Teodisi
(Ilmu Filsafat)
Istilah ini secara harfiah berarti “membenarkan Tuhan.” Meskipun banyak bentuk teodisi telah diusulkan, beberapa pemikir Ahli Kitab menolak upaya apa pun untuk memahami tujuan Tuhan atau menilai tindakan Tuhan berdasarkan standar manusia karena dianggap tidak beriman.
Teodisi adalah pandangan filosofis untuk menjawab alasan dari Tuhan yang Mahabaik mengizinkan adanya kejahatan di dunia, sehingga mampu menyelesaikan isu dari masalah kejahatan. Beberapa ilmu teodisi juga membahas masalah pembuktian kejahatan dengan mencoba untuk "menyelaraskan keberadaan Tuhan yang Mahapengampun, Mahakuasa, dan Mahatahu dengan keberadaan kejahatan atau penderitaan di dunia". Istilah ini dicetuskan pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman Gottfried Leibniz dalam karyanya yang berjudul Théodicée, walaupun sebelumnya berbagai solusi untuk masalah kejahatan telah diajukan. Filsuf Britania John Hick menyatakan bahwa terdapat tiga tradisi utama dalam teodisi: teodisi Plotinus, teodisi Agustinus, dan teodisi Ireneus. Filsuf lain menyatakan bahwa teodisi adalah disiplin modern karena Tuhan dalam kepercayaan dunia kuno biasanya tidak sempurna.
Teodisi dalam Peradaban Islam
Teodisi adalah sebuah usaha untuk mempertahankan kebaikan dan keadilan Allah ketika Allah menakdirkan atau membiarkan suatu kejahatan moral dan alamiah maupun penderitaan manusia.
Adapun dalam peradaban Islam, wacana Teodisi dikaikan dengan keadilan Tuhan untuk membaca lebih jauh eksistensi Sebab Utama terhadap perilaku manusia di realitas. Seperti aliran Asy’ariyah menyakini bahwa keadilan dalam eksistensi Tuhan bukan sesuatu yang harus dipercayai. Karena keadilan berusaha membatasi setiap kehendak-Nya. Akibatnya, Tuhan senantiasa diatur dan disistem oleh paradigma mahluk yang memandang keadilan berlaku bagi Sebab Utama. Lebih lanjut, aliran Asy’ariyah mempertegas bahwa keadilan bukan tolak ukur untuk menilai tindakan dan kehendak Tuhan. Melainkan kehendak Tuhan yang dipandang sebagai landasan keadilan yang mendeskripsikan bahwa setiap tindakan dan kehendak-Nya merupakan keadilan dan bermakna baik di realitas.
Sedangkan aliran kalam lainnya, seperti Mutazilah menilai bahwa segala perbuatan baik dan buruk tidak dapat dinisbah kepada Tuhan. Sebaliknya, manusia sebagai mahluk-Nya memiliki kreativitas untuk bertindak dan berkehendak secara bebas. Artinya, problematika baik dan buruk merupakan tindakan manusia yang tidak daapt dikaitkan dengan Tuhan. Pandangan Mutazilah bersebrangan dengan As’yariyah yang menempatkan tauhid af’ali atau perbuatan bagi Tuhan merupakan sesuatu yang baik. Sedangkan, Mutazilah menempatkan tauhid sifati atau sifat untuk mendeskripsikan segala sifat yang baik merupakan keniscayaan bagi Tuhan. Seperti adil, kasih-sayang, dan seluruh 97 sifat lainnya.
Berikut Tentang Teodisi
Teodisi Murtadha Muthahhari