SYAFAQAH
(Syafaqoh)
Syafaqah dalam arti bahasa memiliki beberapa arti : semangat memperbaiki, kasih sayang, kekhawatiran/kecemasan dan kecenderungan hati.
Syafaqoh berarti belas kasih. Dalam pengajian kitab Ta'lim al-Muta'allim, syafaqoh menjadi kunci untuk mengatasi penyakit penuntut ilmu, yaitu berburuk sangka dan merasa benar.
Contoh syafaqoh adalah ketika seorang guru tidak hanya menyalahkan murid yang salah, tetapi juga bisa memberikan solusi. Seorang guru yang baik adalah guru yang mengajar dengan cara yang halus dan menasehati peserta didiknya secara sembunyi, sindiran, atau perumpamaan.
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS Ali Imran: 159)
A. Makna Serta Beberapa Dalil Tentang As-Syafaqah
Syafaqah artinya lembut dan halusnya perasaan. Dalam makna positif syafaqah diartikan sebagai sikap jiwa yang selalu ingin berbuat baik dan menyantuni orang lain serta penuh kasih sayang. Di dalam beberapa hadits Rasulullah banyak menyebut tentang kasih saying, diantaranya :
– Suatu saat salah seorang sahabat yang bernama Al-Aqra bin Habis At-Tamimi melihat Rasulullah menciumi cucunya dengan penuh kasih sayang, ia lalu berkata di hadapan Nabi bahwa dirinya memiliki 10 orang anak, dan tak pernah satu pun diciumnya. Nabi kemudian bersabda: ”Siapa yang tidak menyayangi, tentu tidak akan disayangi…”
– Menyayangi anak sebagai bukti adanya syafaqah tentu harus diwujudkan pula dengan tindakan-tindakan lain seperti memberinya gizi yang cukup (2: 233), memberi pendidikan yang baik sebagaimana diperintahkan Nabi, ”Tidak ada pemberian yang paling utama yang diberikan seorang ayah kepada anaknya dari memberikan didikan yang baik (HR. Tirmizi)
– Rasulullah SAW bersabda kepada istrinya, Aisyah r.a., ”Sesunggunya diantara kelompok manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah ta’ala adalah mereka yang dijauhi manusia untuk menghindari kejahatannya”.
– Hadits ini diriwayatkan Bukhari, berkaitan dengan keheranan Aisyah ra. ketika melihat Rasulullah berbicara dengan lemah lembut kepada seseorang yang disebut oleh Rasullah sebagai bi’sa akhul ’asyirah (saudara kerabat yang buruk). Seorang muslim harus dapat merasakan suka duka yang dialami saudara-saudaranya, karena mereka hakekatnya adalah satu tubuh yang saling menguatkan.
– Ibnu Abbas dalam suatu riwayat dari Baihaqi pernah diceritakan sejenak meninggalkan i’tikafnya, karena dia pernah mendengar Nabi bersabda: ”Barangsiapa pergi untuk berusaha mencukupi kebutuhan saudaranya dan berhasil, itu lebih baik daripada beri’tikaf di masjid selama sepuluh tahun. Dan barangsiapa beri’tikaf sehari dengan niat ingin memperoleh keridhoan Allah, baginya Allah akan menjadikan tiga parit lebih jauh dari dua ufuk Ttimur dan Barat yang akan memisahkannya dari neraka.
B. Kelembuatan dan Kehalusan Hati Rasulullah Saw.
Merampas dan mengambil hak orang lain dengan paksa merupakan ciri orang-orang zhalim dan jahat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memancangkan pondasi-pondasi keadilan dan pembelaan bagi hak setiap orang agar mendapatkan dan mengambil haknya yang dirampas. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjalankan kaidah tersebut demi kebaikan dan semata-mata untuk jalan kebaikan dengan bimbingan karunia yang telah Allah curahkan berupa perintah dan larangan. Kita tidak perlu takut adanya kezhaliman, perampasan, pengambilan dan pelanggaran hak di rumah beliau.
Rasulullah Saw. adalah teladan utama bagi kita dalam menjalani setiap kehidupan ini. Dalam hal kasih mengasihi sesama nuslim maka kita dapat melihat bagaimana Rasulullah berinteraksi dengan orang yang ada di sekitar baik keluarga beliau, sahabat, anak-anak, hewan bahkan tumbuhan sekalipun. Akhlak yang ditunjukan oleh beliau ini dapat kita lihat dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang terdekat beliau.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali memukul seorang pun dengan tangannya kecuali dalam rangka berjihad di jalan Allah. Beliau tidak pernah memukul pelayan dan kaum wanita. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah membalas suatu aniaya yang ditimpakan orang atas dirinya. Selama orang itu tidak melanggar kehormatan Allah Namun, bila sedikit saja kehormatan Allah dilanggar orang, maka beliau akan membalasnya semata-mata karena Allah.” (HR. Ahmad).
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengisahkan: “Suatu kali aku berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengenakan kain najran yang tebal pinggirannya. Kebetulan beliau berpapasan dengan seorang Arab badui, tiba-tiba si Arab badui tadi menarik dengan keras kain beliau itu, sehingga aku dapat melihat bekas tarikan itu pada leher beliau. ternyata tarikan tadi begitu keras sehingga ujung kain yang tebal itu membekas di leher beliau. Si Arab badui itu berkata: “Wahai Muhammad, berikanlah kepadaku sebagian yang kamu miliki dari harta Allah!” Beliau lantas menoleh kepadanya sambil tersenyum lalu mengabulkan permin-taannya.” (Muttafaq ‘alaih).
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam baru kembali dari peperangan Hunain, beberapa orang Arab badui mengikuti beliau, mereka meminta bagian kepada beliau. Mereka terus meminta sampai-sampai beliau terdesak ke sebuah pohon, sehingga jatuhlah selendang beliau, ketika itu beliau berada di atas tunggangan. Beliau lantas berkata: “Kembalikanlah selendang itu kepadaku, Apakah kamu khawatir aku akan berlaku bakhil Demi Allah, seadainya aku memiliki unta-unta yang merah sebanyak pohon ‘Udhah ini, niscaya akan aku bagikan kepadamu, kemudian kalian pasti tidak akan mendapatiku sebagai seorang yang bakhil, penakut lagi pendusta.” (HR. Al-Baghawi di dalam kitab Syarhus Sunnah dan telah dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani).
C. Kiat Menghaluskan Perasaan.
Syafaqah dapat dibentuk melalui nilai, sarana dan lingkungan pendidikan serta pembinaan, sebagaimana Rasulullah dididik dalam nilai dan lingkungan yang membuat beliau memiliki kehalusan jiwa dan perasaan.
Ada beberapa kiat yang bisa kita coba untuk mengahaluskan perasaan, diantaranya adalah :
1. Tingkatkanlah tilawah dan tadabbur Qur’an kita.
2. Banyak-banyaklah menyebut dan mengingat nama Allah dalam setiap gerak langkah hidup kita.
3. Perbanyaklah interaksi dengan hadits-hadits dan sirah Nabi serta riwayat para sahabat. Terutama yang berkaitan dengan kehalusan jiwa dan perasaan.
4. Bangun dan carilah lingkungan yang kondusif /lingkungan orang-orang salih.
5. Selalu sadar dengan hakikat kehidupan, bahwa tujuan utama kita adalah keridhoan Allah SWT, bukannya dunia yang fana ini.
D. Hikmah bersikap halus.
Salah satu hikmah terbesar dari bersikap lembut dan memperhalus perasaan adalah dalam kaitannya dalam da’wah. Dalam berda’wah kelembutan dan kehalusan perasaan dapat menjadi salah satu daya tarik dalam upaya menarik simpati orang. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (Q.S. An-Nahl: 125)
Sebagaimana telah maklum bahwa ajaran Islam sangat komplek dan mencakup segala bidang dan sendi kehidupan umat manusia. Tak ada perilaku manusia sekecil apapun itu kecuali Islam telah mengatur dan menetapkan ketentuannya.
Islam mengatur masalah aqidah, hukum, pergaulan dengan sesama manusia, hingga persoalan bagaimana sebaiknya seseorang menjalani tidurnya. Semuanya diatur dengan sangat detail oleh Islam. Untuk itu semua 30 juz ayat Allah telah diturunkan, ribuan hadits Rasulullah telah terkodifikasi, dan ajaran para ulama telah tertulis pada ribuan atau bahkan jutaan judul buku yang berjilid-jilid.
Namun demikian bila dicermati lebih jauh ajaran Islam yang begitu kompleksnya sesungguhnya, di bidang apapun, semuanya tidak lepas dan hanya terangkum dalam dua hal. Kedua hal itu adalah mengagungkan Allah subhânahû wa ta’âlâ dan berlaku kasih sayang terhadap makhluk-Nya.
Simpulan ini banyak disampaikan oleh para ulama semisal Syekh Muhammad Nawawi Banten. Di dalam kitabnya Nashâihul ‘Ibâd ulama asli Indonsia yang bergelar Sayid Ulama Hijaz ini menuturkan :
فان جميع أوامر الله تعالى ترجع الى خصلتين التعظيم لله تعالى والشفقة لخلقه
Artinya, “Sesungguhnya semua perintah-perintah Allah kembali kepada dua hal; mengagungkan Allah ta’âlâ dan berkasih sayang terhadap makhluk-Nya,” (Lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nashâihul ‘Ibâd, [Jakarta, Darul Kutul Al-Islamiyah: 2010], halaman 9).
Sementara di dalam kitabnya yang lain, Tafsir Marâh Labîd, Syekh Nawawi mengungkapkan hal yang sama dengan redaksi yang berbeda :
الطاعات محصورة في أمرين: التعظيم لأمر الله، والشفقة على خلق الله
Artinya, “Ketaatan-ketaatan itu terangkum pada dua hal, yakni mengagungkan Allah dan berbuat kasih sayang (syafaqah) terhadap makhluk-Nya,” (Lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Marâh Labîd, [Beirut, Darul Fikr: 2007], juz I, halaman 117).
Kanti Suci Project