Ulama Su' =
Ulama su' (ulama yang buruk akhlaknya).
Ulama su' juga memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
- Tidak memiliki integritas pribadi,
- Tidak memiliki tanggung jawab,
- Mencampuradukkan yang haq dan batil,
- Suka mengingkari janji,
- Tidak takut kepada Allah.
Rasulullah SAW menyebut ulama su' sebagai ulama yang paling dikhawatirkan ketimbang Dajjal. Hal ini karena ulama su' walaupun ucapan dan lidahnya memalingkan manusia dari dunia, namun amal perbuatan dan keadaannya mengajak manusia ke dunia.
Ulama su' menggunakan ilmunya untuk memperbanyak harta dan berbangga dengan kedudukan dan jumlah pengikutnya.
Ciri-ciri Ulama Su’, Ulama Cinta Harta dan Ulama Memuja Duniawi
Ulama su’ sebagaimana yang kami pahami bukan hanya mereka yang menguasai ilmu agama, tetapi mereka yang menguasai ilmu di luar ilmu agama. Artinya, ilmuwan dalam bidang apapun bisa saja menyandang predikat ulama su’.
Lalu bagaimana ciri ulama su’ ? Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kifayatul Atqiya mengatakan sebagai berikut :
“Mereka adalah ulama agama untuk membedakan antara mereka dan ulama dunia; mereka adalah ulama jahat yang dengan ilmunya bertujuan untuk kesenangan dunia, mendapatkan pangkat dan kedudukan pada penduduk,” (Lihat Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, [Indonesia: Al-Haramain Jaya, tanpa tahun], halaman 70).
Sebenarnya, apa yang disampaikan Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi bukanlah pertama kali. Sebelumnya, Imam Al-Ghazali sudah menulis ini terlebih dahulu dalam Ihya Ulumiddin, (Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1358 H/1939 H), juz I, halaman 64-65.
Berikut ini kami kutip Syarah Ihya Ulumiddin karya Sayyid Muhammad Al-Husaini Az-Zabidi :
“(Yang kami maksud dengan ulama ulama dunia adalah ulama jahat) Imam Al-Ghazali menyifati mereka demikian karena kerendahan kedudukan mereka di sisi Allah dan kehinaan semangat mereka di mana mereka menggunakan sesuatu yang terpuji untuk sesuatu yang tercela. Mereka adalah orang (yang dengan) meraih (ilmunya bertujuan untuk kesenangan dunia,) hidup senang dengan perhiasan dunia, yaitu menghias rumah dengan permadani mewah, menggantungkan gorden padanya, menghiasi diri dengan pakaian luks, dan memperindah rumah dengan kasur yang elok, (mendapatkan) dengan ilmunya (pangkat dan kedudukan) yang tinggi (pada penduduk) dunia,” (Lihat Sayyid Muhammad Al-Husaini Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarhi Ihya’i Ulumiddin, [Beirut: Muassasatut Tarikh Al-Arabi, 1994 M/1414 H], juz I, halaman 348).
Dari sini kita mendapatkan gambaran bahwa ulama su’ adalah ilmuwan secara umum yang menyalahgunakan ilmunya untuk kepentingan duniawi apapun bentuk kepentingannya. Artinya, jangan dipahami bahwa ulama su’ adalah sarjana-sarjana yang mempelajari ilmu sekuler. Pemahaman ini tidak relevan sama sekali.
Sedangkan dalam konteks ahli ilmu agama, Imam Al-Ghazali menyebut sejumlah ciri-ciri ulama su’. Imam Al-Ghazali menjelaskan tiga jenis niat orang dalam menuntut ilmu. Salah satunya adalah ulama yang salah niat dalam menuntut ilmu agama.
Inilah yang kemudian disebut sebagai ulama su’ sebagai keterangan Imam Al-Ghazali dalam Kitab Bidayatul Hidayah berikut ini :
“Penuntut ilmu ketiga adalah orang yang kesetanan. Ia menjadikan ilmunya sebagai jalan untuk memperkaya diri, menyombongkan diri dengan kedudukan, dan membanggakan diri dengan banyaknya pengikut. Ia masuk terperosok ke banyak lubang tipu daya karena ilmunya itu dengan harapan hajat duniawinya terpenuhi. Ia di tengah kehinaan itu merasa dalam batinnya memiliki tempat mulai di sisi Allah karena ia bergaya dengan gaya ulama dan berpenampilan soal pakaian dan ucapan sebagaimana penampilan ulama di saat ia secara lahir dan batin menerkam dunia semata. Orang ini termasuk mereka yang celaka dan mereka yang dungu lagi terpedaya. Tiada harapan untuk pertobatannya karena ia sendiri merasa sebagai orang baik (muhsinin). Ia lalai atas firman Allah, ‘Wahai orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan ?’ Ia termasuk orang yang dikatakan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya, ‘Ada sesuatu yang aku khawatirkan pada kalian daripada selain Dajjal.’ Para sahabat bertanya, ‘Apakah itu wahai utusan Allah ?’ Nabi Muhammad SAW menjawab, ‘Ulama yang jahat.’ Kenapa demikian ? Karena tujuan Dajjal hanya menyesatkan orang lain. Sedangkan ulama seperti ini sekalipun memalingkan orang lain daripada dunia melalui ucapan dan perkataannya, ia mengajak orang mencintai dunia melalui perbuatan dan perilaku kesehariannya. Sementara bahasa tubuh lebih efektif daripada bahasa verbal. Tabiat manusia menurut tabiatnya lebih cenderung membantu pada perbuatan dibanding mengikuti perkataan. Mafsadat yang ditimbulkan oleh perilaku ulama jahat yang terpedaya ini lebih banyak dibanding kemaslahatan yang ditimbulkan oleh perkataannya. Pasalnya, orang awam takkan nekat mencintai dunia tanpa sebab kenekatan dari ulamanya sehingga ilmunya menjadi sebab atas kenekatan hamba Allah yang lain dalam bermaksiat. Sementara nafsunya saat demikian mempermainkan dirinya, menghadirkan impian, memberi harapan, mendorongnya untuk mengungkit-ungkit atas ilmunya di sisi Allah, dan memberinya ilusi bahwa ia lebih baik daripada sekian banyaknya hamba Allah yang lain,” (Lihat Imam Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, [Indonesia: Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah, tanpa catatan tahun], halaman 7-8).
Dari keterangan ini, kita mendapatakan keterangan cukup jelas terkait ciri-ciri ulama su’ dalam konteks ilmu agama. Secara ringkat, kita dapat mengatakan bahwa ulama su’ adalah mereka yang tidak memiliki integritas pribadi dan tidak memiliki tanggung jawab intelektual. Ringkasnya, mereka yang memiliki niat duniawi dalam menuntut ilmu yang pada praktiknya adalah penyalahgunaan ilmu pengetahuan.
Kalau selama ini beredar bahwa ulama su’ adalah ulama yang mendekatkan diri kepada penguasa dan kekuasaan, itu jelas keliru. Pasalnya, agama tidak membatasi pergaulan ulama atau ilmuan. Artinya, mereka boleh bergaul dengan siapa saja.
Kalau selama ini beredar bahwa ulama su’ adalah ulama yang kaya, ini juga jelas keliru. Pasalnya, agama tidak membatasi ulama untuk hidup miskin atau sederhana. Ulama boleh memiliki rumah, pakaian, dan kendaraan yang bagus. Tidak ada masalah sampai di situ.
Kedudukan mereka sebagai ulama su’ atau ulama akhirat ditentukan oleh niat. Sementara niat adalah sesuatu yang ghaib sehingga keterangan perihal ciri-ciri ulama su’ ini tidak boleh digunakan menilai siapa saja di sekitar kita yang dipanggil ulama atau ustadz oleh masyarakat. Dan kita tidak bisa menghukumi niat seseorang.
Artinya, kita tidak boleh berburuk sangka (su’uzzhan) kepada para ulama. Buruk sangka kepada orang awam saja tidak boleh, apalagi kepada ulama. Pasalnya, menyakiti mereka sama saja memasukkan racun mematikan ke dalam tubuh kita.
Ulama Su’ (Orang Berilmu Yang Buruk)
Dalam al-Qur’an, Allâh Azza wa Jalla menyebutkan kisah seorang yang berilmu namun digelari buruk.
Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam surat al A’raf ayat ke-175 sampai dengan ayat ke-177.
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.
Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zhalim.
Ilmu syar’i bisa membimbing orang yang memilikinya untuk menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak terpuji, juga bisa mengangkatnya ke derajat dan kedudukan tertinggi. Ini jika ilmu dia mengamalkan ilmu yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepadanya dengan ikhlas karena Allâh Azza wa Jalla . Namun, sebaliknya, jika dia meninggalkan ilmu yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits tersebut dan mencampakkan akhlak yang diperintahkan oleh keduanya, melepasnya sebagaimana dia melepaskan bajunya, maka dia akan tawanan syaitan, dia terlempar dari bentenng yang kokoh dan berada dalam kondisi terburuk. Maksiat demi maksiat akan dia lakukan.
Berikut adalah ciri-ciri orang yang berilmu tapi buruk tersebut :
1. Sifat Pertama; Dia menyuruh orang lain untuk melakukan kebaikan, tapi dia melupakan dirinya.
Ini membuktikan kalau ia orang yang tidak sehat akalnya, bagaimana dia menyuruh orang lain meraih kebaikan tapi dia tidak meraih kebaikan itu untuk dirinya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
2. Sifat Kedua; Perbuatannya menyelisihi perkataannya!
Ini salah satu ciri mereka dan itu akan mengundang murka Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an Surat as-Shaf, ayat 2 dan 3.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
Ibnul qayyim rahimahullah mengatakan, “Orang-orang berilmu namun buruk itu duduk di pintu surga, dengan ucapan-ucapan, mereka mengajak manusia untuk masuk kedalamnya, namun mereka mengajak manusia untuk masuk ke neraka dengan perbuatannya. Saat lisan mereka berkata, ‘Ayolah kemari!’ perbuatan-perbuatan mereka berkata, ‘Janganlah kalian dengar ajakan itu!’
Andai apa yang mereka serukan itu benar, tentu merekalah yang pertama kali memenuhi seruan itu. Mereka terlihat bagai penunjuk jalan namun sejatinya mereka perampok.”
Ilmu mereka tidak bermanfaat dan tidak mendatangkan kebaikan untuk dirinya. Oleh karena itu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan kepada Allâh dari ilmu yang tidak bermanfaat.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Wahai Allâh! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari nafsu yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan.”
3. Sifat Ketiga; Mereka hanya ingin meraih kesenangan dunia yang fana serta ridha manusia.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas bersabda :
مَنِ الْتَمَسَ رِضَا اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ الِلَّهِ عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ النَّاسَ عَلَيْهِ
Barangsiapa mencari ridha Allâh dengan sesuatu yang (terkadang) menyebabkan orang lain tidak menyukainya, maka Allâh akan meridhainya dan Allâh akan membuat orang lain menjadi ridha kepadanya. Dan barangsiapa mencari ridha manusia dengan sesuatu yang mengundang murka Allâh, maka Allâh akan murka kepadanya dan membuat manusia ikut murka kepadanya.
Jadi orang yang berakal sehat sangat berantusias untuk meraih ridha Allâh Azza wa Jalla meskipun dengan sesuatu yang terkadang membuat manusia menjadi murka, sebaliknya orang yang berilmu namun buruk dia terus berupaya menggapai ridha manusia meskipun dimurkai oleh Allâh Azza wa Jalla .
Diriwayatkan dari al-Walîd bin al-Walîd Abu Utsman al-Maidani, bahwa Uqbah bin Muslim pernah mengabarkan kepadanya bahwa Syufay al-Ashbahi mengabarkan bahwa ia pernah masuk ke kota Madinah dan mendapati seseorang yang dikerubungi banyak orang. Ia berkata, ‘Siapa ini?’ orang-orang itu menjawab, “Abu Hurairah.” (Mendengar jawaban itu), aku mendekat dan duduk di depannya.
Ketika itu beliau Radhiyallahu anhu sedang menyampaikan hadits-hadits kepada orang banyak. Setelah beliau selesai, aku berkata, ‘Saya mohon dengan sungguh-sungguh, sudilah kiranya anda mengajari saya sebuah hadits yang anda dengar, hafal dan pahami langsung dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menjawab, “Baiklah, saya akan mengajari anda sebuah hadits yang saya dengar, hafal dan pahami langsung dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” (namun sebelum menyampaikan hadits ini, beliau Radhiyallahu anhu sempat tak sadarkan diri dan akhirnya beliau Radhiyallahu anhu menyampaikan hadits ini-red) Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ يَنْزِلُ إِلَى الْعِبَادِ لِيَقْضِيَ بَيْنَهُمْ وَكُلُّ أُمَّةٍ جَاثِيَةٌ فَأَوَّلُ مَنْ يُدْعَى بِهِ رَجُلٌ جَمَعَ الْقُرْآنَ وَرَجُلٌ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَرَجُلٌ كَثِيْرُ المَالِ فَيَقُوْلُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْقَارِىءِ أَلَمْ أُعَلِّمْكَ مَا أَنْزَلْتُ عَلَى رَسُولِي قَالَ بَلَى يَا رَبِّ قَالَ فَمَاذَا عَمِلْتَ فِيمَا عَلِمْتَ قَالَ كُنْتُ أَقُومُ بِهِ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ فَيَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَهُ كَذَبْتَ وَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ كَذَبْتَ وَيَقُولُ اللَّهُ بَلْ أَرَدْتَ أَنْ يُقَالَ فُلَانٌ قَارِىءٌ وَقَدْ قِيْلَ ذَلِكَ
وَيُؤْتَى بِصَاحِبِ الْمَالِ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ أَلَمْ أُوَسِّعْ عَلَيْكَ حَتَّى لَمْ أَدَعْكَ تَحْتَاجُ إِلَى أَحَدٍ قَالَ بَلَى يَا رَبِّ قَالَ فَمَاذَا عَمِلْتَ فِيمَا آتَيْتُكَ قَالَ كُنْتُ أَصِلُ الرَّحِمَ وَأَتَصَدَّقُ قَالَ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ كَذَبْتَ وَتَقُولُ لَهُ الْمَلائِكَةُ كَذَبْتَ وَيَقُولُ اللَّهُ بَلْ أردْت أَنْ يُقَالَ فُلَانٌ جَوَّادٌ فَقَدْ قِيْلَ ذَلِكَ
وَيُؤْتى بِالَّذِي قُتِلَ فِي سَبِيل اللهِ فَقَالَ لَهُ فِيْمَاذَا قُتِلْتَ فَيَقُولُ أُمِرْتُ بِالْجِهَادِ فِي سَبِيلِكَ فَقَاتَلْتُ حَتَّى قُتِلْتُ فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ كَذَبْتَ وَتَقُولُ لَهُ الْمَلائِكَةُ كَذَبْتَ وَيَقُولُ اللَّهُ بَلْ أَرَدْتَ أَن يُقَال فُلَانٌ جَرِيءٌ وَقَدْ قِيْلَ ذَلِكَ
Berikutnya, orang yang kaya itu dipanggil. Allâh Azza wa Jalla bertanya, ‘Bukankah Aku telah melapangkan rezekimu sehingga engkau tidak lagi membutuhkan orang lain ?’ Orang itu menjawab, ‘Benar, wahai Rabb-ku!’ Allâh Azza wa Jalla bertanya lagi, ‘Lalu engkau gunakan untuk apa harta yang Aku berikan itu?’ Dia menjawab, ‘Untuk menyambung silaturahmi dan bersedekah.’ Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyangkalnya, ‘Engkau dusta.’ Para Malaikat pun berkata, ‘Engkau dusta.’ Allâh Azza wa Jalla berkata lagi, ‘Niatmu tidak lain agar disebut sebagai orang dermawan, dan pujian itu telah diucapkan (oleh banyak orang).’
Giliran selanjutnya, orang yang gugur di medan jihad dipanggil. Allâh Azza wa Jalla bertanya, ‘Untuk urusan apa engkau terbunuh?’ Dia menjawab, “Wahai Rabb-ku! Aku disuruh untuk berjihad di jalan-Mu maka aku berperang hingga aku gugur.’ Lalu Allâh Azza wa Jalla menyanggah, ‘Engkau dusta.’ Para Malaikat pun berkata, ‘Engkau dusta.’ Allâh Azza wa Jalla berkata lagi, ‘Akan tetapi, engkau ingin agar disebut sebagai seorang pemberani dan pujian itu telah diucapkan (oleh banyak orang atau dengan kata lain, ‘pujian itu telah engkau dapatkan’-red)’ Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk lututku sembari bersabda, “Wahai Abu Hurairah! Tiga golongan itu adalah makhluk Allâh yang pertama kali dijadikan bahan bakar api neraka.”
Al-Walid Abu Utsman al-Madani mengatakan, “Uqbah mengabarkan kepadaku bahwa Syufay lah orangnya yang masuk ke Mu’awiyah lalu memberitahukan hadits ini.”
Abu Utsman mengatakan, “Aku diberitahu oleh al-‘Ala’ bin Abi hakim algojo Mu’awiyah. Dia mengatakan, ‘Ada seseorang masuk menghadap Mu’awiyah lalu dia memberitahukan hadits dari Abu Hurairah ini. Setelah mendengar hadits ini, Mu’awiyah Radhiyallahu anhu berkata, “Tiga golongan tersebut mendapat siksa sedemikian rupa, apakah lagi golongan-golongan lainnya ?” Seketika itu Mu’awiyah Radhiyallahu anhu menangis sejadi-jadinya sampai kami mengira beliau akan meninggal. Kami mengatakan, “Lelaki (yang menyampaikan hadits) ini, telah membawa keburukan untuk kita.” Lalu Mu’awiyah Radhiyallahu anhu tersadar dan mengusap wajahnya sambil mengatakan, ‘Maha benar Allâh dan Rasul-Nya :
4. Sifat Keempat; Mereka itu yang mengajak ke pintu-pintu neraka
Hudzaifah bin Yaman Radhiyallahu anhu berkata :
Jelaskan ciri-ciri mereka kepada kami!’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Mereka memiliki warna kulit seperti kita dan berbicara denga bahasa kita.’ Aku bertanya lagi, ‘Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Berpegang teguhlah pada jama’ah kaum Muslimin dan pemimpinnya.” Aku bertanya, ‘Bagaimana jika kaum Muslimin tidak memiliki jama’ah maupun imam?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tinggalkanlah semua firqah (kelompok) itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan dirimu dalam keadaan seperti itu.”
5. Sifat Kelima; Ulama’ yang menanggalkan keilmuannya itu menjadi pengekor hawa nafsu
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Hawa nafsu menjadi panutan yang selalu ia turuti.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Allâh Azza wa Jalla berfirman pula :
Ketahuilah bahwa jika manusia mengikuti hawa nafsunya ia akan binasa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Hawa nafsu menghalangi seorang hamba untuk tunduk dan patuh kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Hawa nafsu juga menjauhkan seorang hamba dari jalan Allâh, sebagaimana firman-Nya :
Ditulis oleh : Kanti Suci Project (Imajier Nuswantoro)
Sumber Referensi :
- https://almanhaj.or.id/9853-ulama-su-orang-berilmu-yang-buruk.html
- NU online, https://www.nu.or.id/nasional/ulama-dekat-pejabat-ciri-ulama-su-begini-penjelasan-habib-umar-bin-hafidz-O4Xt5