Baitul Mal, Baitul Makmur, Baitul Maqdis
Pengertian Baitul Mal
Baitul mal adalah kata dalam bahasa Arab. Gabunan dari kata Bait yang artinya rumah dan mal artinya harta.
Baitul mal secara bahasa artinya rumah harta.
Secara istilah Baitul mal adalah fasilitas untuk menyimpan dan mengelola pendapatan negara yang berupa harta benda.
Baitul mal pada masa Rasul dan Baitul mal yang didirikan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab memiliki perbedaan.
Di masa rasulullah baitul mal lebih kepada tempat penyimpanan harta rampasan perang.
Sementara Baitul mal yang saat ini banyak ditemui lebih mengadopsi konsep Baitul mal yang didirikan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab yaitu mengumpulkan dan mengelola harta benda masyarakat.
Seperti Baznas, Rumah Zakat, amil zakat masjid-masjid dan organisasi non profit lainnya yang menyalurkan dana masyarakat untuk orang yang berhak.
Baitul mal berkembang di zaman Khlaifah Umar bin Khatab Baitul mal diubah menjadi sebuah lembaga yang memiliki satu tempat khusus serta mempunyai sistematika dokumentasi yang sistematis.
Alasan utama khalifah Umar bin Khattab mengembangkan Baitul mal menjadi lembaga lantaran semakin luasnya wilayah kekuasan Islam yang didapat berkat penaklukan-penaklukan.
Tidak hanya itu, ada pula peristiwa Abu Hurairah yang memberikan harta dalam jumlah sangat besar yang ia peroleh dari Bahrain kepada Baitul mal.
Sejarah
1. Masa Rasulullah SAW.
Baitul Maal sudah ada sejak masa Rasulullah, namun fungsinya masih sederhana dan lebih merupakan pihak yang menangani harta benda umat. Harta yang diperoleh langsung dibagikan.
2. Masa Khalifah Umar bin Khattab.
Lembaga ini secara resmi dilembagakan dan memiliki tempat penyimpanan khusus untuk menampung dana yang semakin besar. Tujuannya untuk pengelolaan dan kesejahteraan rakyat.
Arti Baitul Makmur
Baitul Makmur adalah bangunan yang sangat mulia, berada di langit ketujuh. Di sanalah para Malaikat beribadah, sebagaimana manusia beribadah di sekitar Ka’bah.
Nama Baitul Makmur disebutkan oleh Allah dalam Alquran, tepatnya di surat at-Thur,
وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِْ وَالسَّقْفِ الْمَرْفُوعِْ . وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ
“Demi Baitul Ma’mur. Demi atap yang ditinggikan (langit). Demi laut yang di dalam tanahnya ada api,” (QS. at-Thur: 4 – 6)
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalani peristiwa Isra Mi’raj, sesampainya di langit ketujuh, beliau melihat Baitul Makmur.
Ketika mengisahkan peristiwa Isra Mi’raj, beliau mengatakan,
فَأَتَيْنَا السَّمَاءَ السَّابِعَةَ فَأَتَيْتُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقَالَ مَرْحَبًا بِكَ مِنِ ابْنٍ وَنَبِىٍّ، فَرُفِعَ لِي الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ ، فَقَالَ : هَذَا الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ ، يُصَلِّي فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ ، إِذَا خَرَجُوا لَمْ يَعُودُوا إِلَيْهِ آخِرَ مَا عَلَيْهِمْ
Kami mendatangi langit ketujuh. Lalu aku mendatangi Nabi Ibrahim, aku memberi salam kepadanya dan belia menyambut, “Selamat datang putraku, sang Nabi.” Lalu aku melihat Baitul Makmur. Akupun bertanya kepada Jibril.
“Ini adalah Baitul Makmur, setiap hari, tempat ini dikunjungi 70.000 Malaikat untuk melakukan shalat di sana. Setelah mereka kaluar, mereka tidak akan kembali lagi ke tempat ini.” (HR. Bukhari 3207 & Muslim 162).
Karena itulah, Allah jadikan tempat ini sebagai sumpah-Nya, sebagaimana disebutkan pada ayat di atas, “Demi Baitul Makmur.” Dan seperti yang kita tahu, makhluk yang Allah jadikan sebagai sumpah adalah makhluk yang mulia, yang menunjukkan keagungan Sang Penciptanya.
Baitul Ma’mur (Ka’bah Malaikat di Langit)
Di antara hikmah perjalanan isra’ mi’raj adalah memperlihatkan sebagian kekuasaan Allah kepada Baginda Rasulullah saw yang kala itu tengah dirundung duka mendalam karena ditinggal wafat orang-orang tercinta.
Demikian sebagaimana yang terungkap dalam surat al-Isra’, “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami,” (QS. al-Isra’ [17]: 1).
Di antara sebagian kuasa Allah yang diperlihatkan kepadanya adalah Baitul Ma’mur. Dalam Al-Quran, tepatnya dalam surat ath-Thur, Baitul Ma’mur disebutkan, bahkan menjadi sumpah Allah.
وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِ، وَالسَّقْفِ الْمَرْفُوعِ ، وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ
Artinya, “Demi Baitul Makmur, dan demi atap (langit) yang ditinggikan,” (QS. ath-Thur [52]: 4-5).
Penggunaan Baitul Ma’mur sebagai sumpah ini tentu menyimpan hikmah dan rahasia yang mendalam di belakangnya. Lantas seperti apa keistimewaan Baitul Ma’mur yang merupakan salah satu kekuasaan Allah yang ditunjukkan kepada Rasulullah saw saat perjalanan isra’ miraj ?
Keistimewaan Baitul Ma’mur sendiri tampak pada salah satu hadits Rasulullah saw mengenai kisah perjalanan mi’rajnya.
فَرُفِعَ لِي البَيْتُ المَعْمُورُ، فَسَأَلْتُ جِبْرِيلَ، فَقَالَ: هَذَا البَيْتُ المَعْمُورُ يُصَلِّي فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ، إِذَا خَرَجُوا لَمْ يَعُودُوا إِلَيْهِ آخِرَ مَا عَلَيْهِمْ،
Artinya, “Kemudian diangkatlah kepadaku Baitul Ma’mur. Lantas, aku bertanya pada Jibril. Ia menjawab, ‘Ini Baitul Ma’mur di mana setiap hari 70 ribu malaikat shalat di dalamnya. Ketika mereka keluar darinya, tidak pernah kembali lagi kepadanya hingga akhir hari mereka (Kiamat),’” (HR Al-Bukhari).
Dalam karya tafsir-nya, Ibnu Katsir menjelaskan, para malaikat beribadah di dalam Baitul Ma’mur. Mereka menunaikan thawaf di sana, sebagaimana para penduduk bumi menunaikan thawaf di Ka’bah mereka.
Posisi Baitul Ma’mur sendiri berada di langit ketujuh, tepat berada di bawah Arasy, dan sejajar dengan posisi Ka’bah di bumi. Sehingga, seandainya ada sebuah batu dari Baitul Ma’mur yang jatuh, maka ia akan jatuh di atas Ka’bah. Kehormatannya di langit seperti kehormatan Ka’bah di bumi.
Di sana pula, Rasulullah saw menjumpai Nabi Ibrahim as yang tengah menyandarkan tubuh ke salah satu dindingnya. Ia tampak dengan wajah yang sangat tampan. (Lihat: Tafsir Ibni Katsir, juz V/7).
Kendati demikian, kita tidak boleh menafikan ragam pendapat mengenai Baitul Ma’mur. Setidaknya ada empat pendapat yang disebutkan oleh al-Mawardi. Pendapat pertama, Baitul Ma’mur seperti yang dikemukakan di atas, yakni satu bangunan yang menjadi Ka’bahnya para malaikat.
Setiap hari ada 70 ribu malaikat yang thawaf dan beribadah di sana. Kehormatannya di langit sama seperti kehormatan Ka’bah di bumi. Pendapat ini diriwayatkan Qatadah dari Anas bin Malik sebagaimana yang juga dikemukakan oleh Ali dan Ibnu Abbas.
Pendapat kedua dikemukakan oleh as-Saddi. Ia sebuah bangunan yang berada di atas enam langit, di bawah langit ketujuh yang disebut dengan adh-Dharah. Setiap hari ada 70 ribu malaikat yang shalat di sana. Setelah usai shalat, mereka tak kembali lagi selamanya. Posisinya tepat berhadapan dengan Baitul Atiq.
Pendapat ketiga dikemukakan oleh ar-Rabi’ bin Anas. Baitul-Ma’mur berada di bumi tepatnya di posisi Ka’bah pada zaman Adam. Sampai pada zaman Nabi Nuh as, umatnya diperintah untuk berhaji ke sana, namun mereka enggan dan membangkang. Ketika air mulai naik, Baitul Ma’mur diangkat ke langit dunia, kemudian Allah mempersiapkan Ka’bah di tempat yang ada sekarang, sebagaimana firman Allah, “(Ingatlah) ketika Kami menempatkan Ibrahim di tempat Baitullah,” (QS. al-Hajj [22]: 26).
Pendapat keempat dikemukakan oleh al-Hasan. Baitul Ma’mur adalah Baitulharam. Sebab, kata ma’mur sendiri memiliki dua makna, pertama makmur karena ramai pengunjung dan kedua makmur karena kedudukannya. (Lihat: Tafsir al-Mawardi, juz V/378).
Ada pula ulama yang beralasan lain mengapa Baitul Ma’mur sejajar dengan Ka’bah yang ada di bumi. Alasannya, setelah menciptakan dan menempatkan Baitul Ma’mur di bawah Arasy, Allah memerintah malaikat untuk berthawaf di sana. Kemudian Allah juga memerintah para malaikat penduduk bumi untuk membangun sebuah bangunan di bumi seperti Baitul Ma’mur. Mereka pun membangunnya dan menamainya dengan adh-Dharah.
Konon, malaikat bumi membangunnya dua ribu tahun sebelum penciptaan Adam. Selanjutnya, Allah juga memerintahkan siapa pun yang ada di bumi untuk berthawaf di sana, seperti thawafnya para penduduk langit di Baitul Ma’mur. (Lihat: Tafsir al-Baghawi, Terbitan Darut-Thayyibah, 1997, juz I/471).
Arti Baitul Maqdis
Baitul Maqdis adalah tempat para Nabi dan berkumpulnya mereka untuk beribadah.
Abdullah bin Umar, seorang ahli hadits dan hukum fiqih mengatakan, “Baitul Maqdis adalah tempat para Nabi dan berkumpulnya mereka untuk beribadah. Tidak ada sejengkal pun tanah di tempat itu yang tidak dipakai untuk sembahyang oleh para Nabi atau para Malaikat.”
Dalam Alquran surat Al Isra ayat 1 disebutkan bahwa Baitul Maqdis merupakan nama wilayah yang diberkahi oleh Allah. Wilayah yang dimaksud itu meliputi masjidil Aqsha dan wilayah di sekelilingnya.
Jadi, Baitul Maqdis memiliki arti yang lebih luas dari sekedar bangunan masjidil yang hanya seluas 14.4 Hektar itu.
Baitul-Maqdis (bahasa Arab: بيت المقدس, Rumah Suci) atau Baitul-Muqaddas (bahasa Arab: بَـيْـت الْـمُـقَـدَّس) adalah istilah yang kerap digunakan untuk merujuk pada Masjid Al-Aqsha atau kota Yerusalem (utamanya bagian kota tuanya), terkadang juga digunakan pada kawasan yang lebih luas, tergantung konteks pembicaraan.
Latar belakang
Tanakh (kitab suci Yahudi) dan Alkitab (kitab suci Kristen) menyebutkan bahwa Sulaiman (Salomo) membangun tempat yang menjadi pusat ibadah Bani Israil, yakni Beit HaMikdash (bahasa Ibrani: בֵּית־הַמִּקְדָּשׁ) (disebut Bait Suci dalam bahasa Indonesia) di kota Yerusalem. Pada 587 atau 586 SM, Kekaisaran Babilonia Baru di bawah Nebukadnezar II menduduki kawasan Palestina dan menghancurkan Bait Suci.
Babilonia Baru runtuh dan digantikan Kekaisaran Akhemeniyah. Pada 538 SM, Kaisar Akhemeniyah Koresy Agung mengeluarkan surat perintah yang mengizinkan Bani Israil kembali ke Palestina dan membangun Bait Suci kedua. Setelah terjadi Perang Yahudi-Romawi Pertama pada tahun 66-73 M, banyak umat Yahudi yang terbunuh dan dijadikan budak, sedangkan Bait Suci kembali dihancurkan.
Kaisar Romawi Hadrianus kemudian membangun ulang kota Yerusalem dan memberinya nama baru Aelia Capitolina. Kota baru ini dibangun dan dipersembahkan untuk dirinya sendiri dan beberapa dewa Romawi, utamanya Dewa Yupiter, dan berperan sebagai koloni Romawi dan digunakan untuk barak Legiuner. Dalam bahasa Arab, kota ini disebut Iliya' (bahasa Arab: إِيْـلْـيَـاء), pelafalan Arab dari Aelia, kependekan dari Aelia Capitolina.[8] Batas kota Yerusalem diperluas seiring berjalannya waktu hingga masa modern dan kawasan yang dulunya disebut Iliya' (Aelia Capitolina) sendiri merujuk pada bagian kota tuanya yang dikelilingi tembok.
Pada tahun 610, Kekaisaran Sasania Persia mengalahkan Romawi dan merebut Palestina. Umat Yahudi diberi wewenang untuk mendirikan negara bawahan dan mulai membangun Bait Suci. Namun lima tahun kemudian, Romawi kembali mengambil alih Palestina dan umat Kristen menghancurkan Bait Suci yang belum selesai pembangunannya dan menjadikan tempat itu sebagai tempat pembuangan sampah. Situs tersebut tetap berupa puing-puing sampai umat Muslim menguasai kawasan tersebut, kemudian membersihkan dan mendirikan beberapa bangunan di atas situs tersebut, seperti Jami' Al-Aqsha dan Kubah Shakhrah.
Masjid Al-Aqsha
Dalam Islam, tempat berdirinya Bait Suci disebut dengan Masjid Al-Aqsha (bahasa Arab: المسجد الاقصى, arti harfiah: "masjid terjauh") yang pada masa kekuasaan Muslim dibangun berbagai bangunan di tempat tersebut, di antaranya Jami' Al-Aqsha dan Kubah Shakhrah. Istilah masjid sendiri secara harfiah bermakna "tempat sujud" dan secara syara dapat berarti semua tempat di bumi yang digunakan untuk beribadah kepada Allah, sehingga Bait Suci juga disebut sebagai masjid dalam Al-Qur'an.
Penggunaan Baitul-Maqdis
Istilah Baitul-Maqdis (bahasa Arab: بيت المقدس) atau Baitul-Muqaddas (bahasa Arab: بَـيْـت الْـمُـقَـدَّس) telah dikenal sejak masa pra-Islam dan juga digunakan Nabi Muhammad sendiri dalam beberapa kesempatan. Secara harfiah, Baitul-Maqdis bermakna "rumah suci". Meski demikian, Baitul-Maqdis tidak mesti memiliki makna harfiah, sebagaimana lazimnya kawasan tersebut pada masa lalu yang menggunakan kata bait untuk nama tempat, seperti Bait Lahm (Bethlehem) tidak diterjemahkan secara harfiah menjadi "rumah daging".
Nama Baitul-Maqdis sendiri tidak pernah digunakan dalam berbagai berkas resmi. Meski demikian, nama ini sangat dikenal, utamanya terkait kandungan keagamaannya. Nabi Muhammad dan beberapa sumber Islam awal menggunakan istilah Baitul-Maqdis untuk merujuk pada beberapa hal: Masjid Al-Aqsha, Iliya' (Yerusalem), atau kota Yerusalem beserta kawasan di sekitarnya, tergantung pada konteks pembicaraan.
Iliya'
Baitul-Maqdis kerap digunakan untuk merujuk pada kota Iliya' (Yerusalem). Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi Muhammad menceritakan perjalanan isra' mi'raj pada penduduk Makkah. Penduduk Makkah bertanya, "Ke mana?" Nabi Muhammad menjawab, "Baitul Maqdis." Penduduk Makkah bertanya kembali, "Maksudmu Iliya'?" Nabi Muhammad menjawab, "Ya." Hal ini menunjukkan bahwa kaum kafir Makkah mengenal nama Baitul-Maqdis dan menyamakannya dengan Iliya' (Aelia).
Setelah penaklukan Palestina oleh Muslim, nama Iliya' (Aelia) masih tetap digunakan untuk merujuk pada Yerusalem. Walaupun begitu, ada kecenderungan untuk mendorong penggunaan nama Baitul-Maqdis untuk menggeser nama Iliya'. Upaya ini dialamatkan pada Ka'ab al-Ahbar, Yahudi Yamani yang menjadi Muslim dan seorang tabi'in. Sangat jelas penolakan Ka'ab menggunakan nama Iliya' berkonotasi keagamaan. Mu'awiyah bin Shalih (wafat 775) juga menyebutkan, "Jangan menyebut Madinah dengan Yatsrib dan Baitul-Maqdis dengan Iliya'. Dalam sebuah riwayat pada masa Kekhalifahan Umayyah disebutkan mengenai Abu Sinan yang mengatakan bahwa setiap 'Umar bin 'Abdul 'Aziz pergi ke Baitul-Maqdis, dia pasti berkunjung ke rumahnya. Ini menunjukkan bahwa Baitul-Maqdis merujuk pada kota.
Masjid
Nama Baitul-Maqdis juga digunakan untuk merujuk pada Masjid Al-Aqsha secara khusus dan bukan untuk keseluruhan kota Iliya'. Disebutkan bahwa Nabi Muhammad mengisahkan Yahya mengumpulkan Bani Israil di Baitul-Maqdis hingga penuh sampai ke teras, kemudian Yahya menyampaikan lima nasihat pada mereka. Hadits ini menunjukkan bahwa yang dimaksud Baitul-Maqdis oleh Nabi Muhammad adalah masjid, yakni Masjid Al-Aqsha. Hadits yang lain menyebutkan bahwa telaga Nabi Muhammad di hari kiamat seluas antara Ka'bah dan Baitul-Maqdis. Lantaran disejajarkan dengan Ka'bah, Baitul-Maqdis yang dimaksud dalam hadits ini adalah Masjid Al-Aqsha.
Ibnu 'Abbas meriwayatkan bahwa seorang wanita hendak pergi beribadah ke Baitul-Maqdis sebagai pemenuhan nazarnya bila telah sembuh dari penyakit. Namun Maimunah binti al-Harits mengatakan pada wanita itu untuk memakan perbekalannya saja dan beribadah di Masjid Nabi karena beribadah di masjid tersebut lebih utama dari masjid manapun, kecuali Masjid Al-Haram. Riwayat ini menggandengkan Baitul-Maqdis dengan Masjid Nabawi dan Masjid Al-Haram, sehingga yang dimaksud Baitul-Maqdis dalam riwayat ini merujuk pada Masjid Al-Aqsha secara khusus.
Kawasan
Baitul-Maqdis seringnya digunakan untuk merujuk pada masjid atau kota dan jarang, bukan tidak pernah, digunakan untuk merujuk pada kawasan yang lebih luas. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa saat Nabi Muhammad wafat, orang-orang terbagi dalam beberapa kelompok mengenai tempat Nabi Muhammad harusnya dimakamkan. Sebagian menyatakan Makkah dan sebagiannya lagi Madinah. Sebagian kelompok mengusulkan agar Nabi Muhammad dikebumikan di Baitul-Maqdis, tempat makam para nabi. Baitul-Maqdis yang digunakan dalam konteks ini bukanlah Masjid Al-Aqsha atau Iliya', tetapi merujuk pada kawasan yang lebih luas. Makam para nabi sendiri tersebar di berbagai tempat di kawasan Palestina dan tidak berada di Iliya' (Yerusalem) secara khusus. Makam Ibrahim, Ishaq, Ya'qub beserta istri mereka sendiri berada di Masjid Ibrahimi yang ada di kota Hebron, letaknya 30 km di selatan Yerusalem.
Nama terkait :
- Ardh Baitul-Maqdis (Bumi Baitul-Maqdis): digunakan untuk mengacu kawasan yang lebih luas, tidak hanya terbatas Al-Aqsha atau Yerusalem
- Ardh Al-Maqdis (Bumi Al-Maqdis): digunakan untuk merujuk pada kawasan yang lebih luas
- Bilad Al-Maqdis (Negeri Al-Maqdis): digunakan untuk merujuk pada kawasan luas di Palestina yang mencakup Yerusalem, Hebron, Bethlehem, Nablus, dan Ramla, tapi tidak termasuk Gaza dan Ashkelon.
- Baitul-Muqaddas: digunakan baik untuk Masjid Al-Aqsha, Iliya' (Yerusalem), maupun kawasan yang lebih luas, tergantung konteks pembicaraan
- Ketenaran nama-nama ini meredup seiring semakin terkenalnya penggunaan nama Al-Quds.
Nama lain
Nama Arab yang lebih sering digunakan untuk merujuk Yerusalem pada masa modern adalah Al-Quds (bahasa Arab: القُدس) yang secara harfiah bermakna "kudus" atau "suci". Catatan paling awal yang diketahui terkait penggunaan nama Al-Quds adalah koin yang dicetak pada masa Khalifah Abbasiyah 'Abdullah Al-Ma'mun bin Harun Ar-Rasyid (wafat 833 M/218 H). Al-Quds kemudian menjadi nama populer untuk Yerusalem di kawasan Syam dan juga masyarakat Arab, sangat mungkin karena namanya yang singkat, tetapi kawasan lain seperti Iran masih populer menggunakan nama Baitul-Maqdis, setidaknya pada masa penyair Nasir Khusraw (wafat 1088 M/481 H). Penggunaan nama Al-Quds juga mengakhiri ketenaran nama Iliya' dan menyaingi kepopuleran Baitul-Maqdis. Penggunaan nama Al-Quds mengalami perkembangan lebih lanjut pada masa Shalahuddin dan masa pemerintahan setelahnya, yakni Mamluk dan Utsmaniyah, dan menjadi nama yang populer untuk Yerusalem dalam bahasa Arab hingga masa modern. Beberapa kata juga diimbuhkan dalam nama tersebut, seperti Al-Quds Asy-Syarif (Al-Quds yang Mulia).
Pemerintah Israel sendiri menjadikan nama resmi Yerusalem dalam bahasa Arab adalah Ūršalīm (bahasa Arab: أُورُشَلِيمَ). Kata ini memiliki akar yang sama dengan nama resmi Yerusalem dalam bahasa Ibrani (יְרוּשָׁלַיִם, Yerusyaláyim) dan Inggris (Jerusalem). Nama Ursyalim sendiri sudah dikenal bangsa Arab jauh sebelumnya. Seorang penyair yang meninggal di awal masa kenabian Muhammad, Maymun ibn Qais Al-A'sya, menyebutkan nama Ursyalim dalam syairnya.
Artikel Kanti Suci Project





