KISAH NABI NUH AS
By, Rr. Rahma Kanthi Suci
Nabi Nuh a.s adalah nabi keempat sesudah Adam, Syith dan
Idris dan keturunan kesembilan dari Nabi Adam. Ayahnya adalah Lamik bin
Metusyalih bin Idris.
Berlalulah beberapa tahun dari kematian Nabi Adam.
Bunga-bunga berguguran di sekitar kuburannya dan pohon-pohon dan batu-batuan
tampak tidak bergairah. Banyak hal berubah di muka bumi. Dan sesuai dengan
hukum umum, terjadilah kealpaan terhadap wasiat Nabi Adam. Kesalahan yang
dahulu kembali terulang. Kesalahan dalam bentuk kelupaan, meskipun kali ini
terulang secara berbeza.
Sebelum lahirnya kaum Nabi Nuh, telah hidup lima orang
saleh dari datuk-datuk kaum Nabi Nuh. Mereka hidup selama beberapa zaman
kemudian mereka mati. Nama-nama mereka adalah Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan
Nasr. Setelah kematian mereka, orang-orang membuat patung-patung dari mereka,
dalam rangka menghormati mereka dan sebagai peringatan terhadap mereka.
Kemudian berlalulah waktu, lalu orang-orang yang memahat patung itu mati. Lalu
datanglah anak-anak mereka, kemudian anak-anak itu mati, dan datanglah cucu- cucu
mereka. Kemudian timbullah berbagai dongeng dan khurafat yang membelenggu akal
manusia di mana disebutkan bahawa patung-patung itu memiliki kekuatan khusus.
Di sinilah iblis memanfaatkan kesempatan, dan ia
membisikkan kepada manusia bahawa berhala-berhala tersebut adalah Tuhan yang
dapat mendatangkan manfaat dan menolak bahaya sehingga akhirnya manusia
menyembah berhala-berhala itu. Kami tidak mengetahui sumber yang terpecaya
berkenaan dengan bagaimana bentuk kehidupan ketika penyembahan terhadap berhala
dimulai di bumi, namun kami mengetahui hukum umum yang tidak pernah berubah
ketika manusia mulai cenderung kepada syirik. Dalam situasi seperti itu,
kejahatan akan memenuhi bumi dan akal manusia akan kalah, serta akan
meningkatnya kelaliman dan banyaknya orang-orang yang teraniaya. Yang kaya
semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Alhasil, kehidupan manusia
semuanya akan berubah menjadi neraka Jahim. Situasi demikian ini pasti terjadi
ketika manusia menyembah selain Allah SWT, baik yang disembah itu berhala dari
batu, anak sapi dari emas, penguasa dari manusia, sistem dari berbagai sistem,
mazhab dari berbagai mazhab, atau kuburan seorang wali. Sebab satu-satunya yang
menjamin persamaan di antara manusia adalah, saat mereka hanya menyembah Allah
SWT dan saat Dia diakui sebagai Pencipta mereka dan yang membuat undang-undang
bagi mereka. Tetapi saat jaminan ini hilang lalu ada seorang yang mengklaim,
atau ada sistem yang mengklaim memiliki wewenang ketuhanan maka manusia akan
binasa dan akan hilanglah kebebasan mereka sepenuhnya.
Penyembahan kepada selain Allah SWT bukan hanya sebagai
sebuah tragedi yang dapat menghilangkan kebebasan, namun pengaruh buruknya
dapat merembet ke akal manusia dan dapat mengotorinya. Sebab, Allah SWT
menciptakan manusia agar dapat mengenal-Nya dan menjadikan akalnya sebagai
permata yang bertujuan untuk memperoleh ilmu. Dan ilmu yang paling penting
adalah kesadaran bahawa Allah SWT semata sebagai Pencipta, dan selain-Nya
adalah makhluk. Ini adalah poin penting dan dasar pertama yang harus ada
sehingga manusia sukses sebagai khalifah di muka bumi.
Ketika akal manusia kehilangan potensinya dan berpaling
ke selain Allah SWT maka manusia akan tertimpa kesalahan. Terkadang seseorang
mengalami kemajuan secara materi kerana ia berhasil melalui jalan-jalan
kemajuan, meskipun ia tidak beriman kepada Allah SWT, namun kemajuan materi ini
yang tidak disertai dengan pengenalan kepada Allah SWT akan menjadi siksa yang
lebih keras daripada siksaan apa pun, kerana ia pada akhirnya akan menghancurkan
manusia itu sendiri. Ketika manusia menyembah selain Allah SWT maka akan
meningkatlah penderitaan kehidupan dan kefakiran manusia. Terdapat hubungan
kuat antara kehinaan manusia dan kefakiran mereka, serta tidak berimannya
mereka kepada Allah. Allah SWT berfirman:
"Seandainya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi. " (QS. al-A'raf: 96)
Demikianlah, bahawa kufur kepada Allah SWT atau syirik
kepada-Nya akan menyebabkan hilangnya kebebasan dan hancurnya akal serta
meningkatnya kefakiran, serta kosongnya kehidupan dari tujuan yang mulia. Dalam
situasi seperti ini, Allah SWT mengutus Nuh untuk membawa ajaran-Nya kepada
kaumnya. Nabi Nuh adalah seorang hamba yang akalnya tidak terpengaruh oleh
polusi kolektif, yang menyembah selain Allah SWT. Allah SWT memilih hamba-Nya
Nuh dan mengutusnya di tengah-tengah kaumnya.
Nuh membuat revolusi pemikiran. Ia berada di puncak
kemuliaan dan kecerdasan. Ia merupakan manusia terbesar di zamannya. Ia bukan
seorang raja di tengah-tengah kaumnya, bukan penguasa mereka, dan bukan juga
orang yang paling kaya di antara mereka. Kita mengetahui bahawa kebesaran tidak
selalu berhubungan dengan kerajaan, kekayaan, dan kekuasaan. Tiga hal tersebut
biasanya dimiliki oleh jiwa-jiwa yang hina. Namun kebesaran terletak pada
kebersihan hati, kesucian nurani, dan kemampuan akal untuk mengubah kehidupan
di sekitarnya. Nabi Nuh memiliki semua itu, bahkan lebih dari itu. Nabi Nuh
adalah manusia yang mengingat dengan baik perjanjian Allah SWT dengan Nabi Adam
dan anak-anaknya, ketika Dia menciptakan mereka di alam atom. Berdasarkan
fitrah, ia beriman kepada Allah SWT sebelum pengutusannya pada manusia. Dan
semua nabi beriman kepada Allah SWT sebelum mereka diutus. Di antara mereka ada
yang "mencari" Allah SWT seperti Nabi Ibrahim, ada juga di antara
mereka yang beriman kepada-Nya dari lubuk hati yang paling dalam, seperti Nabi
Musa, dan di antara mereka juga ada yang beribadah kepada-Nya dan menyendiri di
gua Hira, seperti Nabi Muhammad saw.
Terdapat sebab lain berkenaan dengan kebesaran Nabi Nuh.
Ketika ia bangun, tidur, makan, minum, atau mengenakan pakaian, masuk atau
keluar, ia selalu bersyukur kepada Allah SWT dan memuji-Nya, serta mengingat
nikmat-Nya dan selalu bersyukur kepada-Nya. Oleh kerana itu, Allah SWT berkata
tentang Nuh:
"Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak
bersyukur." (QS. al-Isra': 3)
Allah SWT memilih hamba-Nya yang bersyukur dan
mengutusnya sebagai nabi pada kaumnya. Nabi Nuh keluar menuju kaumnya dan
memulai dakwahnya:
"Wahai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak
ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah),
aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar. " (QS. al-A'raf: 59)
Dengan kalimat yang singkat tersebut, Nabi Nuh meletakkan
hakikat ketuhanan kepada kaumnya dan hakikat hari kebangkitan. Di sana hanya
ada satu Pencipta yang berhak disembah. Di sana terdapat kematian, kemudian
kebangkitan kemudian hari kiamat. Hari yang besar yang di dalamnya terdapat
siksaan yang besar.
Nabi Nuh menjelaskan kepada kaumnya bahawa mustahil
terdapat selain Allah Yang Maha Esa sebagai Pencipta. Ia memberikan pengertian
kepada mereka, bahawa setan telah lama menipu mereka dan telah tiba waktunya
untuk menghentikan tipuan ini. Nuh menyampaikan kepada mereka, bahawa Allah SWT
telah memuliakan manusia: Dia telah menciptakan mereka, memberi mereka rezeki,
dan menganugerahi akal kepada mereka. Manusia mendengarkan dakwahnya dengan
penuh kekhusukan. Dakwah Nabi Nuh cukup mengguncangkan jiwa mereka. Laksana
tembok yang akan roboh yang saat itu di situ ada seorang yang tertidur dan
engkau meng-goyang tubuhnya agar ia bangun. Barangkali ia akan takut dan ia
marah meskipun engkau bertujuan untuk menyelamatkannya.
Akar-akar kejahatan yang ada di bumi mendengar dan
merasakan ketakutan. Pilar-pilar kebencian terancam dengan cinta ini yang
dibawa oleh Nabi Nuh. Setelah mendengar dakwah Nabi Nuh, kaumnya terpecah
menjadi dua kelompok: Kelompok orang-orang lemah, orang-orang fakir, dan
orang-orang yang menderita, di mana mereka merasa dilindungi dengan dakwah Nabi
Nuh, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok orang-orang kaya,
orang-orang kuat, dan para penguasa di mana mereka menghadapi dakwah Nabi Nuh
dengan penuh keraguan. Bahkan ketika mereka mempunyai kesempatan, mereka mulai
melancarkan serangan untuk melawan Nabi Nuh. Mula-mula mereka menuduh bahawa
Nabi Nuh adalah manusia biasa seperti mereka:
"Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari
kaumnya: 'Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa)
seperti kami.'" (QS. Hud: 27)
Dalam tafsir al-Quturbi disebutkan: "Masyarakat yang
menentang dakwahnya adalah para pembesar dari kaumnya. Mereka dikatakan al- Mala'
kerana mereka seringkali berkata. Misalnya mereka berkata kepada Nabi Nuh:
"Wahai Nuh, engkau adalah manusia biasa." Padahal Nabi Nuh juga
mengatakan bahawa ia memang manusia biasa. Allah SWT mengutus seorang rasul
dari manusia ke bumi kerana bumi dihuni oleh manusia. Seandainya bumi dihuni
oleh para malaikat nescaya Allah SWT mengutus seorang rasul dari malaikat.
Berlanjutlah peperangan antara orang-orang kafir dan Nabi
Nuh. Mula- mula, rezim penguasa menganggap bahawa dakwah Nabi Nuh akan mati dengan
sendirinya, namun ketika mereka melihat bahawa dakwahnya menarik perhatian
orang-orang fakir, orang-orang lemah, dan pekerja- pekerja sederhana, mereka
mulai menyerang Nabi Nuh dari sisi ini. Mereka menyerangnya melalui pengikutnya
dan mereka berkata kepadanya: "Tiada yang mengikutimu selain orang-orang
fakir dan orang- orang lemah serta orang-orang hina."
Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, (dia berkata): 'Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata
bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir
kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan. Maka berkatalah
pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: 'Kami tidak melihat kamu, melainkan
(sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat
orang-orang yang mengikutimu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara
kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu
kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahawa kamu adalah orang-orang
yang berdusta. " (QS. Hud: 25-27)
Demikianlah telah berkecamuk pertarungan antara Nabi Nuh
dan para bangsawan dari kaumnya. Orang-orang yang kafir itu menggunakan dalih
persamaan dan mereka berkata kepada Nabi Nuh: "Dengarkan wahai Nuh, jika
engkau ingin kami beriman kepadamu maka usirlah orang-orang yang beriman
kepadamu. Sesungguhnya mereka itu orang-orang yang lemah dan orang-orang yang
fakir, sementara kami adalah kaum bangsawan dan orang-orang kaya di antara
mereka. Dan mustahil engkau menggabungkan kami bersama mereka dalam satu dakwah
(majelis)." Nabi Nuh mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang-orang
kafir dari kaumnya. la mengetahui bahawa mereka menentang. Meskipun demikian,
ia menjawabnya dengan baik. Ia memberitahukan kepada kaumnya bahawa ia tidak
dapat mengusir orang-orang mukmin, kerana mereka bukanlah tamu-tamunya namun
mereka adalah tamu-tamu Allah SWT. Rahmat bukan terletak dalam rumahnya di mana
masuk di dalamnya orang-orang yang dikehendakinya dan terusir darinya
orang-orang yang dikehendakinya, tetapi rahmat terletak dalam rumah Allah SWT
di mana Dia menerima siapa saja yang dikehendaki-Nya di dalamnya. Allah SWT
berfirman:
"Berkata Nuh: 'Hai kaumku, bagaimana pikiranmu, jika
aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku, dan diberinya aku rahmat dari
sisi-Nya, tetapi rahmat itu disamarkan bagimu. Apa akan kami paksakankah kamu
menerimanya, padahal kamu tidak menyukainya? Dan (dia berkata): 'Hai kaumku,
aku tidak meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku
hanyalah dari Allah dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang
telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi
aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui.' Dan (dia berkata): 'Hai
kaumku, siapakah yang dapat menolongku dari (azab) Allah jika aku mengusir
mereka. Maka tidakkan kamu mengambil pelajaran?' Dan aku tidak mengatakan
kepada kamu (bahawa): 'Aku mempunyai gudang-gudang rezeki dan kekayaan dari
Allah, dan aku tidak mengetahui hal yang ghaib, dan tidak pula aku mengatakan:
'Sesungguhnya aku adalah malaikat,' dan tidak juga aku mengatakan kepada
orang-orang yang dipandang hina oleh penglihatanmu: 'Sekali-kali Allah tidak
akan mendatangkan kebaikan kepada mereka. Allah lebih mengetahui apa yang ada
pada mereka. Sesungguhnya aku kalau begitu benar-benar termasuk orang-orang
yang lalim.'" (QS. Hud: 28-31)
Nuh mematahkan semua argumentasi orang-orang kafir dengan
logik para nabi yang mulia. Yaitu, logik pemikiran yang sunyi dari kesombongan
peribadi dan kepentingan-kepentingan khusus. Nabi Nuh berkata kepada mereka
bahawa Allah SWT telah memberinya agama, kenabian, dan rahmat. Sedangkan mereka
tidak melihat apa yang diberikan Allah SWT kepadanya. Selanjutnya, ia tidak
memaksakan mereka untuk mempercayai apa yang disampaikannya saat mereka
membenci. Kalimat tauhid (tiada Tuhan selain Allah) tidak dapat dipaksakan atas
seseorang. Ia memberitahukan kepada mereka bahawa ia tidak meminta imbalan dari
mereka atas dakwahnya. Ia tidak meminta harta dari mereka sehingga memberatkan
mereka. Sesungguhnya ia hanya mengharapkan pahala (imbalan) dari Allah SWT.
Allahlah yang memberi pahala kepadanya. Nabi Nuh menerangkan kepada mereka
bahawa ia tidak dapat mengusir orang-orang yang beriman kepada Allah SWT.
Meskipun sebagai Nabi, ia memiliki keterbatasan dan keterbatasan itu adalah
tidak diberikannya hak baginya untuk mengusir orang-orang yang beriman kerana
dua alasan. bahawa mereka akan bertemu dengan Alllah SWT dalam keadaan beriman
kepada-Nya, maka bagaimana ia akan mengusir orang yang beriman kepada Allah
SWT, kemudian seandainya ia mengusir mereka, maka mereka akan menentangnya di
hadapan Allah SWT. Ini berakibat pada pemberian pahala dari Allah SWT atas
keimanan mereka dan balasan-Nya atas siapa pun yang mengusir mereka. Maka
siapakah yang dapat menolong Nabi Nuh dari siksa Allah SWT seandainya ia
mengusir mereka?
Demikianlah Nabi Nuh menunjukkan bahawa permintaan
kaumnya agar ia mengusir orang-orang mukmin adalah tindakan bodoh dari mereka.
Nabi Nuh kembali menyatakan bahawa ia tidak dapat melakukan sesuatu yang di
luar wewenangnya, dan ia memberitahu mereka akan kerendahannya dan kepatuhannya
kepada Allah SWT. Ia tidak dapat melakukan sesuatu yang merupakan bahagian dari
kekuasaan Allah SWT, yaitu pemberian nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang
dikehendaki-Nya. Ia tidak mengetahui ilmu ghaib, kerana ilmu ghaib hanya khusus
dimiliki oleh Allah SWT. Ia juga memberitahukan kepada mereka bahawa ia bukan
seorang raja, yakni kedudukannya bukan seperti kedudukan para malaikat.
Sebahagian ulama berargumentasi dari ayat ini bahawa para malaikat lebih utama
dari pada para nabi (silakan melihat tafsir Qurthubi).
Nabi Nuh berkata kepada mereka: "Sesungguhnya
orang-orang yang kalian pandang sebelah mata, dan kalian hina dari orang-orang
mukmin yang kalian remehkan itu, sesungguhnya pahala mereka itu tidak sirna dan
tidak berkurang dengan adanya penghinaan kalian terhadap mereka. Sungguh Allah
SWT lebih tahu terhadap apa yang ada dalam diri mereka. Dialah yang membalas
amal mereka. Sungguh aku telah menganiaya diriku sendiri seandainya aku
mengatakan bahawa Allah tidak memberikan kebaikan kepada mereka."
Kemudian rezim penguasa mulai bosan dengan debat ini yang
disampaikan oleh Nabi Nuh. Allah SWT menceritakan sikap mereka terhadap Nabi
Nuh dalam flrman-Nya:
"Mereka berkata: 'Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah
berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami,
maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu
termasuk orang-orang yang benar.' Nuh menjawab: 'Hanyalah Allah yang akan
mendatangkan azab itu kepadamu jika Dia menghendaki, dan kamu sekali-kali tidak
dapat melepaskan diri. Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasihatku jika aku
hendak memberi nasihat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu.
Dia adalah Tuhanmu, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan. " (QS. Hud:
32-34)
Nabi Nuh menambahkan bahawa mereka tersesat dari jalan
Allah SWT. Allahlah yang menjadi sebab terjadinya segala sesuatu, namun mereka
memperoleh kesesatan disebabkan oleh ikhtiar mereka dan kebebasan mereka serta
keinginan mereka. Dahulu iblis berkata:
"Kerana Engkau telah menghukum saya
tersesat..." (QS. al-A'raf: 16)
Secara zahir tampak bahawa makna ungkapan itu berarti
Allahlah yang menyesatkannya, padahal hakikatnya adalah bahawa Allah SWT telah
memberinya kebebasan dan kemudian Dia akan meminta pertanggungjawapannya. Kita
tidak sependapat dengan pandangan al- Qadhariyah, al-Mu'tazilah, dan Imamiyah.
Mereka berpendapat bahawa keinginan manusia cukup sebagai kekuatan untuk
melakukan perbuatannya, baik berupa ketaatan maupun kemaksiatan. kerana bagi
mereka, manusia adalah pencipta perbuatannya. Dalam hal itu, ia tidak
membutuhkan Tuhannya. Kami tidak mengambil pendapat mereka secara mutlak. Kami
berpendapat bahawa manusia memang menciptakan perbuatannya namun ia membutuhkan
bantuan Tuhannya dalam melakukannya.
Alhasil, Allah SWT mengerahkan setiap makhluk sesuai
dengan arah penciptaannya, baik pengarahann itu menuju kebaikan atau keburukan.
Ini termasuk kebebasan sepenuhnya. Manusia memilih dengan kebebasannya kemudian
Allah SWT mengerahkan jalan menuju pilihannya itu. Iblis memilih jalan
kesesatan maka Allah SWT mengarahkan jalan kesesatan itu padanya, sedangkan
orang-orang kafir dari kaum Nabi Nuh memilih jalan yang sama maka Allah pun
mengarahkan jalan itu pada mereka.
Peperangan pun berlanjut, dan perdebatan antara
orang-orang kafir dan Nabi Nuh semakin melebar, sehingga ketika
argumentasi-argumentasi mereka terpatahkan dan mereka tidak dapat mengatakan
sesuatu yang pantas, mereka mulai keluar dari batas-batas adab dan berani
mengejek Nabi Allah.
"Pemuka-pemuka dari kaumnya berkata: 'Sesungguhnya
kami memandang kamu berada dalam kesesatan yang nyata." (QS. al-A'raf: 60)
Nabi Nuh menjawab dengan menggunakan sopan-santun para
nabi yang agung.
"Nuh menjawab: 'Hai kaumku, tak ada padaku kesesatan
sedikit pun tetapi aku adalah utusan dari Tuhan semesta alam. Aku sampaikan
kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku memberi nasihat kepadamu, dan aku
mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui." (QS. al-A'raf: 61-62)
Nabi Nuh tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah
kaumnya, waktu demi waktu, hari demi hari, dan tahun demi tahun. Berlalulah
masa yang panjang itu, namun Nabi Nuh tetap mengajak kaumnya. Nabi Nuh
berdakwah kepada mereka siang malam, dengan sembunyi-sembunyi dan
terang-terangan, bahkan ia pun memberikan contoh-contoh pada mereka. Ia
menjelaskan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Allah SWT dan kekuasaan-Nya di
dunia. Namun setiap kali ia mengajak mereka untuk menyembah Allah SWT, mereka
lari darinya, dan setiap kali ia mengajak mereka agar Allah SWT mengampuni
mereka, mereka meletakkan jari-jari mereka di telinga-telinga mereka dan mereka
menampakkan kesombongan di depan kebenaran. Allah SWT menceritakan apa yang
dialami oleh Nabi Nuh dalam firman-Nya:
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah
menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari
(dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau
mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan
menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan
diri dengan keterlaluan. Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka dengan
cara yang terang-terangan, kemudian aku menyeru mereka lagi dengan
terang-terangan dan dengan diam-diam, maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Dia akan
mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-
anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya)
untukmu sungai-sungai.'" (QS. Nuh: 5-12)
Namun apa jawapan kaumnya?
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah
mendurhakaiku, dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya
tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Mereka telah melakukan
tipu-daya yang amat besar. Dan mereka berkata: 'Janganlah sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali
meninggalkan (penyembahan) wadd, suwa, yaghuts, yauq, dan nasr. Dan sesudahnya
mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan
bagi orang-orang lalim itu selain kesesatan,'" (QS. Nuh: 21-24)
Nuh tetap melanjutkan dakwah di tengah-tengah kaumnya
selama 950 tahun. Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun.
" (QS. Ankabut: 14)
Sayangnya, jumlah kaum mukmin tidak bertambah sedangkan
jumlah kaum kafir justru bertambah. Nabi Nuh sangat sedih namun ia tidak sampai
kehilangan harapan. la senantiasa mengajak kaumnya dan berdebat dengan mereka.
Namun kaumnya selalu menghadapinya dengan kesombongan, kekufuran, dan
penentangan. Nabi Nuh sangat bersedih terhadap kaumnya namun ia tidak sampai
berputus asa. la tetap menjaga harapan selama 950 tahun. Tampak bahawa usia manusia
sebelum datangnya taufan cukup panjang. Dan barangkali usia panjang bagi Nabi
Nuh merupakan mukjizat khusus baginya.
Datanglah hari di mana Allah SWT mewahyukan kepada Nabi
Nuh bahawa orang-orang yang beriman dari kaumnya tidak akan bertambah lagi.
Allah SWT mewahyukan kepadanya agar ia tidak bersedih atas tindakan mereka.
Maka pada saat itu, Nabi Nuh berdoa agar orang-orang kafir dihancurkan. la
berkata:
"Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di
antara orang- orang kafir itu tinggal di atas bumi." (QS. Nuh: 26)
Nabi Nuh membenarkan doanya dengan alasan:
"Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal,
nescaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan
selain anak yang berbuat maksiat dan kafir. " (QS. Nuh: 27)
Allah SWT berfirman dalam surah Hud:
"Dan diwahyukan kepada Nuh, bahawasannya sekali-kali
tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang-orang yang telah beriman
saja, kerana itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka
kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami,
dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang-orang yang lalim itu.
Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud: 36-37)
Kemudian Allah SWT menetapkan hukum-Nya atas orang-orang
kafir, yaitu datangnya angin taufan. Allah SWT memberitahu Nuh, bahawa ia akan
membuat perahu ini dengan "pengawasan Kami dan wahyu kami," yakni
dengan ilmu Allah SWT dan pengajaran-Nya, serta sesuai dengan pengarahan-Nya
dan bantuan para malaikat.
Allah SWT menetapkan perintah-Nya kepada Nuh:
"Dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang
orang-orang yang lalim itu. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan. (QS. Hud:
37)
Allah SWT menenggelamkan orang-orang yang lalim, apa pun
kedudukan mereka dan apa pun kedekatan mereka dengan Nabi. Allah SWT melarang
Nabi-Nya untuk berdialog dengan mereka atau menengahi urusan mereka. Nabi Nuh
mulai menanam pohon untuk membuat perahu darinya. Ia menunggu beberapa tahun,
kemudian ia memotong apa yang ditanamnya dan mulai merakitnya. Akhirnya,
jadilah perahu yang besar, yang tinggi, dan kuat.
Para mufasir berbeza pendapat tentang besarnya perahu
itu, bentuknya, masa pembuatannya, tempat pembuatannya dan lain-lain. Berkenaan
dengan hal tersebut Fakhrur Razi berkata: "Ketahuilah bahawa pembahasan
ini tidak menarik bagiku kerana ia merupakan hal-hal yang tidak perlu
diketahuinya. Saya kira mengetahui hal tersebut hanya mendatangkan manfaat yang
sedikit." Mudah-mudahan Allah SWT merahmati Fakhrur Razi yang menyatakan
kebenaran dengan kalimatnya itu. Kita tidak mengetahui hakikat perahu ini,
kecuali apa yang telah Allah SWT ceritakan kepada kita tentang hal itu.
Misalnya, kita tidak mengetahui dimana ia dibuat, berapa panjangnya atau
lebarnya, dan kita secara pasti tidak mengetahui selain tempat yang ditujunya
setelah ia berlabuh.
Allah SWT tidak memberikan keterangan secara detail
berkenaan dengan hal tersebut yang tidak memberikan kepentingan pada kandungan
cerita dan tujuannya yang penting. Nabi Nuh mulai membangun perahu, lalu
orang-orang kafir lewat di depannya saat ia dalam keadaan serius membuat
perahu. Saat itu, cuaca atau udara sangat kering, dan di sana tidak terdapat sungai
atau laut yang dekat. Bagaimana perahu ini akan berlayar wahai Nuh? Apakah ia
akan berlayar di atas tanah? Di manakah air yang memungkinkan bagi perahumu
untuk belayar? Sungguh Nuh telah gila! Orang-orang kafir semakin tertawa
terbahak-bahak dan semakin mengejek Nabi Nuh.
Puncak pertentangan dalam kisah Nabi Nuh tampak dalam
masa ini. Kebatilan mengejek kebenaran dan cukup lama menertawakan kebenaran.
Mereka menganggap bahawa dunia adalah milik mereka dan bahawa mereka akan
selalu mendapatkan keamanan dan bahawa siksa tidak akan terjadi. Namun anggapan
mereka itu tidak terbukti. Datangnya angin taufan menjungkirbalikkan semua
perkiraan mereka. Saat itu, orang-orang mukmin mengejek balik orang-orang kafir
dan ejekan mereka adalah kebenaran. Allah SWT berfirman:
"Dan mulailah Nuh membuat bahtera itu. Dan setiap
kali pemimpin kaumnya berjalan metewati Nuh, mereka mengejeknya. Berkatalah
Nuh: 'Jika kamu mengejek kami, maka sesungguhnya kami (pun) akan mengejekmu
sebagaimana kamu sekalian mengejek kami. Kelak kamu akan mengetahui siapa yang
akan ditimpa oleh azab yang menghinakan dan yang akan ditimpa azab yang
kekal." (QS. Hud: 38- 39)
Selesailah pembuatan perahu dan duduk menunggu perintah
Allah SWT. Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Nuh bahawa jika ada yang mempunyai
dapur, maka ini sebagai tanda dimulainya angin taufan. Di sebutkan bahawa
tafsiran dari at-Tannur ialah oven (alat untuk memanggang roti) yang ada di
dalam rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya air dan ia lari maka itu merupakan
perintah bagi Nabi Nuh untuk bergerak. Maka pada suatu hari tannur itu mulai
menunjukkan tanda- tandanya dari dalam rumah Nabi Nuh, lalu Nabi Nuh segera
membuka perahunya dan mengajak orang-orang mukmin untuk menaikinya. Jibril
turun ke bumi. Nabi Nuh membawa burung, binatang buas, binatang yang
berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut, dan lain-lain. Dalam perahu itu, Nabi
Nuh telah membuat kandang binatang buas.
Jibril menggiring setiap dua binatang yang berpasangan
agar setiap spesies binatang tidak punah dari muka bumi. Ini berarti bahawa
angin taufan telah menenggelamkan bumi semuanya, kalau tidak demikian maka buat
apa ia harus mengangkut jenis binatang-binatang itu. Binatang-binatang mulai
menaiki perahu itu beserta orang-orang yang beriman dari kaumnya. Jumlah
orang-orang mukmin sangat sedikit. Allah SWT berfirman:
"Hingga apabila perintah Kami datang dan tannur
telah memancarkan air, Kami berfirman: 'Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari
masing- masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali
orang yang terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkanlah pula) orang-orang
yang beriman.' Dan tidak beriman bersama Nuh itu kecuali sedikit. " (QS.
Hud: 40)
Istri Nabi Nuh tidak beriman kepadanya sehingga ia tidak
ikut menaiki perahu, dan salah satu anaknya menyembunyikan kekafirannya dengan
menampakkan keimanan di depan Nabi Nuh, dan ia pun tidak ikut menaikinya.
Mayoritas manusia saat itu tidak beriman sehingga mereka tidak turut berlayar.
Hanya orang-orang mukmin yang mengarungi lautan bersamanya. Ibnu Abbas berkata:
"Terdapat delapan puluh orang dari kaum Nabi Nuh yang beriman
kepadanya."
Air mulai meninggi yang keluar dari celah-celah bumi.
Tiada satu celah pun di bumi kecuali keluar air darinya. Sementara dari langit
turunlah hujan yang sangat deras yang belum pernah turun hujan dengan curah
seperti itu di bumi, dan tidak akan ada hujan seperti itu sesudahnya. Lautan
semakin bergolak dan ombaknya menerpa apa saja dan menyapu bumi. Perut bumi
bergerak dengan gerakan yang tidak wajar sehingga bola bumi untuk pertama
kalinya tenggelam dalam air sehingga ia menjadi bola air. Allah SWT berfirman:
"Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan
(menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata
air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah
ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan
paku. (QS. al-Qamar: 11-13)
Air meninggi di atas kepala manusia, dan ia melampaui
ketinggian pohon, bahkan puncak gunung. Akhirnya, permukaan bumi diselimuti
dengan air. Ketika mula-mula datang taufan, Nabi Nuh memanggil-manggil
puteranya. puteranya itu berdiri agak jauh darinya. Nabi Nuh memanggilnya dan
berkata:
"Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan
janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." (QS. Hud: 42)
Anak itu menjawab ajakan ayahnya:
"Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat
memeliharaku dari air bah." (QS. Hud: 43)
Nabi Nuh kembali menyerunya:
"Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah
selain orang yang dirahmati-Nya." (QS. Hud: 43)
Selesailah dialog antara Nabi Nuh dan anaknya.
"Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya;
maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan. " (QS.
Hud: 43)
Perhatikanlah ungkapan AI-Qur'an al-Karim: Dan gelombang
menjadi penghalang antara keduanya. Ombak tiba-tiba mengakhiri dialog mereka.
Nabi Nuh mencari, namun ia tidak mendapati anaknya. Ia tidak menemukan selain
gunung ombak yang semakin meninggi dan meninggi bersama perahu itu. Nabi Nuh
ddak dapat melihat segala sesuatu selain air. Allah SWT berkehendak - sebagai
rahmat dari-Nya - untuk menenggelamkan si anak jauh dari penglihatan si ayah.
Inilah kasih sayang Allah SWT terhadap si ayah. Anak Nabi Nuh mengira bahawa
gunung akan mencegahnya dari kejaran air namun ia pun terkejar dan tenggelam.
Angin taufan terus berlanjut dan terus membawa perahu Nabi Nuh. Setelah berlalu
beberapa saat, pemandangan tertuju kepada bumi yang telah musnah sehingga tiada
kehidupan kecuali sebahagian kayu yang darinya Nabi Nuh membuat perahu di mana
ia menyelamatkan orang-orang mukmin, begitu juga berbagai binatang yang ikut
bersama mereka. Adalah hal yang sulit bagi kita untuk membayangkan kedahsyatan
taufan itu. Yang jelas, ia menunjukkan kekuasaan Pencipta. Perahu itu berlayar
dengan mereka dalam ombak yang laksana gunung. Sebahagian ilmuwan meyakini
bahawa terpisahnya beberapa benua dan terbentuknya bumi dalam rupa seperti
sekarang adalah sebagai akibat dari taufan yang dahulu.
taufan yang dialami oleh Nabi Nuh terus berlanjut dalam
beberapa zaman di mana kita tidak dapat mengetahui batasnya. Kemudian datanglah
perintah Ilahi agar langit menghentikan hujannya dan agar bumi tetap tenang dan
menelan air itu, dan agar kayu-kayu perahu berlabuh di al-Judi, yaitu nama
suatu tempat di zaman dahulu. Ada yang mengatakan bahawa ia adalah gunung yang
terletak di Irak. Dengan datangnya perintah Ilahi, bumi kembali menjadi tenang
dan air menjadi surut. taufan telah menyucikan bumi dan membasuhnya. Allah SWT
berfirman:
"Dan difirmankan: 'Hai bumi telanlah airmu, dan hai
langit (hujan) berhentilah,' dan air pun disurutkan, perintah pun diselesaikan
dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukitjudi. Dan dikatakan: 'Binasalah
orang-orang yang lalim. " (QS. Hud: 44)
Dan air pun disurutkan, yakni air berkurang dan kembali
ke celah-celah bumi. Segala urusan telah diputuskan dan orang-orang kafir telah
hancur sepenuhnya. Dikatakan bahawa Allah SWT me-mandulkan rahim-rahim wanita
selama empat puluh tahun sebelum datangnya taufan, kerana itu tidak ada yang
terbunuh seorang anak bayi atau anak kecil.
Firman-Nya: Dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit
judi, yakni ia berlabuh di atasnya. Di sebutkan bahawa hari itu bertepatan
dengan hari Asyura' (hari kesepuluh dari bulan Muharam). Lalu Nabi Nuh berpuasa
dan memerintahkan orang-orang yang bersamanya untuk berpuasa juga.
Dikatakan: 'Binasalah orang-orang yang lalim, 'yakni
kehancuran bagi mereka. taufan menyucikan bumi dari mereka dan membersihkannya.
Lenyaplah peristiwa yang mengerikan dengan lenyapnya taufan. Dan berpindahlah
pergulatan dari ombak ke jiwa Nabi Nuh. Ia mengingat anaknya yang tenggelam.
Nabi Nuh tidak mengetahui saat itu bahawa anaknya menjadi kafir. Ia menganggap
bahawa anaknya sebagai seorang mukmin yang memilih untuk menyelamatkan diri
dengan cara berlindung kepada gunung. Namun ombak telah mengakhiri percakapan
keduanya sebelum mereka menyelesaikannya. Nabi Nuh tidak mengetahui seberapa
jauh bahagian keimanan yang ada pada anaknya. Lalu bergeraklah naluri kasih
sayang dalam hati sang ayah. Allah SWT berfirman:
"Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: 'Ya
Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau
itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil- adilnya. " (QS.
Hud: 45)
Nuh ingin berkata kepada Allah SWT bahawa anaknya
termasuk dari keluarganya yang beriman dan Dia menjanjikan untuk menyelamatkan
keluarganya yang beriman. Allah SWT berkata dan menjelaskan kepada Nuh keadaan
sebenarnya yang ada pada anaknya:
"Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk
keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak
baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak
mengetahui (hakikatnya). Aku memperingatkan kepa- damu supaya kamu jangan
termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.'" (QS. Hud: 46)
Al-Qurthubi berkata - menukil dari guru-gurunya dari kalangan
ulama - ini adalah pendapat yang kami dukung: "Anaknya berada di sisinya
(yakni bersama Nabi Nuh dan dalam dugaannya ia seorang mukmin). Nabi Nuh tidak
berkata kepada Tuhannya: "Sesungguhnya anakku termasuk keluargaku,"
kecuali kerana ia memang menampakkan hal yang demikian kepadanya. Sebab,
mustahil ia meminta kehancuran orang-orang kafir kemudian ia meminta agar
sebahagian mereka diselamatkan."
Anaknya menyembunyikan kekufuran dan menampakkan
keimanan. Lalu Allah SWT memberitahukan kepada Nuh ilmu ghaib yang khusus
dimiliki- Nya. Yakni Allah SWT memberitahunya keadaan sebenarnya dari anaknya.
Allah SWT ketika menasihatinya agar jangan sampai ia menjadi orang-orang yang
tidak mengerti. Dia ingin menghilangkan darinya anggapan bahawa anaknya beriman
kemudian mati bersama orang-orang kafir.
Di sana terdapat pelajaran penting yang terkandung dalam
ayat-ayat yang mulia itu, yang menceritakan kisah Nabi Nuh bersama anaknya.
Allah SWT ingin berkata kepada Nabi-Nya yang mulia bahawa anaknya bukan termasuk
keluarganya kerana ia tidak beriman kepada Allah SWT. Hubungan darah bukanlah
hubungan hakiki di antara manusia. Anak seorang nabi adalah anaknya yang
meyakini akidah, yaitu mengikuti Allah SWT dan nabi, dan bukan anaknya yang
menentangnya, meskipun berasal dari sulbinya. Jika demikian seorang mukmin
harus menghindar dari kekufuran. Dan di sini juga harus di teguhkan hubungan
sesama akidah di antara orang-orang mukmin. Adalah tidak benar jika hubungan
sesama mereka dibangun berdasarkan darah, iras, warna kulit, atau tempat
tinggal.
Nabi Nuh memohon ampun kepada Tuhannya dan bertaubat
kepada-Nya. Kemudian Allah SWT merahmatinya dan memerintahkannya untuk turun
dari perahu dalam keadaan dipenuhi dengan keberkahan dari Allah SWT dan
penjagaan-Nya:
"Nuh berkata: 'Ya Tuhanku, sesungguhnya aku
berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada
mengetahui (hakikatnya). Dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan
(tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, nescaya aku akan termasuk orang-orang
yang rugi. " (QS. Hud: 47)
Difirmankan: "'Hai Nuh, turunlah dengan selamat dan
penuh keberkatan dari Kami atasmu dan atas umat-umat (yang beriman) dari
orang-orang yang bersamamu.'" (QS. Hud: 48)
Nabi Nuh turun dari perahunya dan ia melepaskan
burung-burung dan binatang-binatang buas sehingga mereka menyebar ke bumi.
Setelah itu, orang-orang mukmin juga turun. Nabi Nuh meletakkan dahinya ke atas
tanah dan bersujud. Saat itu bumi masih basah kerana pengaruh taufan. Nabi Nuh
bangkit setelah solatnya dan menggali pondasi untuk membangun tempat ibadah
yang agung bagi Allah SWT. Orang-orang yang selamat menyalakan api dan
duduk-duduk di sekelilingnya. Menyalakan api sebelumnya di larang di dalam
perahu kerana dikhuatirkan api akan menyentuh kayu-kayunya dan membakarnya. Tak
seorang pun di antara mereka yang memakan makanan yang hangat selama masa
taufan.
Berlalulah hari puasa sebagai tanda syukur kepada Allah
SWT. Al-Qur'an tidak lagi menceritakan kisah Nabi Nuh setelah taufan sehingga
kita tidak mengetahui bagaimana peristiwa yang dialami Nabi Nuh bersama
kaumnya. Yang kita ketahui atau yang perlu kita tegaskan bahawa Nabi Nuh
mewasiatkan kepada putera-puteranya saat ia meninggal agar mereka hanya
menyembah Allah SWT.
Pengajaran Dari Kisah Nabi Nuh a.s.
Bahawasanya hubungan antara manusia yang terjalin kerana
ikatan persamaan kepercayaan atau penamaan aqidah dan pendirian adalah lebih
erat dan lebih berkesan drp hubungan yang terjalin kerana ikatan darah atau
kelahiran. Kan'aan yang walaupun ia adalah anak kandung Nabi Nuh, oleh Allah
s.w.t. dikeluarkan dari bilangan keluarga ayahnya kerana ia menganut
kepercayaan dan agama berlainan dengan apa yang dianut dan didakwahkan oleh
ayahnya sendiri, bahkan ia berada di pihak yang memusuhi dan menentangnya.
Maka dalam pengertian inilah dapat difahami firman Allah
dalam Al- Quran yang bermaksud: "Sesungguhnya para mukmin itu adalah
bersaudara."
Demikian pula hadis Rasulullah s.a.w yang bermaksud:"Tidaklah
sempurna iman seseorang kecuali jika ia menyintai saudaranya yang beriman
sebagaimana ia menyintai dirinya sendiri." Juga peribahasa yang berbunyi:"Adakalanya
engkau memperolehi seorang saudara yang tidak dilahirkan oleh ibumu."