Islam Agama Fleksibel
Hukum
Islam dapat dipahami sebagai hukum yang bersumber dari dari al-Qur’an dan
Sunnah Nabi melalui proses penalaran atau ijtihad. Ia diyakini sebagai hukum
yang mencakup aspek kehidupan manusia dan bersifat universal. Ruang lingkup
keberlakuan ajaran Islam sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an adalah untuk
seluruh umat manusia, di manapun mereka berada. Oleh karena itu, hukum Islam
sudah semestinya dapat diterima dalam kondisi perubahan sosial di masyarakat,
tanpa adanya pertentangan dalam situasi dan kondisi di manapun masyarakat itu
tumbuh dan berkembang.
Situasi
sosial yang terus mengalami perubahan berdampak kepada kebutuhan manusia
terhadap hukum yang lebih efektif dan efisien, sebagai tata norma dalam
memberikan batasan interaksi individu dengan individu yang lain, atau individu
dengan kelompok. Oleh karenanya, Islam sebagai ajaran yang begitu responsif
terhadap kebutuhan manusia akan hukum, memberikan solusi terhadap permasalahan
yang dihadapi manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Jika
kita perhatikan dengan seksama ajaran Islam akan mendapati bahwa ajaran
tersebut sangat fleksibel, tidak ada jalan buntu, selalu ada jalan keluarnya.
Menurut
Cendekiawan Muslim Indonesia, Profesor Muhammad Quraish Shihab, menjelaskan
bahwa Islam merupakan agama yang lentur. Buktinya, ketetapan hukum-hukum yang
ada di dalamnya selalu bisa menyesuaikan konteks atau tidak terpaku pada teks.
“Disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa Islam selalu sesuai dengan waktu dan
tempat. Islam sesuai di mana pun anda berada, kapan pun anda berada. Maka
ajaran Islam sesuai dengan tempat dan keadaan.
Ada
beberapa alasan mengapa Islam dinilai sebagai agama yang fleksibel antara lain
:
1.
Islam selalu memperhatikan substansi. Seperti perintah
shalat di masjid. Kata masjid ini bukan berbicara bangunannya, tapi selama
tempat itu suci, maka bisa untuk melaksanakan shalat. Di mana pun anda shalat,
silakan. Yang disyariatkan (adalah) tempatnya bersih.
Contohnya adalah soal pakaian :
Tidak harus seseorang mengenakan
pakaian dengan mengacu pada budaya tertentu. Islam hanya mewajibkan menutup
aurat sebagai substansi dalam berpakaian. Soal menggunakan pakaian dari tradisi
mana, tidak ada ketentuan dan selalu berubah modelnya. Sehingga apapun bentuk
yang terjadi itu, selama sesuai dengan substansinya, welcome, ahlan wa sahlan.
2.
Ketentuan hukum dalam Islam selalu bisa ditawar sesuai
dengan kondisi dan situasi. Misalkan, hukum asal berpuasa Ramadhan adalah
wajib, tapi bagi orang yang sedang dalam perjalanan (musafir), ia diperbolehkan
tidak berpuasa dengan ketentuan yang berlaku. Begitu pun orang dalam kondisi
darurat boleh memakan daging babi yang semula hukumnya haram. Shalat wajib
berdiri. Tapi jika tidak mampu berdiri, ya duduk. Tidak mampu duduk, ya
berbaring. Tidak mampu berbaring, ya dengan isyarat.
3.
Aturan-aturan syariat dalam islam selalu disesuaikan
dengan waktu dan tempat. Bisa jadi di satu negara hukumnya haram, tapi di
negara lain halal. Begitu pun harus memperhatikan kondisi pelaku hukumnya.
Seperti hukum nikah yang bisa wajib, sunah, mubah (boleh), makruh, bahkan
haram; tergantung kondisi pelakunya. ad Tempat bisa berbeda, waktu bisa berbeda.
Itu sebabnya ulama berkata, seandainya pengetahuan hukum itu hanya dengan
membaca kitab-kitab (teks), maka akan mudah sekali.
Dalam contoh kasus :
Mengisahkan seorang penguasa yang
melakukan hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan. Secara hukum,
orang itu dikenai satu di antara tiga kafarah (hukuman), yaitu memerdekakan
budak, jika tidak mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut, dan jika
masih tidak mampu maka harus memberi makan sebanyak 60 orang miskin.
Dikarenakan
ia orang yang kaya raya, Prof Quraish menguraikan, sehingga kalau memerdekakan
budak atau memberi makan 60 orang miskin sangat mudah baginya, maka kafarah
yang diberlakukan baginya adalah berpuasa dua bulan berturut-turut agar ada
efek jera. (Sebab itu), penetapan hukum (fatwa) berkaitan dengan tiga hal :
1.
Pertama, mengenal teks dan memahaminya.
2.
Kedua, memahami maqashidusy syari’ah.
3.
Ketiga, memahami tempat, waktu, dan sosok
pelakunya.
Dalam
kasus lain, Rasulullah saw juga pernah bertekad untuk mencambuk pelaku
penyerbaran hoaks terkait Siti Aisyah pada peristiwa haditsul ifki.
Begitu
turun ayat yang mengklarifikasi kasus Aisyah, Nabi batal melakukan cambukan itu
karena pertimbangan yang lebih maslahat.
Itu
hukum ya begitu. Bukan cuma baca ayat, terus berkata, ini hukumnya begini, ini
potong tangan, tidak.
Di
sini perlunya ijtihad.
Fleksibilitas
Berperikehidupan dalam Al-Quran
Al-Quran adalah petunjuk dan rahmat bagi seluruh umat manusia. Salah satu karakter Al-Quran ialah cocok untuk segala ruang dan waktu. Al-Quran memiliki fleksibilitas menembus sekat-sekat geografis, sosiologis, antropologis, dan kultural umat manusia. Salah satu kekuatan Islam yang tak tersangkal terletak pada familiaritasnya dengan segala budaya yang ma’ruf dari setiap agama dan bangsa-bangsa di dunia.
Fleksibel
mengandung makna luwes, supel, dan adaptif. Perjalanan Islam sepanjang sejarah
menyebar dari jazirah Arab ke seluruh penjuru dunia membuktikan kebenaran
pernyataan tersebut. Islam datang memperbarui peradaban dan membawa peradaban
yang berkemajuan. Dengan demikian setiap muslim niscaya luwes, supel, dan
adaptif di setiap ruang dan waktu dalam segala aspek kehidupan dalam arti yang
sebenarnya.
Islam
mengajarkan sikap hidup menengah dan berimbang, yakni tidak condong dan ekstrem
ke kanan maupun ke kiri. Allah swt pun memberikan predikat kepada umat Islam
sebagai umat pertengahan dalam firman-Nya (ditulis artinya),
Demikianlah
Kami jadikan kamu suatu umat yang berimbang supaya kamu menjadi saksi atas
segenap bangsa, dan Rasul pun menjadi saksi atas kamu. Kami jadikan Kiblat yang
sekarang hanyalah untuk menguji siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang
membelot. Sungguh pemindahan kiblat itu suatu soal yang berat kecuali bagi
mereka yang telah mendapat petunjuk Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sungguh, Allah Maha Lembut lagi Maha Penyayang kepada
manusia.(Al-Baqarah/2:143)
Inti
ajaran Islam sebagai agama yang wajar, natural, dan praktis ialah menghindari
segala yang berlebihan dalam kehidupan. Islam mengajarkan tentang keseimbangan
hidup antara orientasi dunia-akhirat, menengah dalam makan-minum, dan wajar
dalam membelanjakan harta. Allah swt berfirman dalam Al-Quran,
Bahwa
Qarun adalah salah seorang dari kaum Musa, tetapi ia bertindak sewenang-wenang
terhadap mereka, dan Kami berikan kepadanya sebagian perbendaharaan harta yang
kunci-kuncinya membuat bungkuk orang yang kuat-kuat. Perhatikan ketika kaumnya
berkata kepadanya, “Janganlah kamu pongah, sungguh Allah tidak menyukai orang
yang pongah karena kekayaan.” Carilah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu kehidupan akhirat, dan janganlah lupa bagianmu di dunia ini; dan
berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu mencari kesempatan untuk berbuat kerusakan di muka
bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat
kerusakan.”(Al-Qashash/28:76-77)
Muslim
menafkahkan harta untuk sedekah dan amal kebaikan di jalan Allah. Sungguhpun
demikian ia tidak melupakan keperluan yang sah dalam hidupnya.
Berikanlah
kepada kerabat haknya, juga orang miskin dan orang dalam perjalanan, tetapi
jangan boroskan hartamu dengan berlebihan. Sungguh, para pemboros adalah
saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada
Tuhannya.(Al-Isra`/17:26-27)
Muslim
tidak kikir dan tidak pula terlalu boros dalam membelanjakan harta. Janganlah
kamu jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu dan janganlah kamu ulurkan lepas
sehingga kamu duduk terdiam, menjadi tercela, dan menyesal. (Al-Isra`/17:29)
Dalam
berpakaian, makan dan minum pun muslim tidak berlebih-lebihan.
Hai
anak-anak Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada waktu memasuki masjid, makan
dan minumlah, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang berlebihan. (Al-A’faf/7:31)
Pakaian
yang bagus menambah keanggunan, kerapihan, dan kebersihan, lebih-lebih ketika
hendak menghadap Allah swt dalam shalat. Laki-laki tidak mengenakan kain sutera
atau perhiasan yang hanya pantas untuk perempuan. Rasulullah saw bersabda, “Di
antara penghuni neraka ialah wanita-wanita yang berpakaian [tetapi pada
hakikatnya] mereka telanjang, gemar menggiurkan, dan memikat [lelaki]. Mereka
tidak masuk surga dan tidak mencium baunya.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Wanita
muslimah tidak memperlihatkan hiasan dan/atau kecantikannya, kecuali yang biasa
tampak sehari-hari, yaitu wajah dan dua telapak tangan. Allah swt bukan
menyulitkan muslim, tetapi hendak membuat muslim bersih dan menyempurnakan
karunia-Nya kepadanya. (Al-Maidah/5:6).
Dari
segi bentuk, pakaian perempuan tidak menyamai atau menyerupai pakaian
laki-laki. Tidak ketat tetapi juga tidak terlalu longgar sehingga mengganggu
pergerakan, misalnya mengenakan kerudung hingga menutup seluruh tubuh.
Berpakaian wajar sebagaimana ketika muslimah melaksanakan thawaf. Laki-laki
dianjurkan mengenakan sarung atau celana panjang sedikit di atas mata kaki dan
tidak terlalu tinggi hingga mendekati lutut.
Muslim
niscaya berperikehidupan yang terhormat dan mulia. Berserah diri hanya kepada
Allah swt, membedakan antara yang hak dan batil, menjadi contoh dalam melakukan
kebaikan dan menjauhi kebatilan serta menghindari sikap merasa paling saleh dan
paling syar’i dalam berperikehidupan.
Kanti
Suci Project