WASILAH, Cara Berjumpa Dengan Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surat Adz-Dzariyat Ayat 56
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُون
” Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu (Ay LIYA'RIFUUN)”. (Qs, Adz Dzaariyat: 56) :
Maksud ayat ini, manusia dan jin itu dijadikan agar mereka menyembah Tuhan. Penyembahan ini dinamakan "ma'rifat", dan ia dapat diperoleh hanya dengan terbuka hijab nafsunya dari cermin hati dengan segala kesuciannya.
Maka orang yang dikaruniai demikian itu dpt melihat keindahan perbendaharaan yang tersembunyi dalam rahasia lubuk hatinya seperti yang pernah di firmankan ALLAH SWT dalam sebuah hadist Qudsi :
Aku ini adalah perbendaharaan yang tersembunyi.
Aku ingin Diketahui. Aku jadikan Makhluk supaya Aku diketahui dan dikenal.
Dari hadist jelas bahwa ALLAH menjadikan manusia untuk kepentingan Ma'rifat, yaitu mengenal-Nya, liqo' berjumpa dengan Allah SWT.
Dalam ayat lain Alloh SWT berfirman :
فَمَن كَانَ يَرْجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَـٰلِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ ۤ أَحَدَا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh (LILLAH) dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya (BILLAH)”. (QS.Al-Kahfi : 110)
Semua manusia di dunia ini meyakini bahwa Tuhan adalah sosok yang Agung, Mulia, Sempurna dan segala gelar hebat disandang oleh-Nya.
Kalau di dunia ada Raja atau Ratu maka Tuhan adalah Maha Raja Diraja (Al- Malik). Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia tersebut, sebegitu tingginya sehingga hampir semua manusia merasa mustahil untuk berjumpa denga-Nya. Hanya golongan tertentu saja seperti para Nabi yang diizinkan untuk menjumpai-Nya.
Bahkan dalam pandangan kelompok tertentu dalam Islam, bahkan Nabi sendiri tidak pernah berjumpa dengan Allah di dunia, dalil tentang pengalaman Nabi Musa As ingin melihat Tuhan dijadikan dalil untuk membenarkan pendapat mereka.
Kelompok Mu’tazilah bahkan lebih ekstrim lagi, mereka berpendapat bahwa Tuhan Alloh tidak bisa dilihat atau dijumpai baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Kelompok yang paling banyak adalah yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat atau dijumpai didunia ini, namun Dia bisa dijumpai di akhirat setelah manusia meninggal dunia. Karena banyak bahkan sangat banyak, pada umumnya kita juga meyakini atau dipaksa meyakini bahwa Tuhan Alloh tidak mungkin dilihat di dunia dengan alasan Dia Maha Tinggi dan Maha Segala Maha.
Disisi lain, kaum Sufi meyakini dan memang mengalami dan merasakan hal yang mustahil bagi kaum awam, yaitu berjumpa, melihat dan berdialog secara langsung dengan Allah SWT, sebagaimana yang diceritakan oleh banyak para Tokoh Sufi dalam berbagai karyanya, salah satunya adalah Hujjatul Islam Imam al-Ghazali Ra Al-Ghouts Fii Zamanihi yang melihat dan berdialog dengan Tuhan Alloh di dalam mimpi Beliau.
Pertanyaan yang paling menggoda kita adalah, kenapa ketiga kelompok ini yang sama-sama mengambil sumber ilmu dari Al-Qur’an dan Al-Hadist bisa begitu jauh berselisih paham dan ini telah terjadi dari zaman dulu sampai sekarang.
Jawaban normative karena pikiran manusia berbeda-beda dan kemampuan untuk menyerap ilmu Alloh dari sumber yang Agung Al-Qur’an dan Al-Hadits juga berbeda-beda.
Bagi kelompok yang tidak meyakini bahwa Allah bisa di lihat di akhirat, dengan segala dalil menyerang kelompok yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di akhirat.
Kaum Mu’tazilah menganggap keliru pemahaman Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang meyakini Allah bisa dilihat di akhirat.
Kemudian, orang yang meyakini bahwa Allah hanya bisa dilihat di akhirat menganggap keliru atau aneh bagi orang yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di dunia dan akhirat.
Kalau kita terus menerus terjebak kepada perdebatan tentang Tuhan, maka secara tidak sadar kita tidak pernah mau berusaha untuk menemukan kebenaran haqiqi lain selain yang kita yakini.
Tuhan Alloh Maha Tinggi dan tidak seorangpun yang bisa menjangkau DZat Allah yang Maha tinggi tersebut, dan dalam hal ini kaum sufi yang meyakini bahwa Tuhan Alloh bisa dilihat juga berpendapat seperti ini. Tidak berarti bahwa ketika kaum sufi berkesempatan memandang Allah, lalu kedudukan Allah menjadi rendah.
Semua manusia memposisikan Tuhan sesuai kadarnya masing-masing makanya dengan segala keyakinannya menempatkan Tuhan ditempat yang tdak terjangkau akalnya agar kedudukan Tuhan tetap tinggi. Lalu, kalau Tuhan sudah sangat tinggi tidak dapat dijangkau, untuk apa adanya Tuhan ?
Tuhan Allah SWT tidak sekedar sesuatu yang disembah, tapi Dia adalah sosok yang akrab dengan kita, tempat kita berkeluh kesah dan sahabat yang paling setia.
Nabi Ibrahim As menjadi “Khalilullah” Sabahat Allah karena kedekatan Beliau dengan Allah SWT, lalu apakah hanya Nabi Ibrahim As satu-satunya manusia yang layak menjadi Sahabat Allah ?
Nabi Muhammad SAW terkenal sebagai “Habibullah” lalu apakah hanya Nabi Muhammad SAW satu-satunya manusia yang layak menjadi kekasih Allah SWT ?
Nabi Musa As dikenal dengan “Kalamullah” orang yang diajak berbicara oleh Allah, apakah hanya Nabi Musa As yang mengalami seperti itu.
Bagaimana dengan kita yang awam, orang-orang yang bukan Nabi, apakah tidak boleh berhubungan dengan Allah dengan akrab ?
Kaum sufi yang akrab dengan Tuhan juga tidak merasa dirinya hebat, tidak merasa dirinya suci dan mulia bahkan disetiap saat dengan kesadaran penuh dia merasa sebagai hamba yang hina dina, dhoif, papa tidak bisa apa-2 (BILLAH), Laa haulaa walaa quwwata illa billah, hanya karena kemuarahan, cinta kasih Tuhan sajalah yang membuat mereka bisa melakukan semua hal di dunia ini (LILLAH BILLAH).
Kaum Sufi tidak pernah meyakini bahwa Tuhan bisa menjadi manusia dan manusia karena kesuciannya bisa menjadi Tuhan, bukan begitu.
Bahwa manusia itu bisa mencapai kedudukan mulia disisi Tuhan karena Tuhan sendiri. Hakikatnya bukan kehendak manusia itu sendiri, melainkan semuanya kehendak Tuhan (BILLAH). Secara Syari'atnya (LILLAH) kehendak manusia itu sendiri, tanggung jawab manusia itu sendiri.
Kesalahan mereka dalam memahami kaum sufi dan pemahaman Wahdatul Wujud inilah kemudian yang membuat kaum sufi mendapat tuduhdan sebagai kelompok sesat menyesatkan dari orang-orang yang tidak memahaminya (ahli fiqih).
Kaum Sufi, dari manapun dia berasal dalam berhubungan dengan Allah tetap memakai meode yang diajarkan oleh Rasulullah SAW yaitu lewat Wasilah.
Karena tidak mungkin manusia bisa berhubungan dengan Allah tanpa ada unsur perantara atau alat yang diberikan Allah.
Dia yang Maha tinggi tidak mungkin dijangkau oleh manusia yang penuh dengan noda, dosa dan kekurangan. Dalam hal ini seluruh manusia mempunyai keyakinan yang sama, termasuk kaum Sufi.
Allah yang Maha Pemurah memberikan “Alat Komunikasi” antara manusia dengan Dia yaitu berupa Nur Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Nur tersebut setelah Nabi Muhammad SAW wafat diberikan kepada para kekasih Alloh (Al Ghouts) sebagai ulama pewaris Nabi Muhammad SAW, dengan itulah manusia bisa dibimbing menegenal dan berhubungan dengan Tuhannya.
Sebagai alat komunikasi, Wasilah bukanlah ciptaan manusia, bukan pula manusia, tapi dia adalah sesuatu yang berasal dari sisi Allah SWT. Inilah yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai Tali Allah, yang pangkalnya ada pada Allah dan ujungnya ada pada kekasih-Nya.
Jangankan Allah yang merupakan Cahaya Maha Tinggi, kita berhubungan dengan cahaya yang nampak saja harus ada alatnya. Gelombang radio atau televisi ciptaan manusia tidak bisa diterima tanpa adanya alat penerimanya apalagi Cahaya Allah SWT yang begitu Tinggi dan Agung.
Nabi Muhammad SAW bukanlah sekedar penyampai wahyu Alloh kepada ummatnya, tapi Beliau SAW adalah pembawa Wasilah yang berasal dari sisi Allah SWT sebagai media penyambug manusia dengan Allah SWT.
Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan langsung, tanpa perantara. Hubungan langsung yang dimaksud tentu saja hubungan dengan menggunakan metode yag tepat, metode yang telah disampaikan, diajarkan dan digunakan oleh Rasulullah SAW.
Umumnya hubungan langsung yang diyakini oleh manusia secara umum, dia merasa yakin aja bahwa Tuhan yang disembah itu benar. Mulai dari dia bisa beribadah, dia meyakini yang disembah adalah Allah SWT.
Apakah memang demikian kenyataannya ?
Dari mana dia bisa tahu kalau yang berdiri disembah didepannya itu sosok Iblis yang juga terdiri dari cahaya.
Berpuluh-puluh tahun dia meyakini telah menyembah Allah lewat Shalat dan ibadah lainnya, ternyata yang disembah Iblis karena dia tidak bisa membedakan antara Allah dan Iblis. Ibadahnya berupa shalat itu diberi ganjaran Neraka oleh Allah karena yang disembah bukan Allah SWT (Lighoirillah) melainkan dirinya sendiri atau LINNAFSI BINNAFIS istilah Wahidiyah.
Apakah Iblis tidak bisa masuk kedalam Mesjid ?
Jangankan dalam mesjid atau rumah kita, kedalam surga pun dia bisa bolak balik, bebas keluar masuk. Jadi, kesombongan kita menolak wasilah, menyembah Allah dengan metode wasilah Rasulullah SAW ini yang menyembabkan kita yang menolak wasilah mudah disusupi setan yang sangat Halus.
Ingat, Nabi Adam As digoda oleh Iblis bukan di Pasar Malam atau di Mall, tapi di dalam Surga yang dipagari oleh para Malaikat.
Kaum Sufi tidak ragu sedikitpun dia dalam beribadah karena dia sudah bisa membedakan antara Allah dan yang bukan Allah karena dia telah berjumpa dengan Allah SWT. Bagi mereka Allah bukan hanya Maha Gaib (Al-Ghaibi) namun juga Maha Nyata (ADz-Dzahir) seperti yang tertulis dalam Asmaul Husna. Bagi orang yang baru menempuh jalan kepada Allah (Thariqatullah), paling tidak dia telah mempunyai guru pembimbing rohani (Al Ghouts, Guru Mursyid kamil mukammil) yang setiap saat akan menuntun dan membimbing dia kepada Allah SWT secara dzahir dan bathin.
Godaan dan gangguan secara lahir bathin dengan izin Allah akan mendapat Syafaat ( Bantuan), tarbiyyah, barokah, karomah dan nadhrohnya dari Guru Mursyid Kamil Mukammil (Al-Ghouts) yang rohaninya selalu bersama rohani Rasulullah SAW dan otomatis selalu bersama Allah SWT.
Jadi, belum terlambat bagi siapapun kita yang belum menggunakan metode berhubungan dengan Allah SWT berupa Wasilah kepada Rosululloh SAW untuk segera mencari Al Ghouts, Guru Pembimbing Rohani yang kamil mukammil agar ibadahnya menjadi sempurna dan diterima oleh Allah SWT. Amiin !
Dalam amalan Sholawat Wahidiyah, tidak hanya sekedar naluri kebiasaan atau hidayah thobi'i, tapi hidayah Alloh yang dimohonkan dengan secara khusus hingga mengenal kedudukan manusia dihadapan Alloh dan RosulNya SAW. hingga dalam Wahidiyah sudah menjadi kegiatan rutin untuk senantiasa ISTIHDHOR sowan menghadap Rosululloh SAW. Atas dasar perintah Alloh bahwa : kun ma'alloh ! bersamalah kamu dengan Alloh . dan apabila tidak bisa bersama Alloh maka bersamalah dengan orang yang senantiasa bersama Alloh.
Perintah Alloh SWT dalam Hadits Qudsi, Bahwa :
كن مع الله . فاء لم تكون ، فكن معا من كانا مع الله فا إنه توصل إلى الله . إنكنتا معه
Bersamalah kamu dengan Alloh. Jika tidak bisa bersama Alloh, maka bersamalah dengan orang yang bersama Alloh.
Karena sesungguhnya dia mewushulkan kamu kepada Alloh jika kamu bersamanya.
Dasar berikutnya adalah sabda Rosululloh SAW :
قل إنكنتم تحبون الله فاتبيءو ني يحببكم الله
Katakanlah jika kamu mencintai Alloh , maka ikutilah aku niscaya kamu sekalian dicintai Alloh.
Dalam kitab Jami'us Shoghir juz I, HR Abu Ya'la dan Ibnu Hiban dari Abu Said Al-Khudri Rosululloh SAW bersabda :
"JIBRIL DATANG KEPADA-KU DAN BERKATA : " SUNGGUH TUHANKU DAN TUHANMU BERFIRMAN : " LAA UDZKARU ILLA DZUKIRTA MA'II" = AKU (ALLOH) BELUM DIINGAT (DI DZIKIR) KECUALI ENGKAU (ROSULULLOH SAW) DIINGAT (DI DZIKIR) BERSAMAKU".
Nah ! dalam Ajaran Wahidiyah ditekankan untuk senantiasa mengingat dan bersama Rosululloh atas dasar sabda tersebut, bagi kita bukan orang yang ma'rifat billah dan jelas jelas tidak mampu bersama (berjumpa) Alloh, sehingga setiap pengamal Wahidiyah sangat dianjurkan bertawassul membaca kalimat nida : YAA SAYYIDII YAA ROSULALLOH, baik secara lisan terutama dalam hati , dimanapun, kapanpun, sedang apapun , bersama siapapun kita latih senantiasa mengingat dan bersama Rosululloh SAW.
YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
AL- FAATIHAH ! MUJAHADAH !.
Sumber referensi postingan FB oleh :
Ahmad Dimyathi S Ag, Bogor, 6 Juli 2015
Koleksi artikel Kanti Suci Project