Kitab Ghayat al-Hakim
Dalam surat Al-Baqarah, Allah swt secara eksplisit melarang menggunakan ilmu sihir. Sihir itu berbahaya dan tidak bermanfaat, kurang lebih demikian firman Allah ketika menjelaskan kisah Harut dan Marut.
Al-Baqarah · Ayat 102
وَاتَّبَعُوْا مَا تَتْلُوا الشَّيٰطِيْنُ عَلٰى مُلْكِ سُلَيْمٰنَۚ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمٰنُ وَلٰكِنَّ الشَّيٰطِيْنَ كَفَرُوْا يُعَلِّمُوْنَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآ اُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوْتَ وَمَارُوْتَۗ وَمَا يُعَلِّمٰنِ مِنْ اَحَدٍ حَتّٰى يَقُوْلَآ اِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْۗ فَيَتَعَلَّمُوْنَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُوْنَ بِهٖ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهٖۗ وَمَا هُمْ بِضَاۤرِّيْنَ بِهٖ مِنْ اَحَدٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِۗ وَيَتَعَلَّمُوْنَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْۗ وَلَقَدْ عَلِمُوْا لَمَنِ اشْتَرٰىهُ مَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍۗ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِهٖٓ اَنْفُسَهُمْۗ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ ١٠٢
wattaba‘û mâ tatlusy-syayâthînu ‘alâ mulki sulaimân, wa mâ kafara sulaimânu wa lâkinnasy-syayâthîna kafarû yu‘allimûnan-nâsas-siḫra wa mâ unzila ‘alal-malakaini bibâbila hârûta wa mârût, wa mâ yu‘allimâni min aḫadin ḫattâ yaqûlâ innamâ naḫnu fitnatun fa lâ takfur, fa yata‘allamûna min-humâ mâ yufarriqûna bihî bainal-mar‘i wa zaujih, wa mâ hum bidlârrîna bihî min aḫadin illâ bi'idznillâh, wa yata‘allamûna mâ yadlurruhum wa lâ yanfa‘uhum, wa laqad ‘alimû lamanisytarâhu mâ lahû fil-âkhirati min khalâq, wa labi'sa mâ syarau bihî anfusahum, lau kânû ya‘lamûn
Artinya :
Mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa Kerajaan Sulaiman. Sulaiman itu tidak kufur, tetapi setan-setan itulah yang kufur. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babilonia, yaitu Harut dan Marut. Padahal, keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanyalah fitnah (cobaan bagimu) oleh sebab itu janganlah kufur!” Maka, mereka mempelajari dari keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dan istrinya. Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan (sihir)-nya, kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Sungguh, mereka benar-benar sudah mengetahui bahwa siapa yang membeli (menggunakan sihir) itu niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh, buruk sekali perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir jika mereka mengetahui(-nya).
Tafsir Wajiz / Tafsir Tahlili :
Dan mereka, yakni sebagian pendeta-pendeta Yahudi yang meninggalkan Taurat, mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman. Ketika Rasulullah menye butkan Sulaiman sebagai seorang nabi, sebagian pendeta Yahudi mengatakan, “Tidakkah kamu heran karena Muhammad mengatakan bahwa Sulaiman bin Daud adalah nabi, padahal ia adalah seorang tukang sihir?” Allah lalu menurunkan ayat yang menyatakan bahwa Sulaiman itu tidak kafir, tidak pula tukang sihir, tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babilonia, yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan. “Sesungguhnya kami hanyalah cobaan yang Allah turunkan bagimu, sebab itu janganlah kafir dan jangan pula kamu mengguna kannya untuk mencelakakan orang lain!” Maka mereka mempelajari dari keduanya, kedua malaikat itu, apa, yakni sihir yang dapat memisahkan antara seorang suami dengan istrinya. Mereka tidak akan dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang mencela kakan dan tidak memberi manfaat kepada mereka. Dan sungguh, mereka sudah tahu, barang siapa membeli atau menggunakan sihir itu, niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka tahuDan jika mereka beriman dan bertakwa, takut kepada azab Allah, pahala dari Allah pasti lebih baik daripada sihir yang menyibukkan mereka, sekiranya mereka tahu.
Namun meskipun demikian, beberapa ulama seperti Al-Razi membolehkan mempelajari sihir karena seluruh ilmu pada hakikatnya diturunkan oleh Allah. Apapun yang diturunkan oleh Allah adalah hal yang mulia. Namun tetap, ini hanya soal belajar. Untuk mengamalkan sihir, maka hukumnya tetap haram.
Karena sihir termasuk ilmu. Dan ilmu itu mulia. Maka tak heran jika banyak buku-buku mantra sihir dalam dunia Islam. Buku demikian ini biasa disebut dengan wifq, huruf, dan lain-lain. Di antara buku yang demikian itu adalah buku berjudul Ghayat al-Hakim. Beberapa kalangan menyebut bahwa buku ini ditulis oleh Maslamah Al-Majrithi (w. 1005 M), seorang ilmuwan dari Andalusia.
Buku ini sangat masyhur di Eropa pada abad pertengahan. Pada abad 13, Alfonso si Bijak, seorang Raja dari Kastila, memerintahkan agar buku ini diterjemah ke dalam Bahasa Spanyol. Lalu dari Bahasa Spanyol, buku ini diterjemah ke dalam Bahasa Latin. Maka jadilah buku ini menyebar ke seluruh penjuru Eropa dan dikenal dengan nama The Picatrix.
Buku ini berisi tentang mantra-mantra dalam berbagai hal. Selain itu, buku ini juga menjelaskan tentang hubungan benda angkasa dengan kejadian di bumi. Tak jarang pula buku ini menyebutkan benda-benda talismanik (طلسمية) alias benda yang diyakini memiliki daya magis.
Mantra dari buku ini mayoritas sejauh pembacaan penulis atas beberapa bagian buku ini tidak berasal dari Alquran atau pun hadis. Justru beberapa di antaranya berasal dari literatur Yunani atau pun Babilonia kuno. Maka tak heran jika beberapa ulama banyak mengharamkan membaca kitab ini.
Misalnya, untuk memikat hati seorang kekasih, maka, ujar Al-Majrithi, ia harus menggambar gambar tertentu di jam-jam tertentu. Jika ia melakukannya, maka gadis yang ingin ia pikat pasti akan tergila-gila padanya. Tentu saja, buku semacam ini laris di Eropa. Ilmu astrologi pun menjadi cukup populer berkat kitab ini.
Demikianlah cuplikan sekilas tentang kitab Ghayat al-Hakim.
Picatrix
(buku sihir dan astrologi Arab)
Picatrix adalah nama Latin yang digunakan saat ini untuk buku sihir dan astrologi setebal 400 halaman yang awalnya ditulis dalam bahasa Arab dengan judul Ghāyat al-Ḥakīm (bahasa Arab: غاية الحكيم), yang oleh sebagian besar sarjana dianggap aslinya ditulis pada pertengahan abad ke-11,[1] meskipun argumen untuk komposisi pada paruh pertama abad ke-10 telah dibuat.[2] Judul bahasa Arab diterjemahkan sebagai Tujuan Orang Bijak atau Tujuan Orang Bijaksana.[3] Karya Arab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol dan kemudian ke dalam bahasa Latin pada abad ke-13, yang pada saat itu mendapat judul Latin Picatrix. Judul buku Picatrix juga terkadang digunakan untuk merujuk pada penulis buku tersebut.
Halaman dari manuskrip versi abad ke-14.
Picatrix adalah karya gabungan yang menggabungkan karya lama tentang sihir dan astrologi. Salah satu interpretasi yang paling berpengaruh menyarankan untuk dianggap sebagai "buku pegangan jimat sihir".[4] Peneliti lain merangkumnya sebagai "eksposisi sihir langit yang paling menyeluruh dalam bahasa Arab", menunjukkan sumber karya tersebut sebagai "teks Arab tentang Hermetisme, Sabianisme, Ismailisme, astrologi, alkimia, dan sihir diproduksi di Timur Dekat pada abad kesembilan dan kesepuluh Masehi".[5] Eugenio Garin menyatakan, "Pada kenyataannya, versi Latin dari Picatrix sama pentingnya dengan Corpus Hermeticum atau tulisan-tulisan Albumasar untuk memahami bagian yang mencolok dari produksi Renaisans, termasuk seni figuratif".[6] Ini secara signifikan mempengaruhi esoterisme Eropa Barat dari Marsilio Ficino pada abad ke-15, ke Thomas Campanella pada abad ke-17. Naskah di British Library melewati beberapa tangan: Simon Forman, Richard Napier, Elias Ashmole, dan William Lilly.
Menurut prolog terjemahan Latin, Picatrix diterjemahkan ke dalam Spanyol dari bahasa Arab atas perintah Alphonso X dari Kastilia antara tahun 1256 dan 1258.[7] Versi Latin diproduksi beberapa waktu kemudian, berdasarkan terjemahan manuskrip Spanyol. Telah dikaitkan dengan Maslama bin Ahmad al-Majriti (seorang Andalusia ahli matematika), tapi banyak disebut atribusi ini untuk pertanyaan. Akibatnya, penulis kadang-kadang diindikasikan sebagai "Pseudo-Majriti".
Versi bahasa Spanyol dan Latin adalah satu-satunya yang diketahui oleh para sarjana Barat sampai Wilhelm Printz menemukan versi bahasa Arab pada atau sekitar tahun 1920.
Konten dan sumber.
Karya ini dibagi menjadi empat buku, yang menunjukkan tidak adanya eksposisi sistematis. Jean Seznec mengamati, "Picatrix mengatur waktu dan tempat yang menguntungkan dan sikap dan gerak tubuh dari pemohon; dia juga menunjukkan istilah apa yang harus digunakan dalam mengajukan petisi kepada bintang-bintang". Sebagai contoh, Seznec kemudian mereproduksi doa ke Saturnus dari karya tersebut, mencatat bahwa Fritz Saxl telah menunjukkan bahwa doa ini menunjukkan "aksen dan bahkan istilah doa astrologi Yunani untuk Kronos. Ini adalah salah satu indikasi bahwa sumber Picatrix sebagian besar berasal dari Helenistik".:
O Guru dengan nama agung dan kekuatan besar, Guru tertinggi; O Guru Saturnus: Engkau, Yang Dingin, Yang Mandul, Yang Menyedihkan, Yang Merusak; Engkau, yang hidupnya tulus dan yang perkataannya pasti; Engkau, Orang Bijak dan Penyendiri, Yang Tak Tertembus; Engkau, yang janjinya ditepati; Engkau yang lemah dan letih; Engkau yang lebih memedulikan siapa pun, yang tidak mengenal kesenangan maupun kegembiraan; Engkau, yang tua dan licik, penguasa semua kecerdasan, penipu, bijaksana, dan bijaksana; Engkau yang membawa kemakmuran atau kehancuran, dan membuat manusia bahagia atau tidak bahagia! aku menyulapmu, Wahai Ayah Yang Maha Tinggi, dengan kebajikan-Mu yang besar dan karunia-Mu yang murah hati, lakukanlah untukku apa yang aku minta [...][9]
Menurut Garin:
Titik tolak karya adalah kesatuan realitas yang dibagi menjadi derajat, bidang, atau dunia yang simetris dan sesuai: sebuah realitas yang terbentang di antara dua kutub: Yang Esa, Tuhan sumber segala keberadaan, dan manusia, mikrokosmos, yang, dengan ilmunya (scientia) mengembalikan dispersi ke asalnya, mengidentifikasi dan menggunakan korespondensi mereka.[10]
Menurut Prolog, penulis meneliti lebih dari dua ratus karya dalam penciptaan Picatrix.[11] Namun, ada tiga pengaruh Timur Dekat/Tengah yang signifikan: Jabir bin Hayyan, Brethren of Purity, dan Ibnu Wahshiyya Pertanian Nabataean. Pengaruh Jabir ibn Hayyan hadir dalam bentuk latar belakang kosmologis yang menghilangkan praktik magis dari konteks keiblisan mempengaruhi dan menegaskan kembali praktek-praktek ini sebagai memiliki asal ilahi. Penulis Picatrix memanfaatkan Teori neoplatonik dari hypostasis yang mencerminkan karya Jabir ibn Hayyan.[12][13]
Sambil melacak korelasi untuk gagasan Kabbalistik tentang tubuh astral (Ibrani: tselem),[14] Gershom Scholem mengutip kemunculannya di Picatrix, dan menunjukkan latar belakang konsep ini dalam papirus Yunani dan teks filosofis,[15] dalam teks Gnostik,[16] dalam eskatologi Iran, dan dalam Islami dan Neoplatonisme Renaisans. Scholem juga secara khusus mencatat karya Henry Corbin dalam mendokumentasikan konsep alam yang disempurnakan dalam agama Iran dan Islam.[17]
Menurut Scholem, bagian berikut dari Picatrix (itu sendiri mirip dengan bagian dalam teks Hermetik sebelumnya yang disebut Rahasia Penciptaan) melacak sangat erat dengan konsep Kabbalistik tselem:[18]
Ketika saya ingin menemukan pengetahuan tentang rahasia Penciptaan, saya menemukan lemari besi gelap di kedalaman bumi, dipenuhi angin yang bertiup.... Lalu muncullah dalam tidurku suatu bentuk keindahan yang paling menakjubkan [memberi saya instruksi bagaimana berperilaku untuk mencapai pengetahuan tentang hal-hal tertinggi]. Saya kemudian berkata kepadanya: "Siapa kamu?" Dan dia menjawab: "Aku adalah sifatmu yang sempurna".
Kepengarangan dan signifikansi judul.
Sejarawan Arab, Ibnu Khaldun, dalam Muqaddimah-nya, menganggap kepenulisan Picatrix (mengacu pada versi bahasa Arab asli, dengan judul Ġāyat al-Ḥakīm غاية الحكيم) kepada astronom dan ahli matematika Maslama Al-Majriti, yang meninggal antara 1005 M dan 1008 M (398 H).[19] Atribusi ini bermasalah: penulis menyatakan asli Arab[20] dalam pendahuluannya ia menyelesaikan buku itu pada tahun 348 H, yaitu ~ 959 M. Selain itu, penulis menyatakan bahwa dia mulai menulis Picatrix setelah menyelesaikan buku sebelumnya, Rutbat al-Ḥakīm رتبة الحكيم pada tahun 343 H (~ 954 M).[21] Ini membuat penulisnya lebih dari lima dekade sebelum kematian Al-Majriti, dan jika perkiraan tahun kelahirannya diterima, dia baru berusia sekitar 5 tahun ketika dia mulai menulisnya. Juga, menurut Holmyard, atribusi manuskrip paling awal dari karya Maslama al-Majriti dibuat oleh alkemis al-Jildaki, yang meninggal tak lama setelah tahun 1360, sedangkan Ibnu Khaldun meninggal sekitar 20 tahun kemudian. Namun, tidak ada biografi al-Majriti yang menyebut dia sebagai penulis karya ini.[22]
Atribusi kepengarangan yang lebih baru berkisar dari "versi bahasa Arabnya anonim" untuk pengulangan klaim lama bahwa penulisnya adalah "ahli astronomi dan matematikawan terkenal Abu l-Qasim Maslama b. Ahmad Al-Majriti".[23] Satu studi terbaru di Studia Islamica menunjukkan bahwa penulis karya ini harus dikaitkan dengan Maslama b. Qasim al-Qurtubi (wafat 353/964), yang menurut Ibn al-Faradi adalah "seorang pria yang penuh pesona dan jimat".[24] Jika saran ini benar maka akan menempatkan karya tersebut dalam konteks Andalusian sufisme dan batinisme.[25]
Judul Latin yang aneh kadang-kadang dijelaskan sebagai transliterasi yang ceroboh dari salah satu "Buqratis", disebutkan beberapa kali dalam bagian kedua dari empat buku karya tersebut.[26] Yang lain menyarankan bahwa judul (atau nama penulis) adalah cara menghubungkan karya tersebut dengan Hippocrates (melalui transkripsi nama Burqratis atau Biqratis dalam teks Arab).[27] Di mana itu muncul dalam bahasa Arab aslinya, teks Latin menerjemahkan nama Burqratis sebagai Picatrix, tapi ini tetap tidak menentukan identitas Burqratis. Akhirnya, menghubungkan nama, Picatrix, dengan Hippocrates,[28][29] tidak disukai karena teks tersebut secara terpisah mengutip Hippocrates dengan nama Ypocras.[30]
Antisipasi metode eksperimen.
Martin Plessner menyarankan agar penerjemah dari Picatrix menetapkan abad pertengahan definisi eksperimen ilmiah dengan mengubah suatu bagian dalam terjemahan Ibrani dari bahasa asli Arab, membangun landasan teoretis untuk metode percobaan: "penemuan hipotesis untuk menjelaskan proses alami tertentu, kemudian pengaturan kondisi di mana proses itu mungkin sengaja dilakukan sesuai dengan hipotesis, dan akhirnya, pembenaran atau sanggahan dari hipotesis, tergantung pada hasil percobaan".
Plessner mencatat bahwa secara umum disepakati bahwa kesadaran, "sifat spesifik dari metode eksperimental berbeda dari penggunaan praktisnya merupakan pencapaian abad ke-16 dan ke-17." Namun, seperti yang dijelaskan oleh bagian penerjemah dari versi bahasa Ibrani, dasar teori fundamental untuk metode eksperimental di sini didirikan sebelum pertengahan abad ke-13.
Bagian asli dalam bahasa Arab menggambarkan bagaimana seorang pria yang menyaksikan pengobatan untuk sengatan kalajengking (meminum ramuan kemenyan yang telah menerima cap segel) telah bereksperimen dengan berbagai jenis kemenyan, dengan asumsi bahwa ini adalah penyebab penyembuhannya, tetapi kemudian ditemukan bahwa gambar segel adalah penyebab penyembuhannya, terlepas dari substansi yang membuat mereka terkesan. Penulis dari Picatrix terus menjelaskan bagaimana penjelasan tentang keefektifan pengobatan yang diberikan kepadanya oleh pihak berwenang kemudian dibuktikan kepadanya oleh pengalamannya sendiri.
Penerjemah bahasa Ibrani mengubah bagian yang dimaksud untuk memasukkan yang berikut ini :
Dan itulah alasan yang mendorong saya [untuk mengabdikan diri pada sihir astrologi]. Selain itu, rahasia ini telah diketahui oleh Alam, dan pengalaman menyetujuinya. Manusia yang berurusan dengan alam tidak ada hubungannya selain menghasilkan alasan dari apa yang dihasilkan oleh pengalaman itu.
Plessner juga mencatat bahwa "baik psikologi studi bahasa Arab maupun definisi percobaan dalam bahasa Ibrani tidak diberikan dalam bahasa Latin Picatrix. Penerjemah bahasa Latin menghilangkan banyak bagian teoretis di seluruh karya".[31]
Dalam mengeksplorasi sirkulasi lintas budaya dari teks Avner Ben-Zaken mendaftar ke beasiswa Picatrix "tesis Yates", dan berpendapat bahwa teks memainkan peran laten, meskipun sentral, peran dalam membentuk filosofi sihir alam Renaisans dan dalam memberikan rangsangan yang diperlukan untuk mengubah gagasan okultis menjadi ilmu eksperimental. Bagi para pemikir Renaisans yang tidak bersahabat dengan kemapanan, sihir alam menawarkan program alternatif untuk filsafat alam, dan beberapa menentang filsafat Aristoteles, yang mereka anggap hegemonik. Lebih-lebih lagi, para pemberontak ini menghadirkan keajaiban alam sebagai praktik ilmiah, sebuah budaya yang berakar kuat dalam konteks non-Eropa. Bagi Ficino dan Pico, sihir alam berasal dari Timur Dekat kuno, membawa Renaisans Eropa melalui pertukaran lintas budaya yang melibatkan teks Kabalistik dan karya Arab tentang sihir. Untuk Agripa, sihir alam membawa program baru untuk sains, serta praktik baru dan persona baru. Untuk dia, magus naturalis eksperimental baru adalah sosok yang pertama kali hidup di Timur kuno. Bagi Campanella, keajaiban alam menawarkan konstruksi filsafat alam dari bawah ke atas yang juga mensyaratkan suatu organisasi masyarakat yang baru, di mana nalar dan pengalaman langsung mengatur baik alam maupun masyarakat. Semua menganggap Picatrix sebagai teks yang mewujudkan keduanya: program alternatif yang kuat untuk mempelajari alam, dan program budaya yang kuat untuk menantang budaya Eropa dari luar. Dalam membayangkan alternatif ini, mereka akhirnya mengembalikan sains mereka ke titik asal sejarahnya, Timur. Ficino, Agrippa, dan Campanella mendorong argumen lebih lanjut, meletakkan dasar untuk pandangan dunia heliosentris, memulai pencarian kekuatan alam yang tersembunyi, dan menjadikan virtuoso pesulap sebagai ayah baptis filsafat alam. Jadi, Picatrix sangat penting untuk mengubah keajaiban alam menjadi filsafat, untuk mengubah tukang sihir menjadi seorang pencoba, dan untuk mengubah praktik sihir alam menjadi sistem pendidikan institusional. Itu mengilhami usulan agar para sarjana mengalihkan fokus mereka dari Skolastik ke sumber sihir alam yang jauh.[32]
Edisi :
- غاية الحكيم Ghāyat al-Ḥakīm: Edisi teks dalam bahasa Arab, diedit oleh Hellmut Ritter (dari Institut Warburg)
- Picatrix: Das Ziel des Weisen von Pseudo-Magriti, aus dem Arabischen ins Deutsche übersetzt von Hellmut Ritter und Martin Plessner [Picatrix: Tujuan Orang Bijak oleh Pseudo-Magriti, diterjemahkan dari bahasa Arab ke bahasa Jerman oleh Ritter dan Plessner]. London: Institut Warburg, 1962 (=Studi Institut Warburg 27).
- David Pingree, Versi Latin dari Ghayat al-hakim, Studi Institut Warburg, Universitas London (1986), ISBN 0-85481-069-2
- Ouroboros Press telah menerbitkan terjemahan bahasa Inggris pertama yang tersedia dalam dua jilid, Ouroborous Press (2002 Vol. 1 ASIN: B0006S6LAO) dan (2008 Vol. 2) [2]
- Béatrice Bakhouche, Frédéric Fauquier, Brigitte Pérez-Jean, Picatrix: Un Traite De Magie Medieval, Brepols Pub (2003), 388 p., ISBN 978-2-503-51068-2.
- The Complete Picatrix: Sihir Astrologi Klasik Okultisme, Renaissance Astrology Press {2011}, 310 p., ISBN 1-257-76785-2, Terjemahan bahasa Inggris dari edisi kritis Latin Pingree oleh John Michael Greer & Christopher Warnock.
- Picatrix: Risalah Abad Pertengahan tentang Sihir Astral, diterjemahkan dengan pengantar oleh Dan Attrell dan David Porreca, 384 p., Penn State University Press, 2019.
Catatan kaki :
1. e.g Dozy, Holmyard, Samsó, and Pingree; David Pingree, 'Some of the Sources of the Ghāyat al-hakīm', in Journal of the Warburg and Courtauld Institutes, Vol. 43, (1980), p. 2; Willy Hartner, 'Notes On Picatrix', in Isis, Vol. 56, No. 4, (Winter, 1965), pp. 438
2. Maribel Fierro, "Bāṭinism in Al-Andalus. Maslama b. Qāsim al-Qurṭubī (died 353/964), Author of the 'Rutbat al- Ḥakīm' and the 'Ghāyat al-Ḥakīm (Picatrix)'" in: Studia Islamica, No. 84, (1996), pp. 87–112.
3. However the Arabic translated as "goal" (ghaya, pl. ghayat) also suggests the sense of "utmost limit" or "boundary".
4. Frances Yates, Giordano Bruno and the Hermetic Tradition, Chicago, 1964; Frances Yates, The Art of Memory, Chicago, 1966
5. David Pingree, 'Some of the Sources of the Ghāyat al-hakīm', in Journal of the Warburg and Courtauld Institutes, Vol. 43, (1980), pp. 1–15
6. Eugenio Garin, Astrology in the Renaissance: The Zodiac of Life, Routledge, 1983, p. 47
7. David Pingree, 'Between the Ghāya and Picatrix. I: The Spanish Version', in Journal of the Warburg and Courtauld Institutes, Vol. 44, (1981), p. 27
8. Willy Hartner, 'Notes On Picatrix', in Isis, Vol. 56, No. 4, (Winter, 1965), pp. 438–440; the Arabic text was published for the first time by the Warburg Library in 1927.
9. Jean Seznec (Trans. Barbara F. Sessions), The Survival of the Pagan Gods: The Mythological Tradition and its Place in Renaissance Humanism and Art, Princeton University Press, 1995 (reprint), p. 53
10. Eugenio Garin, Astrology in the Renaissance: The Zodiac of Life, Routledge, 1983, p. 49
11. Later in the text, the author specifies two hundred fifty works. Bakhouche, Picatrix, p 37, 200
12. Pingree, David; al-Majriti, Maslama (1986). Picatrix: The Latin Version of the Ghayat Al-Hakim : Text, Introduction, Appendices, Indices. Warburg Institute University of London. hlm. 3.
13. See also Bakhouche, Picatrix, pp. 32–33
14. Scholem, Gershom (1991). On the Mystical Shape of the Godhead: Basic Concepts in the Kabbalah. New York: Schocken Books. pp. 255–260. Related terms throughout the associated traditions include pure self, personal daemon, perfected nature (ha-teva ha-mushlam), and fathomless father of nature. Cf. guardian angel.
15. For example, the Greek philosopher, Iamblichus, The Mysteries of the Egyptians, Chaldean, and Assyrians, IX, 1-9.
16. The Hymn of the Pearl in the apocryphal Acts of Thomas.
17. Scholem 1991, hlm. 256.
18. Scholem 1991, hlm. 255. For the passage in the Secret of Creation, see Rosenthal, Franz (1975). The Classical Heritage in Islam. London: Routledge. pp. 246–247.
19. Eugenio Garin, Astrology in the Renaissance: The Zodiac of Life, Routledge, 1983, p. 47
20. "غاية الحكيم و أحق النتيجتين بالتقديم". Internet Archive.
21. "غاية الحكيم و احق النتيجتين بالتقديم".
22. Maribel Fierro, Bāṭinism in Al-Andalus. Maslama b. Qāsim al-Qurṭubī (died 353/964), Author of the Rutbat al- Ḥakīm and the Ghāyat al-Ḥakīm (Picatrix), in Studia Islamica, No. 84, (1996), p. 93, 95
23. H. Kahane et al. 'Picatrix and the talismans', in Romance Philology, xix, 1966, p 575; E.J. Holmyard, 'Maslama al-Majriti and the Rutba 'l-Hakim', in Isis, vi, 1924, p 294.
24. Maribel Fierro, 'Bāṭinism in Al-Andalus. Maslama b. Qāsim al-Qurṭubī (died 353/964), Author of the "Rutbat al- Ḥakīm" and the "Ghāyat al-Ḥakīm (Picatrix)"', in Studia Islamica, No. 84, (1996), pp. 87–112
25. Maribel Fierro, 'Bāṭinism in Al-Andalus. Maslama b. Qāsim al-Qurṭubī (died 353/964), Author of the "Rutbat al- Ḥakīm" and the "Ghāyat al-Ḥakīm (Picatrix)"', in Studia Islamica, No. 84, (1996), pp. 105–107
26. Willy Hartner, 'Notes On Picatrix', in Isis, Vol. 56, No. 4, (Winter, 1965), pp. 438
27. Bakhouche, Beatrice, Frederic Fauquier, and Brigitte Perez-Jean (Translators), Picatrix: Un traite de magie medieval, Turnhout: Brepols, p. 22 and 141
28. Ritter, Hellmut and Martin Plessner (translators), "Picatrix:" Das Ziel des Weisen von Pseudo-Magriti. London: Warburg Institute, 1962. p.XXII.
29. See also: Willy Hartner, 'Notes On Picatrix', in Isis, Vol. 56, No. 4, (Winter, 1965), pp. 438
30. Bakhouche, Picatrix, p. 22, 193, 332.
31. Martin Plessner, "A Medieval Definition of Scientific Experiment in The Hebrew Picatrix" in: Journal of the Warburg and Courtauld Institutes, Vol. 36, (1973), pp. 358–359
32. Avner Ben-Zaken, "Traveling with the Picatrix: Cultural Liminalities of Culture and Science", In Religious Individualization in Historical Perspective, (Berlin, 2019), pp. 1038-1068.[1]
_____________
Picatrix
Buku ini kutemukan tak sengaja tahun 2018 lalu ketika mengumpulkan resensi bacaan sebelum menulis kumpulan esai 'Sketsa Indonesia', kemudian mengunduh PDF-nya, dua dari empat seri "Picatrix" beberapa hari menjelang Ramadan seperti sekarang. Menjadi teman begadang, selingan sehabis membaca satu ayat dan hadits sehari.
Buku ini katanya kitab sihir abad pertengahan yang diterjemahkan ke bahasa Inggris dari bahasa Arab. Tentang sihir, pemahamanku untuk sekarang, baik yang putih atau hitam, sumber kekuatannya sama, keyakinan, dan dikotomi sihir hitam atau putih dibedakan oleh medium, cara, peralatan, pembantu, dan utamanya niat serta tujuan melakukan praktik sihir tersebut.
Keyakinan yang bersumber dari sihir (baik yang diklaim sebagai sihir putih dan shir hitam) menurut kami tingkatannya berada di bawah keyakinan dalam beragama. Keyakinan dalam sihir selesai ketika mencapai keinginan dalam praktik sihir, sementara keyakinan dalam beragama di tahapan mengenal Tuhan, tak mengenal selesai.
Sebagai pengisi waktu ketika buntu menyelesaikan karya-karya yang lain, secara berseri catatan pribadi setelah membaca dua dari empat seri "Picatrix" aku muat di sini. Juga untuk menghalangi keinginanku membahas hal-hal yang telah kuserahkan pada Allah Ta'ala bagaimana baiknya sembari tetap berusaha.
Pengantar yang memberi perspektif awal sebelum aku memulai membaca "Picatrix"
Disebut seseorang menderita sebuah penyakit mendatangi penulis "Picatrix", Ghayat Al-Hakim (entah nama pena, atau nama sebenarnya) yang kemudian meramu obat dari getah dari bahan dupa/kemenyan (mungkin semacam gaharu) kemudian ia stempel dengan rajah tertentu sebelum dibakar dan asapnya untuk mengobati. Orang tersebut sembuh dari penyakitnya (tanpa menyebut jelas penyakit apa). Berdasarkan pengamatan Ghayat Al-Hakim, menurutnya yang membantu menyembuhkan pasiennya bukan ramuan getah gaharunya, tetapi stempel yang ia gunakan.
Beberapa bangsa di dunia berkeyakinan bahwa dunia ini diatur oleh simbol-simbol yang diyakini menyimpan kekuatan tertentu, termasuk untuk menyembuhkan. Meski, menurut kami, semua simbol tidak memiliki kekuatan apa pun, sampai ada manusia yang meyakininya demikian.
Tidak disebutkan apakah keyakinan Ghayat Al Hakim, atau keyakinan si pasien pada stempel dan asap gaharu yang lebih dominan dalam menyembuhkan.
Terlebih, baru-baru ini sebuah jurnah ilmiah menyebutkan semakin sulit membedakan proses kesembuhan seorang pasien kedokteran moderen, apakah disebabkan keyakinannya sendiri pada placebo (obat palsu yang hanya berisi tepung untuk memicu sugesti akan membawa kesembuhan) atau karena efek dari obat betulan yang diminum pasien, yang dikonsumsi juga dengan keyakinan akan membawa kesembuhan.
Ghayat Al Hakim menyadari reaksi pembaca bukunya.
Setelah kisah penyembuhan tersebut, Ghayat Al Hakim menambahkan catatan: "Mengapa begitu sulit menerima keajaiban kata-kata berupa mantra, sementara semua manusia mengetahui dengan kata yang tepat seorang musuh bisa menjadi sahabat, dan karena salah kata seorang sahabat menjelma musuh."
Bantahan yang masih bisa digali lebih dalam, "Mengapa begitu sulit menerima kekuatan pikiran dan keyakinan manusia dalam membentuk kenyataan yang diinginkan dengan menggunakan kata, mantra, dan simbol sebagai medium pemusatan? Mengapa tidak meneruskan lagi pertanyaan barusan, jangan-jangan yang selama ini kita yakini sebagai Tuhan, barulah buah dari pikiran dan keyakinan dalam menuhankan sesuatu, apa pun itu, belum Tuhan itu sendiri."
Picatrix dimulai dengan Basmalah.
Walaupun "Picatrix" dimulai dengan 'Basmalah' dan banyak menaruh catatan bahwa setiap sihir, upaya, hanya akan berhasil jika disetujui Tuhan untuk mewujud, tetapi di bagian lain ditekankan pentingnya menselaraskan diri dengan makro-kosmos (astrologi) untuk tambahan jaminan keberhasilan setiap usaha sihir.
Sementara baginda Nabi SAW tegas melarang mengaitkan nasib dan takdir dengan bintang, kicau burung, dan hal-hal lain yang lebih tepat dianggap sebagai pertanda sebuah takdir dan nasib, bukan penentu takdir dan atau nasib.
Bisa sekali aku yang awam dengan sihir salah, dan mungkin sekali Ghayat Al-Hakim benar, atau kami berdua benar sekaligus salah.
Resensi ini ditulis tanpa niat mencari benar salah, tetapi karena "Picatrix" dimulai dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang, dan pada banyak bab banyak disebutkan semoga Allah membimbingku (baca: penulis Picatrix) dan orang-orang yang mencari 'kebijaksanaan' dengan membaca "Picatrix".
Penggunaan kata pencari 'kebijaksanaan' menunjukkan tahapan kesadaran penulis 'Picatrix' telah melewati tahapan syahwat kepada ilmu pengetahuan, dan berada di tahapan ingin tenang dan bahagia dengan ilmu dan pengetahuan, untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain.
Cuitan ini seumuran dengan niat setengah hati berhenti ngerokok dan sama-sama belum terwujud :| Sebenarnya hampir terwujud beberapa kali tiga tahun terakhir, tapi dia keburu ke sono. Ndak apa, belum terwujud mungkin karena 'life map' milikku belum kuberi tahu, atau sebaiknya kita membuat satu peta saja? Peta kita.
Kekuatan Kata, Do'a dan Mantra.
Bukti bahwa pilihan kata dan kesungguhan ketika mengucapkan ikut mempengaruhi ikhtiar, telah kami alami sendiri. Cuitan pertama, berdasarkan pilihan kata dan suana hati dan pikiran jelas tidak sesungguh-sungguh cuitan kedua yang lebih mirip do'a ketimbang asal ngoceh di twitter.
"Picatrix" yang menekankan kekuatan kata (berupa mantra, rajah, stempel, simbol, jimat atau isim) tidak sepenuhnya salah bila menganggap pilihan kata, waktu diucapkan, di mana ducapkan, dalam suasana kosmos bagaimana, ikut mempengaruhi bahkan menentukan terwujudnya keinginan.
Ada dua perbedaan mendasar antara pemahaman (yang mampu kami tangkap) dalam Picatrix dengan apa yang kita kenal sebagai do'a dalam ajaran agama.
Pertama, fokus "Picatrix" pada mantra, stempel, isim, dan lain-lain tentang terwujudnya keinginan manusia, belum membuka ruang untuk memandang tertolaknya keinginan, gagalnya ikhtiar berakhir sesuai keinginan yang mengusahakan, sama baiknya dengan yang terwujud.
Kata seorang alim, "Jika do'aku dikabulkan Tuhan, maka aku bersyukur karena keinginanku diridhai. Namun, jika keinginan dan do'aku tidak dikabulkan Tuhan, maka aku bersyukur karena keinginan-Nya yang terwujud."
Kedua, "Picatrix" amat tergantung pada faktor eksternal, faktor di luar diri seperti konstalasi benda langit, perangai cuaca, waktu, dan tempat. Apa isi keinginan dan harapan, tidak terlalu dipermasalahkan. Sementara, dalam agama, ada adab kehati-hatian dalam berdo'a. Seringkali do'a tidak dikabulkan karena si pemohon belum menyiapkan tempat dan dirinya kelak, ketika doanya terkabul, yang jika dikabulkan hanya akan membuat si pemohon kesusahan. Contohnya cuitan ketiga di atas, mau menyatukan dua 'life map' yang berbeda, tetapi belum pernah saling bertukar bahan diskusi. Punyaku berupa draf tulisan, nanti setelah kusarikan, dimuat di sini juga.
Kembali ke resensi buku "Picatrix". Buku ini khas buku abad pertengahan, banyak 'Pseudo Sains' yang kental bercampur dengan ajaran agama dan sihir, meski demikian bukan berarti buku ini tanpa kebaikan dan hikmah sama sekali.
Misalnya, tentang kekuatan kata. Banyak jurnal linguistik dan filsafat yang membahas kekuatan kata dan kalimat. Bermula dari makna yang menjadi niat, lalu menjadi lafaz, dari lafaz terbentuk visi, dari visi terbentuk misi, dari misi lahir persistensi yang selalu diikuti dengan kalimat semoga Tuhan mengizinkan. Tentu, proses transformasi tersebut tidak berlangsung lancar dan mulus tanpa halangan, karena pelajaran terbanyak bukan ketika berhasil atau gagal meraih keinginan, melainkan dalam proses mencapainya. Sudah banyak manusia yang membuktikan kekuatan kata dalam mengubah nasib dan meraih takdir, termasuk dua contoh cuitan di atas.
Namun, ikhtiar sekeras apa pun selalu menyisakan ruang yang tak bisa diapa-apakan, ruang di mana takdir harus diterima sebagaimana adanya. Ruang untuk menjaga kesadaran manusia sebagai hamba dan ciptaan yang harus mencicipi ketidakberdayaan di hadapan Tuhan. Akankah kita meradang untuk sedikit keinginan yang tidak terwujud, setelah sekian banyak kebebasan mengubah nasib dan merancang takdir yang terpenuhi, atau tanpa sadar, lupa ikhtiar yang tidak berakhir sesuai keinginan telan menjelma katalisator dan fasilitator untuk orang lain, atau untuk takdir lain.
Makro Kosmos sama pentingnya dengan Mikro Kosmos.
Sebelum pandemi COVID-19 'memaksa' manusia untuk lebih menaruh perhatian kepada mikro kosmos (meski COVID-19 adalah faktor eksternal juga), sebagian besar umat manusia mulai menyadari spesiesnya bukan tuan raja di muka bumi.
"Picatrix" menganggap setiap manusia berhubungan langsung dengan gugusan planet dan bintang-bintang. Mereka yang bijaksana adalah mereka yang menyadari dirinya sebagai debu, bagian dari semesta. Karena itu, sudah seharusnya manusia menyelaraskan setiap ikhtiarnya (termasuk ikhtiar berupa sihir) dengan konstalasi benda-benda langit.
Namun, kebijaksanaan tersebut masih terasa kurang lengkap, selain menyadari dirinya hanyalah debu semesta, manusia juga harus menyadari dirinya yang debu, adalah sekumpulan debu mikro-kosmos.
Seorang kawan pernah mengisahkan bagaimana unsur mikro-kosmos (tanpa ia sadari seluruhnya) mempengaruhi hasil ikhtiarnya memiliki keturunan, dan kusaksikan sendiri keberhasilan ikhtiarnya.
Sebagai pengantin baru (ketika ia berkisah sekitar dua belas tahun silam), ia dan istrinya kerap kali 'seru-seruan' tanpa berniat berbuah jadi embrio. Syukurnya tidak pernah jadi, karena menurutnya alangkah meruginya mereka jika seorang anak manusia lahir dari 'seru-seruan' tanpa niat yang lurus dan bersih sebelumnya. Bayangkan bila menjadi embrio anak perempuan yang kemudian lahir, mereka memiliki andil besar melahirkan keluarga yang kelak akan diasuh dan diasih oleh seorang anak perempuan yang 'kebetulan' jadi dan lahir.
Empat puluh hari sebelum 'seru-seruan', yang mereka niatkan untuk memiliki keturunan, mereka mulai memelihara dan menjaga apa yang keluar dan masuk dari mulutnya, hanya yang halal, baik, dan bermanfaat.
Berusaha agar diri mereka meski sekumpulan debu, tetapi debu yang suci lagi baik. Tiga hari menjelang 'seru-seruan' mereka berdua puasa sunat tiga hari berturut-turut. Alhamdulillah, ikhtiar mereka terwujud, lahir anak perempuan. Putrinya itu, sampai menjelang akil balik, bau keringatnya wangi meski baru pulang bermain di bawah terik matahari.
Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix".
Setelah membaca buku I dan buku II, benar selalu ada hal-hal baik sekalipun dibalik sesuatu yang cenderung berkonotoasi negatif, seperti sihir misalnya. "Picatrix" ada enam buku, cuma nemu dua buku yang tersedia versi PDF dan bisa diunduh gratis (entah bagaimana awalnya sampai bisa menemukan link untuk mengunduh Picatrix, membacanya, kemudian riweh sendiri).
Walaupun "Picatrix" dimulai dengan 'Basmalah' dan banyak menaruh catatan bahwa setiap sihir, upaya, hanya akan berhasil jika disetujui Tuhan untuk mewujud, tetapi di bagian lain ditekankan pentingnya menselaraskan diri dengan makro-kosmos untuk jaminan keberhasilan setiap usaha sihir. Sementara baginda Nabi SAW tegas melarang mengaitkan nasib, takdir, dengan bintang, kicau burung, dan hal-hal lain yang lebih tepat dianggap sebagai pertanda sebuah takdir dan nasib, bukan penentu takdir dan atau nasib.
Bisa sekali aku yang awam dengan sihir salah, dan mungkin sekali Ghayat Al-Hakim benar, atau kami berdua benar sekaligus salah. Resensi ini ditulis tanpa niat mencari benar salah, tetapi karena "Picatrix" dimulai dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang, dan pada banyak bab banyak disebutkan semoga Allah membimbingku (baca: penulis) dan orang-orang yang mencari 'kebijaksanaan' dengan membaca "Picatrix".
Tentang sihir, pemahamanku untuk sekarang, yang putih atau hitam, sumber kekuatannya sama, yaitu keyakinan. Dikotomi sihir hitam atau putih dibedakan oleh medium, cara, peralatan, pembantu, niat, dan tujuan melakukan praktik sihir tersebut.
Keyakinan dalam dua jenis sihir tersebut berbeda cakrawala dengan keyakinan beragama (agama dalam konteks spritualitas, bukan religiusitas). Pengalaman pribadi dalam beragama, 'keyakinan utuh' mutlak diperlukan sebagai pengantar sebelum menjelma kesadaran, sebab jika tidak, maka agama terancam dituhankan melebihi Tuhan itu sendiri.
Hubungan manusia dan alam semesta.
"Picatrix" menganggap setiap manusia berhubungan langsung dengan gugusan planet dan bintang-bintang. Mereka yang bijaksana adalah mereka yang menyadari dirinya sebagai debu, bagian dari semesta.
Kalimat terakhir tentang debu semesta, kami sepakat. Namun masih terasa keabu-abuan sikap Ghayat Al-Hakim dalam "Picatrix", beberapa sebabnya :
Pertama, ucapan 'Basmalah' lebih dari cukup untuk menyadari posisi dan derajat seseorang dalam semesta ciptaan. Setelah melakukan sinkronisasi dengan Pencipta alam semesta, menyinkronkan diri dengan makro-kosmos yang juga ciptaan seperti pengucap 'Basmalah', rasanya nanti diperlukan jika dan hanya jika belum memahami kasih sayang dan kepemurahan Tuhan dalam Basmalah (yang seorang muslim diwajibkan membacanya sebelum melakukan sesuatu).
Tentu saja, setiap aktifitas punya waktu yang baik dan benar, sama seperti waktu-waktu beribadah yang afdal, waktu tidur, makan, dan lain-lain. Kondisi waktu yang afdal tersebut tetap harus diposisikan sebagai penunjang terwujudnya sebuah takdir yang diinginkan, tetap bukan penentu apalagi jaminan akan berhasil. Ghayat Al-Hakim mengakui hal ini dengan kerapnya menambahkan kalimat semoga Tuhan mengabulkan.
Kedua, berbeda sekali nuansa 'bijaksana dan arif' dalam "Picatrix" dengan yang kupahami. Menurut "Picatrix" kebijaksanaan dan kearifan memiliki banyak tingkatan, setiap tingkatan adalah syarat menuju tingkatan berikutnya. Sayangnya, apa yang disebutnya kebijaksanaan adalah syarat bagi seseorang sebelum menjadi 'talisman' atau dukun. Setuju dengan gambaran jalan menuju 'kebijaksanaan' tidak akan bisa ditempuh dengan 'by force or buy force', tetapi karena niat yang lurus, kemudian dicukupkan Tuhan sebelum mulai diperjalankan.
Beberapa bab memberikan contoh penggunaan sihir dengan memanfaatkan rajah/stempel/simbol/bacaan mantra/jimat pada waktu dan posisi benda-benda langit yang berbeda-beda untuk setiap tujuan. Setiap sihir membutuhkan 'talisman' atau 'dukun'. Benar, memang ada yang memiliki kemampuan seorang Talisman.
Bukannya kehilangan hasrat mewujudkan setiap impian dan harapan. Tidak tertarik pada sihir putih maupun hitam makin membulat setelah mengalami banyak kepahitan dalam hidup dan belajar menerimanya. Ketimbang mencari cara mengubah takdir yang telah terjadi, masih lebih sulit dan terasa lebih manis mempelajari cara menerima dan bereaksi pada takdir tanpa protes dan tanya. Andaipun sihir bisa mengubah takdir menjadi sesuai keinginan, harganya tidak murah, dibayar dengan menghilangkan kesempatan belajar menerima takdir dan ketentuan Tuhan, salah satu jalan terbaik jika ingin mendekati dan mengenal Tuhan.
Sayang jika 'kebijaksanaan' diartikan sebagai kemampuan mewujudkan keinginan diri sendiri dan orang lain apapun itu, dengan memanfaatkan energi dan konstalasi kosmos. Sementara dalam keinginan yang tidak terwujud ada banyak pelajaran berharga.
"Picatrix" yang dimulai dengan 'Basmalah', lebih bijaksana jika menambahkan catatan bahwa balasan kesabaran atas keinginan yang tidak terwujud adalah pahala/imbalan tanpa batas, jauh lebih baik ketimbang keinginan yang terkabul tetapi menjadi sumber kesombongan, arogansi, dan keserakahan.
Tentang mantra berupa kata.
Memang benar kata memiliki 'kekuatan'. Sebagai pembawa informasi berupa data, rasa, nuansa, dan makna, kata mampu menerobos pikiran dan hati manusia. Namun mantra tidak bisa disamakan dengan 'kekuatan' kata dalam 'linguistik'.
Dalih "Mengapa begitu sulit menerima keajaiban kata-kata berupa mantra, sementara semua manusia mengetahui dengan kata yang tepat seorang musuh bisa menjadi sahabat, dan karena salah kata seorang sahabat menjelma musuh." Perbandingan yang kurang tepat karena menempatkan kata dan mantra sejajar. Apple to grape.
Kata yang membentuk kalimat, kemudian menjadi alat berkomunikasi atau bertukar informasi adalah proses yang berlangsung dua arah, silih berganti menjadi penutur-pendengar, ada proses menerima dan memberi.
Sementara mantra cenderung proses searah. Mantra biasanya berisi kata-kata yang memvisualkan keinginan seseorang dalam bentuk yang super, membantu memusatkan keyakinan dan harapannya menjadi fokus, jernih, dan tajam. Seseorang yang mampu memvisualkan keinginannya atau memiliki visi, tidak memerlukan mantra lagi. Visi yang jernih berupa perspektif atau proyeksi selalu sepaket dengan cara meraihnya atau misi, kadangkala bila visi tersebut sesuai dengan rencana semesta, jalan mencapai visi akan tersedia dengan sendirinya.
Contoh penggunaan mantra berupa kata pembentuk kalimat, mantra yang sering digunakan jagoan di Makassar sebelum duel, juga biasa digunakan dalam debat atau diskusi yang bertujuan menjadi pemenang, bukan menggali kebenaran bersama-sama. "Inakke alip, ikau ba." Aku alif, engkau ba. Deklarasi bahwa pengucapnya adalah abjad pertama huruf Hijaiyah yang digunakan dalam Al Qur'an dan lawannya adalah huruf kedua setelahnya. Mantra ini menjadi alat bantu si pengucap membangun rasa percaya diri akan keunggulannya. Saat mengucapkan mantra tidak ada penutur dan pendengar, tidak ada proses memberi dan menerima, tanpa interaksi.
Si pengucap mantra ketika mendapati lawannya tunduk dan mengalah akan sulit melepaskan diri dari kesombongan bahwa ia lebih jago, ialah juaranya, lebih parah lagi jika menganggap mantra sebagai sumber kemenangannya, bukan alat bantu. Padahal lawannya mungkin sekali memang tak ingin menang, memilih berdamai dengan cara mengalah.
Jebakan kesombongan yang tak kalah besar sebenarnya juga ada pada yang memilih mengalah tanpa mantra. Ketika ia merasa dirinya lebih baik dan lebih berilmu dengan mengalah, saat itu juga kesombongan telah menjadi bajunya.
Kesombongan baik sedang kalah atau menang, benar atau salah, bisa ditepiskan dengan tidak menampilkan diri sendiri atau menuding orang lain sebagai sebab apalagi sumbernya. Semua ciptaan hanyalah 'tools' untuk takdir yang mencari jalan agar mewujud. Wallahu'alam.
Ralat Resensi Suka-Suka Bagian #1 :
Ghayat Al Hakim bukan nama pena atau nama asli penulis "Picatrix", tetapi judul asli buku ini dalam bahasa Arab sebelum diterjemahkan ke bahasa latin (Jerman, Perancis dan Inggris) yang kemudian diberi judul "Picatrix".
Ghayat Al Hakim berarti 'Puncak Pencapaian Hikmah'.
Talismant, alias Alchemist, alias Arif Bijak, alias Panrita
Istilah dua yang terakhir di atas, sudah akrab dengan bangsa di Nusantara, dengan pemaknaan dan perspektif masing-masing.
Picatrix lebih banyak menggunakan istilah 'Talismant' untuk menyebut seseorang yang memahami dirinya, orang lain, ciptaan lain, gugusan bintang dan planet, keadaan, kejadian yang telah dan mungkin akan terjadi, berikut kemungkinan mengubah dan caranya. "Picatrix" mengakui adanya ruang yang merupakan preoregatif Allah Ta'ala, tak bisa diubah oleh Talismant sedigdaya apa pun.
Talisman secara rasa, setara dengan makna Arif Bijak, Ki atau Kiai (bukan Kyai yang lebih khusus tentang agama Islam) dan Panrita di Nusantara. Sosok yang kerap menjadi tempat jelata dan raja bertanya hal-hal mistis (yang sebagian besar kini berhasil diilmiahkan) seperti iklim, musim menanam, musim melaut, penamaan keturunan, keris, kampung, mendoakan bayi baru lahir, pindah rumah, sampai penentuan jodoh, tanggal menikah, dan lain-lain.
Seperti di bagian #1, seorang arif-bijak disebut golongan hitam atau putih tergantung medium, cara, peralatan, pembantu, niat serta tujuan menjadi seorang talisman dan tujuan melakukan keahlian seorang talisman.
Ilmu dan pengetahuan abad pertengahan tidak boleh dipandang sebelah mata. Meski ada distorsi dan erosi data dan fakta empiris yang lebih banyak dituturkan lisan turun temurun, kalaupun ada yang tertulis manusia modern biasanya kesulitan menangkap berlapis-lapis makna filosofis dalam metafora, simbolisme, dan analogi yang digunakan hingga ke titik di lapisan terdalam (termasuk primbon, mungkin).
Para arif-bijak tidak begitu terpengaruh dengan menurunnya isi dan makna informasi yang dituturkan turun temurun, tanpa data dan fakta empiris yang memenuhi standar ilmiah modern (catat yang kamu kerjakan dan pikirkan - kerjakan yang kamu catat dan pikirkan) seorang arif bijak masih bisa bekerja dengan baik dalam membuat 'kebijaksanaan" karena hubungan baik dengan sumber awal informasi tersebut, alam semesta.
Transfer dan transformasi ilmu dan pengetahuan para arif-bijak ke pada penerusnya tidak seperti proses belajar-mengajar di ruang kelas formal yang kita kenal sekarang. Ilmu dan pengetahuannya belakangan diajarkan, setelah fisik, psikis dan ruhani siap menerima pengetahuan sesuai tingkat dan kadar kesiapannya.
Sumber utama kebijaksanaa Talisman, arif bijak, dan Panrita abad pertengahan bukan dari apa yang mereka pelajari, tetapi bersumber dari hubungan akrab, setara tanpa jarak dengan semesta. Ajaran Zen menggambarkan hubungan tersebut dengan tepat: kondisi di mana seseorang tidak lagi mencari jawaban atas pertanyaan, tetapi hilangnya segala tanya.
Di Galesong, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, ada seorang arif bijak yang buta huruf latin, tidak bisa baca tulis, tanpa tumpukan data statistik tingkah polah cuaca sejak beberapa puluh tahun sebelumnya, tanpa data astronomi dan geologi, tetapi mampu dengan tepat memberi tahu para petambak dan petani, kapan mengeringkan empang, menabur benih dan panen, hanya dengan duduk berdiam diri di teras rumah panggungnya, bercengkrama dengan angin laut dan bintang-bintang. Beberapa tahun terakhir ia tidak pernah lagi memberi saran untuk petambak dan petani. Sekitar tahun 2012, ia mengaku kehilangan kemampuan melakukan sinkronisasi batin dengan semesta di Galesong. Bahasa yang digunakan alam kini berbeda dan belum pernah diajarkan moyangnya, alam lebih banyak berbicara tentang menyeimbangkan diri agar tetap memiliki daya dukung hidup untuk semua makhluk, bukan lagi menyajikan informasi daya dukung yang siap digunakan.
Catatan :
Menurut "Picatrix", 'kebijaksanaan' memiliki tiga karakter subyektif: terus tumbuh dan tidak bisa dimusnahkan, penuh hukuman kedisiplinan, dan tidak akan mendatangi mereka yang tidak tertarik dengan 'kebijaksanaan' atau hanya ingin terlihat bijak.
Tiga karakter tersebut jika digunakan memandang manusia sekarang, maka nampak jelas perbedaan antara mereka yang bersekolah dan yang terdidik, beda antara mereka yang mengetahui ilmu agama dengan yang mengamalkan ilmu agama.
Mereka yang berilmu agama terhubung ke kitab-kitab dan guru-burunya, sedangkan mereka yang mengamalkan ilmu agama yang bermanfaat untuk dirinya dan alam semesta walau satu ayat, terhubung ke Tuhannya.
Wallahu'alam
Berikut penulis lampirkan buku-buku Picatrix (PDF) FREE DOWNLOAD :