tentang Filsafat
Keberadaan
filsafat sebagai disiplin ilmu ternyata sudah dipersoalkan sejak lebih dari 20
tahun abad silam. Meskipun banyak pendapat yang menjelaskan mengenai apakah
sesungguhnya filsafat itu, tetapi pendapat-pendapat tersebut belum memuaskan
semua orang. Bahkan banyak orang yang berpikir bahwa filsafat adalah sesuatu
yang bersifat serba rahasia, mistis, dan aneh.
Filsafat
disebut-sebut sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan yang ada di muka bumi
ini. Maka dari itu, banyak pula orang yang menganggap bahwa filsafat adalah
ilmu paling istimewa dan menduduki tempat paling tinggi di antara seluruh ilmu
pengetahuan yang ada. Terlebih lagi, banyaknya kepercayaan bahwa filsafat hanya
dapat dipahami oleh orang-orang genius saja.
Pengertian Filsafat
Istilah
“filsafat” ini sebenarnya berasal dari Bahasa Yunani, yakni “philosophia”, yang
mana merupakan gabungan dari kata “philo” dan “sophia”. Philo berarti ‘cinta
dalam arti yang luas’, sementara sophia berarti ‘kebijakan atau pandai’. Jadi,
dapat disebut bahwa filsafat ini adalah keinginan untuk mencapai cita pada
kebijakan.
Banyak
ahli yang mendefinisikan apa itu filsafat. Poedjawijatna berpendapat bahwa
filsafat adalah sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab secara
sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu yang berdasarkan pikiran belaka. Lalu
menurut Hasbullah Bakry, filsafat memiliki definisi berupa sejenis pengetahuan
yang menyelidiki segala sesuatu secara mendalam, mulai dari ketuhanan, alam
semesta, hingga manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia. Kemudian ada
juga tokoh filsafat terkenal, Plato, yang mendefinisikan filsafat adalah
pengetahuan yang berminat untuk mencapai pada kebenaran asli.
Berdasarkan
beberapa pendapat dari para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa filsafat
adalah sebuah ilmu yang berusaha mencari sebab secara mendalam berdasarkan
pemikiran dan akal manusia. Filsafat ini juga dapat menjadi pandangan hidup
seseorang sekelompok orang mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Namun,
filsafat ini dapat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan
dewasa ketika memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan melihat secara menyeluruh
dengan segala hubungan.
“We
all need to be challenged out of our mistakes, stupidities,
complacencies—especially when it is our own intellectual blinkers that prevent
us from seeing them as such. This is the preeminent role of philosophy”
(Priest,
G. 2006)
Satu
hal terpasti yang perlu menjadi pertanyaan kita semua sebagai pembelajar
filsafat adalah, “Apa itu filsafat?” Pertanyaan ini menjadi fundamental dan
perlu untuk dicermati baik-baik mengingat kita semua akan mempelajari dan
menggulati filsafat sepanjang waktu, setidaknya bila kita menyukainya. Namun,
tampaknya, jawaban atas pertanyaan, “Apa itu filsafat?” tidak sesederhana, “Apa
itu matematika, fisika, dan sejarah?” misal, yang pakar di bidangnya selalu
piawai dan sigap menjawab pertanyaan tersebut. Seorang logikawan, Graham Priest
(2006), menganalogikannya dengan mudah: “Kita boleh jadi mengetahui dengan
pengalaman apa itu bernapas, tetapi tidak otomatis mengetahui sifat, mekanisme,
dan fungsinya”. Pada akhirnya, pertanyaan mengenai apa itu filsafat, sejatinya
adalah pertanyaan filosofis.
Definisi
pertama yang paling kuno, tetapi kita pada suatu waktu pasti pernah
mengamininya adalah melalui penelusuran etimologi atau asal-usul kata. Secara
singkat, istilah filsafat berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani kuno, yaitu
“philos” yang berarti cinta atau kecintaan dan “sophia” yang berarti
kebijaksanaan atau pengetahuan. Secara harfiah, filsafat dapat diterjemahkan
sebagai “kecintaan terhadap kebijaksanaan” atau “kecintaan terhadap
pengetahuan” (Bertens, 2018).
Kelahiran Filsafat
Hadirnya
pelbagai pertanyaan adalah ciri paling umum filsafat. Pertanyaan-pertanyaan di
atas hanya salah satunya. Namun, mengapa filsafat selalu dikaitkan dengan
pertanyaan? Satu jawaban adalah karena manusia selalu ingin mengerti dunia di
sekitarnya (Bertens, 2018). Kita mencoba untuk memahami dunia dengan segala
macam cara. Mitos kemudian hadir sebagai jawaban atas pertanyaan manusia
tentang dunianya. Mitos adalah pelarian sekaligus obat manusia yang sakit
penasaran. Di zaman Yunani Kuno, banyak mitologi yang membahas tentang
dewa-dewi sebagai suplemen eksplanasi realitas (Russell, 2021). Zeus sebagai
raja para dewa dan dewi; dewa petir; langit; dan hukum serta dikenal pula
sebagai pengendali cuaca dan penguasa alam semesta. Athena sebagai dewi
kebijaksanaan, perang, dan seni adalah pelindung kota Athena. Poseidon sebagai
dewa laut mengendalikan gempa bumi, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
air. Masih banyak dewa-dewi lain yang menjelaskan dunia, khususnya alam, tetapi
bukan itu poin pentingnya. Gagasan mitologi tersebut memiliki daya penjelasan
yang sungguh luar biasa dalam menjawab pertanyaan manusia tentang dunianya.
Filsafat
lahir nyatanya bukan hanya dari pertanyaan melihat lahirnya mitos sebelum
filsafat dimulai dengan pertanyaan dan usaha untuk memahami. Filsafat lahir
dari suatu pemikiran kritis. Filsafat mengkritik dan merekonstruksi pemahaman
manusia melampaui mitos yang ada. Arkhe yang berarti prinsip permulaan atau
dasar realitas, menjadi pemantik filsuf-filsuf awal dalam menggeser paradigma
mitos ke logos. Thales menganggap arkhe dunia adalah air, sedangkan Anaximenes
berpikir semestinya udara. Hal yang perlu diperhatikan selain menganggap mereka
begitu primitive adalah cara berpikir rasional yang sepenuhnya berbeda dengan
cara berpikir yang ada dalam mitos. Hal tersebut adalah palingan spektakuler
dalam filsafat.
Ciri dan Cabang Filsafat
Salah
satu pendekatan yang dapat diusahakan supaya mengerti dan memahami suatu
entitas adalah melalui ciri-ciri yang melekat pada dirinya. Ciri-ciri tikus
misalnya, berkaki empat, berbuntut, berkumis, bertubuh kecil, dsb. Walaupun
hanya secara general, kita sedikit bisa mengenal apa entitas bernama tikus
tersebut. Tikus berada dalam himpunan sesuatu yang berkaki empat, berbuntut,
dst. Begitupula dalam ranah pengetahuan terlebih dalam disiplin ilmu. Kita bisa
tahu apa itu ilmu kedokteran lewat ciri-cirinya. Disiplin yang fokus pada
kesehatan dan penyakit, pendekatan berbasis bukti, dan seterusnya adalah ilmu
kedokteran.
Louis
O. Kattsoff (2004) membagi ciri-ciri pikiran kefilsafatan menjadi enam garis besar.
Pertama, pikiran kefilsafatan adalah suatu bagan konsepsional. Artinya,
filsafat merupakan pemikiran tentang sesuatu yang umum. Lalu, sebuah sistem
filsafat mestilah koheren. Keruntutan dan kelogisan diperlukan dalam membangun
bangunan filsafat yang baik. Hal ini berkaitan dengan aturan penalaran yang
rasional. Ketiga, konsep-konsep dalam filsafat mesti bersifat rasional.
Keempat, filsafat senantiasa komprehensif. Filsafat berpikir dan menjelaskan
dengan menyeluruh, tidak sepotong-sepotong yang acapkali menghasilkan
kesimpulan yang keliru. Kelima, filsafat adalah suatu pandangan tentang dunia
dan segala hal di dalamnya. Terakhir, filsafat membuat suatu definisi
pendahuluan yang menjadi dasar-dasar kepercayaan-kepercayaan kita.
Apa
yang kita bicarakan di sini masuk dalam salah satu dari empat rumpun cabang
filsafat umum, yakni ontologi. Ontologi membahas tentang adaan, mengada, dan
pengada (Ohoitimur, 2018). Ontologi berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang apa yang nyata, bagaimana hal-hal nyata tersebut ada, dan apa yang
menjadi dasar atau substansi dari realitas. Dari hal ini kita mulai mendekati
dan mengenali, sekurang-kurangnya mengetahui apa itu filsafat.
Namun,
apa yang kita maksud ketika kita “tahu” akan sesuatu? Filsafat selalu berkutat dengan
pengetahuan. Teori tentang pengetahuan ini lah yang akan disebut sebagai
epistemologi. Cabang filsafat umum kedua ini mempelajari sifat, asal-usul, dan
batasan pengetahuan. Masalah epistemologi bersangkutan dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan (Kattsoff, 2004).
Anggaplah
kita sudah mengetahui fakta (ontologis) dan kita paham tentang pengetahuan kita
(epistemologis), lantas apa? Bisakah kemudian kita menyimpulkan apa yang
seharusnya secara normatif dari apa yang ada secara objektif? Pertanyaan ini
pernah dijawab oleh David Hume dengan radikal. Pernyataan deskriptif tidak
dapat berubah menjadi pernyataan normatif (MacIntyre, 1959). Misalnya, fakta
bahwa “orang melakukan tindakan X” tidak boleh kemudian langsung semena-mena
diambil sebagai kesimpulan bahwa “orang seharusnya melakukan tindakan X” atau
“tindakan X adalah hal yang baik atau buruk.” Ia menggambarkan pemisahan ini
sebagai “Guillotine Hume” karena memisahkan dengan tegas antara apa yang bisa
kita pelajari dari pengamatan empiris dan apa yang seharusnya menjadi dasar
etika atau estetika (Black, 1964).
Kemudian,
etika atau estetika. Keduanya memiliki satu kesamaan yakni di dalamnya
sama-sama bernaung nilai. Problem mengenai nilai berkutat di cabang filsafat
umum ketiga yakni aksiologi. Aksiologi mencoba untuk memahami sifat nilai,
prinsip-prinsip yang terlibat dalam penilaian, dan pertanyaan-pertanyaan
tentang apa yang baik dan yang buruk, apa yang indah dan tidak indah.
Terlepas
dari semua itu, filsafat tidak akan menunjukan kedigdayaannya tanpa dibersamai
penalaran yang kuat. Logika menjadi alat dan hal fundamental yang tak
terelakkan ketika berfilsafat. Filsafat yang baik adalah filsafat yang
dibersamai argumen logis. Logika mempelajari prinsip-prinsip penalaran yang
valid dan struktur argumen yang benar. Ia berfokus pada cara berpikir rasional
dan penggunaan alat-alat berpikir yang tepat dalam merumuskan dan mengevaluasi
argumen. Logika membantu kita dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip
yang memastikan kebenaran dan kesahihan dari suatu penalaran. Kecacatan
logika—seperti dalam sesat pikir—akan membawa petaka seperti inkonsistensi,
trivialitas, dan paradoks.
Ringkasan
Mempelajari
filsafat bukah semata-mata mempelajari sejumlah fakta. Mempelajari filsafat
artinya belajar untuk menjadi kritis (Priest, 2006). Matematikawan mengamati
dengan teliti pembuktian rekan sejawat dan mengoreksi kesalahan siswanya.
Ilmuwan eksperimental mengelaborasi eksperimen sebagai test terhadap teori.
Sejarawan menguji laporan rekan sejawatnya menggunakan sumber primer. Perbedaan
dan esensi gaya kritis filsafat sejatinya terdapat pada hal berikut. Tak ada
satupun yang tak dapat digugat (Priest, 2006).
Agama
cinta kebenaran, tetapi tidak cinta ketika kebenarannya dipertanyakan. Seketika
keraguan dianggap tabu, seketika itu pula filsafat menghembuskan napas
terakhirnya (baca: mati). Dalam ilmu sejarah, kita dilarang mempertanyakan
apakah sejarawan lain punya kesadaran atau pikiran. Dalam sains, kritik
terhadap suatu teori wajar dan diizinkan, tetapi tidak kepada keseluruhan tubuh
dan cara pandang dunia komunitas saintifik (paradigma). Thomas Kuhn dalam
karyanya, The Structure of Scientific Revolutions (1962), menganggap adanya
paradigma tunggal krusial pada perkembangan ilmu. Namun, ketika ilmuwan menantang
dan mengkritisi paradigma karena kehadiran anomali, ketika itu pula ilmuwan
menggunakan filsafat. Hal ini terlihat dalam kutipan bukunya (Kuhn, 1962) “It
is, I think, particularly in periods of acknowledged crisis that scientists
have turned to philosophical analysis as a device for unlocking the riddles of
their field.” Pergeseran paradigma adalah hasil dari filsafat. Ilmuwan yang tak
mau dan tak butuh filsafat, dalam kenyataannya, mau tidak mau, selalu
berpapasan dengan filsafat.
Justru
dalam kegilaannya, filsafat mewujudkan keheroikannya.
·
Apakah ada dunia eksternal (independen dari pikiran) ?
·
Apakah ada nilai moral? Apakah orang lain punya
pikiran yang sama denganku ?
·
Apakah ada kehendak bebas ?
·
Apakah keadilan itu ?
·
Mengapa bahasa memiliki makna sebagaimana adanya ?
·
Mengapa kita semua mati ?
·
Apa arti dari semua ini ?
Pertanyaan-pertanyaan
filosofis ini butuh dijawab atau lebih tepatnya kita hanya cukup mencobanya dan
dalam proses dinamikanya kita akan sedikit, dan dengan sedikit adalah segalanya,
lebih dekat dengan kebijaksanaan. Oleh karena itu, mari berfilsafat!
Tokoh-Tokoh Filsafat Yunani
Kebanyakan,
tokoh-tokoh filsafat atau para filsuf ini berasal dari Yunani sebab ilmu
pengetahuan tersebut memang bersumber dari pemikiran Yunani Kuno. Para filsuf
Yunani ini hidup sekitar abad Sebelum Masehi. Meskipun mereka telah meninggal
sudah ratusan tahun lamanya, tetapi pemikiran mereka turut berkontribusi pada
ilmu pengetahuan filsafat ini. Nah, berikut adalah tokoh-tokoh filsafat Yunani adalah
sebagai brikut :
1. Socrates
Socrates
hidup sekitar tahun 469-399 Sebelum Masehi. Beliau sangat menaruh perhatian
pada manusia dan menginginkan supaya para manusia yang ada di muka bumi ini
mampu mengenali dirinya sendiri. Menurut Beliau, jiwa manusia merupakan asas
hidup yang paling mendalam sehingga berkaitan dengan hakikat manusia sebagai
penentu kehidupannya sendiri.
Berdasarkan
pandangannya, dirinya tidak mempunyai niat untuk memaksakan orang lain untuk
mau menerima ajarannya, justru Beliau mengutamakan supaya orang lain dapat
menyampaikan pandangan mereka sendiri. Maka dari itu, Socrates menggunakan
dialektika, yakni berupa berdialog dengan orang lain supaya orang lain tersebut
dapat mengemukakan atau menjelaskan pandangan serta idenya, sehingga kemudian
dapat timbul pandangan baru. Meskipun Socrates ini tidak pernah meninggalkan
tulisan-tulisan yang berkaitan dengan pandangannya tersebut, tetapi pandangan
Beliau dikemukakan kembali oleh Plato yang menjadi salah satu muridnya.
2. Plato
Grameds
pasti sudah tidak asing lagi dengan nama tersebut yang bahkan dikenal sebagai
filsuf terkenal sepanjang sejarah. Plato yang hidup sejak 427-347 SM ini
mengemukakan atas pendapatnya bahwa realitas yang paling mendasar atau ide.
Beliau
percaya bahwa alam yang kita lihat ini bukanlah realitas yang sebenarnya,
sehingga terdapat adanya dunia tangkapan indrawi atau dunia nyata, dan dunia
ide. Untuk memasuki dunia ide, diperlukan adanya tenaga kejiwaan yang besar dan
untuk itu para manusia harus melakukan banyak hal, termasuk meninggalkan
kebiasaan hidupnya dan mengendalikan hawa nafsu. Beliau juga menyatakan bahwa
jiwa manusia itu terdiri atas tiga tingkatan, yakni akal budi, rasa atau
keinginan, dan nafsu. Akal budi yang mana merupakan bagian tingkatan jiwa tertinggi
dapat digunakan untuk melihat ide dan menertibkan “tingkatan jiwa” bagian lain.
Apakah
Grameds mengetahui bahwa Plato ini telah meninggalkan lebih dari 30 tulisan
sastra yang tentu saja mengandung keindahan dan kemurnian dalam setiap
tulisannya. Plato pernah mendirikan sebuah sekolah dan murid yang paling
terkenal adalah Aristoteles.
3. Aristoteles
Aristoteles
hidup sejak 384-322 Sebelum Masehi dan pernah menjadi murid terbaik dari Plato
selama 20 tahun. Aristoteles ini senang melakukan perjalanan jauh ke berbagai
tempat dan sempat menjadi guru dari Pangeran Alexander hingga dirinya menjadi
Raja Alexander Yang Agung.
Sama
halnya dengan gurunya, Plato, Beliau ini juga mendirikan sebuah sekolah bernama
Lyceum. Aristoteles dikenal sebagai pemikir yang kritis dengan banyak melakukan
penelitian dan aktif mengembangkan pengetahuan semasa hidupnya. Beliau paling
banyak menaruh perhatian pada ilmu alam dan kedokteran. Sebelum meninggal,
Aristoteles telah meninggalkan banyak tulisan mengenai ilmu pengetahuan yang
hingga sekarang masih dijadikan landasan teori, mulai dari ilmu alam,
masyarakat dan negara, sastra, kesenian, hingga kehidupan manusia.
Tulisan
milik Aristoteles yang paling terkenal adalah yang mengenai logika, disebut
dengan analitika. Analitika ini jika diterapkan pada zaman sekarang, bertujuan
untuk mengajukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pemikiran sehingga
dimaksudkan demi mencapai kebenaran.
4. Thales
Thales
adalah tokoh filsuf yang berasal dari daerah Miletus, Yunani Kuno, dan
diperkirakan telah hidup di antara tahun 624-548 Sebelum Masehi. Beliau ini
dianggap sebagai orang pertama yang berupaya mencari jawaban atas pertanyaan
tentang asal dari segala benda yang ada di alam semesta ini. Beliau tinggal di
setiap pulau dan setiap hari melihat lautan luas, sehingga pandangannya
tersebut dapat muncul.
Thales
pernah melakukan perjalanan hingga ke negeri Mesir dan menyaksikan bahwa air
yang ada di Sungai Nil dimanfaatkan oleh para penduduk, terutama untuk
keperluan pertanian. Atas hal itulah, Beliau berpendapat bahwa asal segala yang
ada di dunia ialah air. Air yang senantiasa bergerak itu dipandangnya sebagai
asas kehidupan manusia. Pandangan Beliau memang benar adanya bukan? Sebab
memang manusia tidak dapat hidup tanpa bergantung pada air.
5. Anaximenes
Berbeda
dengan Thales, Anaximenes yang hidup di antara tahun 585-528 Sebelum Masehi ini
justru berpandangan bahwa dasar kehidupan makhluk hidup di alam semesta ini
adalah udara. Pandangan tersebut dikemukakan berdasarkan landasan pemikiran
bahwa manusia dan semua makhluk hidup itu bernapas, yakni mengambil udara yang
terdapat di alam semesta.
Udara
memang sumber kehidupan semua makhluk hidup dan tanpa keberadaannya semua
makhluk hidup yang ada di muka bumi ini akan mati. Jadi, Beliau berpikir bahwa
segala sumber kehidupan makhluk hidup adalah udara.
6. Phytagoras
Jika
mendengar atau membaca nama Beliau, Grameds pasti akan selalu teringat akan
rumus matematika yang namanya sama bukan? Nah, pencetus rumus matematika
tersebut memang Phytagoras yang juga merupakan tokoh filsuf terkenal.
Phytagoras hidup di antara tahun 580-500 Sebelum Masehi di kota Kroton, Italia
Selatan.
Selain
menjadi tokoh filsuf yang berpandangan bahwa manusia harus melakukan
pembersihan rohani supaya jiwanya dapat memperoleh kebahagiaan, Beliau juga
dikenal sebagai ahli matematika. Maka dari itu, Beliau selalu mengajarkan
kepada para muridnya bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini berasal dari
bilangan atau angka. Pandangannya tentang alam semesta bertitik pada bilangan.
Pandangan-Pandangan Dalam Filsafat
Dalam
perkembangannya, muncul pandangan atau aliran yang menjadi dasar atau landasan
manusia ketika hendak melakukan suatu tindakan. Hingga sekarang,
pandangan-pandangan tersebut masih dipraktikkan dalam bidang ilmu apapun. Nah,
berikut adalah pandangan-pandangan filsafat tersebut.
1. Idealisme
Istilah
‘Idealisme” ini dikemukakan oleh Plato sekitar 2400 tahun yang lalu. Grameds
pasti sudah tahu bukan jika Plato memiliki pemikiran bahwa realitas yang paling
fundamental dan realitas yang tampak oleh indera manusia adalah ide. Penekanan
dalam pandangan ini idealis alam yang mana bersifat spiritual.
Orang-orang
yang mengikuti pandangan ini cenderung menghormati kebudayaan dan tradisi,
sebab mereka memiliki pandangan bahwa nilai-nilai kehidupan tersebut mempunyai
tingkat yang lebih dari sekadar ilmu kelompok individu.
2. Humanisme
Sebenarnya,
sejak zaman kuno hingga pertengahan abad ke-4 M, pendidikan yang ada di Yunani
dan Romawi memiliki tujuan membentuk manusia supaya dapat menjadi warga negara
yang baik dan berguna bagi negara serta bangsa. Kemudian selanjutnya, di Eropa
pada abad ke-5 hingga ke-14 juga terdapat pendidikan yang bertujuan untuk
mencapai kebahagiaan hidup abadi dan mengatasi kebutuhan duniawi.
Pandangan
humanisme ini sebenarnya memiliki dua arah, yakni humanisme individu dan
humanisme sosial. Dalam humanisme individu, lebih mengutamakan adanya
kemerdekaan berpikir, mengemukakan pendapat, dan berbagai aktivitas yang
menuntut kreativitas. Biasanya, pemikiran tersebut disalurkan melalui kesenian,
kesusastraan, musik, dan teknologi. Sementara dalam humanisme sosial, lebih
mengutamakan pendidikan bagi masyarakat secara keseluruhan untuk kesejahteraan
sosial dan hubungan antar manusia.
3. Rasionalisme
Rasionalisme
adalah pandangan yang sumber pengetahuannya berasal dari rasio (akal) manusia.
Rene Descartes dikenal sebagai Bapak Rasionalisme sekaligus tokoh filsuf
modern. Selain itu ada juga tokoh John Locke yang berpandangan mengenai adanya
tabula rasa, artinya setiap manusia diciptakan sama, layaknya kertas kosong.
Dengan demikian, para manusia itu harus dilatih dan diberikan pendidikan supaya
dapat menalar dan tidak selamanya menjadi kertas kosong.
4. Empirisme
Empirisme
adalah pandangan yang sumber pengetahuannya adalah pengalaman, sebab pengalaman
selalu memberikan kepastian yang diambil dari dunia nyata. Pandangan ini juga
berpendapat bahwa suatu pernyataan yang tidak dapat dibuktikan melalui
pengalaman adalah tidak berarti.
5. Kritisisme
Pada
abad ke-18, terdapat seorang tokoh filsuf bernama Emmanuel Kant yang berhasil
menjembatani dua pandangan yakni rasionalisme dan empirisme sehingga menjadi
pandangan kritisime ini. Singkatnya, pandangan ini berpendapat bahwa kebenaran
itu tidak perlu diuji sebab sudah memiliki batasan-batasan tersendiri antara
rasionalisme dan empirisme.
6. Konstruktivisme
Pandangan
ini dikemukakan oleh Giambattista Vico pada tahun 1710, yang menyatakan bahwa
pengetahuan seseorang itu merupakan hasil konstruksi dari individu itu sendiri,
melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungannya. Tokoh
lain bernama E. Von Galsersfelf yang berasal dari University of Massachusetts
mengemukakan bahwa pengetahuan seseorang dibentuk oleh individu tersebut
sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya.
Cabang Ilmu Filsafat
Keberadaan
ilmu filsafat ini tidak statis begitu saja, melainkan dinamis yang mana
berkembang sedemikian rupa hingga semakin rasional dan sistematis. Terlebih
lagi, semakin berkembangnya zaman juga berkembang pula pola pikir manusia. Nah,
berikut adalah 6 cabang bidang studi dari filsafat.
1. Epistemologi
Epistemologi
berasal dari Bahasa Yunani yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (kata,
pikiran, atau ilmu). Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi ini adalah
cabang filsafat yang membahas pengetahuan. Dalam epistemologi, yang menjadi
pokok persoalan adalah berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis
pengetahuan.
2. Metafisika
Istilah
ini juga berasal kata Yunani metaphysika, artinya “setelah fisika”. Cabang
filsafat ini diperkenalkan oleh Andronikos dan Rhodes dari kumpulan buku-buku
yang ditulis oleh Aristoteles tentang hakikat benda-benda yang kita lihat pada
dunia nyata ini. Dapat dikatakan juga bahwa metafisika ini adalah suatu
pembahasan filsafat yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau segala
sesuatu yang ada. Metafisika dapat dibagi menjadi dua hal, yakni :
a)
Metafisika Umum atau Ontologi
Yakni
membahas mengenai segala sesuatu yang ada secara menyeluruh dan sekaligus.
Pembahasan biasanya dilakukan dengan membedakan dan memisahkan eksistensi yang
sesungguhnya dari penampilan atas eksistensinya.
b)
Metafisika Khusus
Kosmologi,
yakni pembahasan mengenai dunia atau alam dengan ketertiban yang paling
fundamental dari seluruh realitas.
Teologi
Metafisik, yakni pembahasan mengenai kepercayaan agama. Biasanya membahas
mengenai eksistensi dari Tuhan.
Filsafat
Antropologi, yakni yang membahas mengenai apa hakikat dari manusia dan
bagaimana hubungan alam dengan sesamanya. Jadi, dapat dikatakan bahwa cabang
ini berupaya menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
eksistensi, status, dan relasinya.
3. Logika
Menurut
Rapar (1996), Logika adalah cabang atau bagian filsafat yang menyusun,
mengembangkan, dan membahas asas-asas, aturan-aturan formal, dan
prosedur-prosedur normatif, serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan
penyimpulan demi mencapai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional. Singkatnya, cabang filsafat ini berupaya memperyimbangkan akal ayau
pikiran yang diutarakan melalui kata atau bahasa (verbal).
4. Etika
Cabang
filsafat ini disebut juga dengan filsafat moral sebab membahas mengenai baik
dan buruknya tingkah laku manusia. Singkatnya, cabang filsafat ini memandang
manusia dari segi perilakunya. Bahkan pada zaman Socrates, etika sangat
berpengaruh pada kehidupan amnusia. Etika ini merupakan ilmu tentang
kesusilaan, yang mana menentukan bagaimana patutnya manusia untuk hidup dalam
masyarakat. Etika juga tidak mempersoalkan apa atau siapa manusia tersebut,
melainkan bagaimana manusia itu seharusnya berbuat dan bertindak.
5. Estetika
Cabang
filsafat ini mempersoalkan seni (art) dan keindahan (beauty). Hal-hal yang
dibahas mengenai keindahan adalah kaidah dan sifat hakiki dari keindahan,
misalnya menguji keindahan dengan perasaan dan pikiran manusia. Meskipun pada
dasarnya, estetika ini telah ditelaah sejak 2500 tahun lalu di berbagai
wilayah, misalnya Babilonia, India, Mesir, China, hingga Yunani.
6. Filsafat Ilmu
Cabang
filsafat ini membahas mengenai hakikat ilmu. Penerapannya biasanya dalam upaya
mencari akar persoalan dan menemukan asas realitas yang dipersoalkan oleh
bidang ilmu tersebut supaya lebih jelas dan pasti. Sama halnya dengan disiplin
ilmu lain, cabang filsafat ini juga memiliki pembagian ilmunya sendiri,
misalnya filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat bahasa, hingga filsafat
matematika.
Sumber
Referensi :
·
Bertens, K. (2018). Apa itu Filsafat? Dalam K. Bertens,
J. Ohoitimur, & M. Dua (Eds.), Pengantar Filsafat (hlm. 29-60). Penerbit
Kanisius.
·
Black, M. (1964). The Gap Between “Is” and “Should.”
The Philosophical Review, 73(2), 165–181. https://doi.org/10.2307/2183334
·
Kattsoff, L. O. (2004). Pengantar Filsafat. Tiara
Wacana.
·
Kuhn, T. S. (2006). The Structure of Scientific
Revolutions. University of Chicago Press.
·
MacIntyre, A. C. (1959). Hume on “Is” and “Ought.” The
Philosophical Review, 68(4), 451–468. https://doi.org/10.2307/2182491
·
Ohoitimur, J. (2018). Sistematika Filsafat. Dalam K.
Bertens, J. Ohoitimur, & M. Dua, Pengantar Filsafat (hlm. 61-90). Penerbit
Kanisius.
·
Priest, G. (2006). What is Philosophy? Philosophy,
81(316), 189-207. http://www.jstor.org/stable/4127433
·
Russell, B. (2021). Sejarah Filsafat Barat. Pustaka
Pelajar.
Koleksi
Artikel Kanti Suci Project