Makna bila kaifa atau tanpa kaifa
Imam sayyidina Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah berkata :
إن الذي أين الأين لا يقال له أين وإن الذي كيف الكيف لا يقال له كيف
(رواه أبو المظفر الإسفراييني في كتابه في التبصير في الدين / ص: 98)
“Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya di mana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kaifa (sifat-sifat makhluk / benda) tidak boleh dikatakan baginya bagaimana”
(diriwayatkan oleh pemuka Asy’ariyah Al-Imam Abu al-Muzaffar Syahfur bin Thahir bin Muhammad al-Asfarayini atau dikenal sebagai Abu Muzhaffar al Asfarayini (W 471 H/ 1078 M), dalam kitab al-Tabshir fi al-Din wa Tamyiz al-Firqah al-Najiyah `an al-Firaq al-Halikin hal. 98)
Orang-orang yang mengatakan bahwa Asy’ariyah tidak lagi mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W 323 H) salah satunya AKIBAT mereka membaca kitab Al Ibanah secara shahafi (otodidak) menurut akal pikiran mereka sendiri dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Imam Abu Al Hasan Al Asy’ari dalam kitab Al Ibanah menegaskan bahwa istawa Allah di atas Arsy
بلا كيف ولا استقرار
Tanpa kaifa (sifat makhluk/benda) dan bukan dalam MAKNA DZAHIR yakni bukan dalam pengertian ISTIQRAR.
Jadi BUKAN Allah ISTAQARRA yakni BERADA atau BERTEMPAT atau MENETAP atau bahkan MELAYANG TINGGI di atas Arsy.
NAMUN Allah di atas Arsy BILA KAIFA artinya TANPA KAIFA yakni tanpa sifat-sifat makhluk/benda seperti arah (jihah), jarak, ruang, waktu, berbatas (al hadd) dengan arsy
Kaifa hanya ditujukan kepada membagaimanakan (kaifiyah) sifat makhluk / benda.
Ustadz Abdul Wahab Ahmad Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember menyampaikan bahwa kata kaifiyah berasal dari kata kaifa yang secara literal (MAKNA DZAHIR) berarti bagaimana.
Namun secara istilah, para ahli bahasa mendefinisikan kata kaifa dengan beberapa ungkapan yang berbeda.
Syekh Ar-Raghib al-Asfahani (502 H), salah satu pakar bahasa, tafsir dan sekaligus filsuf Muslim terkemuka yang semasa dengan Imam al-Ghazali, mendefinisikan kaifa sebagai berikut:
كَيْفَ: لفظ يسأل به عمّا يصحّ أن يقال فيه: شبيه وغير شبيه، كالأبيض والأسود، والصحيح والسّقيم
“Kaifa (bagaimana) adalah kata yang digunakan untuk menanyakan sesuatu yang bisa disebut serupa dan tidak serupa, seperti kata putih, hitam, sehat dan sakit” (Ar-Raghib al-Asfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur’ân, hal. 73).
Yang dimaksud Ar-Raghib tersebut adalah kata kaifa selalu digunakan untuk menanyakan objek yang punya tingkat keserupaan atau tingkatan makna.
Seperti misalnya kata putih yang meskipun seluruhnya punya keserupaan sebagai putih, tetapi selalu berbeda tingkatan kadar putihnya sehingga bisa ditanyakan bagaimana putihnya, apakah seputih salju atau seputih tulang misalnya.
Demikian juga dengan kata sakit dan sehat, selalu bisa ditanyakan bagaimana sakitnya atau bagaimana kesehatannya sebab kadar sakit dan sehat antara satu orang dan orang lain berbeda-beda.
Intinya, kata kaifa menurut Ar-Raghib hanya berlaku bagi objek yang memiliki tingkat keserupaan dengan objek lainnya. Karena itulah ia kemudian menegaskan bahwa sifat Allah tak bisa ditanya bagaimana, sebab tak ada yang serupa dengan Allah untuk dijadikan perbandingan.
ولهذا لا يصحّ أن يقال في الله عزّ وجلّ: كيف
“Karena itulah, tentang Allah Yang Mahaagung tidak boleh dikatakan kaifa” (Ar-Raghib al-Asfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur’ân, hal. 73).
Ustadz Abdul Wahab Ahmad dalam tulisan yang sama menyampaikan bahwa :
Kata kaifiyah yang merupakan derivasi dari kata kaifa, maka Syekh Ibnu Qudamah al-Hanbali (620 H), salah satu ulama terkemuka di abad ketujuh Hijriah, mendefinisikan kaifiyah sebagai berikut :
والكيفية: ما يصلح جوابًا للسؤال بكيف؟
“Kaifiyah adalah sesuatu yang layak dijadikan jawaban untuk pertanyaan bagaimana”. (Ibnu Qudamah, Raudlah an-Nâdhir wa Jannah al-Munâdhir, juz I, hal. 60).
Jadi, seluruh redaksi yang layak dijadikan jawaban pertanyaan bagaimana disebut dengan kaifiyah.
Misalnya ucapan seseorang yang mengartikan sifat istawa sebagai berlokasi di atas Arasy, atau mengartikan sifat nuzul sebagai turun dari lokasi atas ke lokasi di bawahnya, dan semacamnya adalah kaifiyah.
Pemaknaan seperti itu adalah jawaban bagi pertanyaan bagaimana istawa’ dan bagaimana nuzul ?
Kaifiyah semacam ini terlarang hukumnya sebab Allah bukan objek yang bisa ditanya dengan kaifa seperti dibahas sebelumnya sehingga jawabannya juga terlarang.
Jadi terlarang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN Allah seperti Allah Maha Melihat dengan jarihah atau organ atau alat penglihatan atau Allah Maha Mendengar dengan jarihah atau organ atau alat pendengaran.
Begitupula terlarang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN Yadullah yang artinya tangan Allah maknanya sebagai jarihah atau organ atau alat untuk menciptakan Nabi Adam
Jadi AKIBAT MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR sehingga mereka dapat terjerumus mengingkari firman Allah Ta’ala bahwa sesungguhnya penciptaan Nabi Adam dan semua makhluk diciptakan dengan cara yang sama yakni cukup dengan Qudrah dan kehendak Allah untuk menjadikan sesuatu, maka seketika itulah apa yang dikehendaki terjadi (kun fayakun) sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia”. (QS Ali Imron [3] : 59)
Ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 9 hijriah yakni Al Imam Al Hafizh Suyuthi (W 911 H) dalam kitab tafsir Jalalain ketika menjelaskan firman Allah yang ARTINYA, “Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” .(QS. Shad [38] : 75)
- MAKNANYA hanyalah sebuah UNGKAPAN untuk MEMULIAKAN KEDUDUKAN Nabi
- Jadi kita harus dapat membedakan ARTI dengan MAKNA
- Contohnya dalam bahasa Indonesia UNGKAPAN tangan kanan MAKNANYA digunakan untuk orang yang dipercaya atau kepercayaan seseorang.
- Jadi UNGKAPAN “dengan kedua tangan-Ku” adalah UNGKAPAN untuk MEMULIAKAN KEDUDUKAN Nabi Adam di hadapan kesombongan Iblis.
Jika Imam Asy’ari menetapkan sifat-sifat Allah dengan catatan
بلا کیف
Bila kaifa
Sedangkan Imam Malik dengan
الكيف غير معقول
“Al-Kayf ghayr maquul”
Kaifa (sifat makhluk / benda) tidak masuk akal ditujukan kepada Allah / TIDAK ADA kaifa bagi Allah (diriwayatkan dari Abdullah ibn Wahb oleh ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 4 hijriah, Imam al Baihaqi (W 458 H) dalam karyanya berjudul al asma wa ash shifat hal 408)
Jadi dengan Imam Asy’ari mengatakan “Bila Kaifa”, Tanpa Kaifa bagi Allah dan Imam Malik mengatakan Al-Kayf ghair maquul” tidak ada kaifa bagi Allah maka mereka jelas KELIRU jika mengatakan TAFWIDH KAIFIYAH yakni ada kaifa (sifat-sifat makhluk/benda) bagi Allah namun kaifiyahnya tidak diketahui sehingga diserahkan kepada Allah Ta’ala.
Begitupula tidak ada kaifa (sifat-sifat makhluk/benda) bagi Allah Ta’ala karena tidak ada yang serupa dengan Allah untuk dijadikan perbandingan sebagaimana firman Allah Ta’ala,
ﻟَﻴْﺲَﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻴْﺊٌ،
Allah Ta’ala tidak serupa dengan sesuatu apapun (QS. Asy Syura [42] : 11)
Syekh Allamah, Muhammad bin Umar An Nawawi Al Bantani atau yang lebih dikenal dengan Syekh Nawawi al Bantani (W 1314 H) dalam kitab Kasyifah as-Saja Fi Syarhi Safinah an-Naja terbitan Dar Ibn Hazm Beirut, Libanon menuliskan
ﻓَﺈِﻥْ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻚَ ﻗَﺎﺋِﻞٌ ﺃَﻳْﻦَ ﺍﻟﻠّٰﻪُ؟ ﻓَﺠَﻮَﺍﺑُﻪُ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻲ ﻣَﻜَﺎﻥٍ ﻭَﻻَ ﻳَﻤُﺮُّ ﻋَﻠَﻴْﻪِﺯَﻣَﺎﻥٌ،
Apabila ada orang bertanya, aina (di mana) Allah? Maka jawabnya adalah Allah ada tanpa tempat dan tidak berlaku perjalanan waktu.
ﻭَﺇِﻥْ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻚَ ﻛَﻴْﻒَ ﺍﻟﻠّٰﻪُ؟ ﻓَﻘُﻞْ ﻟَﻴْﺲَﻛَﻤِﺜْﻠِﻪِ ﺷَﻴْﺊٌ،
Dan apabila ada orang bertanya kaifa (bagaimana) Allah ? maka jawabnya adalah Allah tidak serupa dengan sesuatu apapun.
Jadi maksud perkatan Imam Asy’ari yadullah artinya tangan Allah bila kaif atau tanpa kaifa (sifat makhluk / benda) dan tanpa takyif (mengilustrasikannya) adalah Imam Asy’ari MEMILIH membiarkan ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah sebagaimana datangnya maksudnya MENGITSBATKAN (MENETAPKAN) berdasarkan LAFADZNYA dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Jadi jika tidak tahu makna tangan yang layak bagi Allah Ta’ala maka PILIHANNYA adalah TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala
Salafush Sholeh pada umumnya membiarkan khabar-khabar tersebut yakni membiarkan ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah sebagaimana datangnya maksudnya MENGITSBATKAN (MENETAPKAN) berdasarkan LAFADZNYA dan menafikan makna secara bahasa artinya tidak menetapkan atau tidak memilih makna dzahir atau makna majaz dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Salafush Sholeh mengatakan
قال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
“Dan Walid bin Muslim berkata: Aku bertanya kepada Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Tsauri, Laits bin Sa’ad tentang hadits-hadits yang di dalamnya ada sifat-sifat Allah? Maka semuanya berkata kepadaku: “Biarkanlah ia sebagaimana ia datang tanpa tafsir”
Imam Sufyan bin Uyainah radhiyallahu anhu berkata: “Apa yang disifati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang diriNya dalam kitabNya, maka bacaan perkataan tersebut adalah tafsirannya. Tidak boleh seseorang menafsirkannya dengan (makna) bahasa Arab ataupun menafsirkannya dengan (makna) bahasa Farsi (makna bahasa selain Arab / bahasa asing) (Al-Asma’ wa As-Sifat: 314).
Ibnu ‘ Uyainah nama lengkapnya Sufyan bin Uyainah bin Abi Imran, salah seorang Tabi’i tsiqoh, dilahirkan pada tahun 107 H dan wafat di Makkah pada tahun 198 H.
Jadi boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti Yadullah yang artinya Tangan Allah dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala
Begitupula boleh bagi orang awam hanya sampai lafadznya seperti istiwa yang artinya bersemayam (yang mempunyai makna dzahir dan makna majaz) dan TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala
Para ulama terdahulu telah menjelaskan bahwa “Sesungguhnya pada dasarnya teks-teks itu HARUS DIPAHAMI dalam MAKNA DZAHIRNYA jika itu dimungkinkan NAMUN jika tidak memungkinkan contohnya ada QORINAH atau petunjuk jika dipahami dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat yang tidak layak (tidak patut) bagiNya maka PILIHANNYA ada dua yakni,
PILIHAN PERTAMA adalah TAFWIDH MAKNA yakni menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala yang disebut juga TAFWIDH ba’da TAKWIL IJMALI.
PILIHAN KEDUA menyimpulkan dan menetapkan bahwa berarti teks-teks tersebut bukan dalam makna dzahirnya tetapi dalam MAKNA MAJAZ (metaforis atau makna kiasan) yang disebut juga TAKWIL TAFSHILI yakni TAKWIL yang sesuai dengan KAIDAH-KAIDAH atau TATA BAHASA Arab itu sendiri karena “bacaan Al Qur’an dalam bahasa Arab” (QS Fush shilat [41]:3).
TAKWIL IJMALI dan TAKWIL TAFSHILI bukanlah BERTENTANGAN atau KONTRADIKSI namun hanyalah sebuah PILIHAN.
Berikut cara mudah memahami TAKWIL IJMALI dan TAKWIL TAFSHILI.
Bagi si A, gadis itu cantik bagaikan bulan.
Si A berkata “sore itu bulan masuk ke warung makan” .
TAKWIL IJMALI, “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tetapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam karena mustahil masuk warung makan. Oleh karenanya saya serahkan makna sebenarnya perkataan bulan tersebut kepada si A, karena dialah yang mengetahuinya
TAKWIL TAFSHILI, “Saya percaya dengan kata-kata Si A bahwa si A mengatakan “Bulan masuk ke warung makan” tapi makna kata bulan tersebut bukanlah makna dzahir yakni bulan yang mengambang di waktu malam karena mustahil masuk warung makan, tentulah ada makna lain yang sesuai dengan kaidah atau tata bahasa..
Salafush Sholeh tentu bukan tidak mengetahui makna dzahirnya namun ulama salaf dan khalaf sepakat untuk memalingkan lafaz mutasyabihat yakni lafaz dengan banyak makna yang terkait sifat-sifat Allah Ta’ala dari makna dzahirnya karena jika dipaksakan dimaknai dengan makna dzahir akan terjerumus mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat yang tidak patut (tidak layak) bagi Allah atau sifat yang mustahil bagi Allah Ta’ala.
Perbedaan keduanya hanya terjadi pada masalah apakah diberikan maknanya sesuai kaidah-kaidah bahasa Arab ataupun tidak diberi makna tetapi diserahkan maknanya kepada Allah Ta`ala sendiri.
Ulama salaf lebih memilih untuk tidak menentukan (menetapkan) salah satu dari beberapa makna yang mungkin diterapkan pada nash tersebut dan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala.
Sedangkan para ulama khalaf, dikarenakan pada masa mereka sudah berkembang ahli bid’ah yang mensifati Allah dengan sifat makhluk, maka mereka menafsirkan nash mutasyabihat tersebut dengan makna yang layak bagi Allah yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab sendiri.
Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafaz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafaz dzahir.”
Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustasfa: “Membawa makna lafaz dzahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung dalil”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa takwil adalah memalingkan atau mengalihkan dari makna dzahir sebuah lafaz / ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.
Alasan yang dapat diterima oleh akal sebagaimana yang disyaratkan oleh Asy-Syathibi yakni
1. Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya.
2. Makna yang dipilih yang sudah dikenal dikalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Al Quran.
Pembesar mazhab Hambali, Al Imam Ibn al Jawzi mencontohkan Tsa’labah berkata:
وَاذْكُرَا الله فِي جَنْبِي
Wadzkura Allah fi Janbi
Bukan berarti,
”Sebutlah nama Allah pada pinggangku”
Namun bermakna
“aku perintahkan sebutlah nama Allah”
Jadi firman Allah Ta’ala, yaa hasrotanaa alaa maa farrothnaa fii janbillaahi (QS Az Zumar [39] : 56)
Bukan bermakna ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam pinggang Allah”
Namun bermakna ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam mentaati perintah-Nya”.
Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Asy’ari melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga / terakhir adalah SERUPA dengan MAZHABNYA Ibnu Taimiyyah (W 728 yang DILABELI mazhab atau manhaj Salaf.
Timbulnya kerusakan dalam perkara i’tiqod akibat orang awam TERKELABUI dengan LABEL mazhab atau manhaj Salaf dan penisbatan atau tepatnya PELABELAN Salafi maupun Atsari
Mereka membeli atau memiliki kitab-kitab hadits dan membaca hadits-hadits dimana dalam hadits tercantum sanad hadits yakni nama para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan dikatakan oleh mereka bahwa mereka mengikuti PEMAHAMAN Salafush Sholeh dan DILABELI MAZHAB SALAF atau MANHAJ SALAF
Apa yang disampaikan dari hadits-hadits yang dibaca oleh mereka adalah PEMAHAMAN MEREKA sendiri BUKAN PEMAHAMAN Salafush Sholeh.
Sumbernya memang hadits tersebut tapi apa yang mereka sampaikan semata lahir dari kepala mereka sendiri yakni PEMAHAMAN MEREKA SENDIRI dengan MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Begitupula Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) maupun Adz Dzahabi (w 748 H) adalah murid dari Ibnu Taimiyyah atau pengikut Ibnu Taimiyyah yang bertemu muka langsung.
Sedangkan pengikut Ibnu Taimiyyah yang tidak bertemu muka langsung alias berdasarkan mutholaah (menelaah kitab) dengan akal pikiran mereka sendiri, contohnya adalah Muhammad bin Abdul Wahhab (W 1206 H) dan Al Albani (w 1420H)
Jadi mereka tentu tidak bertemu dengan Salaf karena tidak semasa kehidupannya sehinga mereka tidak mendapatkan pemahaman Salaf yang sesungguhnya.
FITNAH terhadap Salafush Sholeh timbul AKIBAT Ibnu Taimiyyah (W 728 H) MENISBATKAN atau tepatnya MELABELKAN MAZHABNYA atau metode pemahamannya selalu dengan MAKNA DZAHIR sebagai mazhab atau manhaj salaf sebagaimana fatwanya dalam Majmu Fatawa 4/149
Barangsiapa mengingkari penisbatan kepada salaf dan mencelanya, maka perkataannya terbantah dan tertolak ‘karena tidak ada aib untuk orang-orang yang menampakkan mazhab salaf dan bernisbat kepadanya bahkan hal itu wajib diterima menurut kesepakatan ulama, karena MAZHAB SALAF itu PASTI BENAR
Bahkan disebarluaskan dongeng atau tepatnya fitnah bahwa Imam Asy’ari melalui 3 marhalah kehidupan atau 3 fase pemikiran yakni fase ketiga / terakhir adalah mengikuti MAZHABNYA Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Taimiyyah dikabarkan masih sempat bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum Beliau wafat dipenjara sehingga Beliau belum sempat menulis kitab-kitab untuk mengkoreksi kekeliruannya akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN Ibnu Taimiyyah dalam memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diri-Nya dalam ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) adalah SELALU dengan MAKNA DZAHIR dan mengingkari makna majaz (Ma’alim Ushulil Fiqh hal. 114-115).
Begitupula Ibnu Taimiyyah dalam Al Iman hal 94 berkata,
“maka ini adalah dengan prakiraan adanya bentuk metafor (majaz) dalam bahasa. Sementara dalam al-Qur’an tidak ada bentuk metafor.
Bahkan pembagian bahasa kepada hakekat dan metafor adalah pembagian bid’ah, perkara baharu yang tidak pernah diungkapkan oleh para ulama Salaf.
Bahkan Ibnu Qoyyim al Jauziyah (w 751 H) murid dari Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa MAJAZ adalah THAGHUT yang KETIGA (Ath thaghut Ats Tsalits), karena menurut Beliau dengan adanya MAJAZ, akan membuka pintu bagi ahlu tahrif untuk menafsirkan ayat dan hadist dengan makna yang menyimpang (As Showa’iqul Mursalah 2/632)
Contoh Ibnu Taimiyyah (W 728H) terjerumus MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN nuzul dengan mengatakan bahwa
“Sesungguhnya turunnya Allah tidak menjadikan ‘arsy-Nya KOSONG” sebagaimana yang disampaikan oleh ulama mereka, Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam tulisannya berjudul “100 Pelajaran dari Kitab Aqidah Wasithiyah” (kitab karya Ibnu Taimiyyah)
Begitupula ini adalah sebuah contoh KEBID’AHAN dalam perkara i’tiqod karena tidak pernah disabdakan Rasulullah maupun diriwayatkan oleh Salafush Sholeh.
Tidak ada satupun ulama yang mengaitkan hadits nuzul dengan syubhat tempat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa hadits nuzul dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala permintaan yang dimintakan kepada-Nya pada saat itu. Oleh karenanya, waktu sepertiga akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah.
Jadi pada kenyataannya orang-orang yang hidup pada zaman now (sekarang) atau zaman khalaf (kemudian) yakni dari kalangan modernis (lawan dari tradisionalis atau salaf) NAMUN mengaku-ngaku mengikuti Salaf (terdahulu) dan menisbatkan sebagai Salafi maupun Atsari serupa dengan firqah Karramiyah yang dipelopori oleh Muhammad Ibnu Karram (W 255 H) beraqidah MUJASSIMAH.
Imam Ibnu Hajar Haitami mengatakan bahwa mereka (al karramiyyah) percaya bahwa Tuhan adalah Dzatnya menetap di atas Arsy, menempel dan beristirahat di atasnya, dan kemudian turun setiap sepertiga malam terakhir ke langit dunia dan kemudian kembali ke tempatnya saat fajar.
Imam Asy Syahrastani (W 578) Rahimahullah mengatakan :
نص أبو عبد الله على أن معبوده على العرش استقرارا، وعلى أنه بجهة فوق ذاتا وقال بعضهم: امتلأ العرش به، وصار المتأخرون منهم إلى أنه تعالى بجهة فوق، وأنه محاذ للعرش وقال محمد بن الهيصم: إن بينه وبين العرش بعدا لا يتناهى، وإنه مباين للعالم بينونة أزلية
Abu Abdillah (Ibnu Karram) menjelaskan bahwa yang dia sembah menetap di atas ‘Arsy dan bahwasanya Dzatnya ada di arah atas dan sebagian Karramiyah berkata, “Arsy penuh dengan Dzat ALLAH.” namun orang-orang belakangan dari mereka berpendapat bahwa ALLAH Ta’ala di arah atas, Dia lurus dengan ‘Arsy dan Muhammad Bin Al-Haisham (imam kedua Karramiyah) berkata bahwa sesungguhnya antara ALLAH dan antara ‘Arsy ada jarak yang tak terhingga dan sesungguhnya ALLAH terpisah dari alam dengan jarak yang Azali. (Al-Milal Wa An-Nihal : 1/109)
Mereka mengatakan,
Apa yang dikatakan oleh Ad Darimi memang begitulah faktanya bahwa memang yang di atas langit LEBIH DEKAT kepada Allah secara hisssi (materi / fisikal) dari pada yang di bumi. Adapun kedekatan kala sujud maka itu adalah kedekatan maknawi”
Ad Darimi yang mereka ikuti pendapatnya adalah Utsman bin Sa’id Ad-Darimi (w 280 H) BUKANLAH Ad Darimi ulama besar ahli hadits terkemuka yang telah menulis kitab Sunan ad Darimi yakni Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (w 255H)
Mereka ada juga yang berkeyakinan bahwa Tuhan tidak bertempat NAMUN berada di arah atas karena menurut mereka tempat itu masih alam sedangkan Tuhan itu di luar alam.
Berikut kutipan tulisan mereka,
Tidak betul, sudah dijelaskan para ulama salaf bahwa memang zat Allah itu di arah atas, tapi mereka memang tidak menamakan itu semua tempat karena Allah itu di luar alam sehingga tak berlaku lagi tempat di luar alam karena tempat itu masih alam.
Jadi mereka berkeyakinan Tuhan berada di arah atas dan di atas Arsy ada yang namanya “bukan tempat”.
Adapula yang lain menamakannya makan ‘adami dan kalau diartikan adalah “tempat ketiadaan”
Ironisnya keyakinan (i’tiqod/akidah) mereka tentang adanya “bukan tempat” atau “tempat ketiadaan” (makan ‘adami) dinisbatkan atau dilabeli sebagai keyakinan ulama salaf
Padahal istilah “bukan tempat” atau makan ‘adami (tempat ketiadaan) tidak pernah dikatakan oleh Salafush Sholeh karena tidak ada dalam Al Qur’an maupun Hadits.
Contohnya lainnya mereka mengatakan bahwa mereka menyembah atau beribadah kepada SESUATU yang mempunyai BENTUK dan UKURAN yang BERADA MENETAP TINGGI atau MELAYANG TINGGI (bukan menempel) DI ATAS Arsy dan berukuran SANGAT BESAR dibuktikan dengan ukuran tangannya yang MENJULUR dari atas Arsy ke bawah dapat MENGGULUNG langit dan bumi.
Jadi akibat MAZHAB atau METODE PEMAHAMAN mereka SELALU dengan MAKNA DZAHIR mereka dapat pula terjerumus bertasyabbuh dengan kaum Yahudi yakni mereka yang belum “dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67)
Telah menceritakan kepada kami Musa telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al A’masy dari Ibrahim dari Alqamah dari Abdullah berkata, “Datang seorang pendeta (Yahudi) kepada Rasulullah, berkata: “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah meletakkan langit diatas satu jari, seluruh bumi diatas satu jari, semua gunung diatas satu jari, pohon dan sungai di atas satu jari, dan semua makhluk di atas satu jari, kemudian Allah berfirman seraya menunjukan jarinya, ‘Akulah Sang raja’.” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tertawa lalu membaca kutipan firmanNya yang artinya “Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya”.(QS Az Zumar [39]:67) (Hadits riwayat Bukhari 6865, 6897)
Pembesar mazhab Hambali, Imam Ibn al Jawzi menjelaskan bahwa
“Tertawanya Rasulullah dalam hadits di atas sebagai bukti pengingkaran beliau terhadap pendeta (Yahudi) tersebut, dan sesungguhnya kaum Yahudi adalah kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya(Musyabbihah). Lalu turunnya firman Allah: “وما قدروا الله حق قدره ” (“Dan tidaklah mereka dapat mengenal Allah dengan sebenar keagungan-Nya” (QS Az Zumar[39]:67) adalah bukti nyata lainnya bahwa Rasulullah mengingkari mereka (kaum Yahudi)”
Firqah MUJASSIMAH adalah orang-orang yang terjerumus kekufuran dalam perkara i’tiqod karena mereka MEN-JISM-KAN Allah Ta’ala yakni mereka mensifatkan Allah Ta’ala dengan sifat-sifat jism (benda/fisikal) seperti mengisbatkan (menetapkan) anggota badan, arah atau tempat, ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya dan sifat fisikal lainnya AKIBAT mereka NGEYEL atau KEUKEUH (bersikukuh) atau MEMAKSA MENTERJEMAHKAN dan MEMAHAMI ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah secara hissi (inderawi / materi / fisikal) atau secara hakikat (makna hakikat) yakni MAKNA DZAHIR dari suatu lafadz.
Imam Abu Hanifah dalam kitab Al-Fiqhul-Akbar mengingatkan bahwa Allah Ta’ala tidak boleh disifatkan dengan sifat-sifat benda seperti ukuran, batasan atau berbatas dengan ciptaanNya , sisi-sisi, anggota tubuh yang besar (seperti tangan dan kaki) dan anggota tubuh yang kecil (seperti mata dan lidah) atau diliputi oleh arah penjuru yang enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang) seperti halnya makhluk (diliputi oleh arah)
Sedangkan Asy’ariyah yakni umat Islam pada umumnya tentulah BUKAN MENGINGKARI atau menafikan (menta’thil) sifat Allah NAMUN MENGINGKARI mereka yang memahami ayat-ayat mutasyabihat (banyak makna) terkait sifat Allah SELALU dengan MAKNA DZAHIR.
Para ulama terdahulu telah mengingatkan bahwa janganlah memahami apa yang telah Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya selalu dengan MAKNA DZAHIR karena akan terjerumus KEKUFURAN dalam perkara I’TIQOD.
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadits mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthidalam dalam kitab “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata,bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan :
من قال الله جسم لا كالأجسام كـَفَـرَ
BARANGSIAPA yang mengatakan, ALLAH itu berjisim tapi tidak seperti jisim lainya.! MAKA ia telah Kafir (kufur dalam i’tiqod) [Tasyniful Masami’ : juz 4, halaman : 684]
Al-Imam Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shawi al-Maliki (w 1214 H), ulama terkemuka abad 12 Hijriah (semasa hidupnya dengan pendiri paham WAHABISME) dalam kitab karya Beliau yang berjudul “Ash-Shawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain” cetakan pertama “Darul Fikr” th 1988 jilid 3 halaman 9 yang dipelajari di pondok-pondok pesantren mengajarkan :
… ولا يجوز تقليد ما عدا المذاهب الأربعة ولو وافق قول الصحابة والحديث الصحيح والآية فالخارج عن المذاهب الأربعة ضال مضل وربما أداه ذلك للكفر لأن الأخذ بظواهر الكتاب والسنة من أصول الكفر .
“dan tidak boleh taklid kepada selain empat madzhab meskipun cocok dengan pendapat sahabat, hadits shahih dan ayat, dan yang keluar dari empat madzhab maka dia sesat lagi menyesatkan, bahkan hal itu bisa jadi akan mengantarkan kepada kekufuran, karena mengamalkan secara tekstual Al Qur’an dan Hadits adalah PANGKAL KEKUFURAN.
Begitupula para ulama terdahulu telah MELARANG mensifatkan atau menjismkan Dzat Allah Ta’ala seperti mengatakan bahwa Allah memiliki wajah, tangan, kaki WALAUPUN dikatakan semua itu tidak serupa dengan makhluknya karena hal ini sudah termasuk ‘AASHIN yakni DURHAKA atau MENGHINA Allah Ta’ala.
Syaikh Al-Akhthal dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘alaUmmil Barahin” menjelaskan bahwa barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai jisim (bentuk seperti tangan, kaki) namun tidak serupa dengan jisim (bentuk tangan, kaki) makhlukNya, maka orang tersebut hukumnya ‘aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.
Imam Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib telah mengingatkan bahwa “Sebagian golongan dari umat Islam pada akhir zaman akan kembali kafir (maksudnya kufur dalam i’tiqod) karena mereka MENGINGKARI Pencipta mereka dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda (seperti arah maupun tempat) dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Rajm Al-Mu’tadi).
Para ulama Allah menjelaskan bahwa Allah Ta’ala itu “dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” sebagaimana firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat (QS Al Baqarah [2] : 186)
Imam Abul Hasan al Asy’ari dalam “Maqalatul Islamiyin” jilid I hal 281 menuliskan,
أنهم يقولون: إن البارىء ليس بجسم ولا محدود ولا ذي نهاية
Mereka (ahlus sunnah) berkata, “Sesungguhnya Allah bukan jism, tidak berhadd (TIDAK TERBATAS) dan TIDAK BERJARAK”
Pengertian ولا حد , (TIDAK TERBATAS) adalah Allah Ta’ala TIDAK TERBATAS pada salah satu di antara enam arah (atas, bawah, kiri, kanan, depan, belakang)
Begitupula Imam Abul Wahid At Tamimi (W 410 H, ulama yang paling dekat zamannya dengan Imam Ahmad) membawakan riwayat Imam Ahmad di dalam kitab Beliau “I’tiqad Imam Al Munabbal Abi Abdillah Ahmad bin Hanbal hal 38;
والله تعالى لم يلحقه تغير ولا تبدل ولا يلحقه الحدود قبل خلق العرش ولا بعد خلق العرش
“Dan Allah Ta’ala tidak mengalami perubahan dan TIDAK TERBATAS oleh hadd, baik sebelum Allah menciptakan Arsy, maupun setelah Allah menciptakan Arsy”
Ulama yang diakui sebagai mujaddid abad ke 4 hijriah, Imam al Baihaqi (W 458 H) mengingatkan bahwa
من فوق السماء علی معنی نفي الحد عنه
Dzat di atas langit berdasarkan makna MENAFIKAN BATAS (al hadd) darinya.
Begitupula orang-orang yang MENG-KAIFA-KAN atau MEMBAGAIMANAKAN ISTAWA Allah sebagai BERTEMPAT sehingga seolah-olah MEMENJARAKAN Allah Ta’ala BERBATAS dengan Arsy adalah mereka yang jahil yakni belum mengenal Allah (makrifatullah) dengan sebenar keagungan-Nya.
Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhah berkata
من زعمأن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود
”Barang siapa menganggap bahwa Tuhan kita mahdud (TERBATAS) maka ia telah jahil, tidak mengenal Tuhan Sang Pencipta.” (Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73)
Padahal jika BELUM MENGENAL Allah dapat berakibat amal ibadah sepanjang hidupnya tidak diterima oleh Allah Azza wa Jalla.
Imam Ghazali berkata:
لا تصح العبادة إلا بعد معرفة المعبود
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (mengenal Allah) yang wajib disembah”.
“Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah”.
Artinya, awal beragama adalah makrifatullah (mengenal Allah) dan akhir beragama makrifatullah dalam arti menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh).
Oleh karenanya SEJAK DINI sebaiknya disampaikan tentang aqidatul khomsin (lima puluh aqidah) dimana di dalamnya diuraikan tentang 20 sifat wajib bagi Allah sebagai SARANA untuk MENGENAL Allah yang merupakan hasil istiqro (telaah) para ulama yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits.
20 sifat wajib bagi Allah dapat juga dipergunakan sebagai pedoman dan batasan-batasan untuk dapat memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Allah.
Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi asy-Syaf’i (W 465 H) dalam Lata’if al-Isyarat mengingatkan bahwa,
Langit maupun arsy dalam makna dzahir atau secara hissi (materi/fisikal) arah atas (jihah) adalah kiblat bagi doa seluruh makhluk
Sedangkan langit, arsy dalam makna majaz atau secara maknawi adalah terkait melihat Al-Haq, Yang Maha Tinggi.
Allah Ta’ala memudahkan siapa yang dikehendakiNya untuk dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) TANPA JARAK, TANPA KAIF (sifat benda), TANPA BATASAN (hadd), TANPA ARAH maupun TEMPAT.
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَابْنُ أَبِي رِزْمَةَ وَأَبُو نُعَيْمٍ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ سِمَاكٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ { مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى } قَالَ رَآهُ بِقَلْبِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq dan Ibnu Abu Rizmah serta Abu Nu’aim dari Israil dari Simak dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkomentar tentang ayat, “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.” (QS. AN Najm 11), Ia berkata; ia melihat-Nya dengan hatinya. (HR Tirmidzi 3203 atau versi lain 3281)
Sedangkan Imam Ahmad dengan redaksi
قَالَ رَأَى مُحَمَّدٌ رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ
Ibnu Abbas radhiyallhuanhu berkata; Muhammad melihat Rabb-nya ‘Azza wa Jalla dengan hatinya
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah melihat Tuhan?” Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali. Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Malaikat Jibril ketika menampakkan sebagai seseorang berpakaian putih bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah IHSAN itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (makrifatullah), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Jadi jika seseorang bermakrifat yakni dapat melihat Allah dengan hatinya (ain bashirah) atau pengawasan Allah tertanam di hatinya karena BERKEYAKINAN bahwa “Allah Ta’ala itu dekat tidak bersentuh dan jauh tidak berjarak” maka setiap akan bersikap atau berbuat sesuatu ia selalu mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar.
Sikap dan perilaku seperti itulah yang membentuk menjadi muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang sholeh atau muslim yang IHSAN.
Langkah-langkah agar berahlak baik adalah untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) yang berarti mengosongkan dari sifat sifat yang tercela (TAKHALLI) kemudian mengisinya dengan sifat sifat yang terpuji (TAHALLI) sampai titik hitam (dosa) pada hati menghilang berganti bintik cahaya, sehingga tidak ada yang menghijabi antara diri dengan Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla dekat dan dapat disaksikan (dipandang) dengan hati sehingga tercapailah muslim yang ihsan (muhsin/muhsinin/sholihin) maka diperolehlah kenyataan Tuhan (TAJALLI).
Jadi tidak semua manusia dapat memandang Allah dengan hatinya
Orang kafir itu tertutup dari cahaya hidayah oleh kegelapan sesat.
Ahli maksiat tertutup dari cahaya taqwa oleh kegelapan alpa
Ahli Ibadah tertutup dari cahaya taufiq dan pertolongan Allah Ta’ala oleh kegelapan memandang ibadahnya
Jadi manusia terhalang atau menghijabi dirinya sehingga tidak dapat menyaksikan Allah dengan hatinya adalah karena dosa mereka.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seandainya bukan karena setan menyelimuti jiwa anak cucu Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit” (HR Ahmad)
Setiap dosa merupakan bintik hitam hati, sedangkan setiap kebaikan adalah bintik cahaya pada hati Ketika bintik hitam memenuhi hati sehingga terhalang (terhijab) dari memandang Allah. Inilah yang dinamakan buta mata hati.
Firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS Al Isra 17 : 72)
“maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al Hajj 22 : 46)
Para ulama Allah mengatakan bahwa salah satu bentuk nafsu hijab terbesar itu justru kesombongan, karena sombong itu, membuat, manusia hanya melihat dirinya. Kita bisa bayangkan, kalau keadaan batin itu hanya melihat dirinya sendiri, orang lain tidak kelihatan, bagaimana dia bisa menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh)
Oleh karenanya orang-orang yang BERAKHLAK BURUK seperti mereka yang terjerumus KESOMBONGAN dan MENOLAK kebenaran BERKAITAN dengan akhlak buruk mereka kepada Allah Ta’ala yakni orang-orang yang ‘Aashin (DURHAKA) atau MENGHINA Allah, seperti orang-orang yang “menjauhkan” Allah Ta’ala dengan menetapkan arah (jihah) atau tempat bagi Allah di atas Arsy AKIBAT mereka belum bermakrifat yakni mereka belum dapat memandang Allah dengan hatinya (ain bashirah)
Orang-orang yang “menjauhkan” Allah Ta’ala adalah orang-orang yang BERTAMBAH ILMUNYA namun SEMAKIN JAUH dari Allah Ta’ala karena mereka TERJERUMUS KESOMBONGAN.
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh“
Sebagaimana diperibahasakan oleh orang tua kita dahulu bagaikan padi semakin berisi semakin merunduk, semakin berilmu dan beramal maka semakin tawadhu, rendah hati dan tidak sombong.
Rasulullah bersabda: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan menganggap remeh orang lain.” (Shahih, HR. Muslim no. 91 dari hadits Abdullah bin Mas’ud)
Rasulullah bersabda , “Tiada masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat sebesar biji sawi dari kesombongan. kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” (HR. Muslim)
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Artikel Kanti Suci Project


