Emansipasi Wanita Dalam Islam
BY, KANTHI
سْــــــــــــــــــــــمِ
اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Emansipasi wanita yang selalu dielu-elukan kaum feminis
itu sekali lagi, hanya akan menambah kemadhorotan bagi wanita sendiri. Karena
itu semua hanya bentuk kebebasan tanpa batas yang akan merugikan diri sendiri.
Padahal Allah telah menciptakan batasan syara’ itu dengan sangat lengkap dan
sempurna.
Selama ini, emansipasi lebih cenderung diartikan sebagai
persamaan gender yang berimplikasi pada bentuk kebebasan memilih. Misalnya
memilih menjadi wanita karir, padahal tugas mencari nafkah sesungguhnya adalah
kewajiban seorang pria.
Pada dasarnya, Islam membolehkannya tentunya tidak
melanggar syar’i. Sebagaimana firman Allah,
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah: 228).
Menurut Yusuf Qardhawy, Islam memberikan peluang bagi
kaum wanita untuk aktif terlibat dalam berbagai kehidupan, sebagaimana firman
Allah.
Pengertian kata “Auliya” dalam ayat tersebut secara
definitif mencakup kerjasama, bantuan, saling pengertian. Dalam konteks saling
menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran.
Oleh karena itu, kita harus lebih kritis dan hati-hati
menyikapi maraknya gerakan yang mengatasnamakan emansipasi wanita, kesetaraan
gender, persamaan derajat wanita, feminisme, dan berbagai gerakan lainnya.
Banyak pemahaman yang tampaknya memperjuangkan para wanita, namun dalam praktek
sesungguhnya justru merendahkan wanita.
Gerakan emansipasi wanita yang bersumber pada nilai-nilai
kesamaan hak asasi manusia versi barat, justru banyak bertentangan dengan
nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi derajat wanita. Contohnya, banyak
sekali wanita berpakaian seksi bahkan wanita tidak malu lagi salah satu bagian
tubuhnya, dilihat oleh kaum pria biarpun mereka memakai pakaian.
Peran dan keterlibatan wanita dalam kehidupan manusia,
menurut pandangan Islam adalah sesuatu yang wajar dan memang harus ada. Tidak
mungkin melepaskan dunia dari peran dan keterlibatan kaum wanita.
Banyak sekali hadits yang menunjukkan peran wanita,
Dari Ar-Rubayyi binti Mu’awwidz Radhiyallahu Anha
berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah dalam peperangan, kami bertugas
memberi minum dan makan para prajurit, melayani mereka, mengobati yang terluka,
dan mengantarkan yang terluka kembali ke madinah.”
Dalam bidang perdagangan, nama Khadijah binti Khuwailid,
tercatat sebagai seorang yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani
Anmar, yang tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada Nabi
untuk meminta petunjuk-petunjuk dalam bidang jual beli.
Kemudian istri Rasulullah, Zainab binti Jahsy juga aktif
dalam bekerja. Hingga menyamak kulit binatang dan hasilnya itu beliau
sedekahkan. Ratihah, istri sahabat Nabi, Abdullah ibn Mas’ud sangat aktif
bekerja karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu bekerja.
Pemahaman mengenai emansipasi perempuan harus dilihat
dari berbagai aspek. Tidak hanya dilihat dari aspek penuntutan hak saja, tetapi
juga harus dilihat dari pemenuhan kewajiban. Perkembangan zaman mendengungkan
emansipasi sebagai penuntutan hak, dengan mengesampingkan kewajiban yang
menjadi konsekuensi dari hak-hak tersebut.
Contoh konkretnya, wanita diperbolehkan berkarir tetapi
juga harus tetap memenuhi kewajibannya seperti harus memakai jilbab pada saat
berkerja dimanapun, harus menjadi istri dan ibu yang sholehah buat keluarganya.
Dengan demikian, makna emansipasi menurut perspektif
hukum Islam tidak hanya menjabarkan mengenai penuntutan hak saja. Akan tetapi
juga menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban sebagai konsekuensi dari hak yang
bertujuan untuk memuliakan wanita.
Dalam Islam, wanita justru sangat dimuliakan sesuai peran
dan kedudukan kodratinya. Bukan tidak mungkin, paham emansipasi yang sekarang
marak disebarluaskan justru akan mengantar kaum wanita pada kehinaan.
Islam Berbicara Emansipasi Wanita
“ Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian
yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan dari jiwa yang satu itu
Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. An-Nisa`: 1)
Berbicara masalah wanita dalam Islam menjadi tema yang
tak habis-habisnya untuk disoroti oleh para aktivis perempuan dan kalangan
feminis. Dari mulai soal kepemimpinan, “diskriminasi” peran, partisipasi yang
“rendah” karena posisinya yang dianggap “subordinat”, hingga masalah poligami.
Semuanya bermuara pada sebuah gugatan bahwa wanita harus mempunyai hak yang
sama alias sejajar dengan pria. Seolah-olah dalam agama ini terjadi pembedaan
(yang membabi buta) antara kaum pria dan wanita.
Membicarakan emansipasi wanita adalah merupakan hal yang
sangat menarik dalam berbagai diskusi. Karena di era digittal seperti sekarang
ini sedang hiruk-pikuk dengan kajian emansipasi dari gerakan feminisme. Menurut
Dra. Susilaningsih Kuntowijoyo, MA, bahwa gerakan feminisme erat kaitanya
dengan women liberation movement (gerakan pembebasan wanita). Gerakan ini
dikenal dengan sebutan Women’s Lib (WL) yang merupakan suatu gerakan sosial
yang peduli terhadap perlunya perubahan peran dan status wanita.
Islam sendiri sejak dahulu memperbolehkan wanita untuk
ikut serta berkiprah dalam masyarakat sosial. Buktinya, secara histories telah
tercatat banyak wanita muslimah terdahulu yang ikut andil dalam kegiatan
bermasyarakat. Tapi mereka tetap menjaga sekat relasi sosialnya antara laki-laki
dan wanita non mahram. Mereka juga memakai pakaian yang menutupi aurat sesuai
dengan perintah-Nya. Betapa naif jika para muslimah terpengaruh seruan negara
Barat yang mengatakan bahwa wanita Islam adalah wanita yang kolot (terbelakang)
karena hanya menyandang jabatan ibu rumah tangga. Padahal jika benar-benar
memahami agama yang fitrah ini,sesungguhnya menjadi ibu rumah tangga adalah
pekerjaan yang mulia dibandingkan dengan pekerjaan mereka yang merasa bangga
dan berlomba-lomba dalam meraih jabatan sekadar untuk pamor. Sebenarnya boleh
saja jika wanita ingin berkarier dan mengembangkan potensinya diluar rumah,
dengan syarat: (1) Mendapat izin dari suami, (2) Tidak berikhtilath dan
tabarruj dengan laki-laki non mahram, (3) Menutup aurat dengan hijab syar’i,
(4) Menundukkan pandangan dan menjaga farji, (5) Tidak berdandan seperti wanita
jahiliyah, (6) Tidak merubah kodratnya sebagai seorang wanita, (7) Bisa membagi
waktu antara melayani suami dan mendidik anak.
Sesungguhnya Islam menempatkan wanita di tempat yang
sesuai pada tiga bidang : Pertama, Bidang Kemanusiaan, Islam mengakui hak
wanita sebagai manusia dengan sempurna sama dengan pria. Kedua, Bidang Sosial,
terbuka lebar bagi wanita di segala jenjang pendidikan, di antara mereka
menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan
tingkatan usianya, masa kanak-kanak sampai usia lanjut. Bahkan semakin
bertambah usianya, semakin bertambah pula hak-hak wanita, usia kanak-kanak;
kemudian sebagai seorang isteri, sampai menjadi seorang ibu yang menginjak
lanjut usia (lansia), yang lebih membutuhkan cinta, kasih dan penghormatan.
Ketiga, Bidang Hukum, Islam memberikan pada wanita hak memiliki harta dengan
sempurna dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia dewasa dan tidak
ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala keluarga.
Secara lebih rinci, penulis akan menjelaskan mengenai
hukum Islam yang mengatur tentang emansipasi wanita yang konon diartikan
sebagai tuntutan persamaan gender dengan pria. Adapun dalil-dalilnya adalah
sebagai berikut.
1. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam pandangan
Allah.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki
dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya,
laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka
ampunan dan pahala yang besar”. (QS. Al-Ahzab : 35)
Menurut tafsir Imam Ibnu Katsir, asbabun nuzul dari ayat
di atas adalah berkenaan dengan pertanyaan para wanita, ”mengapa dalam Al
Qur’an disebutkan para laki-laki sementara para wanita tidak?”
Jelas bahwa surat Al-Ahzab ayat 35 tersebut tidak
membedakan antara laki-laki dan wanita, yang membedakan hanyalah tingkat
keimanan dan ketaqwaan. Inilah bukti bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala sangat
memuliakan kaum wanita. Sampai-sampai nama wanitapun juga diabadikan dalam
mushaf suci pada surat An-Nisa’yang artinya perempuan. Hal ini bertolak
belakang dengan paradigma orang Barat yang mengklaim wanita muslimah tidak
dimuliakan karena harus terkekang di rumah.
Orang muslim yang dimaksud dalam ayat ini adalah
orang-orang yang mengikuti perintah dan menjauhi larangan pada lahirnya,
sedangkan yang dimaksud orang mukmin adalah orang-orang yang membenarkan apa
yang harus dibenarkan oleh hatinya. Berdasarkan dalil ini, Islam menjelaskan
bahwa kedudukan antara wanita dan pria adalah sama, yang membedakan adalah iman
dan ketakwaannya.
2. Kedudukan wanita sama dengan pria dalam berusaha untuk
memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya. Firman
Allah:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebahagian maskawin itu dengan senang hati, makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.
(QS. An-Nisa : 4)
Pemberian itu adalah maskawin yang besar kecilnya
ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, karena pemberian itu harus dilakukan
dengan ikhlas. Selain dalil tersebut, kedudukan wanita dan pria dalam berusaha
memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaan dapat
dilihat dalam QS. An-Nisa’ : 32:
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (karena) bagi laki-laki ada bahagian yang mereka usahakan, dan bagi para
(wanita) pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada
Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu”.
3. Kedudukan wanita sama dengan pria untuk menjadi ahli
waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan. Firman Allah:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan”. (QS An-Nisa’ : 7)
4. Hak dan kewajiban wanita dan pria, dalam hal tertentu
sama dapat dilihat dalam QS Al-Baqarah : 228 dan At-Taubah:71) dan dalam hal
lain berbeda karena kodrat mereka yang sama dan berbeda pula (QS An-Nisa : 11
QS An-Nisa : 43). Kodratnya yang menimbulkan peran dan tanggung jawab antara
pria dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari, misalnya sebagai suami
isteri, fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan
kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala
rumah tangga.
Berdasarkan beberapa dalil yang telah Penulis kemukakan,
maka dapat diketahui bahwa Islam sangat menjunjung harkat wanita bahkan
melindungi dari hal yang paling sederhana hingga yang lebih kompleks.
Dengan demikian, pemahaman mengenai emansipasi wanita
harus dilihat dari berbagai aspek, tidak bisa hanya dilihat dari aspek
penuntutan hak-haknya saja, tetapi juga harus dilihat dari pemenuhan kewajiban.
Perkembangan zaman mendengungkan emansipasi sebagai penuntutan hak-hak saja
tetapi mengesampingkan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari hak-hak
tersebut. Contoh konkritnya, wanita diperbolehkan berkarier, tetapi juga harus
memenuhi kewajibannya seperti tetap memakai hijabnya dalam bekerja dan
mengetahui posisinya di berbagai peran lainnya, yakni sebagai istri dan sebagai
ibu. Dengan demikian, makna emansipasi menurut perspektif hukum Islam tidak
hanya menjabarkan mengenai penuntutan hak saja akan tetapi juga menjelaskan
tentang kewajiban-kewajiban yang merupakan konsekuensi dari hak yang bertujuan
untuk memuliakan wanita itu sendiri.
Inilah pembahasan penting tentang emansipasi wanita dalam Islam yang masih sering diperdebatkan... Terima kasih atas ulasannya.
BalasHapus