Riba Dalam Islam
Allah ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا
أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
. وَاتَّقُواْ النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan
riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan
untuk orang-orang yang kafir.” (Qs. Ali Imron [3]: 130)
Tentang sebab turunnya ayat di atas, Mujahid mengatakan,
“Orang-orang Arab sering mengadakan transaksi jual beli tidak tunai. Jika jatuh
tempo sudah tiba dan pihak yang berhutang belum mampu melunasi maka nanti ada
penundaan waktu pembayaran dengan kompensasi jumlah uang yang harus dibayarkan
juga menjadi bertambah maka alloh menurunkan firman-Nya… (ayat di atas).” (al
Jami’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi mengatakan, “Ketahuilah
wahai orang yang beriman bahwa riba yang dipraktekkan oleh bank konvensional
pada saat ini itu lebih zalim dan lebih besar dosanya dari pada jahiliah yang
Allah haramkan dalam ayat ini dan beberapa ayat lain di surat al Baqarah. Hal
ini disebabkan riba dalam bank itu buatan orang-orang Yahudi sedangkan Yahudi
adalah orang yang tidak punya kasih sayang dan belas kasihan terhadap selain
mereka.
Buktinya jika bank memberi hutang kepada orang lain
sebanyak seribu real maka seketika itu pula bank menetapkan bahwa kewajiban
orang tersebut adalah seribu seratus real. Jika orang tersebut tidak bisa
membayar tepat pada waktunya maka jumlah total yang harus dibayarkan menjadi
bertambah sehingga bisa berlipat-lipat dari jumlah hutang sebenarnya.
Bandingkan dengan riba jahiliah. Pada masa jahiliah
nominal hutang tidak akan bertambah sedikit pun jika pihak yang berhutang bisa
melunasi hutangnya pada saat jatuh tempo. Dalam riba jahiliah hutang akan
berbunga atau beranak jika pihak yang berhutang tidak bisa melunasi hutangnya
tepat pada saat jatuh tempo lalu mendapatkan penangguhan waktu pembayaran.
Boleh jadi ada orang yang berpandangan bahwa riba yang
tidak berlipat ganda itu diperbolehkan karena salah paham dengan ayat yang
menyatakan ‘janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda’. Jangan pernah
terpikir demikian karena hal itu sama sekali tidak benar. Ayat di atas cuma
menceritakan praktek para rentenir pada masa jahiliah lalu Allah cela mereka
karena ulah tersebut.
Sedangkan setelah Allah mengharamkan riba maka semua
bentuk riba Allah haramkan tanpa terkecuali, tidak ada beda antara riba dalam
jumlah banyak ataupun dalam jumlah yang sedikit. Perhatikan sabda Rasulullah
yang menegaskan hal ini,
دِرْهَمٌ
رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ
مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً
“Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam
keadaan mengetahui bahwa itu adalah uang riba dosanya lebih besar dari pada
berzina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dari Abdulloh bin Hanzholah dan dinilai
shahih oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’, no. 3375)” [Nida-atur Rahman li
Ahli Iman hal 41]
Dalam hadits di atas dengan tegas Nabi mengatakan bahwa
uang riba itu haram meski sangat sedikit yang Nabi ilustrasikan dengan satu
dirham. Bahkan meski sedikit, Nabi katakan lebih besar dosanya jika
dibandingkan dengan berzina bahkan meski berulang kali. Jadi hadits tersebut
menunjukkan bahwa uang riba atau bunga itu tidak ada bedanya baik sedikit
apalagi banyak.
Ayat ini berada di antara ayat-ayat yang membicarakan
perang Uhud. Sebabnya menurut penjelasan Imam Qurthubi adalah karena dosa riba
adalah satu-satunya dosa yang mendapatkan maklumat perang dari Allah
sebagaimana dalam QS. al Baqarah [2]: 289. Sedangkan perang itu identik dengan
pembunuhan. Sehingga seakan-akan Allah hendak mengatakan bahwa jika kalian
tidak meninggalkan riba maka kalian akan kalah perang dan kalian akan terbunuh.
Oleh karena itu Allah perintahkan kaum muslimin untuk meninggalkan riba yang
masih dilakukan banyak orang saat itu (lihat Jam’ li Ahkamil Qur’an, 4/199)
Kemudian Allah ta’ala berfirman, ‘Bertakwalah kamu kepada
Allah’ yaitu terkait dengan harta riba dengan cara tidak memakannya.
Al Falah/keberuntungan dalam bahasa Arab adalah bermakna
mendapatkan yang diinginkan dan terhindar dari yang dikhawatirkan. Oleh karena
itu keberuntungan dalam pandangan seorang muslim adalah masuk surga dan
terhindar dari neraka. Surga adalah keinginan setiap muslim dan neraka adalah
hal yang sangat dia takuti.
Ayat ini menunjukkan bahwa keberuntungan itu akan
didapatkan oleh orang yang bertakwa dan salah satu bukti takwa adalah
menghindari riba.
Hal ini menunjukkan bahwa jika kadar takwa seseorang itu
berkurang maka kadar keberuntungan yang akan di dapatkan juga akan turut
berkurang.
Di antara bukti bahwa meninggalkan riba itu menyebabkan
mendapatkan keberuntungan adalah kisah seorang sahabat yang bernama ‘Amr bin
Uqois sebagaimana dalam hadits berikut ini.
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنْ عَمْرَو بْنَ
أُقَيْشٍ كَانَ لَهُ رِبًا
فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكَرِهَ أَنْ يُسْلِمَ حَتَّى
يَأْخُذَهُ فَجَاءَ يَوْمُ أُحُدٍ
فَقَالَ أَيْنَ بَنُو عَمِّي
قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ أَيْنَ فُلَانٌ
قَالُوا بِأُحُدٍ قَالَ فَأَيْنَ فُلَانٌ
قَالُوا بِأُحُدٍ فَلَبِسَ لَأْمَتَهُ وَرَكِبَ فَرَسَهُ ثُمَّ تَوَجَّهَ قِبَلَهُمْ
فَلَمَّا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ قَالُوا
إِلَيْكَ عَنَّا يَا عَمْرُو
قَالَ إِنِّي قَدْ آمَنْتُ
فَقَاتَلَ حَتَّى جُرِحَ فَحُمِلَ
إِلَى أَهْلِهِ جَرِيحًا فَجَاءَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ
فَقَالَ لِأُخْتِهِ سَلِيهِ حَمِيَّةً لِقَوْمِكَ
أَوْ غَضَبًا لَهُمْ أَمْ
غَضَبًا لِلَّهِ فَقَالَ بَلْ
غَضَبًا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ فَمَاتَ
فَدَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَا صَلَّى لِلَّهِ
صَلَاةً
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya ‘Amr bin ‘Uqoisy sering
melakukan transaksi riba di masa jahiliah. Dia tidak ingin masuk Islam sehingga
mengambil semua harta ribanya. Ketika perang Uhud dia bertanya-tanya, “Di
manakah anak-anak pamanku?” “Di Uhud”, jawab banyak orang. “Di manakah fulan?”,
tanyanya lagi. “Dia juga berada di Uhud”, banyak orang menjawab.” Di mana juga
fulan berada?”, tanyanya untuk ketiga kalinya. “Dia juga di Uhud”, jawab banyak
orang-orang. Akhirnya dia memakai baju besinya dan menunggang kudanya menuju
arah pasukan kaum muslimin yang bergerak ke arah Uhud. Setelah dilihat kaum
muslimin, mereka berkata, “Menjauhlah kamu wahai Amr!” Abu Amr mengatakan,
“Sungguh aku sudah beriman.” Akhirnya beliau berperang hingga terluka lalu
digotong ke tempat keluarganya dalam kondisi terluka. Saat itu datanglah Sa’ad
bin Muadz, menemui saudara perempuannya lalu memintanya agar menanyai Abu Amr
tentang motivasinya mengikuti perang Uhud apakah karena fanatisme kesukuan
ataukah karena membela Allah dan rasul-Nya. Abu Amr mengatakan, “Bahkan karena
membela Allah dan Rasul-Nya.” Beliau lantas meninggal dan masuk surga padahal
beliau belum pernah melaksanakan shalat satu kali pun. (HR. Abu Daud, Hakim dan
Baihaqi serta dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud no.
2212).
Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di
dunia Islam. Oleh karenanya, terkesan seolah-olah doktrin riba adalah khas
Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh
seorang Muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak
diberlakukan di negeri Islam modern manapun. Sementara itu, kebanyakan orang
tidak mengetahui bahwa di dunia Kristenpun, selama satu milenium, riba adalab
barang terlarang dalam pandangan theolog, cendekiawan maupun menurut
undang-undang yang ada.
Di sisi lain, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa
praktek riba yang merambah ke berbagai negara ini sulit diberantas, sehingga
berbagai penguasa terpaksa dilakukan pengaturan dan pembatasan terhadap bisnis
pembungaan uang. Perdebatan panjang di kalangan ahli fikih tentang riba belum
menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat.
Akhirnya timbul berbagai pendapat yang bermacam-macam tentang bunga dan riba.
Pengertian Riba
Kata Ar-Riba adalah isim maqshur, berasal dari rabaa
yarbuu, yaitu akhir kata ini ditulis dengan alif. Asal arti kata riba adalah
ziyadah ‘tambahan’; adakalanya tambahan itu berasal dari dirinya sendiri,
seperti firman Allah swt:
(ihtazzat wa rabat) “maka hiduplah bumi itu dan
suburlah.” (QS Al-Hajj: 5).
Dan, adakalanya lagi tambahan itu berasal dari luar
berupa imbalan, seperti satu dirham ditukar dengan dua dirham.
Hukum Riba
Riba, hukumnya berdasar Kitabullah, sunnah Rasul-Nya dan
ijma’ umat Islam:
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
permaklumkanlah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kami tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 278-279).
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila.” (QS Al-Baqarah: 275).
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan shadaqah.” (QS
Al-Baqarah: 276).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “Jauhilah
tujuh hal yang membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa itu, ya Rasulullah?”
Jawab Beliau, “(Pertama) melakukan kemusyrikan kepada Allah, (kedua) sihir,
(ketiga) membunuh jiwa yang telah haramkan kecuali dengan cara yang haq,
(keempat) makan riba, (kelima) makan harta anak yatim, (keenam) melarikan diri
pada hari pertemuan dua pasukan, dan (ketujuh) menuduh berzina perempuan
baik-baik yang tidak tahu menahu tentang urusan ini dan beriman kepada Allah.”
(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ‘Aunul
Ma’bud VIII: 77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
Dari Jabir ra, ia berkata. “Rasulullah saw melaknat
pemakan riba, pemberi makan riba, dua saksinya dan penulisnya.” Dan Beliau
bersabda, “Mereka semua sama.” (Shahih: Mukhtasar Muslim no: 955, Shahihul
Jami’us Shaghir no: 5090 dan Muslim III: 1219 no: 1598).
Dari Ibnu Mas’ud ra bahwa Nabi saw bersabda, “Riba itu
mempunyai tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan (dosanya) seperti seorang
anak menyetubuhi ibunya.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3539 dan
Mustadrak Hakim II: 37).
Dari Abdullah bin Hanzhalah ra dari Nabi saw bersabda,
“Satu Dirham yang riba dimakan seseorang padahal ia tahu, adalah lebih berat
daripada tiga puluh enam pelacur.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3375
dan al-Fathur Rabbani XV: 69 no: 230).
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Tak
seorang pun memperbanyak (harta kekayaannya) dari hasil riba, melainkan pasti
akibat akhirnya ia jatuh miskin.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5518
dan Ibnu Majah II: 765 no: 2279).
Klasifikasi Riba
Riba ada dua macam yaitu riba nasiah dan riba fadhl.
Adapun yang dimaksud riba nasiah ialah tambahan yang
sudah ditentukan di awal transaksi, yang diambil oleh si pemberi pinjaman dari
orang yang menerima pinjaman sebagai imbalan dari pelunasan bertempo. Riba
model ini diharamkan oleh Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ umat Islam.
Sedangkan yang dimaksud riba fadhl adalah tukar menukar
barang yang sejenis dengan ada tambahan, misalnya tukar menukar uang dengan
uang, menu makanan dengan makanan yang disertai dengan adanya tambahan.
Riba model kedua ini diharamkan juga oleh sunnah Nabi saw
dan ijma’ kaum Muslimin, karena ia merupakan pintu menuju riba nasiah.
Beberapa Barang yang padanya Diharamkan Melakukan Riba
Riba tidak berlaku, kecuali pada enam jenis barang yang sudah
ditegaskan nash-nash syar’i berikut:
Dari Ubaidah bin Shamir ra bahwa Rasulullah saw bersabda,
“(Boleh menjual emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam,
sebanding, sama dan tunai, tetapi jika berbeda jenis, maka juallah sesukamu,
apabila tunai dengan tunai.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 949, dan Muslim
III: 1211 no: 81 dan 1587).
Dengan demikian, apabila terjadi barter barang yang
sejenis dari empat jenis barang ini, yaitu emas ditukar dengan emas, tamar
dengan tamar, maka haram tambahannya baik secara riba fadhl maupun secara riba
nasiah, harus sama baik dalam hal timbangan maupun takarannya, tanpa
memperhatikan kualitasnya bermutu atau jelek, dan harus diserahterimakan dalam
majlis.
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Janganlah kamu menjual emas kecuali sama, janganlah kamu tambah
sebagiannya atas sebagian yang lain, janganlah kamu menjual perak dengan perak
kecuali sama, janganlah kamu tambah sebagiannya atas sebagian yang lain, dan
janganlah kamu menjual emas dan perak yang barang-barangnya belum ada dengan
kontan.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 379 no: 2177, Muslim III: 1208 no:
1584, Nasa’i VII: 278 dan Tirmidzi II: 355 no: 1259 sema’na).
Dari Umar bin Khattab ra bahwa Rasulullah saw bersabda.
“Emas dengan emas adalah riba kecuali begini dengan begini (satu pihak
mengambil barang, sedang yang lain menyerahkan) bur dengan bur (juga) riba
kecuali begini dengan begini, sya’ir dengan sya’ir riba kecuali begini dengan
begini, dan tamar dengan tamar adalah riba kecuali begini dengan begini.”
(Muttafaqun’alaih: Fathul Bahri IV: 347 no: 2134, dan lafadz ini bagi Imam
Bukhari, Muslim III: 1209 no: 1586, Tirmidzi II: 357 no: 1261, Nasa’i VII: 273
dan bagi mereka lafadz pertama memakai adz-dzahabu bil wariq (emas dengan
perak) dan Aunul Ma’bud IX: 197 no: 3332 dengan dua model lafadz).
Dari Abu Sa’id ra, ia bertutur: Kami pada masa Rasulullah
saw pernah mendapat rizki berupa tamar jama’, yaitu satu jenis tamar, kemudian
kami menukar dua sha’ tamar dengan satu sha’ tamar. Lalu kasus ini sampai
kepada Rasulullah saw maka Beliau bersabda, “Tidak sah (pertukaran) dua sha’
tamar dengan satu sha’ tamar, tidak sah (pula) dua sha’ biji gandum dengan satu
sha’ biji gandum, dan tidak sah (juga) satu Dirham dengan dua Dirham.”
(Muttafaqun ’alaih: Muslim III: 1216 no: 1595 dan lafadz ini baginya, Fathul
Bari IV: 311 no: 2080 secara ringkas dan Nasa’i VII: 272).
Manakala terjadi barter di antara enam jenis barang ini
dengan lain jenis, seperti emas ditukar dengan perak, bur dengan sya’ir, maka
boleh ada kelebihan dengan syarat harus diserahterimakan di majlis:
Berdasar hadits Ubadah tadi:
“…tetapi jika berlainan jenis maka juallah sesukamu,
apabila tunai dengan tunai.”
Dalam riwayat Imam Abu Daud dan lainnya dari Ubadah ra
Nabi saw bersabda: “Tidak mengapa menjual emas dengan perak dan peraknya lebih
besar jumlahnya daripada emasnya secara kontan, dan adapun secara kredit, maka
tidak boleh; dan tidak mengapa menjual bur dengan sya’ir dan sya’irnya lebih
banyak daripada burnya secara kontan dan adapun secara kredit, maka tidak
boleh.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 195 dan ‘Aunul Ma’bud IX: 198 no: 3333).
Apabila salah satu jenis di antara enam jenis ini ditukar
dengan barang yang berlain jenis dan ‘illah ‘sebab’, seperti emas ditukar
dengan bur, atau perak dengan garam, maka boleh ada kelebihan atau secara
bertempo, kredit:
Dari Aisyah ra bahwa Nabi saw pernah membeli makanan dari
seorang Yahudi secara bertempo, sedangkan Nabi saw menggadaikan sebuah baju
besinya kepada Yahudi itu. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1393 dan Fathul Bari IV:
399 no: 2200).
Dalam kitab Subulus Salam III: 38, al-Amir ash-Sha’ani
menyatakan. “Ketahuilah bahwa para ulama’ telah sepakat atas bolehnya barang
ribawi (barang yang bisa ditakar atau ditimbang, edt) ditukar dengan barang
ribawi yang berlainan jenis, baik secara bertempo meskipun ada kelebihan jumlah
atau berbeda beratnya, misalnya emas ditukar dengan hinthah (gandum), perak
dengan gandum, dan lain sebagainya yang termasuk barang yang bisa ditakar.”
Namun, tidak boleh menjual ruthab (kurma basah) dengan
kurma kering, kecuali para pemilik ‘ariyah, karena mereka adalah orang-orang
yang faqir yang tidak mempunyai pohon kurma, yaitu mereka boleh membeli kurma
basah dari petani kurma, kemudian mereka makan dalam keadaan masih berada di
pohonnya, yang mereka taksir, mereka menukarnya dengan kurma kering.
Dari Abdullah bin Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang
muzabanah. Muzabanah ialah menjual buah-buahan dengan tamar secara takaran, dan
menjual anggur dengan kismis secara takaran. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari
IV: 384 no: 2185, Muslim III: 1171 no: 1542 dan Nasa’i VII: 266)
Dari Zaid bin Tsabit ra bahwa Rasulullah saw memberi
kelonggaran kepada pemilik ‘ariyyah agar menjualnya dengan tamar secara
taksiran. (Muttafaqun‘alaih: Muslim III: 1169 no: 60 dan 1539 dan lafadz ini
baginya dan sema’na dalam Fathul Bari IV: 390 no: 2192, ‘Aunul Ma’bud IX: 216
no: 3346, Nasa’i VII: 267, Tirmidzi II: 383 no: 1218 dan Ibnu Majah II: 762 no:
2269).
Sesungguhnya Nabi saw melarang menjual kurma basah dengan
tamar hanyalah karena kurma basah kalau kering pasti menyusut.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra bahwa Nabi saw pernah
ditanya perihal menjual kurma basah dengan tamar. Maka Beliau (balik) bertanya,
“Apakah kurma basah itu menyusut apabila telah kering?” Jawab para sahabat,
“Ya, menyusut.” Maka Beliaupun melarangnya. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1352,
‘Aunul Ma’bud IX: 211 no: 3343, Ibnu Majah II: 761 no: 2264, Nasa’i VII: 269
dan Tirmidzi II: 348 no: 1243).
Dan, tidak sah jual beli barang ribawi dengan yang
sejenisnya sementara keduanya atau salah satunya mengandung unsur lain.
Riwayat Fadhalah bin Ubaid yang menjadi landasan
kesimpulan ini dimuat juga dalam Mukhtashar Nailul Authar hadits no: 2904. Imam
Asy-Syaukani, memberi komentar sebagai berikut, “Hadits ini menunjukkan bahwa
tidak boleh menjual emas yang mengandung unsur lainnya dengan emas murni hingga
unsur lain itu dipisahkan agar diketahui ukuran emasnya, demikian juga perak
dan semua jenis barang ribawi lainnya, karena ada kesamaan illat, yaitu haram
menjual satu jenis barang dengan sejenisnya secara berlebih.”
Dari Fadhalah bin Ubaid ia berkata: “Pada waktu perang
Khaibar aku pernah membeli sebuah kalung seharga dua belas Dinar sedang dalam
perhiasan itu ada emas dan permata, kemudian aku pisahkan, lalu kudapatkan
padanya lebih dari dua belas Dinar, kemudian hal itu kusampaikan kepada Nabi
saw, Maka Beliau bersabda, ‘Kalung itu tidak boleh dijual hingga dipisahkan.’”
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1356, Muslim III: 1213 no: 90 dan 1591, Tirmidzi
II: 363 no: 1273, ‘Aunul Ma’bud IX: 202 no: 3336 dan Nasa’i VII: 279).
Islam bersikap sangat keras dalam persoalan riba
semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi akhlak,
masyarakat maupun perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk mengetahui hikmahnya
seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsir Qurannya sebagai
berikut :
1. Riba adalah suatu perbuatan mengambil harta kawannya
tanpa ganti. Sebab orang yang meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham,
misalnya, maka dia dapat tambahan satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta
orang lain itu merupakan standard hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat
besar, seperti apa yang disebut dalam hadis Nabi Muhammad SAW:
2. "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan
kehormatan darahnya."Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti,
sudah pasti haramnya.
3. Bergantung kepada riba dapat menghalangi manusia dari
kesibukan bekerja. Sebab kalau si pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba
dia akan beroleh tambahan uang, baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan
memudahkan persoalan mencari penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau
menanggung beratnya usaha, dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang
hal semacam itu akan berakibat terputusnya bahan keperluan masyarakat. Satu hal
yang tidak dapat disangkal lagi bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan
oleh jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan.(Tidak
diragukan lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi
perekonomian).
4. Riba akan menyebabkan terputusnya sikap yang baik
(ma'ruf) antara sesama manusia dalam bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba
itu diharamkan, maka seseorang akan merasa senang meminjamkan uang satu dirham
dan kembalinya satu dirham juga. Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah
pasti kebutuhan orang akan menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham
dengan diharuskannya mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah
perasaan belas-kasih dan kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima,
dipandang dari segi etika).
5. Pada umumnya pemberi piutang adalah orang yang kaya,
sedang peminjam adalah orang yang tidak mampu. Maka pendapat yang membolehkan
riba, berarti memberikan jalan kepada orang kaya untuk mengambil harta orang
miskin yang lemah sebagai tambahan. Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai
orang yang memperoleh rahmat Allah. (Ini ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa dalam riba terdapat
unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat
(exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah
kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada
membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan
akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat
berkobarnya api pertentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada
pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi.
Konsep riba dalam Islam merujuk kepada keuntungan ekstra
yang diperoleh oleh salah satu pihak tanpa ada usaha atau pun tambahan
pelayanan sebagai kompensasi dari keuntungan yang dia dapat. Istilah riba dalam
Islam adalah sebuah harga ekstra yang harus dibayar oleh pihak yang meminjam
ketika mengembalikan kepada pihak yang memberi pinjaman.
Berdasarkan petunjuk dan ajaran yang ada dalam kitab suci
al-Quran dan sunnah, riba dalam Islam sangatlah dilarang. Sementara tidak ada
keraguan bahwa bahwa kebanyakan pertumbuhan ekonomi di dunia ini dipengaruhi
oleh riba. Tapi sebagai seorang Muslim kita harus mengutuk kejahatan ini dalam
segala bentuknya. Nabi Muhammad Saw telah memperingatkan kita tentang pengakuan
global terhadap riba ini sejak ratusan tahun yang lalu. Karena itu, kita harus
menyelediki terlebih dahulu sebelum memilih model pembayaran untuk semua
transaksi perorangan maupun bisnis; apakah ini riba atau tidak.
Konsep Riba dalam Islam
“Abu Hurairah (Radiyallahu ‘anhu) meriwayatkan bahwa Nabi
Muhammad Saw bersabda: akan datang suatu masa di mana tidak ada orang yang
tidak memakan riba. Dan jika dia tidak memakannya, uap (riba) pun akan
mengejarnya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majah)
Riba dalam Islam
Riba dalam Islam dianggap sebagai sesuatu yang melanggar
hukum, bertentangan dengan prinsip perdagangan. Allah Swt berfirman:
“Mereka yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang memasukkan setan lantaran penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual
beli itu sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu berhenti (mengambil riba), maka bagi mereka apa yang telah
diambilnya dahulu (mereka akan dimaafkan atas apa yang pernah mereka lakukan di
masa lalu). Da urusannya terserah pada Allah. Orang yang mengulangi riba, maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS.
Al-Baqarah: 275)
Melakukan riba dalam Islam dianggap sebagai bentuk
perlawanan terhadap Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam ayat:
“Wahai orang-orang beriman bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang beriman. Maka
jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) aka ketahuilah, bahwa Alla
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya
(dirugikan). (QS. Al-Baqarah: 278-279)
Nabi Muhammad Saw juga telah memperingatkan kita untuk
menjauh dari riba maupun bunga. Riba dalam Islam hukumnya haram dan melanggar
hukum, dan semua yang terlibat dalam riba dengan cara apa pun adalah berdosa.
“Jabir bin Abdullah RA menceritakan bahwa Nabi mengutuk
penerima bunga dan pembayarnya, orang yang mencatat, dan dua saksinya. Nabi
mengatakan: mereka semua sama (dalam dosa).” (HR. Muslim dan Tirmidzi)
“Aun bin Abu Juhaifah RA meriwayatkan, “Ayahku membeli
seorang budak yang mempunyai kemampuan membekam, (kemudian ayahku merusakkan
alat bekam budak tersebut). Lalu aku bertanya kenapa dia melakukannya. Dia
menjawab “Nabi melarang kita menerima harga anjing atau darah, dan juga
melarang profesi pembuat tato, ditato, serta menerima dan memberi riba, serta
mengutuk pembuat gambar.” (Sahih Bukhari).
Kanti Suci Project