Kunci Ngaji Al-Qur'an Menurut Kyai Arwani Amin Kudus Rahimahullah
Kuncine Ngaji Al Qur'an iku ono telu :
1. Ojo nyawang sopo gurune (Jangan melihat siapa gurunya)
2. Ora usah isin karo umur (Jangan malu karena umur)
3. Suwe waktune (lama waktu tempuhnya)
Ora gelem ngaji Al Qur'an mergo pangkat/kedudukan gurune luwih rendah? Gusti Kanjeng Nabi Muhammad Saw iku muride malaikat Jibril As ing babakan Wacan Al Qur'an. Beliau ora isin ngaji Al Qur'an (musyafahah) marang Malaikat Jibril senajan secara pangkat derajat/kedudukan malaikat Jibril as iku luwih rendah.
Artinya: Tidak boleh ada lagi alasan tidak mau mengaji al Qur'an karena kedudukan guru lebih rendah. Nabi Muhammad saw saja tidak malu mengaji alquran kepada malaikat jibril walaupun derajat Rasululloh jauh diatas malaikat Jibril.
Males ngaji Al Qur'an mergo umur wis Tua? Gusti kanjeng Nabi Muhammad Saw iku mulai ngaji Al Qur'an marang malaikat Jibril as umur 40 tahun.
Artinya: Tidak boleh ada lagi alasan tidak mau mengaji Al Qur'an karena umur sudah tua. Nabi Muhammad saja mulai belajar al Qur'an kepada malaikatJibril pada umur 40 tahun.
Isin ngaji Al Qur'an mergo suwe waktune? Kanjeng Nabi Saw ora pernah ngrasa isin (minder) ngaji Al Qur'an marang malaikat Jibril as awit beliau Saw umur 40 tahun tekane 63 tahun (wafat).
Artinya: Tidak boleh ada lagi alasan tidak mau mengaji al Qur'an karena waktunya lama. Nabi Muhammad saja menerima wahyu al Qur'an 23 tahun lamanya.
اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين
Semoga kita semua bisa Kyai Arwani Amin Kudus Rahimahullah" ahli qur'an
Kisah Beliau
Indonesia memiliki banyak ulama yang menjadi kebanggaan.
Melalui didikannya, lahir santri-santri yang lantas menjadi ulama berpengaruh dan alim.
Salah satunya adalah KH M Arwani Amin Said atau Mbah Arwani Kudus. Mbah Arwani adalah salah satu ulama ilmu Al-Qur'an yang kerap menjadi rujukan.
Mbah Arwani lahir pada hari Selasa Kliwon pukul 11.00 siang tangga l5 Rajab 1323 H bertepatan dengan 5 September 1905 M di kampung Kerjasan, Kota Kudus, Jawa Tengah. Beliau merupakan putra dari pasangan H. Amin Said dan Hj Wanifah.
KH. MUHAMMAD ARWANI AMIN
SILSILAH
Arwani adalah putra ke dua dari pasangan suami istri H. Amin Sa’id dengan Hj. Wanifah. Keluarga Amin Sa’id ini termasuk keluarga besar, karena putra putri beliau terdiri tidak kurang dari selusin jumlahnya.
Terdiri dari 6 putri dan 6 putra dengan urutan sebagai berikut :
1. Muzainah
2. KH. Muhammad Arwani
3. Farkhan
4. Shalikhah
5. H. Abdul Muqsith
6. Khafidz
7. Ahmad Da’in
8. Ahmad Malikh
9. I’anah
10. Ni’mah
11. Muflikhah
12. ‘Ulya
H. Amin Sa’id adalah anak KH. Imam Kharamain, salah seorang tokoh ulama’ terkemuka di Kudus yang cukup dihormati dan disegani. Anak-anak KH. Imam Kharamain berjumlah 6 orang : Marzuki, Rumani, Seni, KH. Muslim, H. Amin Sa’id, Hasna dan H. Ahmad. Dari keenam bersaudara ini ternyata H. Amin Sa’id lah yang mempunyai anak terbanyak (12 orang).
KH. Imam Kharamain adalah anak ke-2 dari 3 bersaudara, ayahnya bernama H. Minhaj. Bu Uriyan adalah kakak perempuan KH. Imam Kharamain yang mempunyai 2 anak, salah satunya adalah KH. Ma’shum yang kemudian mempunyai anak KH. Fauzan. Sedangkan adik KH. Imam Kharamain adalah H. Hasan yang mempunyai seorang anak bernama Ahmad Sati.
Apabila diperhatikan, maka yang menarik dari silsilah ini ialah setiap satu keturunan mesti ada yang menjadi kyai. Anak H. Minhaj yang menjadi Kyai adalah KH. Imam Kharamain. Kemudian cucunya yang menjadi Kyai ialah KH. Muslim (putra KH. Imam Kharamain) dan KH. Ma’shum (putra Bu Uriyan). Lalu cicitnya, KH. Muhammad Arwani (putra H. Amin Sa’id) dan KH. Fauzan (putra KH. Ma’shum).
Penelusuran silsilah keluarga Arwani dari pihak ibu melalui garis keturunan orangtua laki-laki hanya sampai pada tingkatan ke-4. Ibu Arwani, H. Wanifah, adalah anak ke-5 dari hasil perkawinan antara H. Muhammad Nur dengan Rosimah, H. Wanifah mempunyai 4 kakak yaitu H. Ridwan, Suratmi, H. Abdul Hamid, dan H. Zuhdi. Sedangkan adiknya cuma 1, H. Nur Munazah.
Telah disebutkan di atas bahwa H. Amin Sa’id dalam urutan keluarganya adalah pemegang rekor tertinggi dalam hal pemilikan jumlah anak, demikian pula H. Wanifah. Di bawah H. Wanifah adalah adiknya, H. Nur Munazah, yang memiliki anak 10; H. Zuhdi, 9 anak; H. Ridwan, 7 anak; Suratmi, 5 anak; dan terakhir H. Abdul Hamid, 3 anak
Silsilah keluaga Arwani dari pihak ibu melalui garis keturunan orang perempuan sedikit lebih banyak daripada kedua silsilah yang baru saja diuraikan dimuka, yakni silsilah keluarga Arwani dari pihak ayah melalui garis keturunan orangtua laki-laki dan pihak ibu melalui garis keturunan orangtua laki-laki.
Dari dokumen catatan tentang silsilah keluarga Arwani dapat diketahui bahwa silsilah beliau dari pihak ibu melalui garis keturunan orangtua perempuan sampai pada tingkat ke-7, dengan urutan sebagai berikut: Arwani – Wanifah – Rosimah – Sawijah – Habibah – Mursyid – Jonggrang – Pangeran Diponegoro. Jadi, disamping cucu langsung salah seorang ulama’ besar di Kudus, Arwani adalah juga salah seorang anak cucu dari Pahlawan Nasional Indonesia yang sangat terkenal.
KELAHIRAN dan BIOGRAFI
KH. M. Arwani Amin Said lahir pada hari Selasa Kliwon pukul 11.00 siang tanggal 15 Rajab 1323 H. bertepatan dengan 5 September 1905 M. di Desa Madureksan kampung Kerjasan Kota Kudus Jawa Tengah. Beliau merupakan putra dari pasangan H. Amin Said dan Hj. Wanifah.
Nama asli beliau sebenarnya adalah Arwan. Sejak kepulangannya dari Haji yang pertama pada 1927 M. di belakang namanya menjadi “Arwani”. Sementara Amin bukanlah nama gelar yang berarti “orang yang bisa dipercaya”. Tetapi nama depan ayahnya; Amin Sa’id. KH. Arwani Amin adalah putra kedua dari 12 bersaudara. Saudara-saudara beliau secara berurutan adalah Muzainah, Arwani Amin, Farkhan, Sholikhah, H. Abdul Muqsith, Khafidz, Ahmad Da’in, Ahmad Malikh, I’anah, Ni’mah, Muflikhah dan Ulya.
Dari sekian saudara Mbah Arwani, yang dikenal sama-sama menekuni al-Qur’an adalah Farkhan dan Ahmad Da’in, adiknya Mbah Arwani ini bahkan terkenal jenius. Karena beliau sudah hafal al-Qur’an terlebih dahulu daripada Mbah Arwani. Yakni pada umur 9 tahun. Ia bahkan hafal hadits Bukhori Muslim dan menguasai Bahasa Arab dan Inggris. Kecerdasan dan kejeniusan Da’in inilah yang menggugah Mbah Arwani dan adiknya Farkhan, tepacu lebih tekun belajar.
Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi, kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya yang senang membaca al-Qur’an. Di mana orangtuanya selalu mengkhatamkan membaca al-Qur’an meski tidak hafal. Selain barokah, orang tuanya yang cinta kepada al-Qur’an, KH. Arwani Amin sendiri adalah sosok yang sangat haus akan ilmu. Ini dibuktikan dengan perjalanan panjang beliau berkelana ke berbagai daerah untuk mondok, berguru pada ulama-ulama.
Semasa hidupnya beliau juga mengajarkan Thariqat Naqsabandiyah Kholidiyah yang pusat kegiatannya bertempat di masjid Kwanaran. Beliau memilih tempat ini karena suasana di sekeliling cukup sepi dan sejuk. Di samping itu tempatnya dekat perumahan dan sungai gelis yang jernih ainya untuk membantu penyediaan air untuk para kholwat.
KELUARGA
Di bawah ini akan dikedepankan uraian selintas mengenai keluarga Arwani dengan sistemisasi : Pertama, keluarga garis ke atas, yakni keluarga Arwani yang meliputi kedua orangtua dan saudara-saudaranya. Kedua, keluarga garis ke bawah, yakni keluarga Arwani yang meliputi istri, putra dan menantunya.
Keluarga Garis ke atas.
Mata pencaharian pokok H. Amin Sa’id sebagai sumber hidupnya adalah dagang. Ia berdagang kitab. Bagian depan rumahnya yang terletak di perempatan Menara, ±100 meter sebelah selatan masjid Menara Kudus, dibuat menjadi toko kitab dan diberi nama dengan mengambil nama dengan mengambil nama depannya sendiri, yaitu “Al Amin”.
Aneka macam kitab di jual di toko ini, dari kitab-kitab yang menjadi pelajaran pokok di Madrasah sampai kepada kitab-kitab klasik yang dipelajari di Pesantren/Pondok yang ada di kota Kudus dan sekitarnya. Toko kitab “Al Amin” yang dikelola sendiri oleh H. Amin Sa’id cukup dikenal oleh masyarakat luas dan cukup maju pada waktu itu. Hal ini bukan semata-mata karena ia telah mendapat kepercayaan dari masyarakat konsumen, melainkan juga karena H. Amin Sa’id hanya mengambil keuntungan sekedarnya saja dari penjualan kitab-kitab tersebut.
Toko kitab sekaligus merangkap sebagai rumah tinggal itu masih ada sampai hari ini dan pengelolaannya sekarang ditangani oleh H. Abdul Muqsith, salah seorang adik Arwani. Kalua dahulu H. Amin Sa’id hanya menjual kitab-kitab, maka kini H. Abdul Muqsith melengkapinya dengan buku-buku, alat tulis dan mesin photocopy.
Dari ke 12 putra H. Amin Sa’id ada 3 orang yang sangat menonjol : Arwani (anak ke 2), Farkhan (anak ke 3) dan Ahmad Da’in (anak ke 7). Ketiga-tiganya hafal al-Qur’an. Yang pertama kali hafal dari ketiga bersaudara ini adalah Ahmad Da’in. Usia Ahmad Da’in ketika ia hafal al-Qur’an tergolong masih sangat muda, yaitu ± 9 tahun. Kemudian disusul oleh Arwani dan Farkhan.
Mbah Arwani Kudus melepas masa lajangnya dengan menikahi Ibu Nyai Hj. Naqiyul Khod. Beliau menikah pada tahun 1935 M. dimana pada saat itu status beliau adalah seorang santri dari pondok pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Ibu Naqi adalah putri Kudus, yang kebetulan cucu dari guru atau kiainya sendiri yaitu KH. Abdullah Sajad. Dari pernikahannya dengan Ibu Naqiyul Khod ini, KH. M. Arwani Amin diberi 2 putri dan 2 putra. Putri pertama dan kedua beliau adalah Ummi dan Zukhali (Ulya), namun kedua putri beliau ini meninggal dunia sewaktu masih bayi.
Yang tinggal sampai kini adalah kedua putra beliau yang kelak meneruskan perjuangan KH. M. Arwani Amin dalam mengelola pondok pesantren yang didirikannya. Kedua putra beliau adalah KH. Mc. Ulinnuha Arwani (Gus Ulin) dan KH. Ulil Albab Arwani (Gus Bab). Kelak, dalam menahkodai pesantren itu, mereka dibantu oleh KH. Muhammad Manshur. Salah satu khadam KH. M. Arwani Amin yang kemudian dijadikan sebagai anak angkatnya.
PENDIDIKAN
Arwani kecil memulai pendidikannya di Madrasah Mu’awanatul Muslimin, Kenepan, sebelah utara Menara Kudus. Beliau masuk di madrasah ini sewaktu berumur 7 tahun. Madrasah ini merupakan madrasah tertua yang ada di Kudus yang didirikan oleh Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912 M. Salah satu pimpinan madrasah ini di awal-awal didirikannya adalah KH. Abdullah Sajad.
Setelah semakin beranjak dewasa, akhirnya memutuskan untuk meneruskan ilmu agama islam ke berbagai pesantren di tanah Jawa, seperti Solo, Jombang, Yogyakarta dan sebagainya. Dari perjalanannya berkelana dari satu pesantren ke pesantren itu, telah mempertemukannya dengan banyak kiai yang akhirnya menjadi gurunya (masyayikh).
Adapun sebagian guru yang mendidik KH. M. Arwani Amin diantaranya adalah KH. Abdullah Sajad (Kudus), KH. Imam Haramain (Kudus), KH. Ridhwan Asnawi (Kudus), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Muhammad Manshur (Solo), KH. M. Munawwir (Yogyakarta) dan lain-lain.
Selama mencari ilmu baik di Kudus maupun di berbagai pondok pesantren yang disinggahinya, KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai pribadi yang santun dan cerdas karena kecerdasannya dan sopan santunnya yang halus itulah, maka banyak kiainya yang terpikat. Karena itulah pada saat mondok KH. M. Arwani Amins sering dimintai oleh kiainya membantu mengajar santri-santri lain. Lalu muncullah rasa sayang di hati para kiainya.
Beliau dikaruniai kecerdasan dan minat yang kuat dalam menuntut ilmu. Pada masa remajanya dihabiskan untuk menuntut ilmu mengembara dari pesantren ke pesantren. Tidak kurang dari 39 tahun hidup beliau dihabiskan untuk menuntut ilmu dari kota ke kota yang dimulai dari kotanya sendiri yaitu Kudus. Kemudian dilanjutkan ke Pesantren Jamsaren Solo, Tebuireng Jombang, Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta dan diakhiri di Pesantren Popongan Klaten.
Semua putra putri H. Amin Sa’id tidak ada yang memasuki jalur pendidikan formal (umum). Hal ini disebabkan antara lain karena pada waktu itu tidak mudah untuk bisa memasuki jalur pendidikan tersebut, kecuali dari kalangan tertentu saja. Sejak kecil sampai dewasa mereka belajar dari beberapa Pondok dan Kyai yang ada di Kudus, kecuali Arwani, Farkhan dan Ahmad Da’in yang kemudian pergi mesantren ke luar kota Kudus.
Disamping belajar mengaji al-Qur’an dan beberapa kitab pada Kyai, mereka juga belajar di madrasah Mu’awanatul Muslimin di Kenepan, ± 100 meter sebelah utara masjid Menara Kudus. Dua diantara guru mereka adalah KH. Imam Kharamain (kakek mereka sendiri) dan KH. Abdullah Sajad, yang kemudian menjadi kakek mertua Arwani.
MENDIRIKAN PESANTREN
Beliau mengajarkan al-Qur’an pertama kali sekitar tahun 1942 H. di Masjid Kenepan Kudus yaitu setamat beliau nyantri dari Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Pada periode ini santri-santri beliau kebanyakan berasal dari luar kota Kudus. Seiring berjalannya waktu sedikit demi sedikit santri beliau semakin bertambah banyak dan bukan hanya dari Kudus dan sekitarnya, tapi ada yang berasal dari luar propinsi bahkan luar pulau Jawa. Kemudian beliau membangun sebuah pondok pesantren yang diberi nama qur’an-kudus Yanbu’ul Qur’an yang berarti Sumber al-Qur’an. Pondok pesantren ini didirikan pada tahun 1393 H./1979 M.
Asal usul berdirinya pondok tersebut sebagai berikut; sekitar tahun 1969, KH. M. Arwani berniat akan melaksanakan ibadah haji bersama ibu Naqiyul Khud. Biaya untuk itu sudah ada dari hasil tabungan yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit. Menjelang saat pembayaran ongkos naik haji (ONH) dibuka, dengan tanpa diduga sebelumnya H. Ma’ruf pemilik perusahaan rokok cap “Jambu Bol” memberikan hadiah uang kepada beliau senilai ongkos haji untuk 2 orang. Dengan demikian uang tabungan yang semula direncanakan untuk membayar ONH tidak jadi terpakai, beliau mempergunakan uang dari H. Ma’ruf karena memang ia memberikan hadiah itu untuk biaya haji.
Uang tabungan tersebut kemudian dipergunakan untuk membeli rumah berikut tanah yang ada di sekitarnya (terletak di sebelah utara rumah beliau) milik pak Basri yang kebetulan membutuhkan uang dan bermaksud menjualnya. Transaksi pembayarannya dilakukan pada tahun 1970, tidak lama setelah beliau pulang haji.
Rumah tersebut lalu direhab kembali, dibuat kamar-kamar dan kemudian dijadikan pondok. Setelah pembangunannya selesai segera pondok ini diisi oleh para santri, tentu saja yang dapat tinggal di dalamnya tidak banyak karena memang tempatnya kecil. Sebagian besar para santri masih tetap tinggal di luar pondok. Lama kelamaan santri yang datang bertambah banyak, sehingga bangunan pondok terpaksa dimekarkan. Semua biaya ditanggung sendiri oleh KH. M. Arwani.
Dalam perkembangan berikutnya, para santri penghuni pondok yang sudah tamat atau khatam hafal al-Qur’an tidak mau pulang karena mereka ingin melanjutkan belajar Qira’at Sab’ah, sementara santri yang baru terus berdatangan, sehingga pondok yang sudah diperluas itu tidak mampu menampung santri. Atas dasar itu lalu para santri bermusyawarah dan memutuskan untuk membangun pondok lagi dengan minta bantuan dana dari para santri yang sudah khatam dan sudah pulang ke tempatnya masing-masing (alumni), dari wali santri yang masih aktif belajar di pondok tersebut dan dari masyarakat sekitar.
Pesantren Yanbu’ul Qur’an adalah pondok huffadz terbesar yang ada di kota Kudus. Santrinya tak hanya dari kota Kudus. Tetapi dari berbagai kota di Nusantara. Bahkan, pernah ada beberapa santri dari luar negeri seperti negeri Malaysia dan Brunei Darussalam. Pondok tersebut adalah pondok peninggalan KH. M. Arwani Amin. Salah satu Kyai Kudus yang sangat dihormati karena kealimannya, sifatnya yang santun dan lemah lembut.
MURID–MURID
Ribuan murid telah lahir dari pondok yang dirintis KH. M. Arwani Amin tersebut. Banyak dari meeka yang menjadi ulama’ dan tokoh. Sebut saja diantara murid-murid KH. M. Arwani Amin yang menjadi ulama’ adalah :
KH. Abdullah Salam (Kajen Pati)
KH. Sya’roni Ahmadi (Kudus)
KH. Muhammad Hisyam Hayat (Kudus)
KH. Nawawi Abdul Aziz (Bantul)
KH. Muhammad Marwan (Mranggen Demak)
KH. Muhammad Manshur (Kudus)
KH. Abdul Wahab (Benda Bumiayu)
KH. Muharror Ali (Blora)
KH. Najib Abdul Qodir
KH. Ahmad Hafidz (Mojokerto)
KH. Abdullah Umar (Semarang)
KH. Hasan Mangli (Magelang)
SOSOK AHLI AL-QUR’AN
Sewaktu masih belajar Qira’at Sab’ah pada KH. Munawwir di Krapyak yang pelajarannya dimulai pada pukul 02.00 dini hari sampai menjelang subuh beliau sudah siap pada pukul 12.00 malam. Dan sambil menunggu waktu pelajaran dimulai beliau memanfaatkan untuk melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Kebiasaan tersebut tetap berlanjut setelah beliau kembali dan bermukim di Kudus.
Biasanya beliau mulai tidur pukul 20.00 WIB dan bangun pukul 21.00. Kemudian dilanjutkan melaksanakan sholat sunnah dan dzikir. Apabila sudah lelah kemudian tidur lagi kira-kira selama 1 sampai 2 jam kemudian bangun lagi untuk melaksanakan sholat dan dzikir, begitu setiap malamnya sehingga bila dikalkulasi beliau hanya tidur 2 sampai 3 jam setiap malamnya.
KH. M. Arwani Amin Sa’id dikenal oleh masyarakat di sekitarnya sebagai seorang ulama’ yang memiliki kelebihan yang luar biasa. Banyak yang mengatakan bahwa beliau adalah seorang wali, beberapa santrinya mengatakan bahwa KH. Arwani Amin memiliki indra keenam dan mengetahui apa yang akan terjadi dan melihat apa yang tidak terlihat.
Konon, menurut KH. Sya’roni Ahmadi, kelebihan Mbah Arwani dan saudara-saudaranya adalah berkat orangtuanya yang senang membaca al-Qur’an. Dimana orangtuanya selalu mengkhatamkan membaca al-Qur’an meski tidak hafal.
Selama menjadi santri, Mbah Arwani selalu disenangi para kyai dan teman-temannya karena kecerdasan dan kesopanannya. Bahkan, karena itu, KH. Hasyim Asy’ari sempat menawari akan dijadikan menantu. Namun Mbah Arwani memohon izin kepada KH. Hasyim Asy’ari bermusyawarah dengan orangtuanya. Dan dengan sangat menyesal, orangtuanya tidak bisa menerima tawaran KH. Hasyim Asy’ari, karena kakek Mbah Arwani (KH. Haramain) pernah berpesan agar ayahnya berbesanan dengan orang di sekitar Kudus saja.
Akhirnya, Mbah Arwani menikah dengan Ibu Nyai Naqiyyul Khod pada 1935 M. Bu Naqi adalah putri dari H. Abdul Hamid bin KH. Abdullah Sajad, yang sebenarnya masih ada hubungan keluarga dengan Mbah Arwani sendiri.
TELADAN
KH. M. Arwani Amin dikenal sebagai seorang ulama yang sangat tekun dalam beribadah. Dalam melaksanakan sholat wajib beliau selalu tepat waktu dan senantiasa berjamaah meskipun dalam keadaan sakit. Kebiasaan tersebut sudah beliau jalani sejak berada di pesantren.
Arwani hidup dalam lingkungan masyarakat santri yang sangat ketat dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama islam. Sejak masih anak-anak Arwani sudah tampak sebagai anak yang patuh terhadap orangtua dan taat melaksanakan ibadah. Perasaannya halus, baktinya terhadap orangtua sangat tinggi. Membantu pekerjaan orangtua di rumah adalah kegiatan rutin di sela-sela waktu belajar dan bermainnya. Dan apabila diprosentasikan, porsi untuk membantu orangtua dan belajar jauh lebih banyak ketimbang porsi waktu untuk bermain.
Perasaan halus yang terdapat pada dirinya, membuat ia tidak pernah mampu merasa tega untuk membiarkan begitu saja apabila ada seseorang yang membutuhkan pertolongannya. Solidaritas dan rasa setia kawannya cukup tinggi. Apa yang dinamakan khianat, membuka aib orang, menyakiti perasaan orang lain dan yang semacamnya adalah hal yang tabu dalam kamus hidupnya. Sikap demikian tidak hanya ia terapkan terhadap teman-temannya belaka, namun terlebih kepada saudara-saudaranya di rumah.
Mengalah, itulah salah satu prinsip hidup yang ia pegang sejak kecil, sehingga kalaupun ada percikan bara pertengkaran segera akan mati dengan sendirinya sebelum ia sempat lebih besar menjadi api perselisihan. Itu sebabnya, maka sepanjang masa bocahnya nyaris tidak pernah terjadi bentrok dengan saudara-saudaranya maupun teman-temannya.
Namun dengan sifat mengalah itu sama sekali bukan berarti Arwani tidak memiliki ketegasan. Dalam hal-hal yang prinsip, terutama adik-adiknya sendiri, ia tidak segan-segan bertindak “keras” apabila hal yang menyangkut prinsip tadi dilanggar.
Sifat dan pembawaan terpuji yanf terdapat pada diri Arwani tersebut melahirkan pujian dari masyarakat sekitarnya. Terlebih lagi, ia dikaruniai Tuhan kecerdasan dan minat yang kuat untuk dapat menimba ilmu sebanyak mungkin.
SELAYANG PANDANG
Ketekunannya yang tinggi pada pelajaran yang tengah ia libati membuat Arwani seolah-olah tampak abai terhadap keadaan dirinya sebagai pemuda yang sudah sampai pada usia “layak nikah”. Seperti telah disinggung di muka, Arwani baru berkeluarga pada saat ia memasuki tahun ke 6 di Pondok Krapyak (± tahun 1935) dengan seorang putri Kudus asli dari kalangan pedagang yang berkecukupan, bernama Naqiyul Khud. Perkawinannya ini terjadi atas prakarsa dan sekaligus berdasarkan pilihan orangtua, yang tentu saja disetujui baik oleh Arwani.
Sebagai sumber kehidupan, ia mulai membuka usaha kecil-kecilan dalam bentuk warung dan perusahaan minuman cap “Pisang Raja”. Di warungnya tersebut tersedia kebutuhan pokok sehari-hari seperti beras, kopi, gula, susu dan lain-lain. Selain itu ia juga dagang kitab-kitab sekaligus turut mengelola toko kitab “Mubarokatan Thoyyibatan” milik mertuanya.
Hasil dari usaha itu ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan harian dan selebihnya ditabung. Uang tabungan ini kemudian untuk membeli sebidang tanah yang terletak ±250 m. sebelah utara masjid Menara, tepatnya di kampung Kelurahan desa Kajeksan. Di atas tanah itulah lalu dibangun sebuah rumah dan pada tahun 1962 ia bersama keluarga mulai menempati rumah baru tersebut sampai sekarang.
Pada tahun 1930, untuk pertamakalinya Arwani menunaikan ibadah haji ke tanah suci bersama ibundanya (Hj. Wanifah). Sedangkan haji yang ke dua ia laksanakan bersama istri (Bu Naqiyul Khud) pada tahun 1969.
WAFAT
Setelah sekian lama berjuang untuk agama, masyarakat, dan negara akhirnya beliau pun harus kembali keharibaan Allah Subhanahu Wata’ala. Beliau wafat pada 1 Oktober 1994 M, yang bertepatan dengan 25 Rabi’ul Akhir 1415H, dalam usia 92 tahun. Ribuan pelayat mengiringi kepergian beliau. Suasana duka yang sangat mendalam terasa, bukan hanya dari keluarga yang ditinggalkan, tetapi masyarakat yang ditinggalkan pun kehilangan salah satu sosok panutan yang sangat alim, santun, dan dicintai masyarakat.
KH. M. Arwani Amin dimakamkan di kompleks Pondok Huffadh Yanbu’ul Qur’an (sekarang: Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an). Sebagaimana kata pepatah, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Namun KH. M. Arwani Amin, tidak sekedar meninggalkan nama belaka. Tetapi meninggalkan kenangan, karya, dan umat yang tetap mengharumkan namanya sampai sekarang.
Di dunia pesantren, nama KH. M. Arwani Amin sangatlah dihormati. Bukan sekedar karena beliau adalah seorang ulama besar keturunan pahlawan nasional, yaitu Pangeran Diponogoro yang sangat dikenal. Tetapi kedalaman ilmu, sikap tarwadlu’, dan suka menghormati sesama inilah yang menjadikan KH. M. Arwani Amin kian melekat di hati masyarakat. Dengan keharuman namanya dan berbagai pujian dan sanjungan penuh rasa hormat dan ta’dzim atas kealimannya
KARYA–KARYA
Mbah Arwani meninggalkan sebuah kitab yang diberi nama Faidl al-Barakat fi al-Sab’i al-Qira’at al- Kitab ini adalah panduan belajar Qira’at Sab’ah. Selain kitab ini, beliau juga mentashih banyak kitab yang ditulis oleh para kiai yang sangat alim dan berpengaruh, diantaranya adalah:
Al-Ibriz fi Ma’rifati Tafsiril Qur’an karya KH.Bisri Musthofa (Rembang).
Risalah Tuntunan Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsabandiyyah karya KH. Mushlih (Mranggen,Demak).
Al-Futuhat Al-Robaniyyah fi Thoriqotil Qodiriyyah wa Naqsabandiyyah karya KH. Mushlih (Mranggen, Demak).
An-Nur Al-burhan fi Tarjamati Lujayni Ad-Dani karya KH. Mushlih (Mranggen, Demak).
Risalatu Al-Qurro’ wa Al-Huffadh karya KH. Abdullah Umar (Semarang).
Musthalahu Al-Tajwiid fi Qur’aani Al-majiid karya KH. Abdullah (Semarang).
Risalatu Al-Mubarokah karya KH. Hambali sumardi (Kudus).
Fathul Manan karya Kiai Maftuh (Kediri).
Kanti Suci Project