Salat Rubuh-rubuh Gedhang
Sebuah diskusi bertema ”Pengaruh Peradaban Islam terhadap Kebudayaan Jawa” berlangsung di aula kantor Suara Merdeka, Jln Kaligawe, kemarin. Bukan diskusi dengan simpulan yang dahsyat. Agenda Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT) itu lebih berkesan sebagai ”obrolan santai”.
Tapi apa pun, ulasan antropolog Dr Mudjahirin Thohir perihal dua kutub kebudayaan (peradaban), yakni budaya Islam dalam Jawa atau sebaliknya tetap perlu dicatat.
Pemeluk agama Islam, katanya, selama ini mendistorsikan paham sufistik yang memandang manusia secara ekuel dan egaliter ke arah garis struktural sebuah sistem yang sangat dominan dalam budaya Jawa.
Dosen Antropologi Undip itu memulai dengan paham sufistik (budaya Islam) yang mestinya membedakan manusia hanya dari sisi kualitas ketakwaan, tiba-tiba mengandung muatan strata yang kental.
Berbeda dari Islam, budaya Jawa memang memandang manusia secara hierarkis: tinggi-rendah, atas-bawah, juragan-kuli, atau ningrat-bukan ningrat. Celakanya, penyusunan kembali itu tidak diletakkan dalam peran tapi melebar dan dominan dalam penilaian status.
Alhasil, ketakwaan yang semula sebagai kata sifat atau kata keadaan berubah menjadi kata benda. Hingga pada gilirannya muncul anggapan bahwa mursid, kiai, dan ulama lebih takwa ketimbang orang biasa.
”Pembaptisan” itu, lanjut Mujahirin, melahirkan kesan bahwa nilai-nilai budaya Jawa lebih kuat membentuk peradaban Islam di Jawa. ”Ya, kerinduan pada segala yang hierarkis telah menelikung peradaban Islam sendiri dan seba-gian umat Islam menikmati telikungan itu.”
Kepura-puraan
Dalam sistem hierarkis, demokratisasi, keterbukaan, dan kompetisi akan kesulitan mendapat tempat. Sebab, loyalitas yang muncul merupakan bentuk ketertundukan.
Dia mencontohkan, nilai-nilai Islam yang semula berbunyi ”hormatilah yang tua dan sayangilah yang muda” berubah menjadi ”patuhilah orang tua dan proteksilah yang muda”.
”Maka tradisi membantah, mengkritik, dan mengoreksi yang tua tak pernah terjadi. Sebab, itu menjadi sesuatu yang negatif, setingkat dengan su’ul adab.”
Pada gilirannya, bangunan etika-sosial seperti itu melahirkan pedoman kesopanan yang diukur dengan konsep-konsep seperti empan-papan, angon mangsa, atau duga-praduga.
Sebagai konsekuensi, muncul pola kepura-puraan, mimik, dan kamuflase yang dalam kebudayaan Jawa sikap seperti itu menjadi bagian untuk menyelaraskan hidup. Padahal, pada sisi lain budaya Islam sangat menekankan ketegasan.
”Jangan heran jika kemudian (agama) Islam diterima umumnya orang Jawa yang tersosialisasi pada kebudayaan Jawa dengan catatan atau syarat-syarat. Bukan peradaban Islam yang goyah melainkan orang-orangnya.”
Prof Dr H Abu Su’ud melihat keterpengaruhan Islam-Jawa atau sebaliknya dalam kerangka yang lebih sederhana. Misalnya dalam tradisi tahlilan, nelung dina, mitung dina, dan seterusnya.
Termasuk dalam kebatinan Jawa, seperti konsep sedulur papat, lima pancer, juga gelar kesultanan bagi raja-raja Jawa pasca-Majapahit, serta aspek lain, seperti pemakaian nama, penghitungan astrologi, bahkan pemilihan jodoh.
Dr H Abdul Djamil melihat, pengaruh Islam dalam budaya Islam bisa ditemukan dalam sejumlah ekspresi budaya. Polemik antara seorang santri Jawa Prof Dr HM Rasyidi dan pakar kebatinan Drs Warsito pada tahun 1970-an yang berangkat dari buku, Darmagandhul dan Gatoloco.
Djamil mencontohkan kitab Hikayat Jati (Ronggowarsito) yang menjelaskan tingkatan makrifat. Namun pada sisi lain dia juga melihat pengaruh Islam yang berkesan diabaikan, sehingga entitas budaya lokal (Jawa) lebih sering menonjol.
”Akibatnya, muncul istilah Islam abangan atau priayi, poso tutup kendang, salat rubuh-rubuh gedhang….” (Ganug Nugroho Adi-75).
Oleh : Prof. Mudjahirin
Ditulis ulang oleh : Imajier Nuswantoro