ADAB PEMIMPIN
Adab
lebih utama dibandingkan dengan ilmu. Adab lebih tinggi daripada ilmu. Itulah
sebabnya, pelajarilah adab sebelum mempelajari ilmu. Demikianlah Islam
mengajarkan kepada para pemeluknya. Bahkan mungkin, ajaran tentang adab lebih
utama daripada ilmu yang berlaku secara universal di berbagai belahan dunia
ini.
Seorang
calon pemimpin hendaklah dilihat dari adabnya. Ketika ia menunjukkan sosoknya
sebagai seseorang yang menjunjung tinggi adab, layaklah dia dipilih sebagai
seorang pemimpin.
Dalam
masyarakat beradab, kepemimpinan dibangun atas dasar konsensus nilai-nilai
kearifan lokal. Jika kultur dan kearifan lokal dikaitan dengan aktivitas
kepemimpinan, maka ia menjadi sebuah entitas yang tidak bisa dipisahkan.
Kepemimpinan tidak bisa terlepas dari nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial
masyarakat yang dianut. Ia tidak bisa dipertentangkan, tetapi ia harus
direlasikan atau bahkan diintegrasikan. Salah satu ciri kearifan lokal adalah
memiliki tingkat solidaritas yang tinggi atas lingkungannya.
Dalam
khasanah sosiologi Islam, Ibnu Khaldun dikenal sebagai peletak dasar teori
solidaritas masyarakat atau dikenal dengan teori ‘Ashâbiyat. Teori ini
merupakan pengejawantahan dari teori harmoni ka al-jasad al-wahid dalam ajaran
Islam, yang menggambarkan kelaziman saling melindungi dan mengembangkan potensi
serta saling mengisi dan membantu di antara sesama. Melalui teori harmoni ka
al-jasad al-wahid dimisalkan kehidupan komunitas muslim itu dengan ka al-bunyan
yasuddu ba’duha ba’dla bagaikan sebuah bangunan, yang antara elemen bangunan
yang satu dengan yang lainnya saling memperkokoh— memperkuat Teori ‘Ashâbiyat—
solidaritas kelompok dan konsep ta’âwun al-ihsan itu didasarkan atas pemikiran
ajaran Islam, yang di dalamnya terkandung norma akidah dan syari’at.
Ibnu
Taimiyyah menyatakan agama Islam tidak akan bisa tegak dan abadi tanpa
ditunjang oleh kekuasaan, dan kekuasaan tidak bisa langgeng tanpa ditunjang
dengan agama.
Dalam
Islam istilah kepemimpinan dikenal dengan kata Imamah.
Sedangkan
kata yang terkait dengan kepemimpinan dan berkonotasi pemimpin dalam Islam ada
delapan istilah, yaitu :
1.
Imam dalam
Surat al-Baqarah 124.
2.
Khalifah pada al-Baqarah: 30.
3.
Malik,
al-Fatihah : 4,
4.
Wali pada
al-A’raf : 3.
5.
‘Amir dan Ra’in,
6.
Sultan,
7.
Rais, dan
8.
Ulil ‘amri.
Menurut
Quraish Shihab, imam dan khalifah dua istilah yang digunakan Alquran untuk
menunjuk pemimpin. Kata imam diambil dari kata amma-ya’ummu, yang berarti
menuju, dan meneladani. Kata khalifah berakar dari kata khalafa yang pada
mulanya berarti “di belakang”. Kata khalifah sering diartikan “pengganti”
karena yang menggantikan selalu berada di belakang, atau datang sesudah yang
digantikannya
Dasar-dasar Kepemimpinan
Pertama,
tidak mengambil orang kafir atau orang yang tidak beriman sebagai pemimpin bagi
orang-orang muslim karena bagaimanapun akan mempengaruhi kualitas keberagamaan
rakyat yang dipimpinnya, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an; Surat
An-Nisaa: 144.
Kedua,
tidak mengangkat pemimpin dari orang-orang yang mempermainkan Agama Islam,
sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah: 57.
Ketiga,
pemimpin harus mempunyai keahlian di bidangnya, pemberian tugas atau wewenang
kepada yang tidak berkompeten akan mengakibatkan rusaknya pekerjaan bahkan
organisasi yang menaunginya. Sebagaimana Sabda Rasulullah sa. “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang
bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya”. (HR Bukhori dan Muslim).
Keempat,
pemimpin harus bisa diterima (acceptable), mencintai dan dicintai umatnya,
mendoakan dan didoakan oleh umatnya. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw.
“Sebaik-baiknya pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu,
kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin
adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka
dan mereka melaknati kamu.” (HR Muslim).
Kelima,
pemimpin harus mengutamakan, membela dan mendahulukan kepentingan umat,
menegakkan keadilan, melaksanakan syari’at, berjuang menghilangkan segala
bentuk kemunkaran, kekufuran, kekacauan, dan fitnah, sebagaimana Firman Allah
SWT. Dalam Alquran, Surat Al-Maidah: 8. Keenam, pemimpin harus memiliki
bayangan sifat-sifat Allah swt yang terkumpul dalam Asmaul Husna dan
sifat-sifat Rasul-rasul-Nya.
Karakter Pemimpin Islami
Karakteristik
manusia yang mempunyai motivasi tinggi untuk menjadi pemimpin tampak dalam
tingkah laku yang dilandaskan pada suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa
apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ibadah kepada Allah. Pemimpin
merupakan suatu panggilan yang sangat mulia dan perintah dari Allah yang
menempatkan dirinya sebagai makhluk pilihan sehingga tumbuh dalam dirinya
kehati-hatian, menghargai waktu, hemat, produktif, dan memperlebar sifat kasih
sayang sesama manusia.
Solidaritas
kelompok sebagai dasar kehidupan yang dilandasi oleh iman dan akhlak mulia
seperti yang dicontohkan Rasulullah Saw, dapat memberikan implikasi terhadap
tatanan kerja sama kemanusiaan (ta’âwun al-ihsan). Apabila teori tersebut
dihubungkan dengan kegiatan kepemimpinan, maka akan dapat mendorong masyarakat
untuk bersatu dan aktif partisipatif dalam proses pembangunan di semua sektor
kehidupan.
Motivasi
seseorang untuk ambil bagian dalam suatu proses kepemipinan sangat beragam
sebagaimana halnya motivasi seseorang untuk melaksanakan ibadah, seperti salat,
puasa, dan sebagainya. Keragaman motivasi atau latar belakang niat seseorang
dalam bertindak adalah suatu hal yang tidak terelakan dan secara hukum tidak
dipersalahkan. Sejarah menjelaskan kepada kita, ketika Nabi Muhammad saw berhijrah bersama para pengikutnya, beliau
mengatakan bahwa motivasi dan keikutsertaan para pengikutnya itu beragam, ada
yang bermotivkan kekayaan, dan ada juga karena dorongan wanita yang ingin
dinikahinya. Semuanya itu dibenarkan, hanya saja kualitas partisipasi yang
terbaik dan tertinggi dalam pandangan agama Islam adalah karena Allah swt.
Hadis
yang berbunyi: innama al-’amal bi al-niyyât dan seterusnya, membenarkan
keragamaan motivasi tindakan. Oleh karena itu, masalah partisipasi tokoh
masyarakat dalam perhelatan pemilihan kepala daerah baik presiden, gubernur,
bupati maupun wali kota pun demikian. Motivasi partisipasi itu harus diciptakan. Menurut Abdurrahman bin
Abd al Salam al Syafi’i dalam kitab Nuzhat al Majalis wa Muntakhab al Nafais
bahwa motivasi seseorang untuk
melaksanakan kepemimpinan sebagaimana juga melaksanakan ibadah selalu beragam.
Minimal ada tiga motivasi utama: Motivasi ekonomi, yakni ingin mendapat imbalan
material yang bernilai; Motivasi “takut” mendapat ancaman “akhirat” dan ingin
“surga”; dan motivasi ikhlas atas
landasan iman tauhid yang amat murni; lillahi ta’ala.
Karakter
yang harus dimiliki dalam sebuah kepemimpinan adalah: Pertama, Shidiq (jujur).
Seorang pemimpin wajib berlaku jujur dalam melaksanakan tugasnya. Jujur dalam
arti luas. Tidak berbohong, tidak menipu, tidak mengada-ngada fakta, tidak
bekhianat, serta tidak pernah ingkar janji dan lain sebagainya. Mengapa harus
jujur? Karena berbagai tindakan tidak jujur selain merupakan perbuatan yang
jelas-jelas berdosa, jika biasa dilakukan, juga akan mewarnai dan berpengaruh
negatif kepada kehidupan pribadi dan keluarga pemimpin itu sendiri. Bahkan
lebih jauh lagi, sikap dan tindakan yang seperti itu akan mewarnai dan
mempengaruhi kehidupan bermasyarakat.
Dalam
Alquran, keharusan bersikap jujur dalam memimpin, sudah diterangkan dengan
sangat jelas dan tegas yang antara lain kejujuran tersebut. Di beberapa ayat, dihuhungkan dengan
pelaksanaan timbangan, sebagaimana Firman Allah swt: Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil. (QS Al An’aam: 152).
Dengan
hanya menyimak ayat tersebut di atas, maka kita sudah dapat mengambil
kesimpulan bahwa; sesungguhnya Allah swt telah menganjurkan kepada seluruh umat
manusia pada umumnya, dan kepada para pedagang khususnya untuk berlaku jujur
dalam menimbang, menakar dan mengukur barang dagangan. Penyimpangan dalam
menimbang, menakar dan mengukur yang merupakan wujud kecurangan dalam
perdagangan, sekalipun tidak begitu nampak kerugian dan kerusakan yang
diakibatkannya pada manusia ketimbang tindak kejahatan yang lebih besar lagi
seperti; perampokan, perampasan, pencurian, korupsi, manipulasi, pemalsuan dan
yang lainnya, nyatanya tetap diharamkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Mengapa?
Jawabnya adalah; karena kebiasaan melakukan kecurangan menimbang, menakar dan
mengukur dalam dunia perdagangan, akan menjadi cikal bakal dari bentuk
kejahatan lain yang jauh lebih besar.
Jika
penampokan, pencurian, pemerasan, perampasan, sudah jelas merupakan tindakan
memakan harta orang lain dengan cara batil, yang dilakukan dengan jalan
terang-terangan. Namun tindak penyimpangan dan atau kecurangan dalam menimbang,
menakar dan mengukur barang dagangan, merupakan kejahatan yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Sehingga para pemimpin yang melakukan kecurangan tersebut,
pada hakikatnya adalah juga pencuri, perampok dan perampas dan atau penjahat,
hanya mereka bersembunyi di balik lambang keadilan yakni, timbangan, takaran
dan ukuran yang mereka gunakan dalam perdagangan.
Dengan
demikian, tidak ada bedanya! Mereka sama-sama penjahat. Maka alangkah kejinya
tindakan mereka itu. Sehingga wajar, jika Allah swt dan Rasul-Nya mengharamkan
perbuatan tersebut, dan wajar pula jika para pelakunya diancam Allah swt akan
menerima azab dan siksa yang pedih di akhirat kelak, sebagaimana Firman Allah
swt dalam Alquran: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta
dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka
mengurangi. Tidakkah orang-orang ini menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan
dibangkitkan, pada suatu hari yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri
menghadap Tuhan Semesta Alam ini.” (QS Al Muthaffifiin: 1-6)
Selain
ancaman azab dan siksa di akhirat kelak, bagi orang-orang yang melakukan
berbagai bentuk penyimpangan dan kecurangan dalam menakar, menimbang dan mengukur
barang dagangan mereka, sesungguhnya Alquran juga telah menuturkan dengan jelas
dan tegas kisah onang-orang Madyan yang terpaksa harus menerima siksa dunia
dari Allah swt lantaran menolak peringatan dari Nabi mereka Syuaib as.
“Dan
(Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka Syuaib. Ia
berkata:”Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu
selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu.
Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah membuat kerusakan di
muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu
jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”. (QS Al A’raaf: 85)
Firman
Allah swt Ayat tersebut di atas, hendaknya menjadi peringatan bagi kita, bahwa
ternyata perbuatan curang dalam menimbang, menakar dan mengukur barang
dagangan, sama sekali tidak memberikan keuntungan, kehahagiaan bagi para
pelakunya, bahkan hanya menimbulkan murka Allah.
Kedua,
Amanah (tanggung jawab). Setiap pemimpin harus bertanggung jawab atas usaha dan
pekerjaan dan atau jabatan yang telah
dipilihnya tersebut. Tanggung jawab di sini artinya, mau dan mampu menjaga
amanah (kepercayaan) masyarakat yang memang secara otomatis terbeban di pundaknya.
Dalam pandangan Islam, setiap pekerjaan manusia adalah mulia. Pemimpin
merupakan suatu tugas mulia, lantaran tugasnya antara lain memenuhi kebutuhan
seluruh anggota masyarakat akan barang dan atau jasa untuk kepentingan hidup
dan kehidupannya.
Ketiga,
tidak menipu. Pemimpin hendaknya menghindari penipuan, sumpah palsu, janji
palsu, keserakahan, perselisihan dan keburukan tingkah polah manusia lainnya.
Setiap sumpah yang keluar dan mulut manusia harus dengan nama Allah. Jika sudah
dengan nama Allah, maka harus benar dan jujur. Jika tidak henar, maka akibatnya
sangatlah fatal. Oleh sehab itu, Rasulululah saw selalu memperingatkan kepada
para pemimpin untuk tidak mengobral janji atau berpromosi secara berlebihan
yang cenderung mengada-ngada, semata-mata agar terpilih, lantaran jika seorang
pedagang berani bersumpah palsu, akibat yang akan menimpa dirinya hanyalah
kerugian.
Sementara
itu, apa yang kita alami selama ini, proses demokrasi untuk mengahasilkan
pemimpin dinodai dengan pelanggaran etika, bahkan nyaris, setiap orang –calon
pemimpin maupun pemilih– tidak mampu
lagi membedakan barang yang halal dan yang haram, di mana keadaan ini
sesungguhnya sudah disinyalir akan terjadi oleh Rasulullah saw, sebagaimana
dinyatakan dalam hadisnya. Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, bersabda: “Akan
datang pada manusia suatu zaman yang seseorang tidak memperhatikan apakah yang
diambilnya itu dan barang yang halal atau haram.” (HR Bukhari)
Memang
sangat disayangkan, mengapa hal seperti ini harus terjadi? Sementara tidak
hanya sekali saja Rasulullah saw memberi peringatan kepada para pemimpin untuk
berbuat jujur, tidak menipu dan tidak merugikan orang lain.
Keempat,
menepati janji. Seorang pemimpin juga dituntut untuk selalu menepati janjinya,
baik kepada rakayat terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya
kepada Allah swt. Janji yang harus ditepati oleh para pemimpin. Sementara janji
kepada Allah yang harus ditepati oleh para pemimpin Muslim misalnya adalah
salatnya. Sebagaimana Firman Allah dalam Alquran: “Apabila telah ditunaikan salat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyaknya supaya kamu beruntung. Dan apabila mereka melihat perniagaan
atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadaNya dan mereka tinggalkan kamu
sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: “Apa yang di sisi Allah adalah lebih
baik daripada permainan dan perniagaan”, dan Allah sebaik-baik pemberi rezki”
(QS Al Jumu’ah:10-11)
Dengan
demikian, sesibuk-sibuknya pemerintahan yang sedang ditangani, sebagai pemimpin
muslim, janganlah pernah sekali-kali meninggalkan salat. Lantaran Allah swt
masih memberi kesempatan yang sangat luas kepada kita untuk mencari dan
mendapatkan rejeki setelah salat, yakni yang tercermin melalui perintah-Nya;
bertebaran di muka bumi dengan mengingat Allah swt banyak- banyak supaya
beruntung.
Kelima, murah hati. Dalam suatu hadis, Rasulullah saw
menganjurkan agar para pemimpin selalu bermurah hati dalam melaksanakan
pemerintahani. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah
senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab. Sabda Rasulullah SAW:
“Allah berbelas kasih kepada orang yang murah hati ketika ia menjual, bila
membeli dan atau ketika menuntut hak”. (HR Bukhari)
Keenam,
tidak melupakan akhirat. Kepemimpinan
adalah perdagangan dunia, sedangkan melaksanakan kewajiban Syariat Islam
adalah perdagangan akhirat. Keuntungan akhirat pasti lebih utama ketimbang
keuntungan dunia. Maka para pemimpin muslim sekali-kali tidak boleh terlalu
menyibukkan dirinya semata-mata untuk mencari keuntungan materi dengan
meninggalkan keuntungan akhirat. Sehingga jika datang waktu salat, mereka wajib
melaksanakannya sebelum habis waktunya. Alangkah baiknya, jika mereka bergegas
bersama-sama melaksanakan salat berjamaah, ketika azan telah dikumandangkan.
Begitu pula dengan pelaksanaan kewajiban memenuhi rukun Islam yang lain.
Sekali-kali seorang pemimpin muslim hendaknya tidak melalaikan kewajiban agamanya
dengan alasan kesibukan pemerintahan.
Kesimpulannya bahwa sebagai pemimpin hendaknya kita selalu berupaya menyempurnakan keilmuan, berani
mengambil risiko dan mampu mengambil ibrah dari keberhasilan serta kegagalan
para pemimpin terdahulu. Jadilah pemimpin yang berangkat atas dasar keilmuan
dan ketakwaan bukan atas dasar nafsu dan keserakahan.
Kanti
Suci Project