Hajar Aswad
Batu yang dikenal sebagai Hajar Aswad itu sudah ada sejak zaman Nabi Ibrahim dan diceritakan berasal dari surga. Awalnya berwarna putih dan bisa memancarkan sinar. Namun, terjadi perubahan warna pada batu menjadi hitam yang dalam sumber tradisional Islam diceritakan karena menyerap dosa-dosa umat manusia di bumi.
Hajar Aswad dan Al Quran.
Hajar Aswad merupakan peninggalan umat Islam. Hal ini diyakini terkait dengan zaman Adam dan Hawa dan sebuah batu yang dikirim dari surga untuk membimbing Adam dan Hawa membangun sebuah altar. Hal ini diyakini telah ditempatkan di Ka'bah oleh Muhammad pada tahun 605 M, beberapa tahun sebelum ia menerima wahyu pertamanya dari Allah. Ka'bah adalah sebuah bangunan kuno yang terletak di dalam Masjidil Haram di Mekah. Al-Qur'an adalah kitab suci agama Islam. Hal ini diyakini sebagai wahyu dari Allah yang diberikan kepada Muhammad melalui malaikat Jibril.
Jawabannya adalah sebagai berikut :
Tidak ada arah Hajar Aswad dalam Al-Qur'an. Umat Muslim memuja batu ini dan mencoba menciumnya atau setidaknya menyentuhnya sebagai tanda penghormatan. Meskipun diyakini bahwa Muhammad bertanggung jawab menempatkannya di Ka'bah, dan Muhammad diyakini sebagai sumber Al-Qur'an, Hajar Aswad tidak disebutkan. Penyebutan Hajar Aswad dapat ditemukan dalam Hadist. Makna, sejarah dan tradisinya sebagian besar merupakan produk tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Salah satu aspek ibadah haji adalah Hajar Aswad (batu hitam) yang berada di Ka’bah. Banyak kaum Muslimin yang ingin mencium atau menyentuhnya. Lalu, apa pentingnya Hajar Aswad ini? Sebetulnya Hajar Aswad ini menandai sudut dimulainya proses thawaf. Tanpa itu, maka setiap sudut Ka’bah sama saja. Jadi ada hal spesifik tentang satu sudut itu sebab ini sebagai penanda.
Lalu, apakah Muslim menyembah Hajar Aswad? Bagaimana Muslim menganggap Hajar Aswad ini? Tentu saja Muslim tidak menyembah Hajar Aswad dan tidak pula menyembah Ka’bah. Al-Qur`an sangat jelas bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi dan hal-hal yang gaib. Umat Islam tidak menyembah representasi Tuhan. Sama seperti dalam Alkitab bahwa Tuhan tidak terlihat seperti apapun yang berjalan di bumi, berenang di laut atau terbang di langit.
Dalam Islam Tuhan adalah zat yang transenden yang tidak dapat kita lihat di dunia ini. Tapi pada saat yang sama Al-Quran mengutuk mereka yang menyembah objek, seperti batu. Sampai-sampai Al-Qur`an menyebut, “maka takutlah kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir” (QS 2: 24). Mengapa batu? Satu penjelasan adalah bahwa orang-orang menyembah ukiran batu sebagai representasi Tuhan. Ibadah yang mereka perbuat tidak bisa membantu mereka. Sesembahan mereka bahkan tidak bisa menyelamatkan mereka karena mereka sendiri dibakar dan dipanaskan di dalam api neraka.
Terus terang, kaum Muslimin memang memiliki semacam hormat terhadap Hajar Aswadi. bahkan dalam prosesi haji terkadang saling menginjak atau saling mendorong demi bisa mencapai bahkan menciumnya. Ada dua aspek untuk ini. Posisi Hajar Aswadi identik dengan kehormatan, bahkan kebahagiaan sewaktu berhaji. Ia dianggap khas atau unik. Setiap jamaah haji punya kebahagiaan tersendiri ketika mampu melakukannya—menyentuh atau mencium Hajar Aswad. Tidak jarang mereka yang kembali dari naik haji mengungkapkan, "Saya pergi haji dan saya bisa menyentuh Hajar Aswad."
Ada tingkat penghormatan tertentu dari umat Islam terkait Hajar Aswad ini mengingat banyak Muslim mendekati batu hitam. Menjadi pertanyaan, dari mana penghomatan itu berasal? Pertama, Al-Qur`an sendiri tidak menjelaskannya. Al-Qur`an berbicara tentang maqam atau kedudukan Ibrahim. Dan Al-Qur`an membicarakannya lebih dari sekali, misalnya “….Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat” (QS 2: 125). Dan ayat lain, “Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim” (QS 3: 97). Jadi umat Islam akan pergi dan berdoa di tempat di mana Ibraham berdoa.
Hajar Aswad tidak disebutkan dalam Al-Qur`an. Jika ia memiliki makna yang luar biasa, tentu kita berharap ia akan disebutkan dalam Kitabullah. Namun Hajar Aswad disebutkan dalam hadits. Ia diriwayatkan oleh berbagai kitab hadits. Di antaranya adalah ucapan khalifah Umar bin Khattab, "Seandainya aku tidak melihat Nabi Muhammad melakukannya (menciumnya), aku tidak akan melakukannya. Sebab ia hanyalah batu. Ia tidak dapat memberikan manfaat atau membahayakan aku.” Lalu putranya, Ibn Umar, menceritakan ketika Nabi mengelilingi Ka’bah, beliau menyentuhnya dengan tongkat dan dia mencium tangannya setelah melakukan itu.
Ini menunjukkan tingkat penghormatan tertentu terhadap Hajar Aswad. Kita tidak menemukan riwayat para sahabat Nabi lainnya terkait dengan sikap takzim terhadap Hajar Aswad ini. Namun kita juga menemukan riwayat di mana orang yang melebih-lebihkan. Dalam salah satu riwayat disebutkan Nabi bersujud di atasnya. Tetapi sekali lagi, ini tidak diriwayatkankan secara luas.
Karenanya kita harus berhati-hati tentang tentang pelbagai riwayat sebagai fakta mutlak. Hal yang lebih banyak diriwayatkan dan yang paling diamati secara publik adalah riwayat ketika Nabi SAW melakukan haji terakhir. Dia mengelilingi Ka’bah dengan duduk di atas unta. Sulit bagi para jamaah haji untuk membayangkannya saat itu. Tapi Nabi benar-benar melakukannya di atas punggung unta. Untuk menyentuh Hajar Aswad, beliau menggunakan tongkatnya.
Menyentuh Hajar Aswad dengan tongkat seolah-olah adalah kebalikan dari penghormatan terhadap bata hitam ini. Sulit membayangkan Nabi menyentuh Hajar Aswad dengan tongkat alih-alih turun dari unta dan menyentuhnya secara hormat dengan tangannya dan kemudian thawaf kembali. Para ulama memahami bahwa ini menunjukkan adanya fleksibilitas menyangkut aspek penghormatan terhadap Hajar Aswad yang selama ini diberikan oleh umat Islam. Bagaimanapun, sikap berlebihan itu tidak baik.
Kanti Suci Project