Wahabi & Wahabisme di Indonesia
Wahabi adalah gerakan tauhid Islam yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, seorang tokoh kelahiran Nejad Arab yang lahir pada tahun 1115 M. Gerakan ini muncul ketika Abdul Wahab melihat bahwa ajaran pengikut empat Madzhab di Arab telah beradaptasi dengan budaya setempat dan dianggap sesat.
Wahabi adalah ideologi keagamaan dari Arab Saudi yang ditujukan kepada pengikut yang berpegang teguh pada purifikasi atau kemurnian Islam ke bentuk asli sesuai teks Alquran dan Hadis. Gerakan ini juga memiliki misi utama membersihkan ajaran Islam dari praktik bidah, syirik, dan khurafat.
Wahabi sering ditolak oleh kelompok ahlussunnah wal jamaah karena pemahaman pemurnian tauhidnya yang keras. Para penentang aliran Wahabi menyebutnya sebagai gerakan sekte Islam yang menyimpang karena serangkaian aksi kejam yang pernah dilakukan di masa lalu.
Wahabi adalah ideologi keagamaan dari Arab Saudi. Paham ini merupakan pemikiran Islam dari Muhammad bin Abdul Wahab.
Menurut Ensiklopedi Islam, meski sempat melemah di Arab Saudi, ajaran Wahabi justru telah tersebar luas ke berbagai negara seperti India, Sudan, Libya serta ke Indonesia. Penyebaran aliran Wahabi ke wilayah Nusantara dibawa oleh para haji yang baru pulang menunaikan rukun Islam kelima di Tanah Suci.
Pemikiran yang dibawanya ditujukan kepada pengikut yang berpegang teguh pada purifikasi atau kemurnian Islam ke bentuk asli sesuai teks Alquran dan Hadis. Tentu murni dalam artian mereka sendiri, di mana merasa hanya kelompoknya saja yang Islamnya paling benar.
Bila ditarik sejarahnya, paham Wahabi berawal dari awal abad ke-18 ketika Abdul Wahab mulai menyarankan Saudi ke bentuk Islam yang murni.
Menurut Britannica, Abdul Wahab kerap menyampaikan khotbah tentang ide-ide 'radikal' soal reformasi agama yang konservatif berdasarkan aturan moral yang ketat.
Ciri-ciri Wahabi antara lain :
- Meninggalkan bacaan qunut, Meninggalkan sholat sunah qabliyah,
- Mengkafirkan orang-orang yang ikut Mazhab yang Muktabar,
- Mengharamkan bacaan Al-Quran kepada orang yang telah meninggal,
- Mengharamkan Maulid Nabi dan Ziarah.
Gerakan Wahabi berkembang di dunia Arab seperti Mesir, Iran dan bahkan sampai ke Indonesia
Paham wahabi mencirikan diri sebagai muwahhidn atau unitarian, sebuah istilah yang berasal dari penekanan mereka pada keesaan mutlak Tuhan atau tauhid. Mereka menolak semua tindakan yang mereka anggap menyiratkan kemusyrikan.
Tokoh Gerakan Wahabi
Ja'far Umar Tholib adalah salah satu tokoh gerakan Salafi-Wahabi di Indonesia. Selain itu, beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal Gerakan Salafi Modern di Indonesia adalah: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), Abu Nida' (Yogyakarta).
Kesesatan Salafi Wahabi
Ada beberapa pendapat tentang kesesatan Salafi Wahabi, termasuk :
Ziarah kubur dan Maulid Nabi Muhammad SAW
Wahabi dan Salafi menganggap ziarah kubur sebagai perbuatan syirik dan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai ajaran bid'ah.
Konsep tauhid
Sunni menilai bahwa konsep tauhid Wahabi yang membagi tauhid menjadi tiga adalah sesat.
Pemalsuan kitab kuning
Salafi Wahabi dituduh melakukan pemalsuan kitab kuning, membuang apa yang merugikan kelompoknya, dan memanipulasi umat hingga tetap berada dalam kesesatan dan kebohongan.
Monopoli istilah
Wahabi dituduh gemar memonopoli istilah sunnah, dalil, salaf, manhaj yang lurus, dan lain sebagainya.
Pembunuhan penduduk Thaif
Pada tahun 1217 H, Muhammad ibn Abdul Wahhab bersama pengikutnya mengusai kota Thaif setelah membunuh penduduknya, termasuk laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, dan bayi yang masih menyusu.
Perkembangan Wahabi di Indonesia (Tulisan artikel Al Chaidar Pengajar pada Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh)
Pada 19 Juni 2015, hari Jumat yang penuh berkah, orang-orang mulai memenuhi Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh untuk melakukan salat Jumat. Ritual kongregasi mingguan ini sangat penting bagi orang Aceh yang mayoritas muslim. Tanpa dinyana, tiba-tiba masuk sekelompok ulama tradisional dengan bersorban dan berjubah menginterupsi jalannya prosesi ritual ini. Disertai pendukungnya yang berompi dan berjaket, sambil meneriakkan “Allahu Akbar” berkali-kali, mereka menuntut tata laksana ibadah ini diubah sesuai tradisi mazhab Syafiiyah dan Maturidiyah. Mereka memaksa kumandang azan dua kali dan khatib diwajibkan memegang tombak atau tongkat. Kalau tidak begitu, dianggap tidak sah.
Para ulama tradisional dan pendukungnya adalah dari Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), dan Front Pembela Islam (FPI) yang resah dengan maraknya pengaruh Wahabisme di Aceh. Fenomena merebaknya benturan mazhab antara Wahabi dan kalangan tradisional Islam telah membuat banyak orang bertanya- tanya tentang apa itu Wahabi, bagaimana sejarahnya, dan apa bahaya dari mewabahnya aliran atau sekte yang dianggap radikal ini ? Tulisan ini berusaha menjawab pertanyaan tersebut secara sekilas untuk mendudukkan perkara yang sebenarnya agar tidak terjadi kesalahpahaman yang bisa berakibat fatal.
Pada dasarnya, Islam itu hanya satu. Karena perkembangan sejarah, politik, ekonomi, dan budaya, Islam ikut berkembang berdasarkan wilayah persebarannya. Geopolitik Islam kontemporer sekarang ini menjadi tidak lagi satu, monolitik, dan integral seperti pada masa Nabi Muhammad SAW.
Kini terdapat banyak kelompok, pecahan, aliran, sekte, dan mazhab yang cukup beragam. Perpecahan pertama adalah pembelahan ideologis yang sangat besar antara :
(1) Sunni dan
(2) Syiah.
Sunni dan Syiah ini juga terpecah dalam berbagai kelompok-kelompok atau sekte dan mazhab yang semuanya mengklaim dirinya yang paling benar.
Tidak akan ada kemunculan kelompok baru tanpa klaim kebenaran. Klaim kebenaran inilah yang menyebabkan terjadi perpecahan di dalam Islam. Sunni adalah mazhab besar kaum pengikut ahlus sunnah wal jamaah yang sangat menghormati Nabi Muhammad SAW, beserta seluruh sahabat, dan keluarganya.
Muhammadiyahdan Nahdlatul Ulama (NU), Persis, Al Washliyah, Al Irsyad, Perti, Masyumi, DI atau NII, JI, MMI, JAT, dan JAS adalah termasuk ke dalam kelompok Sunni.
Syiah adalah mazhab yang selektif dalam mengakui sahabat Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Mereka hanya mengagumi Ali ibn Abi Thalib RA dan anaknya yang kedua, Husen, dari 11 anak Ali RA.
Karena minoritas, kelompok Syiah di Indonesia hanya sedikit dan organisasinya pun (beserta pecahannya) tak begitu tampil ke permukaan. Antara Sunni dan Syiah pun sering terjadi bentrokan yang melibatkan kekerasan berdarah. Di kalangan Sunni perpecahan juga banyak terjadi dan membentuk banyak kelompok keagamaan, mazhab, sekte, dan aliran yang sangat beragam.
Wahabi adalah salah sebuah mazhab dalam kalangan Sunni. Baru-baru ini di Madura ada sebuah lagu yang berjudul Wahabi yang sangat lugas menggambarkan apa itu aliran yang dianggap radikal oleh banyak kalangan.
Lagu itu menggambarkan Wahabi tidak suka maulid nabi, tidak mau tahlilan, tidak setuju ziarah kubur, tidak mengakui qunut, dan menganggap semua orang Islam di luar kelompoknya sebagai sesat, bidah, atau bahkan kafir.
Stigma buruk sering disematkan kepada Wahabi dan label ekstrem sering ditujukan kepada kelompok ini. Dalam banyak hal lagu ini ada benarnya, namun tidak semua Wahabi berperilaku demikian. Asal Wahabi Menurut Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu (1986), Wahabi adalah paham keagamaan yang dianut kalangan yang tidak suka kepada adatistiadat dan kebiasaan yang menyimpang yang mengharap kekuatan leluhur, melanggar tradisi adat, tidak mau ikut maulid Nabi Muhammad SAW, tidak percaya kepada sunan, wali, dan keramat-keramatnya, antitakhayul, khurafat, dan bidah.
Kata Wahabi adalah nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, padahal Abdul Wahab adalah nama ayahnya yang tidak pernah menulis satu kitab fikih pun. Nisbat kepada nama Abdul Wahab ini dibuat oleh kalangan ilmuwan Barat yang biasanya mengambil nama belakang untuk katalogisasi kepustakaan. Wahabi digagas oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792), seorang reformis (mujaddid ) Islam dari Najd, Arab Saudi, yang muncul di tengah galaunya umat Islam yang lama terasuh di bawah empat mazhab statis (Syafii, Maliki, Hambali, dan Hanafi).
Ia seorang mufti dari Daulah Suudiyah, cikal bakal Kerajaan Arab Saudi yang kita kenal sekarang. Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid, hanya berdoa memohon kepada Allah tanpa perantara, tidak mengagungkan para wali dan orang alim atau ulama atau orang-orang saleh sebagai orang yang lebih istimewa dan menolak menyembah kuburan.
Wahabi menganut prinsip egaliter dalam beribadah. Muhammad bin Abdul Wahab ini dianggap sebagai pembuat mazhab kelima setelah mazhab Syafii, Hambali, Hanafi, dan Maliki. Muhammad bin Abdul Wahab banyak menulis kitab yang isinya sejalan dengan pemikiran- pemikiran Ibnu Taymiyyah, Ibnu al-Qayyim, dan Ahmad bin Hanbal. Karena dipengaruhi oleh pemikiran dari Ahmad bin Hanbal, Wahabisme ini agak mirip dengan mazhab Hambali. Pemikiran Wahabi ini kemudian dikembangkan oleh Bin Baz, Uthaymin, Syek Ahmad Khan, Jamaluddin Al Afghani, Rashid Ridha, Muhammad Abduh, HOS Tjokroaminoto, SM Kar-tosoewirjo, kemudian periode pascakolonialisme Sayyid Qutb, Muhammad Qutb, Hasan Al Banna, Abul Ala Al Maududi, Yusuf Qardhawi, Nashiruddin Al Albani, Bin Baz, kemudian ke masa revolusi di Afghanistan masa Abdullah Azzam, Osama Bin Laden, Ayman Al Zawahiry, hingga ke periode konflik Irak dan Suriah oleh Abu Mushab As Shuri. Tipologi Wahabi Wahabi tidak monolitik, artinya kelompok ini juga terpecah ke dalam beberapa varian yang satu sama lainnya tidak bersahabat, terkadang saling bermusuhan, atau bahkan juga bisa menjurus ke konflik berdarah. Wahabi sebenarnya adalah istilah yang generik untuk menyebut atau merujuk kepada kelompok salafi. Namun, karena kaum tradisional Islam pun mengklaim dirinya sebagai salafi (yang melaksanakan tradisi Salafussholeh), label Wahabi dipilih agar mudah membedakannya secara teologis dengan kelompok-kelompok yang bukan Wahabi. Terminologi Wahabi pun dipakai sebagai eufemisme karena ada kelompok tertentu yang sangat sensitif dengan nama salafi. Secara antropologis terdapat setidaknya tiga tipologi Wahabisme di Indonesia yang bisa saya amati. Pertama, Wahabi Shururi atau Wahabi yang dianggap antimaulid, antiazan dua kali, antitahlil, antiziarah kubur, dan antijihad dan sering menganggap masyarakat yang melawan pemerintah sebagai bughot (pemberontak). Kedua, Wahabi Jihadi, yaitu kelompok yang lebih fokus pada jihad dan berusaha melawan setiap kebijakan pemerintah, juga memiliki sikap penolakan yang sama dengan kelompok pertama. Wahabi Jihadi di Indonesia pernah muncul dengan nama Darul Islam (DI) di Jawa Barat pada 1949 (dengan tokohnya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo), Jawa Tengah pada 1950 (Amir Fatah Widjaja Kusuma), Sulawesi Selatan pada 1951 (Kahar Muzakkar), Kalimantan Selatan pada 1952 (Ibnu Hajar), dan Aceh pada 1953 (Daud Beureueh).
Kemudian ada juga Jamaah Islamiyyah (JI) pada 1992 hingga pada 2010 yang dituduhkan kepada Ustaz Abdullah Sungkar dan Abubakar Baasyir, Dr Azhari, Noordin Mat Top, Amrozi, Imam Samudra, Ali Ghufron, dan Ali Imron. Terakhir, kelompok Wahabi Jihadi ini muncul dalam bentuk Tanzhim Al Qaeda Serambi Mekkah (TQSM) dan banyak aktivisnya yang tertangkap setelah terbongkarnya kegiatan idad (persiapan/ latihan perang) di Bukit Jalin, Aceh Besar pada 2010.
Kelompok Wahabi Jihadi ini kini lebih kalem dan memilih jalur dakwah bil hikmah dalam kegiatan kesehariannya. Ketiga, Wahabi Takfiri yang suka menuduh orang lain di luar kelompoknya sebagai pelakubidah atau malah kafir. Kelompok ini ada di Aceh saat ini dan masih setia dengan baiat nya untuk mendukung Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) atau lebih dikenal dengan ISIS.
Di internal kalangan Wahabi ini sendiri juga terjadi saling tuding dan saling tuduh sesatmenyesatkan. Di tengah kiprah Wahabi dalam konflik komunal di Peristiwa Cumbok di Aceh (1946), Ambon (1999), Poso (2001), dan lain-lain tempat, juga ada kiprah Wahabi dalam kekerasan politik di Sulawesi Selatan serta kiprah Wahabi dalam terorisme yang diperankan oleh Jamaah Islamiyyah, Darul Islam, dan sebagainya sejak 2000 hingga 2014. Inilah yang kemudian membuat Wahabi menjadiparagon of ugly yang sulit untuk dibantah.
Seharusnya Wahabi lebih tampil sebagai paragon of beauty dan mengharumkan agama Islam di mata dunia. Kejadian-kejadian kekerasan di Irak dan Suriah di mana ISIS memperlihatkan kekejamannya yang mengerikan telah membuat Wahabi sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab secara teologis atas kekerasan dan kebiadaban selama ini.
Padahal, banyak sekali jasa Wahabi dalam membela kaum tertindas di muka bumi ini. Bantuan kepada pengungsi Rohingya justru datang dari Arab Saudi yang dianggap sebagai negara Wahabi. Kita haruslah menilai Wahabi ini secara lebih adil sebelum menjatuhkan stigma atau label radikal, ekstremis, dan teroris kepada semuanya yang berasal dari mainstream Wahabi.
Padahal, ada Wahabi yang antijihad, yang antipemberontakan, dan juga Wahabi yang bisa menerima ziarah kubur, tahlil, maulidan, juga masih bersedia datang ke kenduri-kenduri untuk menyantap hidangan. Di tengah banyaknya tudingan terhadap kalangan Wahabi yang dianggap telah mempermalukan agama Islam, namun harus diakui bahwa ada banyak jasa Wahabi dalam membela kaum tertindas, khususnya yang beragam Islam. Hampir dapat dipastikan kebanyakan yang dibela oleh Wahabi adalah umat Islam tanpa membedakan sekte dan mazhab.
Bantuan kemanusiaan yang diberikan kaum Wahabi menyebar ke seluruh dunia dalam bentuk filantropi zakat, sedekah, kurban, dan pembangunan masjid serta lembaga pendidikan.
Wahhabisme
Wahhabisme (bahasa Arab: ٱلْوَهَّابِيَةُ, translit. al-Wahhābiyyah) atau Wahabi[a] adalah sebuah gerakan reformis di dalam Islam Sunni, berdasarkan ajaran dari ulama Hambali pada abad ke-18, Muhammad bin Abdul Wahhab (ca 1703–1792) Istilah "Wahabisme" pada dasarnya adalah eksonim; istilah ini tidak digunakan oleh Ibnu Abdul Wahhab sendiri atau penganut gerakan tersebut, yang biasanya lebih suka disebut sebagai "Salafi" (istilah Salafi juga digunakan oleh pengikut gerakan reformasi Islam lainnya).
Gerakan reformasi ini didirikan di Arab tengah dan kemudian di Arab Barat Daya, dan diikuti terutama di Arab Saudi dan Qatar. Gerakan ini menentang ritual yang berkaitan dengan pemujaan orang suci Muslim (wali) dan ziarah ke makam dan tempat suci mereka, yang tersebar luas di antara orang-orang Najd. Ibnu Abdul Wahhab dan para pengikutnya terinspirasi oleh ulama Hanbali abad ke-13 yang berpengaruh, Ibnu Taimiyah (1263–1328 M/661–728 H) yang menyerukan untuk kembali ke kemurnian tiga generasi pertama (Salafusshalih) untuk menyingkirkan umat Islam dari perkara-perkara yang tidak autentik (bidʻah), dan menganggap karya-karyanya sebagai inti referensi ilmiah dalam teologi. Meski dipengaruhi oleh doktrin mazhab Hambali, gerakan tersebut menolak taklid kepada otoritas hukum (mazhab), termasuk ulama yang sering dikutip seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim (d. 1350 C.E/ 751 A.H).
Wahhabisme telah banyak digambarkan sebagai gerakan "ortodoks", "puritan(istik)", "revolusioner", serta merupakan "gerakan reformasi" Islam untuk memurnikan "ibadah monoteistik murni" oleh para penganutnya. Secara sosial-politik, gerakan tersebut merupakan protes besar pertama yang dipimpin oleh Arab terhadap Turki, Kekaisaran Persia, dan bangsa asing yang mendominasi Dunia Muslim sejak Invasi Mongol dan jatuhnya Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-13; dan kemudian berfungsi sebagai dorongan revolusioner untuk pan-Arabisme abad ke-19. Pada 1744, Ibnu ʿAbdul Wahhab membentuk pakta dengan pemimpin lokal, Muhammad bin Saud; yang menghasilkan aliansi politik-agama yang berlanjut selama 150 tahun berikutnya, yang puncak politisnya adalah proklamasi berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1932. Akhirnya, gerakan tersebut muncul sebagai salah satu tren reformasi antikolonial abad ke-18 yang paling berpengaruh yang menyebar ke seluruh Dunia Muslim; menganjurkan untuk kembali ke nilai-nilai Islam yang murni berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah untuk membangkitkan kembali kekuatan sosial dan politik Muslim; dan tema-tema revolusionernya mempengaruhi banyak kebangkitan Islamis, cendekiawan, ideolog, dan aktivis pan-Islamisme dan anti-kolonial hingga Afrika Barat.
Selama lebih dari dua abad hingga saat ini, ajaran Ibnu Abdul Wahhab diperjuangkan sebagai bentuk resmi Islam dan kredo dominan di tiga Negara Saudi. Pada 2017, perubahan kebijakan agama Saudi oleh Putra Mahkota Muhammad bin Salman telah menyebabkan tindakan keras yang meluas terhadap Islamis di Arab Saudi dan seluruh Dunia Arab. Pada tahun 2018, Putra Mahkota Saudi Muhammad bin Salman, membantah bahwa ada orang yang "dapat mendefinisikan Wahhabisme ini" atau bahkan keberadaannya. Pada tahun 2021, memudarnya kekuatan para ulama yang disebabkan oleh perubahan sosial, agama, ekonomi, politik, dan kebijakan pendidikan baru yang menegaskan "identitas nasional Saudi" yang menekankan komponen non-Islam telah menghasilkan sesuatu yang dikenal sebagai "era pasca-Wahhabi" Arab Saudi. Keputusan untuk merayakan "Hari Pendirian Saudi" setiap tahun pada tanggal 22 Februari sejak tahun 2022, untuk memperingati berdirinya Keamiran Dir'iyah tahun 1727 oleh Muhammad bin Saud, alih-alih memperingati sejarah sejak Pakta 1744 dari Ibnu Abdul Wahhab, telah menyebabkan Saudi "berlepas" dari para ulama secara resmi.
Menurut seorang penulis berkebangsaan Saudi, Abdul Aziz Qasim dan yang lainnya, yang pertama kali memberikan julukan "Wahabi" kepada dakwah ibnu Abdul Wahhab adalah Kesultanan Utsmaniyah, kemudian bangsa Inggris mengadopsi dan menggunakannya di Timur Tengah
Penganut Wahhabiyah atau Wahabi tidak menyukai istilah yang disematkan oleh beberapa kalangan tersebut kepada mereka dan menolak penyematan nama individu, termasuk menggunakan nama seseorang untuk menamai aliran mereka.[41][42] Mereka menamakan diri dengan nama Salafi dan gerakannya dengan Salafiyah.
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berkata: “Penisbatan (Wahhabiyah) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya kalaupun harus ada faham baru yang dibawa oleh Al-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.”
Istilah "Wahabi" dan "Salafi" (serta Ahli Hadits yaitu orang-orang hadits) sering digunakan secara bergantian, tetapi Wahabi juga telah disebut sebagai "orientasi tertentu dalam Salafisme", yang dianggap ultra-konservatif. Namun dapat disimpulkan, Wahabi merupakan gerakan Islam sunni yang bertujuan untuk memurnikan ajaran Islam dari ajaran-ajaran atau praktik-praktik yang menyimpang seperti: syirik, ilmu hitam, penyembahan berhala, bid'ah dan khurafat.
Dakwah utama adalah Tauhid yaitu Keesaan dan Kesatuan Allah. Ibnu Abdul Wahhab dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Ibnu Taymiyyah dan mempertanyakan interpretasi Islam dengan mengandalkan Alquran dan hadits. Ia mengincar "kemerosotan moral yang dirasakan dan kelemahan politik" di Semenanjung Arab dan mengutuk penyembahan berhala, pengkultusan orang-orang suci, pemujaan kuburan orang yang saleh, dan melarang menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah.
Pada praktiknya wahhabisme tumbuh sebagai paham yang demikian keras, kaku, ketat dan tanpa mengenal kompromi. Sebagian kalangan menilai paham ini telah melampaui batas dalam menetapkan definisi sempit tentang tauhid. Pendukung wahhabi dianggap terlalu mudah menyerukan takfir, yakni memvonis sesama Muslim yang mereka tuduh sebagai sesat dan melanggar hukum Islam, sebagai kafir.
Kesepakatan bin Saud untuk melakukan jihad guna menyebarkan ajaran Ibn Abdul Wahhab lebih berkaitan dengan praktik penyerbuan tradisional Najd - "perjuangan naluriah untuk bertahan hidup dan nafsu untuk mencari keuntungan" - ketimbang motivasi agama;
Wahhabi tidak memiliki hubungan dengan gerakan kebangkitan Islam lainnya;
Tidak seperti tokoh pembaharu lainnya, Abd ul-Wahhab menunjukkan sedikit kecakapan intelektual - sedikit menulis dan bahkan jarang membuat essai;
Penentang awal
Orang pertama yang menentang Muhammad bin Abdul Wahhab adalah ayahnya sendiri, Abdul Wahhab, dan saudaranya Salman bin Abdul Wahhab yang adalah seorang cendekiawan dan qadi terkemuka. Saudara laki-laki Ibn Abd al-Wahhab menulis sebuah buku untuk menolak ajaran baru saudaranya, yang disebut: "Kata Akhir dari Al Qur'an, Hadis, dan Ucapan cendekiawan tentang aliran Ibn 'Abd al-Wahhab" juga dikenal sebagai: "Al-Sawa`iq al-Ilahiyya fi Madhhab al-Wahhabiyya" ("Halilintar Ilahi mengenai Aliran Wahhabi").
Dalam bukunya "Sanggahan terhadap Wahhabisme dalam Sumber Arab, 1745–1932",[60] Hamadi Redissi memberikan referensi asli tentang deskripsi Wahhabi sebagai sekte yang memecah belah (firqa) dan asing (Khawarij), dalam komunikasi antara ulama Usmani dan Khedive Muhammad Ali. Redissi merinci sanggahan terhadap Wahhabi oleh para cendekiawan (mufti); di antaranya Ahmed Barakat Tandatawin, yang pada tahun 1743 menyebut Wahhabisme sebagai suatu bentuk kebodohan (Jahili atau kejahilan).
Pada tahun 1801 dan 1802, golongan Wahhabi Saudi di bawah Abdul-Aziz bin Muhammad menyerang dan merebut kota suci Syiah Karbala dan Najaf di Irak, dan menghancurkan makam Husain bin Ali, cucu Muhammad, dan Ali bin Abu Thalib, menantu Muhammad. Pada tahun 1803 dan 1804 orang-orang Saudi merebut Makkah dan Madinah dan menghancurkan berbagai makam Ahlul Bait dan para Sahabat, monumen kuno, situs dan reruntuhan Islam. Menurut Wahhabi, mereka "menghapus sejumlah dari apa yang mereka pandang sebagai sumber atau gerbang menuju perbuatan syirik - seperti makam Fatimah, putri Muhammad. Pada tahun 1998 orang Saudi membuldozer dan menuangkan bensin ke atas makam Aminah binti Wahab, ibunda Muhammad. Hal ini menuai kemarahan di seluruh Dunia Islam.
Tentangan Sunni
Wahhabisme telah dikritik keras oleh banyak kalangan Muslim Sunni arus utama dan terus dikecam oleh banyak cendekiawan Sunni terkemuka tradisional karena dianggap bid'ah, "sesat dan mendorong tindakan kekerasan" dalam Islam Sunni.[64] Di antara organisasi Sunni tradisional dunia yang menentang ideologi Wahhabi adalah Al-Azhar di Kairo, anggota fakultasnya yang secara konsisten mencela Wahhabisme dengan istilah seperti "ajaran setan." Mengenai Wahhabisme, cendekiawan dan intelektual Sunni Al-Azhar yang terkenal, Muhammad Abu Zahra berkata: "Wahhabi melebih-lebihkan (dan merusak) pernyataan Ibnu Taimiyah ... Kaum Wahhabi tidak menahan diri hanya melakukan dakwah penyebaran agama, tapi secara memaksa juga melakukan penghinaan terhadap siapapun yang tidak setuju dengan mereka dengan alasan bahwa mereka melawan bid`ah, dan perbuatan bid'ah adalah kejahatan yang harus diperangi ...
Kapanpun mereka bisa merebut kota, mereka akan datang ke makam dan mengubahnya menjadi reruntuhan dan kehancuran...
Kebrutalan mereka tidak berhenti di situ, tapi juga muncul ke kuburan siapa pun dan menghancurkannya juga. Dan ketika penguasa daerah Hijaz menyerah kepada mereka, mereka menghancurkan semua kuburan para Sahabat dan membakarnya sampai rata dengan tanah...
Sebenarnya, telah diketahui bahwa Ulama kaum Wahhabi menganggap pendapat mereka sendiri benar dan tidak mungkin salah, sementara mereka menganggap pendapat orang lain salah dan tidak mungkin benar. Lebih dari itu, mereka menganggap apa orang lain lakukan; mendirikan makam dan mengelilinginya, sebagai perbuatan yang mendekati penyembahan berhala... Dalam hal ini perbuatan mereka sangat dekat dengan kaum Khawarij, yang biasa menyatakan orang-orang yang tidak setuju dengan mereka sebagai murtad dan memerangi mereka seperti yang telah kita sebutkan."
Penghancuran situs bersejarah Islam
Ajaran Wahhabi menentang "pemuliaan terhadap situs-situs bersejarah yang terkait dengan awal ajaran Islam", dengan alasan bahwa "hanya Allah yang patut disembah" dan "penghormatan terhadap situs-situs yang terkait dengan manusia menyebabkan "syirik".
Akan tetapi, penghancuran bangunan diatas tersebut tidak semata mata menunjukkan bahwa sesungguhnya ziarah kubur itu dilarang, akan tetapi penghancuran tersebut bersumber kepada hadits nabi yang melarang membuat bangunan diatas makam karena dapat menimbulkan sifat ghuluw (melampaui batas).
Banyak bangunan yang terkait dengan sejarah Islam awal, termasuk berbagai makam seperti Makam Al-Baqi dan artefak lainnya di Arab Saudi, telah dihancurkan oleh kaum wahhabi sejak awal abad-19 sampai kini. Praktik penghancuran makam yang kontroversial ini telah menuai banyak kritikan dari Muslim Sufi, Syi'ah, serta dunia internasional.
Sumber referensi :
- Wikimedia
- Berita artikel online