SUWUNG MENURUT ISLAM
Suwung Menuju Pada Kesejatian
Menurut Islam, "suwung" bukan berarti ketiadaan mutlak, melainkan kekosongan batin yang dipahami sebagai kondisi kesadaran spiritual untuk mencapai kebersihan hati dan kedekatan dengan Allah. Dalam tradisi tasawuf Jawa, konsep ini menjadi jalan untuk mengendalikan diri, melepaskan keterikatan duniawi, dan menemukan hakikat sejati dalam diri, sehingga dapat mendekatkan diri kepada Tuhan melalui pemahaman dan pengalaman batin.
Makna suwung dalam Islam Jawa
- Kondisi spiritual: Suwung adalah kondisi batin yang hening dan kosong dari segala macam ego, keinginan duniawi, dan emosi negatif, agar jiwa bisa murni dan jernih.
- Pencapaian kesatuan batin: Melalui suwung, seseorang berusaha mencapai manunggaling kawula gusti atau bersatu dengan Tuhan, di mana kesadaran diri menyatu dengan kesadaran semesta.
- Jalan spiritual: Suwung dapat dipandang sebagai salah satu tahapan dalam menempuh jalan spiritual atau tasawuf, yang bertujuan untuk mengenali Allah (makrifatullah) melalui hati nurani.
- Sumber kekuatan batin: Kekosongan dalam suwung bukanlah ketiadaan, melainkan sumber kekuatan dan pencerahan batin. Dari kondisi ini, seseorang dapat mendapatkan pengetahuan, kekuatan, dan perlindungan dari Tuhan.
Perbedaan pemahaman
- Secara harfiah, "suwung" berarti kosong atau sepi. Namun, dalam konteks Islam Jawa, konsep ini tidak dipahami sebagai kekosongan yang hampa makna.
- Pemahaman suwung juga berbeda dengan konsep kekosongan total dalam beberapa aliran atau pemikiran lain. Bagi seorang Muslim, kekosongan ini adalah kekosongan dari selain Allah, bukan ketiadaan eksistensi.
Tuhan dalam pandangan Islam adalah Allah yang Esa, Yang Maha Kuasa, dan tidak ada yang setara dengan-Nya. Suwung dalam konteks ini lebih merujuk pada kondisi spiritual individu saat merenungkan dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Di tengah riuhnya hidup, sesekali kita mendapati diri dalam kepungan tanya. Hiruk pikuk kerja, tuntutan hidup, deret panjang keinginan yang tak berujung semua merenggut perhatian, menguras tenaga.
Lalu, di antara desakan itu, pernahkah terbersit, apa sebenarnya yang paling hakiki ?
Apa yang tersisa ketika segala yang tampak begitu penting, tak lagi memiliki arti ?
Pertanyaan ini, rupanya, telah lama diselami dalam khasanah kebijaksanaan Jawa, terangkum dalam sebuah kata sederhana namun kaya makna: suwung.
Seringkali, “suwung” diartikan sebagai kosong atau sepi. Namun, ia bukan sekadar ketiadaan. Bukan pula hampa tak bermakna. “Suwung” adalah sebuah kondisi, sebuah proses, bahkan sebuah laku untuk mencapai hakikat tertinggi dari keberadaan diri. Ia adalah upaya untuk mengheningkan cipta, menyingkirkan segala “yang lain” agar hanya Yang Esa yang mendominasi.
Dalam terminologi agama, kita mengenal istilah takhalli, membersihkan diri, mengosongkan batin dari segala sesuatu selain Tuhan. Ini bukan berarti meniadakan diri, melainkan memurnikan. Ibarat wadah, kita mengosongkannya bukan untuk membiarkannya kosong, tapi agar siap diisi dengan yang paling murni, yang paling benar.
Pikiran kita, indra kita, acapkali menjadi filter yang membatasi. Ia menangkap serpihan, bukan keseluruhan. Untuk mencapai pengertian tertinggi, pikiran dan indra harus “ditiadakan” sementara.
Dulu, leluhur kita mungkin mengenalinya sebagai semedi, sebuah praktik konsentrasi mendalam. Dalam Islam, esensi semedi ini menemukan puncaknya dalam salat yang khusyuk.
Khusyuk, pada intinya, adalah penyerahan total, pengakuan akan keesaan. “La ilaha illallah,” tiada Tuhan selain Allah. “La ma’buda illallah,” tiada yang disembah selain Allah.
Suwung adalah langkah awal untuk mencapai ini: membuang “la” itu, meniadakan segala “ilah” lain yang memenuhi benak. Tanpa proses “menyuwungkan” segala berhala kecil dalam diri ego, keinginan sesaat, keterikatan duniawi kita tak akan pernah sampai pada hakikat sejati.
Kembali ke Titik Nol
Manusia pun demikian. Saat hidup terasa penuh beban, saat tuntutan mengimpit, kita perlu sesekali “meng-nol-kan” diri, “menyuwungkan” diri. Bukan untuk meniadakan eksistensi, melainkan untuk membersihkan pikiran, mengembalikan diri pada fitrahnya.
Ingatlah makna puasa, salah satu bentuk kesabaran. Puncaknya adalah Idulfitri, kembali kepada fitrah. Lahir kita tanpa apa-apa, telanjang dan bersih. Ketika kita “menyuwungkan” diri, kita menyadari bahwa segala yang kita miliki—kekayaan, keindahan, kehebatan—pada akhirnya akan sirna. Semua akan musnah, menyisakan hanya satu: “La ilaha illallah.”
Maka benarlah sabda Rasulullah, “Barang siapa akhir perkataannya ketika akan meninggal adalah La ilaha illallah, dia akan masuk surga, masuk keabadian.” Ini bukan sekadar ucapan di akhir hayat, melainkan cerminan dari kesiapan batin.
Kesanggupan untuk mengosongkan diri dari segala pernik duniawi, pasrah, sumeleh, dan kembali kepada Yang Esa. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” semuanya milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Pada saat itulah, di titik suwung itu, kita akan sampai pada hakikat kemurnian diri, dan mampu menjangkau Sang Esa. Ilmu suwung, ilmu tua ini, adalah gerbang untuk menemukan makna sejati hidup kita.
Maka, mari sejenak merenung. Di tengah deru langkah mengejar ini dan itu, tak ada salahnya berhenti, mengheningkan cipta, dan memberi ruang pada “suwung” itu. Sebab, mungkin di sanalah, di dalam kekosongan yang bermakna, kita akan menemukan segala ada.
Dalam kesempatan ini kita akan membahas tentang sesuatu yang sangat berarti. Dan sebagaimana tulisan sebelumnya, kali ini pun tetap berkaitan dengan warisan para leluhur kita dulu. Dimana mereka telah menyampaikan tentang hakikat dari kata “suwung”. Atau sebuah konsep dalam masyarakat Jawa yang menggambarkan tentang rasa hampa lantaran sudah adanya kesadaran diri. Hampa di sini bisa diartikan sebagai kondisi kosong yang arupa alias tidak memiliki bentuk namun “ada sesuatunya”.
Sehingga suwung juga bisa diartikan sebagai kekosongan yang bernuansa pengendalian diri yang sempurna dan kesadaran sejati akan diri pribadi yang berkaitan dengan ke-Tuhan-an. Karena itulah suwung juga dapat dimaknai sebagai suatu kondisi dimana seseorang secara mental dan spiritual merasa keluar dari dirinya sendiri dan akhirnya merasa hilang sirna alias tiada. Ini bukanlah sebatas pemahaman yang ada di otaknya saja, tetapi benar-benar ia rasakan dengan segenap hati sanubarinya. Bahkan pada tahap selanjutnya bisa ia rasakan dan lihat langsung dengan mata ketiganya.
Untuk itu, suwung adalah kenyataan mutlak yang tidak bisa lagi dijangkau oleh panca indera. Hanya dapat dirasakan oleh batin yang bersih dan tentunya dengan melalui latihan yang sungguh-sungguh. Sebab, kondisi suwung itu berbeda dengan hening cipta dalam ber-dhyana (meditasi). Ibarat sekolah, maka dhyana (meditasi) itu masih di tingkat SMA, sementara suwung telah berada di level Universitas. Tingkatannya pun ada beberapa jenis, yaitu S1, S2, dan S3, bahkan Doktor dan Profesor.
“Intinya, suwung itu adalah kondisi pribadi yang telah memiliki kesadaran penuh akan hilangnya ke-aku-an diri. Artinya, ia merasa telah sirna lantaran sudah memahami bahwa dirinya itu memanglah tiada. Tiada dalam wujud materi, juga dalam wujud non materi. Ia pun telah bisa meraih ke-transcendence-nan yang sesungguhnya dengan tidak lagi merasa transcendence.
Pun dapat dimaknai sebagai perwujudan dari dualisme yang berubah menjadi ke bentuk tunggal (kemanunggalan). Artinya, tak ada lagi aku dan kamu, dia dan saya, serta ada dan tiada. Karena semuanya telah melebur dalam kesejatian YANG ESA”
Makanya tak mengherankan jika kondisi suwung ini oleh kalangan sufisme Jawa dianggap sebagai tahapan yang tertinggi, yaitu makrifat. Dan orang yang berhasil mencapainya lalu disebut sebagai sosok yang Kaweruh atau Waskit. Disinilah pada akhirnya akan memunculkan kebijaksanaan yang sejati, yang bersifat universal pada diri seseorang.
Lantas mengapa suwung ini menjadi tahapan yang tertinggi ?
Jawabannya terkait dengan falsafah leluhur kita yang berbunyi : “Pengeran iku biso ngawohi kahanan opo wae tan keno kinoyo ngopo” atau yang berarti bahwa Tuhan itu bisa mengubah/menciptakan segalanya tanpa mungkin dapat diperkirakan lagi. Jadi DIA itu adalah yang “Tan keno kinoyo ngopo” atau yang berarti tak bisa lagi dijangkau dan diperkirakan oleh siapapun. Sebab DIRI-NYA memang diluar batas akal pikiran dan imajinasi. Tak ada yang dapat memahami kesejatian-NYA kecuali sedikit, dan itu pun hanya atas izin dan kehendak-NYA pula.
Makanya bisa disimpulkan bahwa bagi seorang makhluk, Tuhan itu bisa dicapai (dipahami) hanya dengan mendekati sifat-sifat-NYA. Nah di antara sifat-NYA itu adalah “Tan keno kinoyo ngopo“, yang akhirnya berujung pada ke-suwung-an diri seseorang. Artinya, untuk dapat mengenali Tuhan yang sejati, maka siapapun itu harus terlebih dulu bisa mencapai keadaan suwung (kekosongan/hilangnya ke-aku-an diri). Dan suwung yang dimaksudkan disini tentunya harus bisa terlepas dari segala keterikatan materi dan keduniawian, bahkan akal dan pikiran. Tidak berarti harus meninggalkan keduanya (materi dan keduniawian, akal dan pikiran) itu, tetapi lebih kepada memahami secara mendalam tentang letak dan hakikat dari keduanya (materi dan keduniawian, akal dan pikiran) itu secara tepat. Ditambah lagi dengan memahami apa makna dari falsafah leluhur kita yang berbunyi: “Sangkan Paraning Dumadi“, atau yang berarti pengetahuan tentang “dari mana Manusia berasal dan kemanakah ia akan kembali”. Dan dalam hal ini tidak terlepas dari hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Artinya, falsafah “Sangkan Paraning Dumadi” itu sendiri bermaksud mengajarkan bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga dalam menjalani kehidupan ini ia pun harus memiliki nilai-nilai luhur ke-Tuhan-an. Dan di antara nilai-nilai luhur ke-Tuhan-an itu adalah bersikap jujur, adil, tanggungjawab, setia, tulus-ikhlas, tepo saliro (tenggang rasa), peduli, sederhana, rendah hati, ramah, penuh cinta, disiplin dan berkomitmen. Dimana hanya dengan memiliki sifat ke-Tuhan-an itulah seseorang akan bisa kembali kepada-NYA dalam keadaan selamat dan diridhoi. Makanya dalam falsafah “Sangkan Paraning Dumadi” ini tersirat makna yang sangat mendalam bahwa kita sebagai makhluk pada hakikatnya akan berpulang ke “rumah sejati” kita.
Dalam upaya agar bisa kembali ke “rumah sejati” tersebut, maka tidak ada pilihan lain bagi seseorang kecuali bisa terlebih dulu mengenal siapakah diri sejatinya sendiri. Inilah kunci yang dapat membuatnya sadar diri dan mengabdi dengan tulus murni hanya kepada YANG ILAHI, Sang Tujuan. Sebab, barangsiapa yang bisa mengenali dirinya sendiri dalam arti yang sesungguhnya niscaya ia baru akan bisa mengenali siapakah Tuhannya. Dan setelah bisa mengenali Tuhannya dengan benar, barulah ia bisa memiliki iman dan taqwa yang sejati.
Ya. Awalnya DIA yang tak terjangkau oleh pikiran dan imajinasi itu menciptakan Hu (hanya sebatas ini yang bisa kami sampaikan disini), dan dari “napas” Hu itu kemudian muncullah Waktu yang merupakan wadah yang maha besar. Sebelum Waktu memiliki isinya, maka tak ada apa-apa kecuali suwung (kekosongan). Hyang Aruta (Tuhan YME) memanglah DIRI yang sejatinya menciptakan Waktu, tapi pada kala itu pada awalnya belum ada apa-apa di dalam Waktu tersebut kecuali suwung (kekosongan). Atas kehendak-NYA, barulah sifat-sifat hidup dari Hyang Aruta (Tuhan YME) sendiri yaitu Hillah (tak berwujud), Nahillah (berwujud-tak berwujud), dan Manuhillah (berwujud) lalu mewujud dalam “getaran” yang terjadi terus menerus. Akibat dari “getaran” itu, maka muncullah lima “elemen” (hanya kata ini yang bisa kami berikan/padu padankan), yaitu:
1. Elemen biru -> muncul dari sifat Hillah (tak berwujud)
2. Elemen hitam -> muncul dari sifat Hillah (tak berwujud)
3. Elemen merah -> muncul dari sifat Nahillah (berwujud-tak berwujud)
4. Elemen kuning -> muncul dari sifat Nahillah (berwujud-tak berwujud)
5. Elemen hijau -> muncul dari sifat Manuhillah (berwujud)
Ke lima “elemen” tersebut juga ikut “bergetar” selama waktu yang ditentukan-NYA, sampai pada akhirnya melahirkan elemen keenam yang berwarna putih. Elemen ini lalu diberi nama Nur (cahaya). Nur inilah inti atau cikal bakal atau bahan dasar dari semua penciptaan, juga segala isi yang berada di dalam Waktu. Dari percikannya, maka hadirlah Syurga, Neraka, Langit, Alam Semesta, Dimensi, Galaksi, planet-planet, bintang-bintang lama dan baru, dan makhluk hidup lainnya. Semuanya dengan kondisi yang beragam, punya ciri khas dan keunikannya sendiri. Dan tentu, semuanya itu tetap dalam pengaturan-NYA yang sempurna.
Demikianlah kehidupan makhluk itu bermula hingga sekarang. Dari waktu ke waktu, semuanya berjalan sesuai dengan kehendak Sang Maha Pencipta. Sadar atau tidak, menerima atau tidak, semuanya akan tetap seperti itu. Sebab DIA adalah Penguasa yang tak bisa dihindari atau dipengaruhi. Serendah atau setinggi apapun pemahaman seorang makhluk, maka tak ada yang bisa menyaingi ilmu dan kebijaksanaan-NYA. DIA-lah Penguasa meskipun tak lagi diakui secara sadar oleh seseorang.
Selanjutnya, setelah para leluhur dulu memahami tentang siapakah Tuhannya dan bagaimana diri mereka berasal (melalui Nur itu), mereka lalu mempelajari tentang siapakah dirinya sendiri. Dan sesuai dengan ilmu yang telah mereka dapatkan, maka manusia itu pastilah diciptakan oleh Hyang Aruta (Tuhan YME) melalui perantara Nur dan mempunyai tiga unsur, yaitu:
1. Wujud jasmani (badan kasar/jasad)
2. Wujud jiwa (badan halus/ruh)
3. Wujud cahaya (suksma atau nur)
Ketiga hal tersebut adalah satu kesatuan di dalam diri manusia dan berasal dari kehendak Hyang Aruta (Tuhan YME) melalui perantara Nur (elemen keenam di atas) yang merupakan cikal bakal atau asal usulnya. Tidak mungkin muncul dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur atau menciptakannya. Semua bisa terjadi hanya karena ada satu kekuatan ADIKODRATI TUNGGAL yang telah menghendaki dan mengaturnya dengan sempurna.
Untuk itu, hanya dengan cara bisa mencapai keadaan suwung-lah kita dapat menemukan Tuhan yang sejati. Sebab keadaan tersebut memiliki makna telah kembalinya diri seseorang kepada asal kehidupan setiap makhluk. Dari situ pulalah akan terbuka jalan untuk sampai kepada-NYA dengan benar dan selamat. Sehingga inilah yang menjadi alasan utama mengapa para leluhur kita dulu sangat akrab dengan apa yang disebut tapa brata. Dan memang itulah cara yang paling jitu untuk bisa sampai pada keadaan suwung. Sebab tapa brata itu berarti tindakan untuk “mematikan” keinginan ragawi agar bisa menemukan titik ketenangan ruhani yang paling inti. Atau dengan kata lain, tapa brata itu adalah sesuatu yang dilakukan untuk bisa meningkatkan kualitas kemanusiaan seseorang ke tingkat yang tertinggi.
Makanya, seorang yang melaksanakan tapa brata akan memperoleh penyucian diri dan pencerahan batin. Tapi sebelumnya harus dilandasi dengan niat yang tulus dan keimanan yang mantap. Dengan begitu, keberadaan Hyang Aruta (Tuhan YME) yang sejati baru akan bisa dirasakan dengan nyata. Dan inilah tujuan sebenarnya dari tapa brata, bukan untuk kekuatan dan tidak pula untuk kesaktian. [Lebih detailnya silahkan baca tulisan : Tapa brata leluhurku]
Catatan :
Secara bahasa, kata “tapa” berarti pengekangan diri, sementara kata “brata” dapat diartikan disiplin (tata cara) tertentu. Sehingga bila disimpulkan dari keduanya, maka arti dari istilah “tapa brata” itu sendiri adalah pengekangan diri dengan disiplin (tata cara) tertentu alias khusus. Inilah inti dan maksud sebenarnya dari kegiatan tapa brata.
Jadi, tapa brata itu adalah suatu upaya untuk meningkatkan daya pemusatan batin ke arah Hyang Aruta (Tuhan YME) untuk tujuan kesempurnaan hidup manusia itu sendiri; jasmani dan rohaninya. Karena di dalam tapa brata, seseorang akan bisa melakukan penjernihan batin yang dimulai dengan mengasah pikiran positif, rasa empati dan emosi yang terkontrol untuk menciptakan ketenangan batin yang sesungguhnya. Sehingga keinginan daging atau hasrat jasmani menjadi berkurang, sementara spirit (ruh) dalam diri seseorang menjadi lebih kuat. Apabila seseorang memiliki spirit (ruh) yang kuat, maka banyak hal yang bisa di lakukan, bahkan yang diluar kebiasaan. Hidupnya juga akan lebih terarah dan bahagia.
Namun begitu, pada mulanya tidak ada yang mengenal apa itu istilah tapa brata. Itu terjadi karena pada masa sebelum munculnya bahasa Sanskerta, orang-orang memang sudah mengenal kegiatan sejenis “tapa brata” tapi dalam istilah yang lain. Setiap bangsa yang ada punya istilahnya sendiri-sendiri di setiap zamannya. Adapun di antara istilah-istilah tapa brata di masa lalu (sebelum adanya bahasa Sanskerta) adalah seperti Ham, Mohal, Gamor, Syalta, Joaz, Dangke, Brintamu, Erruda, Kossin, Neltata, dll. Hampir setiap bangsa punya penamaan sendiri, dan jika bahasanya berbeda, tentu mereka pun memiliki istilah yang berbeda tentang kegiatan ini.
Lalu, mengenai siapakah orang yang pertama kali mengajarkan tapa brata ini ? maka jawabannya adalah Ayahanda Adam AS sendiri sebagai bapaknya umat manusia. Pada masa itu, kegiatan semacam tapa brata ini disebut dengan Samhu dan hanya bertujuan untuk ibadah sekaligus mengenal diri sendiri dan Tuhan YME. Tidak ada urusannya dengan mencari kekuatan dan kesaktian, sebab generasi pertama manusia saat itu sudah sakti dengan sendirinya. Jika mereka ingin meningkatkan kemampuannya, maka ada pelajaran lain yang khusus diberikan oleh Ayahanda Adam AS.
Begitulah Tuhan memberikan kelebihan dan anugerah kepada mereka, yang tak diberikan lagi kepada generasi setelahnya. Bahkan pada masa itu, ritual ibadah yang diajarkan memang seperti sedang ber-tapa brata dengan sikap duduk bersila pada waktu subuh dan magrib. Dalam ibadah itu, seseorang dituntut untuk terus bersyukur, berserah diri kepada Tuhan, merenungi keagungan-NYA dan menggali lebih dalam tentang siapakah dirinya sendiri. Hal semacam itu terus di lakukan minimal dua kali sehari, sampai batas waktu seseorang harus meninggalkan dunia fana ini (wafat atau moksa).
Ritual ibadah seperti di atas terus berlangsung selama miliaran tahun. Selama itu, umat manusia tetap melaksanakan Samhu sesuai dengan pakem (aturan baku) yang diberikan oleh Ayahanda Adam AS. Dan barulah sejak di pertengahan periode zaman pertama (Purwa Duksina-Ra) itu mulai berubah karena manusia mulai semakin banyak kehilangan kesaktian dan kemampuannya. Mereka baru bisa membangkitkan setiap kekuatan dan kesaktian mereka lagi setelah melakukan latihan khusus, tidak bisa dengan muncul sendiri. Pada saat itulah, tujuan dari Samhu atau tapa brata mulai bertambah. Tidak hanya untuk ibadah dan mengenal diri sendiri dan Tuhannya, tetapi sekaligus untuk membangkitkan kemampaun diri yang tersembunyi.
Adapun sosok yang mengajarkannya pun adalah keturunan utama (yang terbaik) dari Ayahanda Adam AS, yang kemudian dikenal dengan istilah para Nabi dan Rosul. Mereka mendapatkan wahyu dari Tuhan untuk mengajarkan kaumnya tentang beberapa hal yang terkait dengan usaha untuk meningkatkan kemampuan dirinya – kita sekarang menyebutnya kesaktian. Di masa berikutnya, tugas pengajaran itu dilanjutkan oleh para bijak bestari (Begawan, Maharesi, Resi, Wali dan Syekh). Begitulah model dan karakter kehidupan di masa itu. Tentu berbeda sekali dengan sekarang.
Hal di atas berlangsung selama miliaran tahun dan berlanjut dari kaum ke kaum yang ada di masanya. Sampai pada akhirnya dunia memasuki masa transisi zaman dengan diturunkannya azab berupa bencana banjir bah yang menenggelamkan hampir semua daratan di Bumi saat itu. Setelah bencana besar itu berakhir, maka sebagai utusan Tuhan dan setelah kehidupan manusia mulai tertata kembali, Nabi Nuh AS lalu mengajarkan tentang tapa brata yang pada saat itu disebut dengan Ham. Dan sebagaimana leluhurnya dulu, yaitu Ayahanda Adam AS, maka Ham disini tetap berdasarkan pada tujuan utama yaitu untuk terus bersyukur, berserah diri kepada Tuhan, merenungi keagungan-NYA dan menggali lebih dalam tentang siapakah dirinya sendiri.
Hanya saja, berdasarkan perintah Tuhan pula, pada masa itu Ham ini akhirnya juga berguna untuk meningkatkan kekuatan, kemampuan dan kesaktian diri. Beliau lalu diperintahkan untuk menjabarkan dan mengajarkan ilmu khusus untuk meningkatkan kemampuan diri manusia dengan jalan ber-tapa brata. Jadi, bisa dikatakan sejak masa inilah tapa brata yang dikenali sampai sekarang bermula. Apapun bentuk dan jenis tapa brata yang ada di masa sekarang, semuanya berpangkal dari apa yang pernah diajarkan oleh Nabi Nuh AS dulu.
Nah, untuk bisa memahami apa itu tapa brata yang sebenarnya, maka seseorang harus terlebih dulu memahami siapakah dirinya sendiri. Dan untuk lebih bisa memahami dirinya, maka ia juga harus terlebih dulu memahami siapakah Penciptanya. Karena itulah, para leluhur kita dulu, ketika mereka ingin menjalankan tapa brata, mereka sudah mendalami dulu apa itu kehidupan yang sejati, siapakah dirinya sendiri dan siapakah Tuhannya. Hal ini tidak bisa diabaikan agar tapa brata yang ia lakukan benar dan berhasil.
Suwung dalam bahasa sehari-hari orang Jawa maknanya bisa sepi, sunyi, hampa, kosong, singup, dan sejenisnya. Berarti tidak ramai, tidak sedang bersama-sama alias tengah sendiri, mandiri, atau terasing dari komunikasi. Tetapi suwung itu tidak menyertai pikiran yang kosong, sunyi, sepi, atau hampa. Suwung ada di dalam hati dan perasaan, bersemayam. Suwung adalah juga perasaan, adalah pula keadaan. Suwung itu terlihat, suwung itu terasa, tapi tidak tahu terlihat apa, terasa apa? Suwung itu bingung yang membingungkan tetapi sangat bermakna sesuatu dan mendatangkan ketenangan serta solusi. Dan hakikat dari suwung itu pun tidak mengandung “apa-apa”, sebab isinya hanyalah kekosongan itu sendiri.
Untuk itu, suwung adalah kata yang paling tepat untuk mengungkapkan Realitas yang menjadi sumber dari segala keberadaan. Dan para leluhur kita sudah memahami bahwa Tuhan Yang Sejati itu sebagai Suwung, yaitu Kemahasadaran dan Kemahakuasaan dalam bentuk kekosongan yang memangku dan meliputi seluruh keberadaan (suwung hamengku ono). Nah, seorang yang telah mengalami suwung akan hidup dengan cara mengalir untuk mengikuti dorongan dari “Rahsa Sejati, Sejati ning Rahsa” yang terlahir darinya, terbebas dari pamrih dan obsesi yang merupakan hasil (produk) dari pikiran. Sebab dengan menyelami dan menghayati suwung akan membantunya untuk :
1. Membebaskan diri dari berbagai ilusi dunia yang membuat hidupnya menjadi penuh tekanan.
2. Menyadari keagungan diri sendiri dengan segenap potensi yang ada untuk dapat merasakan kebahagiaan.
3. Mengubah diri (transformasi) pada tataran energi murni untuk bisa hidup yang berkelimpahan.
4. Mampu merepresentasikan sikap mental yang memastikan sirnanya penderitaan.
6. Dapat membawa diri agar bisa meraih permata-permata kehidupan.
6. Berhasil mencapai pengendalian dan kesadaran diri yang sempurna.
7. Bisa menemukan hakikat dari ke-Tuhan-an yang sejati.
Ya. Para leluhur kita pun sangat percaya bahwa ada satu kekuatan ADIKODARTI TUNGGAL yang tidak hanya menjadi pusat dari segala kehidupan, tetapi juga yang menciptakan kehidupan itu sendiri. Dan sebelum semuanya terjadi, maka DIA-lah yang pertama kali ada, bahkan DIA itu adalah yang tanpa awal dan akhir, tak ada duanya dan tak ada pula yang sebanding dengan DIRI-NYA. Inilah kenapa kemudian DIA itu lalu disebut sebagai YANG MAHA ESA dan BERKUASA. Dan sebenarnya ada begitu banyak istilah yang pernah diberikan untuk DIA Yang Maha Agung itu, untuk menyebutkan hakekat DIRI-NYA, tapi disini kami hanya menggunakan salah satunya saja, yaitu Hyang Aruta (Tuhan YME).
Dan hanya dengan bisa mencapai keadaan suwung (kekosongan) sajalah kita sebagai makhluk dapat kembali memahami tentang kesejatian-NYA. Satu hal yang sangat menakjubkan sekaligus tak dapat lagi dijelaskan dengan kata-kata dan istilah. Hanya bisa dirasakan, dipahami, dan dimengerti oleh diri pribadi yang benar-benar telah mencapainya.
Berserah diri :
"Wahai saudaraku. Jika dirimu telah letih dalam usaha dan berdoa sementara keinginan tak juga kesampaian, maka berserah dirilah. Tetaplah ikhlas dan selalu tundukkan hati dan pikiranmu kepada Allah SWT. Yakinlah bahwa Dia selalu tahu apa yang terbaik untukmu. Dan percayalah, bahwa dibalik setiap kesulitan itu akan datang kemudahan.
Catatan akhir:
1. Bukalah cakrawala hati dan pikiran seluas mungkin, karena apa yang dijelaskan dalam tulisan ini mungkin diluar mainstream Anda selama ini.
2. Bacalah artikel ini dengan seksama, pelan-pelan, dan terutut satu persatu hingga akhir. Jangan melompat-lompat, sebab akan merusak hikmah yang terjadung di dalamnya.
3. Tetaplah bersikap eling lan waspodo dan persiapkan diri lahir batin! Karena zaman ketujuh ini (Rupanta-Ra) akan berganti dan ada masa pemurnian total dalam transisi menuju zaman kedelapan nanti (Hasmurata-Ra).
Sumber referensi :
- Jenis dan Tingkatan MeditasiJuni 7, 2021dalam "Buku_ku"
- Mistikus KebenaranOktober 17, 2021dalam "Buku_ku"
- Sejarah dan Asal usul LombokDesember 29, 2010dalam "Tulisan_ku"
Artikel Kanti Suci Project




