atau segala hal yang kita sampaikan kepada orang lain untuk diketahuinya.
Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi :
Pertama, ilham al-fitri li al-insan yakni ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa:
وَاَوْحَيْنَآ اِلٰٓى اُمِّ مُوْسٰٓى اَنْ اَرْضِعِيْهِۚ فَاِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَاَلْقِيْهِ فِى الْيَمِّ وَلَا تَخَافِيْ وَلَا تَحْزَنِيْۚ اِنَّا رَاۤدُّوْهُ اِلَيْكِ وَجَاعِلُوْهُ مِنَ الْمُرْسَلِيْنَ
“Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa, "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (alQashash [28]:7).
Kedua, Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah:
وَاَوْحٰى رَبُّكَ اِلَى النَّحْلِ اَنِ اتَّخِذِيْ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا وَّمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُوْنَۙ
“Dan Tuhanmu telah mewahyukan (ilhamkan) kepada lebah: ‘Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia.” (an-Nahl [16]:68).
Ketiga, isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Qur’an:
فَخَرَجَ عَلٰى قَوْمِهٖ مِنَ الْمِحْرَابِ فَاَوْحٰٓى اِلَيْهِمْ اَنْ سَبِّحُوْا بُكْرَةً وَّعَشِيًّا
“Maka keluarlah dia dari mihrab, lalu memberi isyarat kepada mereka: ‘Hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. “ (Maryam [19]:11).
Keempat, bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia.
وَلَا تَأْكُلُوْا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّٰهِ عَلَيْهِ وَاِنَّهٗ لَفِسْقٌۗ وَاِنَّ الشَّيٰطِيْنَ لَيُوْحُوْنَ اِلٰٓى اَوْلِيَاۤىِٕهِمْ لِيُجَادِلُوْكُمْۚ وَاِنْ اَطَعْتُمُوْهُمْ اِنَّكُمْ لَمُشْرِكُوْنَ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu, dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (al-An`am [6]:121).
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ يُوْحِيْ بَعْضُهُمْ اِلٰى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًاۗ وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (al-An’am [6:112).
Kelima, sesuatu yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya yakni berupa suatu perintah untuk dikerjakan. Allah berfirman:
اِذْ يُوْحِيْ رَبُّكَ اِلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ اَنِّيْ مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۗ سَاُلْقِيْ فِيْ قُلُوْبِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا الرُّعْبَ فَاضْرِبُوْا فَوْقَ الْاَعْنَاقِ وَاضْرِبُوْا مِنْهُمْ كُلَّ بَنَانٍۗ
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman." Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka” (al-Anfal [8]:12).
Menurut istilah, wahyu adalah sebutan bagi sesuatu hal yang disampaikan atau dituangkan secara cepat oleh Allah kedalam dada para nabi, sebagaimana juga Al-Qur’an yang Allah masukan ke dalam dada Nabi Muhammad. Wahyu Allah kepada nabi-nabi-Nya bisa berupa pengetahuan pengetahuan yang Allah tuangkan kedalam jiwa atau dada Nabi, untuk mereka sampaikan kepada manusia sebagaimana pendapat Muhammad Abduh.
Maka dari itu, para ulama berbeda pendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Qur’an kepada Jibril;
Pertama, Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafalnya yang khusus. Kedua, Jibril menghafalnya dari lauhul mahfuz. Ketiga, maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad s.a.w.
Pendapat pertama itulah yang dominan dan yang dijadikan pegangan oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, serta diperkuat oleh hadis Nawas bin Sam’an:
Nawas bin Sam’an r.a. yang mengatakan: Rasulullah s.a.w. berkata: Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, Dia berbicara melalui wahyu, maka langit pun tergetarlah dengan getaran atau dia mengatakan dengan goncangan yang dahsyat karena takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan jatuh bersujudlah mereka itu kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat muka di antara mereka itu adalah Jibril, maka Allah membicarakan wahyu itu kepada Jibril menurut apa yang dikehendakiNya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali dia melalui satu langit, maka bertanyalah kepadanya malaikat langit itu: Apakah yang telah dikatakan oleh Tuhan kita wahai Jibril ? Jibril menjawab: Dia mengatakan yang hak dan Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar. Para malaikat itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan Jibrial. Lalu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah azza wa jalla. (HR. Thabrani).
Makna Wahyu Dalam Al-Qur’an.
Al-Qur’an dari zaman dahulu hingga saat ini menjadi pegangan hidup oleh umat Islam. Al-Qur’an sendiri sangat terjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti menaruh sembarangan, membacanya dianjurkan dengan berwudhu terlebih dahulu, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi keaslian dan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an itu sendiri.
Dalam pandangan Imam Jalaluddin As-Suyuti, penggunaan kalimat-kalimat yang indah dan ungkapan-ungkapan yang penuh dengan sastra itu adalah bentuk mu’jizat Al-Qur’an sebagai respons dari peradaban Arab pada masa Arab yang penuh dengan nilai sastra. Meskipun diturunkan di daerah Arab dan berinteraksi dengan budaya Arab, bukan berarti Al-Qur’an menjadi bagian dari budaya Arab.
Imam Ibnu Jarir at-Thabari dalam tafsirnya menafsirkan bahwa ayat tersebut menjelaskan kesucian Al-Qur’an dari penambahan dan pengurangan atas ayat yang ada di dalamnya, serta ayat Al-Qur’an tidak akan mengandung kebatilan. Yang demikian menandakan bahwa turunnya Al-Qur’an selalu di jaga dan terpelihara dari sifat-sifat negatif.
Imam Zarqani dalam karyanya Manahil Irfan fi Ulum Al-Qur’an menjelaskan bahwa ada empat karakter makna wahyu yang terdapat dalam Al-Qur’an. Pertama, wahyu mempunyai makna ilham yang bersifat fitri. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Qashash ayat 7:
وَأَوْحَيْنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنْ أَرْضِعِيهِ ۖ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِى ٱلْيَمِّ وَلَا تَخَافِى وَلَا تَحْزَنِىٓ، إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ ٱلْمُرْسَلِينَ
Artinya : Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; ‘Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul’.
Kedua, kata wahyu dalam Al-Qur’an berkaitan dengan naluri pada binatang, seperti dalam QS an-Nahl 68-69:
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ، ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاءٌ لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya : Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia’.
Ketiga, kata wahyu mempunyai arti bisikan jahat, baik bersumber dari setan, jin, maupun manusia. Surat al-An’am ayat 112 menyatakan:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Artinya : Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Keempat, kata wahyu yang bermakna memberikan isyarat, tanda dan simbol yang terdapat dalam Surat al-Maryam ayat 11:
فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَىٰ إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا
Artinya : Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.
Adapun wahyu yang diturunkan pada Nabi Muhammad mempunyai beberapa model atau cara, tetapi secara umum para ulama berpendapat bahwa proses turunnya wahyu pada Nabi melalui dua cara. Pertama adalah al-inzâl, yakni proses turunnya Al-Qur’an yang diyakini berasal dari lauhul mahfudh ke langit dunia. Kedua adalah at-tanzîl, yakni proses turunnya Al-Qur’an yang dilakukan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW.
Konsep yang pertama (al-inzâl) merupakan proses di luar nalar karena tidak memerlukan dimensi waktu, tetapi pada konsep yang kedua nabi harus menerima dengan beragam kondisi karena faktor manusiawi, semisal kedinginan atau terasa seperti bunyi lonceng. Tidak semua orang dapat menangkap eksistensi wahyu Al-Qur’an kecuali Nabi Muhammad SAW.
Menurut ulama ada tiga kategori proses turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW. Pertama dengan cara ilham. Cara ini adalah salah satu pengalaman Nabi ketika dalam keadaan terjaga maupun tidur seperti hadits Nabi yang diriwayatkan Aisyah, “Pertama kali Rasulullah menerima wahyu adalah dalam mimpi yang benar pada waktu tidur. Beliau tidak melihat mimpi itu, kecuali datang seperti cahaya subuh.”
Adapun model kedua adalah secara langsung, dan hal ini hanya sekali ketika Nabi mi’raj, di mana Nabi menerima perintah langsung tanpa perantara malaikat Jibril. Dan, cara ketiga yang sering nabi terima adalah melalui perantara malaikat Jibril. Jibril menyampaikan wahyu Allah berupa makna (“ide”), kemudian Nabi mengungkapkan sendiri sendiri lafadhnya. Dan ada pula yang makna dan redaksinya langsung datang dari malaikat Jibril.
Meskipun demikian hal ini tidak mengurangi sedikitpun keaslian atau otentisitas wahyu Al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, karena secara tegas Al-Qur’an memberikan argumentasi bahwa Al-Qur’an telah tertanam dalam hati nabi, sebagaimana QS as-Syu’ara ayat 192-195.
وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ، نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ، عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ، بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
Artinya : Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.
Hubungan Al-Qur’an & Wahyu.
Kebanyakan dari kita mengenal bahwa wahyu adalah petunjuk dari Allah yang diberikan hanya kepada para nabi dan rasul. Kepahaman ini bersumber dari definisi wahyu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang menyatakan bahwa wahyu adalah petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para nabi dan rasul melalui mimpi dan sebagainya. Benarkah, wahyu didefinisikan sesempit itu? Lantas bagaimana dengan petunjuk Allah kepada ibu Nabi Musa untuk menghanyutkan anaknya di sungai Nil, apakah ini juga berarti ibu Nabi Musa adalah seorang nabi dan rasul ?
Setelah teliti kembali, ternyata definisi wahyu yang diberikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ini sesuai dengan penafsiran beberapa mufasir ternama seperti al-Baidhowi, Ibnu Katsir, dan Qatadah. Para mufasir berpendapat bahwa petunjuk Allah yang diberikan kepada selain nabi dan rosul tidaklah disebut dengan wahyu akan tetapi disebut dengan ilham. Karena wahyu menurut mereka hanya pantas diberikan kepada para nabi dan rasul.
Penafsiran ini tentu menimbulkan kritik dari beberapa mufassir kenaman seperti al-Alusi dan al-Qurthubi yang menyatakan bahwa segenap petunjuk Allah kepada hambanya sebagaimana yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah wahyu meskipun mereka tidak mendapatkan tugas menjadi nabi dan rasul. Menurut banyak mufasir wahyu bermakna sangat luas sebagaimana yang juga diutarakan oleh Ibnu Faris dalam kitab “Mu’jam Maqayis al-Lughah” bahwa wahyu secara bahasa adalah pemberitahuan dengan cara yang samar.
Nyatanya, Al-Qur’an menyebut kalimat “wahyu” untuk banyak makna yang dapat kita simpulkan dengan beberapa garis besar, yaitu :
Pertama, wahyu bermakna petunjuk yang diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Hal ini sebagaimana contoh ketika Allah memberikan petunjuk kepada nabi Musa untuk melemparkan tongkatnya yang seketika itu berubah menjadi ular yang sangat besar dihadapan Fir’aun.
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنْ أَلْقِ عَصَاكَ فَإِذَا هِيَ تَلْقَفُ مَا يَأْفِكُونَ (117)
“Dan Kami wahyukan kepada Musa ”Lemparkanlah tongkatmu!” Maka tiba-tiba ia menelan (habis) segala kepalsuan mereka (Qs. Al-A’raf ayat 117)
Kedua, wahyu bermakna petunjuk yang diberikan Allah kepada hewan-hewan untuk mengatur hidup mereka. Hal ini sebagaimana contoh ketika Allah memberikan petunjuk kepada lebah untuk memilih pegunungan, batang pepohonan, dan sejenisnya sebagai tempat bersarang dan Allah juga memilihkan jenis makanan untuk lebah agar manusia dapat mengambil manfaat dari madu-madu yang mereka hasilkan.
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ. ثُمَّ كُلِي مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلا(69)
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang di gunung-gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia, kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu)….” (Qs. An-Nahl ayat 69)
Ketiga, wahyu bermakna isyarat yang halus. Hal ini sebagaimana contoh isyarat yang ditunjukkan oleh Nabi Zakaria kepada umatnya untuk selalu bertasbih kepada Allah di waktu pagi dan malam.
فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَى إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا (11)
“Maka dia (Zakaria) keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu dia memberikan wahyu (isyarat) kepada mereka agar; bertasbihlah kamu pada waktu pagi dan petang” (Qs. Maryam ayat 11)
Keempat, wahyu bermakna bisikan setan. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan dalam ayat Al-Qur’an bahwa setan dari golongan jin dan manusia saling berbisik untuk melakukan tipu-daya diantara mereka.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا …..(112)
“Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan….” (Qs. Al-An’am ayat 112)
Kelima, wahyu bermakna perintah Allah kepada para malaikat. Hal ini sebagaimana contoh perintah Allah dalam Al-Qur’an kepada para malaikat agar meneguhkan hari orang-orang beriman di perang Badar.
إِذْ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى الْمَلَائِكَةِ أَنِّي مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِينَ آَمَنُوا….(12)
“(ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman”….. (Qs. Al-Anfal ayat 12)
Keenam, wahyu bermakna pengaturan Allah terhadap alam semesta. Hal ini sebagaimana contoh dalam Al-Qur’an ketika menceritakan penciptaan langit.
فَقَضَاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ فِي يَوْمَيْنِ وَأَوْحَى فِي كُلِّ سَمَاءٍ أَمْرَهَا….(12)
“Lalu Allah menciptakan tujuh langit dalam dua masa dan Allah mewahyukan (mengatur) urusan masing-masing……” (Qs. Fushilat ayat 12)
Adapun dalam praktek turunnya wahyu Allah kepada para nabi dan rasul memiliki tiga bentuk yaitu :
Pertama, diwahyukan secara langung dalam bentuk mimpi ataupun sejenisnya. Hal ini sebagaimana Al-Qur’an membenarkan mimpi Nabi Muhammad saw bahwa ia akan masuk ke dalam kota Mekkah bersama para shahabat dengan aman.
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا بِالْحَقِّ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ آمِنِينَ….(27)
“Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya (Muhammad) tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram jika Allah menghendaki dengan aman…” (Qs. Al-Fath ayat 27)
Kedua, diwahyukan dari balik hijab (penutup). Hal ini sebagaimana ketika Nabi Musa mendengar Allah berfirman langsung kepadanya akan tetapi nabi Musa tidak dapat melihat dzat Allah secara kasatmata.
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ ….(143)
“Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah ditentukan dan Tuhan berfirman (langsung) kepadanya….” (Qs. Al-A’raf ayat 143)
Ketiga, diwahyukan melalui perantara utusan bernama malaikat Jibril. Hal ini sebagaimana ayat Al-Qur’an yang diturunkan Allah melalui perantara malaikat Jibril:
نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (193-194)
“Dan (Al-Qur’an) diturunkan melalui ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan” (Qs. Asy-Syu’ara ayat 193-194)
Ketiga bentuk turunnya wahyu inilah yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ (51)
“Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Alla akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantara wahyu atau dari balik tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha tinggi, Maha bijaksana” (Qs. Asy-Syura ayat 51).
Artikel by, Kanti Suci Project