OJO
DUMEH
By, Rr. Rahma Kanthi Suci
Setiap masyarakat niscaya memiliki
nilai-nilai luhur yang dijadikan pegangan tatanan hidup. Tatanan itu
berlangsung turun temurun dan menjadi warisan sangat berharga bagi warganya.
Jika dilanggar, masyarakat memberikan hukuman sosial kepada orang yang
melanggar, setidaknya menjadi guneman orang banyak. Di masyarakat yang sudah
modern seperti sekarang ini nilai-nilai luhur itu masih tetap ada, dan walau
berubah biasanya tidak begitu banyak. Perubahan nilai berlangsung lambat,
berbeda dengan perubahan fisik yang biasanya berlangsung cepat.
Seperti masyarakat lainnya, masyarakat Jawa juga memiliki nilai-nilai luhur yang sampai hari ini masih dipegang, yakni “ojo dumeh”. Artinya, sikap untuk tidak mentang-mentang. Sebagai sebuah nilai, ojo dumeh memiliki makna sangat dalam dan masuk dalam ranah yang luas, bisa mengenai kedudukan, kekuasaan, kekayaan, dan status sosial. Ia merupakan ajaran Jawa di mana orang harus sadar bahwa kehidupan itu berputar. Suatu saat di atas dan saat lain di bawah. Ketika di atas, misalnya ketika berkuasa dan memiliki akses banyak, jangan mentang-mentang dan berperilaku semena-mena terhadap orang lain atau bawahannya. Kekuasaan bisa dijadikan momen untuk beramal sholeh dengan menjadi tempat bertanya, tempat menyelesaikan persoalan dan tempat berlindung banyak orang, sehingga orang merasa nyaman karena kehadirannya.
Seperti masyarakat lainnya, masyarakat Jawa juga memiliki nilai-nilai luhur yang sampai hari ini masih dipegang, yakni “ojo dumeh”. Artinya, sikap untuk tidak mentang-mentang. Sebagai sebuah nilai, ojo dumeh memiliki makna sangat dalam dan masuk dalam ranah yang luas, bisa mengenai kedudukan, kekuasaan, kekayaan, dan status sosial. Ia merupakan ajaran Jawa di mana orang harus sadar bahwa kehidupan itu berputar. Suatu saat di atas dan saat lain di bawah. Ketika di atas, misalnya ketika berkuasa dan memiliki akses banyak, jangan mentang-mentang dan berperilaku semena-mena terhadap orang lain atau bawahannya. Kekuasaan bisa dijadikan momen untuk beramal sholeh dengan menjadi tempat bertanya, tempat menyelesaikan persoalan dan tempat berlindung banyak orang, sehingga orang merasa nyaman karena kehadirannya.
Ketika menjadi orang kaya juga jangan sombong terhadap orang lain, yang mungkin
di bawahnya. Kekayaan yang dimiliki bisa bermakna bagi orang lain. Misalnya,
bisa membantu orang lain yang memerlukan dan sedang kesulitan. Ketika memiliki
ilmu yang banyak pun tidak congkak dan keminter. Kelebihan ilmu yang
dimiliki bisa dimanfaatkan untuk ikut memintarkan orang lain. Kita bisa
menggunakan filsafat padi “semakin berisi semakin merunduk”. Mungkin ini sulit
sebab naluri manusia selalu ingin lebih dari yang lain dalam banyak hal. Maka
itu perlu agama yang mengajarkan nilai-nilai luhur dan meredam nafsu manusia
untuk tidak serakah, sombong, menyepelekan orang lain dan seterusnya.
Jika ditelaah mendalam, sebagai sebuah nilai, ojo dumeh bisa menyelamatkan manusia di mana pun berada. Tatkala di atas dia bisa menghargai orang lain, sehingga jika suatu saat di bawah masih banyak orang menghargainya. Karena orang akan teringat jasa baiknya, maka dia masih tetap menghormati orang yang pernah berjasa. Sebaliknya, jika saat berkuasa atau punya kedudukan tinggi berlaku semena-mena terhadap orang lain, maka tatkala tidak lagi berkuasa orang akan enggan menghormatinya. .
Karena kedelaman nilai yang dikandung, ojo dumeh menarik untuk dikaji secara akademik. Tak ketinggalan seorang antropolog bernama Nico Schulte Nordholt pernah melakukan penelitian tentang nilai Jawa ini yang disponsori oleh pemerintah Belanda dan membukukannya dengan judul Ojo Dumeh, terbit pada 1987 oleh Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Konon ini menjadi salah satu buku terlaris di bidang sosiologi dan antropologi. Penelitian dilakukan selama dua tahun (1977 – 1979) dengan mengambil lokasi di tiga kecamatan di Jawa Tengah dengan mewancarai 200 keluarga di tiap kecamatan. Subjek penelitiannya adalah para lurah, camat, dan pegawai-pegawai pemerintah yang terlibat dalam kegiatan pembangunan desa dengan titik berat pada hubungan para camat dan lurah.
Nordholt menemukan bahwa sikap ojo dumeh menjadi pegangan hubungan antara camat dan lurah yang terlibat langsung dalam pembangunan. Keharmonisan hubungan antara camat dan lurah berjalan efektif karena dijaga melalui nilai ojo dumeh. Ojo dumeh menjadi camat, ojo dumeh menjadi lurah. Lebih lanjut ditemukan bahwa orang Jawa memegang tata krama dalam bertindak, yakni sikap atau perilaku tepat atau etiket. Yang dimaksud adalah keseluruhan peraturan hidup yang diterima secara umum di antara berbagai lapisan sosial, yang masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban satu sama lain dan terhadap lingkungannya.
Kewajiban-kewajiban itu harus dilaksanakan, jika seseorang tidak mau kehilangan kehormatan dan bantuan. Tata artinya aturan hidup masyarakat desa, dan krama artinya aturan hidup priayi di lingkungan keraton. Siapapun harus patuh pada tata dan krama yang selama bertahun-tahun dan turun temurun disepakati oleh seluruh warga. Tata dan krama tidak saja dalam beperilaku dan berhubungan dengan sesama warga, melainkan juga tata aturan membangun rumah. Bentuknya seperti apa, ukurannya berapa,--- disesuaikan dengan kedudukan sosialnya ---,siapa yang mengerjakannya, menghadap ke mana, bahan bangunan diperoleh dari mana, dan kapan membangunnya dan lain sebagainya harus sesuai dengan tatakrama yang ada.
Jika seseorang melanggar aturan itu, misalnya, rumahnya bergaya modern, yang mengerjakan bukan warga desa itu, bahan bangunan diperoleh dari luar daerah, menghadapnya berbeda dengan rumah-rumah yang lain, maka dia tidak akan memperoleh penghormatan warga sebagaimana mestinya. Orang hanya akan menghormatinya secara lahiriah saja. Bagi warga, orang yang telah melanggar tata aturan tersebut disebut sebagai “orang kaya baru”. Orang akan berkata “ojo semugih” atau “dumeh sugih”. Kendati dia asli warga itu, orang demikian, dalam sosiologi, disebut sebagai “a stranger in the crowd”, orang asing di tengah keramaian.
Coba bayangkan betapa susahnya jika kita terasing dari lingkungan di mana kita tinggal. Di tengah keramaian yang mestinya kita menikmati suasana ramai, kita justru merasa kesepian karena tidak ada orang yang menyapa. Oleh karena itu, agar kita tidak menjadi orang asing di tengah keramaian, kita pegang sikap “ojo dumeh” dalam semua hal. Insya Allah selamat !
Jika ditelaah mendalam, sebagai sebuah nilai, ojo dumeh bisa menyelamatkan manusia di mana pun berada. Tatkala di atas dia bisa menghargai orang lain, sehingga jika suatu saat di bawah masih banyak orang menghargainya. Karena orang akan teringat jasa baiknya, maka dia masih tetap menghormati orang yang pernah berjasa. Sebaliknya, jika saat berkuasa atau punya kedudukan tinggi berlaku semena-mena terhadap orang lain, maka tatkala tidak lagi berkuasa orang akan enggan menghormatinya. .
Karena kedelaman nilai yang dikandung, ojo dumeh menarik untuk dikaji secara akademik. Tak ketinggalan seorang antropolog bernama Nico Schulte Nordholt pernah melakukan penelitian tentang nilai Jawa ini yang disponsori oleh pemerintah Belanda dan membukukannya dengan judul Ojo Dumeh, terbit pada 1987 oleh Penerbit Pustaka Sinar Harapan. Konon ini menjadi salah satu buku terlaris di bidang sosiologi dan antropologi. Penelitian dilakukan selama dua tahun (1977 – 1979) dengan mengambil lokasi di tiga kecamatan di Jawa Tengah dengan mewancarai 200 keluarga di tiap kecamatan. Subjek penelitiannya adalah para lurah, camat, dan pegawai-pegawai pemerintah yang terlibat dalam kegiatan pembangunan desa dengan titik berat pada hubungan para camat dan lurah.
Nordholt menemukan bahwa sikap ojo dumeh menjadi pegangan hubungan antara camat dan lurah yang terlibat langsung dalam pembangunan. Keharmonisan hubungan antara camat dan lurah berjalan efektif karena dijaga melalui nilai ojo dumeh. Ojo dumeh menjadi camat, ojo dumeh menjadi lurah. Lebih lanjut ditemukan bahwa orang Jawa memegang tata krama dalam bertindak, yakni sikap atau perilaku tepat atau etiket. Yang dimaksud adalah keseluruhan peraturan hidup yang diterima secara umum di antara berbagai lapisan sosial, yang masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban satu sama lain dan terhadap lingkungannya.
Kewajiban-kewajiban itu harus dilaksanakan, jika seseorang tidak mau kehilangan kehormatan dan bantuan. Tata artinya aturan hidup masyarakat desa, dan krama artinya aturan hidup priayi di lingkungan keraton. Siapapun harus patuh pada tata dan krama yang selama bertahun-tahun dan turun temurun disepakati oleh seluruh warga. Tata dan krama tidak saja dalam beperilaku dan berhubungan dengan sesama warga, melainkan juga tata aturan membangun rumah. Bentuknya seperti apa, ukurannya berapa,--- disesuaikan dengan kedudukan sosialnya ---,siapa yang mengerjakannya, menghadap ke mana, bahan bangunan diperoleh dari mana, dan kapan membangunnya dan lain sebagainya harus sesuai dengan tatakrama yang ada.
Jika seseorang melanggar aturan itu, misalnya, rumahnya bergaya modern, yang mengerjakan bukan warga desa itu, bahan bangunan diperoleh dari luar daerah, menghadapnya berbeda dengan rumah-rumah yang lain, maka dia tidak akan memperoleh penghormatan warga sebagaimana mestinya. Orang hanya akan menghormatinya secara lahiriah saja. Bagi warga, orang yang telah melanggar tata aturan tersebut disebut sebagai “orang kaya baru”. Orang akan berkata “ojo semugih” atau “dumeh sugih”. Kendati dia asli warga itu, orang demikian, dalam sosiologi, disebut sebagai “a stranger in the crowd”, orang asing di tengah keramaian.
Coba bayangkan betapa susahnya jika kita terasing dari lingkungan di mana kita tinggal. Di tengah keramaian yang mestinya kita menikmati suasana ramai, kita justru merasa kesepian karena tidak ada orang yang menyapa. Oleh karena itu, agar kita tidak menjadi orang asing di tengah keramaian, kita pegang sikap “ojo dumeh” dalam semua hal. Insya Allah selamat !