Tarekat Malamatiyah
Tarekat Malamatiyah adalah sebuah tarekat dalam dunia sufisme yang menekankan pada pentingnya menyembunyikan kebaikan dan menampakkan keburukan. Tujuannya adalah untuk menghindari pujian dan sanjungan manusia, serta untuk membersihkan diri dari sifat ujub (kesombongan). Ajaran ini berfokus pada upaya membersihkan hati dari keterikatan duniawi dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Hal-hal utama tentang Tarekat Malamatiyah :
1. Asal Usul.
Tarekat ini mulai berkembang pada abad ke-3 H di Khurasan, Persia (sekarang Iran).
2. Tokoh Penting.
Syekh Hamdun bin Ahmad al-Qusyari (atau al-Qashar) adalah tokoh sentral dalam penyebaran Tarekat Malamatiyah.
3. Inti Ajaran.
- Menyembunyikan kebaikan dan menampakkan keburukan agar terhindar dari pujian dan sanjungan manusia.
- Menjaga rahasia diri dan ibadah dari pandangan orang lain.
- Menyadari bahwa kesempurnaan hanya milik Allah SWT dan berusaha untuk membersihkan diri dari sifat-sifat tercela.
4. Tujuan.
- Membersihkan hati dari keterikatan duniawi.
- Mencapai ridha Allah SWT dengan menyembunyikan kebaikan dan menampakkan keburukan.
- Merasa tenang dengan ditolak oleh manusia dan diterima oleh Allah SWT.
5. Praktek.
- Menunjukkan perbuatan yang dianggap buruk oleh masyarakat untuk menghindari pujian.
- Menyembunyikan kebaikan dan amal saleh yang dilakukan.
- Berusaha keras untuk membersihkan hati dari sifat ujub dan riya' (pamer).
6. Perbedaan dengan Tarekat Lain.
- Tarekat Malamatiyah berbeda dengan tarekat lain yang cenderung menampakkan kebaikan dan mencari pujian.
7. Contoh Penerapan.
- Seseorang yang menjalankan tarekat ini mungkin akan melakukan perbuatan yang dianggap buruk oleh masyarakat, meskipun sebenarnya perbuatan itu tidak melanggar syariat. Tujuannya adalah agar ia tidak dipuji atau diagungkan oleh orang lain.
- Seorang sufi Malamatiyah mungkin akan menyembunyikan ibadahnya agar tidak menjadi perhatian orang lain, karena ia khawatir pujian akan merusak keikhlasannya.
8. Penting untuk dicatat.
Pemahaman tentang Tarekat Malamatiyah harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak boleh disalahpahami. Ajaran ini menekankan pada keikhlasan dan penyucian hati, bukan pada perbuatan maksiat yang nyata.
Penjelasan Tarekat Malamatiyah
Malamatiyah adalah nama tarekat yang mulai berkembang pada pertengahan abad ke 3 H. di NaisAbûr kota Khurosan. Tarekat ini juga dikenal denga nama al-Qushâriyah (القصارية) atau al-Hamduniyah (الحمدونية) kedua nama ini dinisbatkan kepada Hamdun bin Ahmad bin Amarah al-Qashar (w. 271 H). Beliau yang menyebarkan tarekat Malamatiyah ini.
Nama lengkapnya adalah Abû Shâlih Hamdûn bin Ahmad bin Ammarah Al-Qushshâr Al-NaisAbûri, tidak diketahui tahun kelahirannya, beliau wafat tahun 271 H. di kebumikan di pemakaman al-Khairah dalam kitab Thabaqât al-Shûfiyah, hlm 109, dikebumikan pemakaman Khaidah dalam kitab al-Thabâqat al-Kubra, hlm. 121, Beliau terkenal sebagai ulama fikih Madzhab Sufyan bin Sa’id al-Tsauri (77-161 H), dan Sufi.
Syaikh SyihAbûddin Abi Hafs Umar al-Suhrawardi (539-632 H.) membahas tarekat Malâmatiyah dalam kitab Awârif al-Ma’ârif, halaman: 82, dan juga diambil dari kitab al-Kawâkib al-Durriyah fi Tarjami al-Sâdat al-Shûfiyah, juz 1, halaman: 165 nomor: 243, Arti Malâmatiyah adalah orang-orang yang mengharapkan hinaan dan cacian terhadap diri sendiri.
Syaikh Hamdun al-Qashar melihat kenyataan manusia, bahwa nafsu itu menggunakan banyak metode untuk meluapkan kesenangan (syahwat). Sementara ikhlâs yang benar itu sangat langka dan sulit untuk sampai pada maqâm ikhlas.
Ada pendapat lain bahwa tarekat Malâmatiyah disandarkan kepada Abû Hafs al-Haddad al-Malamati (w. 204 H.), beliau yang meletakkan dasar-dasar tarekat Malâmatiyah ini sebagai berikut :
- Kaum yang mengisi waktu dengan beribadah kepada Allah SWT yang Haq;
- Selalu menjaga sirrinya;
- Mereka mencela diri sendiri ketika macam-macam ibadah yang dilakukan diketahui orang lain;
- Mereka menampakkan perbuatan-perbuatan yang jelek dan menyimpan rapat-rapat kebaikannya sehingga orang lain mencelanya karena yang mereka lihat adalah perbuatan lahir semata;
- Pengikut Tarekat ini akan mencela diri sendiri jika orang lain mengetahui sisi batinnya, (al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, halaman: 259. Mengutib dari kitab al-Malâmatiyah wa al-shufiyah, halaman: 89).
Syaikh Abû Hafs al-Haddad al-Malamati mengambil pelajaran dari Syaikh Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H.) dari Ibrâhîm ibn Adhan bin Mansur bin Zaid bin Jabir bin Tsa’labah bin Ajali (w. 160 H.) dari Hasan Basri dari Saiyidina ‘Ali dari Nabi Muhammad.
Nama tarekat ini tidak disandarkan kepada pendiri atau pengembang tarekat ini tetapi diambil dari ciri khusus penganut Malâmatiyah yaitu suka mencela diri sendiri (لوم الملامتى نفسه). Kata Malâmatiyah berasal dari kata Laum (لوم), لام-يلوْم-لوماً-و مَلاماً-و مَلامةً yang berarti mencela, mengecam dengan keras (Warson Munawir, al-Munawir: 1392). Maksudnya adalah pengikut tarekat Malâmatiyah meyakini bahwa diri tidak memiliki bagian apapun di dunia ini secara mutlaq, mereka merasa tenang dan bahagia ketika dicela karena mereka berkeyakinan bahwa dirinya sangat jelek, hal ini dilakukan untuk melawan tabiat nafsu (مخالفة النفس) yaitu suka pamer (Riya’), cinta dunia, jabatan, (al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, halaman: 259).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَن دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَن يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٥٤﴾
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui, (Qs. al-Maidah: 54)
Maksud (لوم الناس) adalah pengikut Malâmatiyah memandang bahwa hubungannya dengan Allah SWT adalah Rahasia (sirri) sehingga tidak patut untuk diketahui orang lain. Mereka sangat suka untuk menyembunyikan rahasia tersebut.
Jika rahasia ini terungkap maka akan membuat kekasihnya cemburu, karena orang yang terpaut dengan kekasihnya tidak menyukai orang lain datang kepada kekasihnya. Bahkan dalam kecintaan yang tinggi, seseorang akan membenci pada orang lain yang memperlihatkan perhatian pada kekasihnya.
Rasulullah SAW Adalah panutan, Imâm bagi ahli haqiqat, panutan bagi para pecinta (muhibbin). Diceritakan dalam kitab Shirah bahwa nabi Muhammad SAW. dalam awal penyampaian risalah kenabian banyak menghadapi hinaan, cacian, makian, perkataan kotor, perbuatan-perbuatan yang menyakitkan, bahkan nabi pernah dilempari batu hingga berdarah tetapi nabi menghadapi dengan sabar dan do’a yang baik.
اللهم اهْدِ قَوْمِيْ فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ
Pengikut tharîqat ini merasa kuatir membuat kecemburuan di hati manusia ketika keadaan dan rahasia-rahasia itu terungkap pada manusia dengan pujian dan sanjungan yang patut diungkapkan. Maka pengikut Malâmatiyah malah sengaja melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menarik hinaan dan kebencian manusia.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa ketika Allah SWT cinta kepada seorang hamba-Nya akan memberi potensi kepada makhluk untuk berbuat yang menyakitkan agar engkau tidak merasa tentram kepada mereka (Syarh al-Hikam, juz 2, halaman: 57-58), dan Allah SWT menjadikan seluruh alam untuk mencacinya, tetapi Sâlik Malâmatiyah tidak memperdulikan hinaan dan cacian demi menyelamatkan rahasia-rahasianya bersama Allah SWT (kekasihnya).
Salik menyembunyikan segala bentuk kebaikan dari pandangan manusia untuk menyelamatkan rahasia-rahasianya sehingga manusia tidak melihat kebaikan yang melekat pada diri Sâlik dan tidak membuat mereka kagum, Sâlik merasa tenang dan senang terhadap hinaan, untuk menghilangkan sifat ujub, Sâlik menampakkan perbuatan-perbuatan jelek dan menyembunyikan perbuatan baik. Ini adalah pokok ajaran yang kuat dalam jalan menuju kepada Allah SWT, karena tidak ada hijab bahaya yang lebih sulit dibuka dibanding manusia yang menganggap dirinya lebih baik dari orang lain.
Sifat pada `ujub muncul didorong oleh 2 hal, yaitu :
- Mencari kedudukan dan pujian di hadapan manusia. Contoh; seseorang melakukan amal kebaikan untuk mendapatkan simpati manusia, lalu dia memuji diri sendiri dan melihatnya sebagai orang yang penuh kebaikan;
- Suatu perbuatan seseorang untuk memperoleh simpati manusia lain lalu mereka memujinya dan orang tersebut merasa `ujub (merasa lebih baik dari yang lain).
Mengenal Malamatiyyah dalam Tradisi Sufi.
Malamatiyyah tengah ramai dibahas masyarakat Indonesia. Malamatiyyah ini juga langsung tranding dipelbagai platform media sosial. Berikut penjelasan lengkap dari malamatiyyah.
Dalam tradisi sufi, banyak sekali instansi (baca; tarekat). Setiap instansi ini, semua substansinya sama, yakni menggapai ridha ilahi. Uniknya, di antara golongan sufi yang dipandang sebagai tarekat agamis dan saleh dalam berbagai dimensi.
Ternyata ada tarekat yang anti mainstream, sangat berbanding terbalik dengan tarekat pada umumnya, namanya adalah tarekat Malamatiyyah.
Kelompok ini muncul pada abad kedua hijriyah di daerah Naisabur, Khurasan. Kelompok ini disebut dengan kelompok Malamatiyyah atau Mulamatiyyah dan Malamiyyah, yang kesemuanya bermakna celaan (derivasi dari terma Laum).
Alasan mengapa kelompok ini disebut dengan Malamatiyyah adalah karena mereka mencela diri mereka sendiri atau dicela orang lain, namun mereka tidak mencela dunia dan penduduknya. Maksud dari mencela diri sendiri adalah bahwasanya mereka menganggap dirinya bukan apa-apa.
Sehingga wali malamatiyyah meyakini bahwa diri tidak memiliki bagian apapun di dunia ini secara mutlak, mereka merasa tenang dan bahagia ketika dicela karena mereka berkeyakinan bahwa dirinya sangat jelek. Hal ini dilakukan untuk melawan tabiat nafsu yaitu suka pamer (riya’) dan sembrono dalam melakukan sesuatu.
Adapun yang dimaksud dengan dicela orang lain adalah karena mereka menyembunyikan pergaulannya dengan Allah, mereka tidak ingin hubungannya dengan Allah diketahui orang. Bahkan mereka sangat merahasiakan ini, syahdan ketika ia bersama sesama hamba, ia akan menyembunyikan bagaimana hubungannya dengan Allah.
Hatta ketika hubungannya diketahui dengan orang lain (yakni semisal ia mulai dianggap wali), niscaya ia akan sengaja melakukan sesuatu agar orang lain mencela atau menghinanya.
Mudahnya, kelompok ini tidak mau terlihat baik (dalam segi sosial, spiritual dan intelektual), namun juga berusaha untuk tidak punya keburukan (baik dalam relasi dengan Allah maupun hamba-Nya). Hanya saja ketika status mereka diketahui, niscaya akan menganulir framing khalyak dengan melakukan sesuatu yang berpotensi dicela orang lain. (Abu Al-Ala’ Al-Afifi, Al-Malamatiyyah Wa Al-Sufiyyah Wa Ahl Al-Futuwwah, h. 17 )
Sungguh kelompok yang anti mainstream bukan? Jika umumnya orang ingin agar tidak dicela orang lain, beda halnya dengan kelompok Malamatiyyah. Justru ketika mereka merasa berpotensi untuk dipuji, lantas mereka akan melakukan sesuatu agar tidak jadi dipuji oleh orang.
Bahkan Ibnu Hajar Al-Haitami mengisahkan terkait malamatiyyah;
وَهُوَ مَا يَقع للملامتية وهم قوم طابت نُفُوسهم مَعَ الله فَلم يودوا أَن أحدا يطلع على أَعْمَالهم غَيره فَإِذا رأى أحد مِنْهُم أَن أحدا اعْتقد فِيهِ خرب أَي ارْتكب مَا يذم بِهِ ظَاهره من فعل وَقَول كسرقة بعض الْأَوْلِيَاء وَهُوَ إِبْرَاهِيم الْخَواص نفع الله بِهِ وناهيك بِهِ علما وَمَعْرِفَة لما رأى أهل بَلَده يعتقدونه سرق ثيابًا من الْحمام لِابْنِ الْملك وَخرج يتبختر بهَا حَتَّى أدْرك فَضرب وَأخذت مِنْهُ وسمى لص الْحمام فَقَالَ الْآن طابت الْإِقَامَة فِي هَذِه الْبَلَد.
“Wali malamatiyyah adalah kelompok tareqat yang selalu menjaga kebaikan hatinya untuk allah semata, mereka tidak menyukai orang lain melihat amalnya-amalnya.
Bahkan ketika seseorang mengetahui kebaikannya, maka mereka segera merusak amal-amal tersebut yaitu dengan melakukan perbuatan atau perkataan yang kelihatannya tercela seperti yang dilakukan sebagian auliya’ yaitu Ibrahim al-khowaas.
Ketika beliau mulai dikenal baik, maka beliau mencuri. kejadian ini cukup untuk dipetik sebagai ilmu pengetahuan saja, bukan untuk dicontoh.
Ketika itu penduduk kampungnya menganggap Ibrahim Al-khowaas mencuri beberapa potong baju kepunyaan pangeran dari sebuah pemandian air hangat, mereka menjumpai ibrahim dengan bangga keluar dari pemandian.
Kemudian ditangkap ramai-ramai oleh penduduk, dipukul dan baju-baju itu diambil kembali. Kemudian beliau mendapat julukan “pencuri pemandian air hangat.
Setelah kejadian itu, Ibrahim pun berucap, sekarang aku bisa nyaman berdiam di kampung ini.”
فَإِن قلت مَا تَأْوِيله فِي لبس ثِيَاب الْغَيْر قلت يحْتَمل أَنه علم عَتبه وَرضَاهُ بل أرضاه وَإِن لم يعلم قلبه نظرا إِلَى الْغَالِب لِأَن من اطلع على بَاطِن عبد أَنه فِي غَايَة الصّلاح وَأَن لبسه هَذَا الزَّمن الْيَسِير ليطهر نَفسه من النّظر إِلَى الْخلق رضى لَهُ بذلك قطعا وَقد صرح الشَّافِعِي رَضِي الله عَنهُ بِأَنَّهُ يجوز أَخذ خلال وخلالين من مَال الْغَيْر نظرا إِلَى أَن ذَلِك مِمَّا يتَسَامَح بِهِ عَادَة ومسئلتنا أولى من ذَلِك لِأَن أَكثر النَّاس مجبولون على محبَّة هَذِه الطَّائِفَة بل كلهم منقادون إِلَى الصَّادِقين من أَهلهَا.
“Jika kamu bertanya, apa sebaiknya alasan yang tepat untuk diperbolehkan memakai pakaian orang lain (dalam peristiwa ini), maka saya katakan bahwa kemungkinan Ibrahim Al-khowaas telah mengetahui kadar kemarahan dan kerelaan pemiliknya,bahkan kejadian itu bisa menyebabkan kerelaannya, meskipun hatinya tidk mengethui secara pasti.
Namun hal itu bisa berdasar pada kebiasaan, karena jika si pangeran tadi mengetahui kebaikan Syekh Ibrahim yang memakai pakaiannya dalam waktu sebentar, dengan tujuan membersihkan hati supaya tidak dipandang simpati oleh para mahluk, niscaya ia akan merelakannya.
Sungguh Imam Al-Syafii telah menerangkan bahwa diperbolehkan mengambil 1 atau 2 cukil gigi (sedikit) dari harta orang lain, karena pada umumnya kejadian seperti ini bisa dimaafkan.
sementara itu masalah yang sedang kita bicarakan ini lebih penting dari pada hanya sekedar mengambil cukil gigi, lagi pula kebanyakan manusia sangat menyukai kaum sufi atau bahkan menjadi pengikut setia dari kelompok mereka, jadi seakan mereka pasti rela akan yang dilakukan sufi.” (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah, h. 226)
Menurut penuturan Syaikhina Gus Baha’, Wali Malamatiyyah tidak se-ekstrim demikian. Dilansir dari pengajian beliau yang berjudul Kisah Wali Mulamatiyah. Wali Malamatiyyah ini beragama dengan aqallul wajib (yakni hanya melakukan kewajiban saja).
Mereka tidak melaksanakan sholat sunnah qabliyah dan ba’diyah, sebab mereka berkebutuhan untuk merepresentasikan ajaran Islam yang normal kepada orang abangan, sehingga mereka tidak keberatan dalam beragama.
Bahkan di antara mereka ada yang hanya memakai kaos oblong dan celana pendek saja (aqallul wajib fi al-aurat), guna menyesuaikan dengan masyarakat yang hendak didakwahi, serta menutupi kewaliannya.
Tentunya ini dijanggali oleh Sufi agung, Abul Hasan Al-Syadzili, ternyata beliau kasyaf, kemudian ia diberi penjelasan leh wali Malamatiyyah, sehingga Al-Syadzili tidak inggar lagi.
Jadi Wali Malamatiyyah itu tidak melanggar syariat, hanya saja mereka memframing diri dengan seadanya, agar tidak dikira wali. Syahdan manaqib-manaqib itu banyak yang bertawassul dengan tarekat ini, sebab mereka mempunyai maqam yang tinggi.
Syahdan tareqat ini disanjung oleh sebagian kalangan, diantaranya disebutkan;
وَقد ذكرنَا حَال الملامتية وَإنَّهُ حَال شرِيف ومقام عَزِيز وَتمسك بالسنن والْآثَار وَتحقّق بالإخلاص والصدق وَلَيْسَ مِمَّا يزْعم المفتونون بِشَيْء
“Tareqat Malamatiyyah adalah tareqat yang mulia, di mana wali dalam posisi ini memiliki maqam yang tinggi. Ia berpegang teguh pada sunnah dan atsar, hatta mereka mencapai realisasi sifat ikhlas. Tareqat ini bukanlah seperti yang diframing khalayak, sungguh fitnahnya terlalu jauh.
(Justifikasi mereka berbanding terbalik dengan fakta yang telah disebutkan, adapun ketika terjadi penyimpangan, maka harus ditakwil atau tabayyun)”. (Al-Fatawa Al-haditsiyyah, h. 234)
Pendiri golongan ini adalah Hamdun Bin Ahmad Al-qashhar Al-Naisaburi, beliau adalah seorang faqih dari kalangan madzhab Al-Tsauri (Madzhab fikih selain madzhab 4, sebab dulunya ada 13 madzhab, antaranya madzhabnya Imam Sufyan Al-Tsauri, hanya saja madzhab fikih ini sudah lenyap, hingga sekarang menjadi 4 saja).
Beliau wafat pada tahun 271 H, dan dikebumikan di pusara Al-Haidah. (Syekh Abdul Wahhab Al-Sya’rani, Lawaqih Al-Anwar fi Tabaqat al-Akhyar, jilid I, halaman 72)
Di antara kalam beliau yang terkenal adalah sebagai berikut;
- Tidak ada hamba yang resah akan hadirnya musibah, kecuali ia yang senantiasa mencurigai tuhannya.
- Alasan mengapa ucapannya ulama’ salaf lebih bermanfaat dari pada ucapakan kita adalah karena beliau-beliau berbicara untuk kemuliaan atau kejayaan Islam, menyelamatkan jiwa dari hawa nafsu dan mengharap ridha Allah. Sedangkan kita berbicara dengan tujuan mendapatkan kemuliaan, mencari duniawi dan disenangi makhluk.
- Sesiapa yang menganggap dirinya lebih baik dari Fir’aun, maka sungguh ia telah jumawa, padahal ia belum mengetahui bagaimana akhir hayatnya.
- Ketika kamu ingin rahasia atau aibmu ditutupi, maka jangan sesekali membuka rahasia atau aibnya orang lain, sebagaimana kamu tidak ingin fakta tersebut diketahui oleh khalayak.
- Aku berwasiat kepada kalian, agar senantiasa bergaul dengan para ulama’. Ketika kalian melihat ada kebaikan padanya, maka jangan jauhi dia. (Zainuddin Muhammad Al-Munawi, Al-Kawakib Al-durriyyah fi tarajim al-sadat al-sufiyyah, I/591)
Demikianlah sekilas penjelasan mengenai tarekat Malamatiyyah, maqam ini berbeda dengan maqam lainnya. Sebenarnya yang mengetahui tingkatan wali hanyalah Allah SWT dan para walinya, namun kita tetap harus menghormati sama lain.
Ketika ada sufi yang menyimpang, maka dahulukan husnudzan. Namun ketika yang dilakukan sudah berlebihan, maka yang dilakukan adalah tabayyun. Sungguh tidak ada gunanya, hanya membabi buta vonis murtad sana sini. Pemahaman khalayak memang perlu dijaga, namun tentunya dilakukan dengan mekanisme yang bijak.
Pengaruh Malamatiyah Pada Islam Nusantara.
Suatu hari ada seorang santri yang ditugasi oleh Kiai Hamid Pasuruan untuk mencari orang yang namanya fulan di salah satu pasar kecamatan tempat asal santri tersebut.
Kang santri tersebut mencari-cari informasi dan bertanya sepenjuru pasar tentang si fulan. Begitu heranya santri tersebut setelah mengetahui bahwa si fulan yang dimaksud Kiai Hamid adalah orang gila di pasar tersebut.
Karena tugas guru, santri tersebut memberanikan diri untuk menyampaikan salam gurunya pada orang gila tersebut. Seketika orang itu menangis seraya berpesan “Tanyakan pada gurumu dosa apa aku ini, hingga identitasku dibuka oleh Allah,”.
Pada kisah yang lain. Kiai Said pernah bercerita ketika ibadah di tanah suci bersama Gus Dur. Beliau diajak oleh Gus Dur untuk mencari orang yang khowas (khusus), yang ibadahnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Berdua bersama Gus Dur, mereka mengunjungi satu persatu kelompok orang yang memberi pengajian, ada yang jenggotnya panjang, ada yang kitabnya setumpuk dan mampu menjawab segala macam pertanyaan, ada yang jamaahnya banyak, tetapi semuanya dilewati.
Lalu sampailah mereka di hadapan seorang Mesir yang sederhana, surbannya tidak besar, duduk di sebuah sudut. Kang Said selanjutnya diminta oleh Gus Dur untuk mendekati orang tersebut dan memperkenalkan diri. Tak seperti biasanya, orang Mesir terkenal dengan keramahannya, biasanya langsung ahlan wa sahlan ketika menerima tamu, tetapi yang satu ini bersikap agak ketus ketika ditanya.
Kang Said menyampaikan niat dari Gus Dur untuk meminta sekedar doa selamat dari orang tersebut.
Setelah berdoa ia langsung lari, dan menarik sajadahnya sambil berkata “Dosa apa aku ya robbi sampai engkau buka rahasiaku dengan orang ini”.
Kisah-kisah di atas merupakan sekelumit kisah dari para pengamal Malamatiyah. Sebuah laku sufistik klasik dari abad ke-3 Hijriyah.
Malamatiyah diambil dari kata ‘malamah’, yang secara bahasa berarti ‘celaan’. Mereka yang termasuk ke dalam golongan ini adalah orang-orang yang sengaja menjalani kehidupan hina dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat pencapaian spiritual.
Dalam khazanah tasawuf, ajaran malamatiyah ini disandarkan kepada Hamdun Al-Qashshar, sufi abad ke-3 H/9 M, berasal dari Naisyapur, Khurasan.
Menurut Al-Qashshar, praktik malamatiyah merupakan tradisi untuk menurunkan derajat manusia sehingga tidak menjadi makhluk sombong seperti iblis. Dengan menjalankan malamatiyah maka manusia menjadi sadar bahwa yang berhak untuk sombong, mulia, dan paling besar hanya Allah.
Para pengamal malamatiyah lebih fokus pada peperangan melawan ego sendiri. Mereka mengenal prinsip dalam bertasawuf; menyalahkan diri sendiri (malamatun nafs), memperkuat dawamul-iftiqor (keadaan merasa hina secara permanen), dan katmul-ibadah (menyembunyikan ibadah). Syeikh Samnun al-Qassar menyebut jalan spritual mereka sebagai ‘jalan kesalahan’. Tidak memberi ruang sedikitpun bagi diri sendiri untuk merasa benar atau baik. Bahkan mereka rela melakukan keburukan agar dicela atau dianggap hina demi menutupi kesalehanya.
Ada sebuah fakta menarik tentang korelasi pengaruh malamatiyah dalam perkembangan Islam di Nusantara. Hal ini pernah disampaikan oleh Kiai Muwwafiq dalam salah satu ceramahnya.
Pada abad ke-12 para sufi dari timur tengah banyak yang berniaga dan berdakwah di Nusantara. Banyak diantaranya adalah pelaku suluk malamatiyah. Sehingga ajaran islam yang dipraktikan oleh orang jawa banyak terpengaruh dengan ajaran malamatiyah.
Itulah salah satu faktor islam di Indonesia tidak mengedepankan formalitas seperti simbol-simbol keagamaan. Bahkan ajaranya cenderung luwes dapat melebur dengan tradisi setempat.
Para kiai-kiai besar keturunan habaib juga kebanyakan tidak mengagung-agungkan jalur nasabnya. Seperti KH. Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari dan para kiai besar lainya yang sejatinya memiliki garis nasab dengan Rasulullah SAW.
Para pelaku Malamatiyah untuk menutupi derajat spiritualitasnya seringkali berbuat hal-hal yang kontroversial baik dari segi ucapan maupun tindakan. Seperti berpura-pura gila, berpura awam dan lain-lainya.
Saya sendiri percaya bahwa tradisi malamatiyah di Indonesia masih lestari dari generasi ke generasi. Banyak para sholihin di Indonesia yang menutupi capaian spiritualitasnya. Sepertihalnya sikap kontroversial Gus Dur misalnya yang memicu celaan dari khalayak awam. Atau bahkan seperti Gus Miek, Gus Miftah yang memilih bergaul dengan para preman dan dunia hiburan malam sebagai jalan dakwahnya.
Oleh karenanya kita harus selalu mawas diri untuk berbaik sangka pada siapapun. Jangan sampai merasa diri lebih mulia bahkan sampai menghina orang yang kelihatannya bodoh, kontroversial, bahkan sakit jiwa sekalipun. Sebab para pelaku Malamatiyah adalah mereka yang ingin terlihat hina di bumi, tetapi namanya dikenal oleh penduduk langit.
Wa Allahu A’lam.
Kanti Suci Project design by Imajiner Nuswantoro