Iqra Sudut Pandang Al Quran
Kata iqra’ yang mengandung arti membaca, mengumpulkan, menganalisa sehingga menjadi satu himpunan yang padu, tidak disebutkan objeknya.
Wahyu yang pertama kali diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW adalah iqra. Secara umum, iqra diartikan sebagai perintah untuk membaca.
Iqra berasal dari kata qaraa-yaqrau-qiraah yang artinya membaca, menghimpun, mendalami, meneliti, dan mengetahui ciri-cirinya. Dengan kata lain, perintah iqra tidak hanya membaca tulisan, tetapi juga dengan pendalaman situasi atau fenomena sosial yang terjadi.
Dalam wahyu pertama yang diterima Rasulullah SAW melalui Jibril, Allah SWT memerintahkan untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan. Perintah tersebut termaktub dalam QS. Al Alaq ayat 1-5. Allah SWT berfirman sebagai berikut :
1. ٱقْرَأْ بِٱسْمِ رَبِّكَ ٱلَّذِى خَلَقَ
iqra` bismi rabbikallażī khalaq
Artinya : "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,"
2. خَلَقَ ٱلْإِنسَٰنَ مِنْ عَلَقٍ
khalaqal-insāna min 'alaq
Artinya : "Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah."
3. ٱقْرَأْ وَرَبُّكَ ٱلْأَكْرَمُ
iqra` wa rabbukal-akram
Artinya : "Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,"
4. ٱلَّذِى عَلَّمَ بِٱلْقَلَمِ
allażī 'allama bil-qalam
Artinya : "Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam,"
5. عَلَّمَ ٱلْإِنسَٰنَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
'allamal-insāna mā lam ya'lam
Artinya : "Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."
Menurut pendiri Pusat Studi Al Quran, M. Quraish Shihab, kata iqra pada ayat pertama surat Al Alaq di atas diambil dari akar kata yang artinya menghimpun. Arti tersebut kemudian melahirkan beragam makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis atau tidak tertulis.
Dalam buku Tafsir Pendidikan karya
Ahmad Izzan dan Saehudin dijelaskan, wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tersebut tidak menjelaskan apa yang harus dibaca. Dalam hal ini, Al Quran menghendaki umatnya untuk membaca apa saja selama bacaan tersebut bermanfaat untuk kemanusiaan (bismi Rabbik).
"Iqra berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak.
Menurut Ibnu Katsir, ayat-ayat di atas merupakan permulaan rahmat dan nikmat yang diturunkan oleh Allah SWT atas kasih sayang kepada hamba-Nya. Surat ini menggandung peringatan yang menggugah manusia untuk memahami asal-mula penciptaan manusia, yaitu dari 'alaqah.
Adapun, di antara kemurahan Allah SWT adalah Dia telah mengajarkan manusia tentang apa yang tidak diketahuinya. Ibnu Katsir menafsirkan, Allah SWT telah memuliakan dan menghormati manusia dengan ilmu.
Allah subhanahu wata'ala berfirman pada Al-Qur'an surat Al-'Alaq ayat 1,
وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـُٔوْنِيْ بِاَسْمَاۤءِ هٰٓؤُلَاۤءِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَۚ ١
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan!” (QS. Al-'Alaq [96]: 1).
Objek Ilmu Pengetahuan pada unit wahyu pertama, kata iqra’ yang mengandung arti membaca, mengumpulkan, menganalisa sehingga menjadi satu himpunan yang padu, tidak disebutkan objeknya. Sesuai dengan kaidah ilmu tafsir, redaksi seperti ini menunjukkan bahwa objeknya bersifat umum.
Dari sini, Al-Qur'an tidak mengenal dikotomi ilmu pengetahuan; ilmu agama dan umum, ilmu dunia dan akhirat. Dalam pandangannya ilmu mencakup segala macam pengetahuan yang berguna bagi manusia dalam menunjang kelangsungan hidupnya, baik masa kini maupun masa depan; fisika atau metafisika. Kesan ini diperkuat dengan dikaitkannya perintah iqra’ dengan sifat rubûbiyah Tuhan yang maha mencipta, bismi rabbika alladzî khalaq.
Kata “Rabb” yang sering diartikan Tuhan mengandung makna pemeliharaan dengan segala kelazimannya. Kaidah ilmu tafsir lain mengatakan, penyebutan suatu perintah yang disertai dengan suatu sifat menunjukkan keterkaitan perintah tersebut dengan sifat yang menyertainya.
Dengan kata lain ayat pertama ini berpesan, “Bacalah dengan nama Tuhan pemelihara yang telah mencipta, segala apa saja yang dapat memelihara kelangsungan hidupmu.” Dan jika kita merujuk kepada asal makna kata ism yang berarti tanda yang dapat mengenalkan identitas pemiliknya, maka dapat ditangkap kesan lain bahwa objek perintah iqra' pada ayat ini secara khusus tertuju pada tanda-tanda kekuasaan Tuhan yang terbentang di alam luas ini.
Demikian tergambar jelas bahwa di antara objek ilmu di dalam Islam bersifat empiris atau fisik, yaitu alam yang merupakan tanda kekuasaan Tuhan. Tetapi berbeda dengan epistemologi Barat yang membatasi objek ilmu pada bidang empiris atau fisik, menurut epistemologi Islam kita dapat mengetahui bukan hanya yang fisik melainkan juga yang metafisik.
Dalam Al-Qur'an, Allah subhanahu wata'ala di dalam Al-Qur'an surat Al-Haqqah ayat 38 sampai 39, bersumpah dengan menyebut kedua objek tersebut:
فَلَآ اُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُوْنَۙ ٣٨ وَمَا لَا تُبْصِرُوْنَۙ ٣٩
Artinya: “Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat (fisik), dan dengan apa yang tidak kamu lihat (metafisik)” (QS. al-Haqqah [69]: 38 - 39).
Dari ayat di atas diketahui objek ilmu meliputi materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.
وَّالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيْرَ لِتَرْكَبُوْهَا وَزِيْنَةًۗ وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ ٨
Artinya : “Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya” (QS. Al-Nahl [16]: 8).
Pengakuan terhadap wujud metafisik dalam epistemologi islam melahirkan dua jenis ilmu pengetahuan, pertama : ilmu kasbiy (diperoleh melalui usaha), yaitu ilmu yang diperoleh melalui penginderaan; dan kedua : ilmu ladunni, yaitu ilmu yang diperoleh tanpa usaha manusia.
Pada unit wahyu pertama Allah menjelaskan, bahwa di samping ilmu yang diperoleh melalui pengajaran yang dilakukan dengan pena ('allama bil qalam), juga ada yang tanpa qalam, yaitu yang berasal dari sesuatu yang tidak diketahui manusia ('allamal insâna mâ lam ya'lam).
Kebenaran ilmu ladunniy melebihi kebenaran hasil pengindraan dan penalaran. Ini diuraikan oleh Al-Quran melalui kisah Nabi Musa bersama seseorang yang dianugerahi Allah subhânahu wata'ala ilmu ladunniy. Nabi Musa as. yang demikian cerdas dan kritis, yang tentu saja menimbang segala sesuatu dengan sangat cermat, telah dinilai keliru.
Siapa yang menggunakan nalarnya pasti akan berkata bahwa membocorkan perahu milik orang miskin dan sarana pencariannya adalah sesuatu yang buruk; membunuh anak kecil adalah tindakan kriminal; membangun bangunan yang hampir roboh dengan mminta upah adalah sanagt wajar dan rasional.
Tetapi, seperti kata Quraish Shihab, satu persatu dipersalahkan oleh dia yang mendapat ilmu ladunniy itu guna membuktikan bahwa di balik fenomena yang dilihat dan menjadi bahan pertimbangan Nabi Musa as masih ada sekian banyak hal yang tersembunyi, yang tidak diketahuinya dan yang menuntutnya untuk percaya dan mengikuti (baca QS. Al-Kahf [18]: 60-82).
Koleksi artikel Kanti Suci Project