SILSILAH PARA WALI NUSANTARA
Wali Songo adalah sembilan tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Mereka memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Jawa.
Nama-nama Wali Songo adalah:
Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati.
Kata "Wali" berarti pembela, teman dekat, dan pemimpin. Sedangkan kata "Songo" (Jawa) berarti sembilan.
Strategi dakwah Wali Songo bervariasi, seperti melalui pendidikan, tradisi, dan seni. Mereka berhasil menarik masyarakat Jawa untuk memeluk agama Islam.
Beberapa contoh dakwah Wali Songo :
- Sunan Gresik bermukim di Gresik untuk menyiarkan ajaran Islam.
- Sunan Ampel mendirikan pesantren Ampel Denta, dekat Surabaya.
- Sunan Bonang berdakwah melalui kesenian, seperti lagu Wijil atau Tombo Ati.
- Sunan Drajat menggunakan kegiatan sosial, seperti menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang sakit.
- Sunan Kalijaga berdakwah dengan cara memainkan wayang.
- Sunan Kudus merancang Masjid Menara Kudus dengan memadukan unsur arsitektur Islam dan Hindu.
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Tulisan ini kami terjemahkan dan kami intisarikan dari kitab kecil yang berjudul Tarich al-Auliya susunannya K.H. Bisyri Musthofa Rembang.
Untuk mengawali silsilah para wali di nusantara, maka tidak terlepas dari ke-empat tokoh besar, yaitu :
1). Sayyid Jamaluddin Husain as-Samarqandiy
2). Raden Arya Galuh Pajajaran
3). Raja Kuntara Cempa Kamboja
4). Prabu Brawijaya V Raja Majapahit
A. Silsilah dari Asmaraqondiy
Sayyid Jamaluddin Husain atau Maulana Muhammad Jumadil Kubro atau Ahmad Syah as-Samarqandiy adalah putra Abdulloh Khon, putra Amir Abdul Malik, putra Sayyid Alwi,, putra Sayyid Ali, putra Sayyid Muhammad, putra Sayyid Alwi, putra Sayyid Muhammad, putra Sayyid Alwi, putra Sayyid Abdulloh, putra Sayyid Ahmad al-Muhajir al-Faqih al-Muqoddam, putra Sayyid Isa al-Bashriy, putra Sayyid Muhammad ar-Rumiy, putra Sayyid Ali al-’Aridhiy, putra Sayyid Ja’far as-Shodiq, putra Sayyid Muhammad al-Baqir, putra Sayyid Ali Zainul Abidin, putra Sayyid Husain, Putra Kholifah Ali bin Abu Tahlib dengan Sayyidah Fathimah binti Nabi Muhammad SAW.
Dua orang putra dari Sayyid Jamaluddin Husain yang berdakwah di nusantara adalah Maulana Ishaq dan Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy.
B. Silsilah dari Jawa
Raden Arya Galuh putra Arya Randu Kuning, putra Arya Metahun, putra Arya Banjaran, putra Mundi Sari, putra Raden Laliyan (Pajajaran), putra Rawis Renggo (Jenggala), putra Tebu, putra Lembu Amiluhur (Jenggala), putra Resi Kentuyu, putra Gandihawan, putra Serima Punggung, putra Sila Jalu, putra Panca Deriya, putra Citra Suma, putra Suma Wicetra, putra Gendra Yana, putra Jaya Amijaya, putra Jaya Darma, putra Hudayana, putra Parikesit, putra Angka Wijaya, putra Arjuna, putra Pandu, putra Habi Washa, putra Pula Sara, putra Raden Sahri, putra Raden Sekutrem, putra Raden Sutopo, putra Raden Mana Wasa, putra Raden Mari Gena, putra Sang Hyang Trusthili, putra Seri Kati, putra Wisnu, putra Sang Hyang Guru hingga ke Nabi Adam AS.
Raden Arya Galuh memiliki dua orang anak, yaitu : Arya Penanggungan dan Ronggolawe.
Arya Penanggungan memiliki tiga orang anak, yaitu :
1). Arya Baribin,
2). Arya Teja (Adipati Tuban, dan
3). Ki Ageng Tarub.
Arya Baribin memiliki dua orang anak, yaitu :
1. Raden Ayu Maduretno, dan
2. Raden Jakandar (Sunan Bangkalan Madura).
Arya Teja (Adipati Tuban) memiliki dua orang anak, yaitu :
1. Dewi Candrawati (Diperistri oleh Sunan Ampel), dan
2. Raden Sahur Tumenggung Wilatikta Tuban (Ayahanda Raden Syahid Sunan Kalijaga).
Ki Ageng Tarub memiliki tiga orang anak, yaitu :
1). Dewi Nawang Sih,
2). Dewi Nawang Sasi, dan
3). Dewi Nawang Arum.
Dewi Nawang Sasi menikah dengan Raden Jakandar (Sunan Bangkalan) putra Arya Baribin memiliki dua orang anak, yaitu :
1). Dewi Hisah (Istrinya Sayyid Abdul Qodir Sunan Gunung Jati), dan
2). Dewi Hirah (Istrinya Raden Mahdum Ibrohim Sunan Bonang).
Dewi Nawang Arum menikah dengan Raden Sahur Tumenggung Wilatikta putra Arya Teja memiliki dua orang anak, yaitu :
1. Raden Syahid (Sunan Kalijaga), dan
2. Dewi Sari (Istrinya Sunan Ngudung)
C. Silsilah dari Cempa
Raja Kuntara Cempa Kamboja memilki tiga orang anak, yaitu :
1). Dwarawati Murdaningrum (diperistri oleh Prabu Kartawijaya atau Prabu Brawijaya Majapahit),
2). Dewi Candra Wulan (diperistri oleh Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy), dan
3). Raden Cingkara.
D. Keturunan Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy
Maulana Malik Ibrohim dengan Dewi Candra Wulan putrinya Raja Cingkara memiliki tiga orang anak, yaitu :
1). Raja Pendita,
2). Raden Rahmat (Sunan Ampel), dan
3). Siti Zainab.
Raja Pendita Menikah dengan Raden Ayu Madu Retno putrinya Arya Baribin memiliki tiga orang anak, yaitu :
1). Haji Utsman (Sunan Manyuran Mandalika),
2). Utsman Haji (Sunan Ngudung), dan
3). Nyai Gede Tanda.
Raden Rahmat (Sunan Ampel) memiliki dua orng istri, yaitu :
1. Dewi Candrawti putinya Arya Teja Adipati Tuban, dan
2. Dewi Karimah putrinya Ki Bang Kuning.
Dengan Dewi Candrawati beliau memiliki lima orang anak, yaitu :
1). Siti Syari’ah (Menikah dengan Haji Utsman Sunan Manyuran),
2). Siti Muthmainnah (Menikah dengan Sayyid Muhsin Sunan Wilis),
3). Siti Hafshah (Manikah dengan Sayyid Ahmad al-Yamaniy),
4). Raden Mahdum Ibrohim (Sunan Bonang), dan
5). Raden Qosim (Sunan Derajat Sidayu).
Dan dengan Dewi Karimah beliau memiliki dua putri, yaitu :
1). Dewi Murtasiyah (Menikah dengan Sunan Giri), dan
2). Dewi Murtasimah (Menikah dengan Raden Fatah Sultan Demak).
E. Keturunan Maulana Ishaq bin Sayyid Jamaluddin Husain
Maulana Ishaq berdakwah di daerah Pasai memiliki dua orang anak, yaitu :
1. Sayyid Abdul Qodir (Sunan Gunung Jati Cirebon) dan
2. Dewi Saroh (diperistri oleh Sunan Kalijaga).
Kemudian Maulana Ishaq berdakwah ke Blambangan Banyuwangi menikah dengan Dewi Sekar Dadu putrinya Minak Sembuyu Adipati Blambangan memiliki seorang putra yang bernama Raden Paku atau Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri).
F. Silsilah Perpaduan Antara Asmaraqandiy dengan Jawa dan Cempa
1). Sunan Ngudung (Utsman Haji putra Raja Pendita putra Maulana Malik Ibrohim Asmaraqandiy) menikah dengan Dewi Sari putrinya Raden Sahur Tumenggung Wilatikta) memiliki dua orang anak, yaitu :
1. Dewi Sujinah (Istrinya Sunan Muria), dan
2. Raden Amir Haji (Sunan Kudus).
2). Sunan Bonang (Raden Mahdum Ibrohim) putra Sunan Ampel menikah dengan Dewi Hirah putrinya Raden Jakandar memiliki satu orang putri bernama Dewi Ruhil yang menikah dengan Amir Haji Sunan Kudus.
3). Sunan Gunung Jati (Sayyid Abdul Qodir putra Maulana Ishaq) menikah dengan Dewi Hisah putrinya Raden Jakandar memiliki dua orang anak, yaitu :
1. Sayyid Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar Jepara), dan
2. Dewi Shufiyah (Istrinya Raden Qosim Sunan Derajat)
4). Sunan Kalijaga (Raden Syahid) putra Raden Sahur (Tumenggung Wilatikta Tuban dengan Dewi Nawang Arum putrinya Ki Ageng Tarub), Raden Sahur putra Arya Teja (Adipati Tuban), putra Arya Penanggungan, putra Arya Galuh, putra Arya Randu Kuning, putra Arya Metahun, putra Arya Banjaran (Sudara Prabu Mundi Wangi Pajajaran dan sekaligus menjadi patih di kerajaannya), putra Mundi Sari (Pajajaran). Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh putrinya Maulana Ishaq memiliki tiga orang anak, yaitu :
1). Raden Sa’id (Sunan Muria),
2). Dewi Ruqoiyah, dan
3). Dewi Shofiyah
G. Silsilah Keturunan Prabu Brawijaya V Raja Majapahit Terakhir
Prabu Brawijaya atau Kartawijaya atau Kertabhumi adalah putra dari Raden Suruh (Adipati Majalengka), putra Prabu Mundi Wangi (Raja Pajajaran), putra Mundi Sari, putra Raden Laliyan (Pajajaran), putra Rawis Renggo (Jenggala), dan untuk seterusnya lihat silsilah Raden Arya Galuh.
Prabu Brawijaya memiliki anak banyak sekali, karena di dalam satu riwayat diceritakan bahwa istrinya berjumlah lebih dari 25 orang. Dan adapun anaknya yang dapat disebutkan, maka beberapa diantaranya adalah :
Dari Istri Permaisuri adalah Raden Arya Damar (Adipati Palembang). Dari Istri Dwarawati Murdaningrum putrinya Raja Kuntara Cempa adalah :
1). Putri Hadiy (Istrinya Adipati Dayaningrat Pengging),
2). Raden Lembu Peteng (Madura), dan
3). Raden Gugur.
Dan dari Istri Putri Cempa yang lain keturunan China putrinya Ma Hong Fu (Kyai Batong) adalah Raden Jin Bun atau Raden Hasan atau Raden Fatah (Sultan Demak Bintara)
Dari Istri Ponorogo adalah :
1. Betara Katung dan
2. Adipati Luwanu.
Dari Istri Bagelain adalah : Raden Jaran Penoleh (Sampang Madura).l
Raden Fatah (Sultan Demak) menikah dengan Dewi Murtasimah putrinya Sunan Ampel memiliki lima orang anak, yaitu :
1). Pangeran Purba
2). Pangeran Trenggana
3). Raden Bagus Sida Kali
4). Raden Kanduruhan
5). Dewi Ratih
Seperti inilah yang telah disebutkan oleh K.H. Bisyri Musthofa Rembang di dalam kitabnya yang berjudul Tarikh al-Auliya. Dan adapun menurut naskah babad dan serat disebutkan bahwa Raden Fatah memiliki tiga orang istri, yaitu :
1). Putri Sunan Ampel menjadi permaisuri utama, memiliki dua putra, yaitu :
1. Pangeran Surya (Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor), dan
2. Pangeran Trenggana.
2). Putri Raden Sanga, memiliki satu putra, yaitu Raden Kanduruwan.
3). Putri Bupati Jipang Panolan, memiliki dua anak, yaitu :
1. Pangeran Kikin (Pangeran Sekar Seda Lepen), dan
2. Ratu Mas Nyawa.
Wali Sanga (Pendakwah Islam di Nusantara pada Abad 15 dan 16)
Walisongo (lebih dikenal sebagai Wali songo, bahasa Jawa: ꦮê¦ꦶꦱꦔ; WALI SONGO, "Sembilan Wali" merupakan tokoh Islam yang dihormati di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, karena peran historis mereka dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.
Walisongo merupakan para pendakwah Islam yang hadir di Pulau Jawa sejak akhir abad 15 M hingga abad 16 M. Ada cukup banyak literatur yang membahas WALISONGO. Di antara paling populer adalah Babad Tanah Jawa, yang ditulis era Pakubuwana (abad 19 M), dan literatur yang jauh lebih tua, Kitab WaliSana yang bersumber pada literatur Kedatuan Giri(abad 16 M). Sementara pendekatan arkeologis dan filologis membuktikan Islam sudah datang di Pulau Jawa sejak abad 11 M, jauh sebelum era Walisongo.
Karya sastra Babad Tanah Jawa menyebut bahwa anggota Walisongo yang berdakwah di Pulau Jawa berjumlah sebanyak sembilan orang. Sebab, Songo berarti sembilan. Di antara anggota Walisongo yang berdakwah di Pulau Jawa pada abad 15 - 16 M versi Babad adalah;
(1) Sunan Ampel,
(2) Sunan Bonang
(3) Sunan Giri,
(4) Sunan Kudus
(5) Sunan Kalijaga, (6) Sunan Drajat ,
(7) Sunan Udung,
(8) Sunan Muria, dan
(9) Syaikh Maulana Maghribi.
Secara literatur, istilah Walisongo muncul pertamakali pada Babad Tanah Jawa. Pakem standar yang menyebut jumlah Wali ada sembilan orang, sumber paling tua adalah karya Babad Tanah Jawa di era Pakubuwana tersebut. Sebelum era sastra Babad Tanah Jawa (abad 19 M), tak ditemui istilah Walisongo, yang ada adalah Walisana.
Sementara literatur-literatur yang menginduk pada Babad Tanah Jawa seperti :
- Babad Kartasura,
- Serat Ronggowarsito,
- Serat Centhini,
- Babad Bandawasa,
- Babad Pathi,
- Babad Ajisoko,
- Babad Brawijaya,
- Babad Trunojoyo,
- Babad Mataram dan Babad-babad lainnya, menginformasikan perihal tak jauh berbeda dari sumber utamanya, yaitu Babad Tanah Jawa (abad 19 M).
Jumlah Wali sebanyak sembilan orang yang dipakemkan Babad Tanah Jawa, berdampak negatif pada terjadinya kesalahan logika periodisasi. Misalnya, Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik digolongkan kedalam generasi Sunan Ampel. Padahal, Syekh Maulana Malik Ibrahim sudah wafat, bahkan ketika Sunan Ampel belum memulai gerakan dakwah (Sunyoto, 2012).
Banyak yang menyamakan tokoh Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik dengan Maulana Ibrahim Asmoroqondi Tuban (ayah Sunan Ampel). Padahal, keduanya dua tokoh yang berbeda. Keduanya juga hidup di zaman yang berbeda. Syekh Maulana Malik Ibrahim Gresik jauh lebih dulu datang ke Pulau Jawa, sebelum Maulana Ibrahim Asmoroqondi (ayah Sunan Ampel).
Ada cukup banyak Wali yang tidak terakomodir Babad Tanah Jawa. Namun memiliki jejak literatur dan arkeologis jelas. Seperti Fatimah binti Maimun (abad 11 M), Syekh Syamsuddin al Wasil (abad 12 M), Sultan Malik As-Shalih (abad 13 M), Syekh Maulana Malik Ibrahim (akhir abad 13 M), Syekh Jumadil Kubro (abad 14 M), Syekh Maulana Ibrahim Asmoroqondi (akhir abad 14 M), Syekh Siti Jenar (abad 15 M), hingga Wali Tembayat (abad 16 M).
Dalam Kitab Walisana, literatur ilmiah yang jauh lebih tua dan lebih dipercaya dibanding sastra Babad Tanah Jawa, memberi informasi berbeda. Literatur yang ditulis pada awal abad 16 M tersebut tidak menyebut Walisongo, tapi Walisana. "Sana" merupakan bahasa Jawa kuno yang berarti tempat atau daerah. Walisana berarti Wali di suatu daerah.
Berdasar Kitab Walisana, jumlah Wali pada awal abad 16 M sebanyak delapan orang, yaitu :
(1) Sunan Ampel di Surabaya
(2), Sunan Gunung Jati di Cirebon,
(3) Sunan Ngudung di Jipang,
(4) Sunan Giri di Gresik,
(5) Sunan Bonang di Tuban,
(6) Sunan Alim di Majagung,
(7) Sunan Mahmud di Drajat, dan
(8) Sunan Kali.
Istilah Walisana berkonsep Wali Wolu Siji Tinari. Setiap zaman dan era selalu memunculkan tokoh-tokoh yang berbeda, berbasis titik kewilayahan dakwahnya. Walisana tidak berbasis pakem nama seperti Babad Tanah Jawa, tapi berbasis kewilayahan dakwah. Dalam konsep Walisana, memungkinkan cukup banyak nama Wali di tiap kewilayahan dan zaman.
Arti Wali Sanga
Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali abad 15 - 16 M.
Ada sejumlah pendapat tentang makna Walisongo. Pendapat pertama mengatakan, Walisongo berarti Wali Sembilan. Sebab, Songo memiliki arti sembilan. Sumber paling tua yang mengutarakan argumentasi ini adalah sastra Babad Tanah Jawa yang ditulis pada abad 18 M oleh Pakubuwana.
Sementara pendapat kedua adalah Walisana. Sana di sini bukan Bahasa Arab "tsana", tapi Bahasa Jawa Kuno "Sana", yang memiliki makna tempat atau daerah atau wilayah. Walisana berarti Wali di suatu daerah. Walisana merupakan konsep "Wali Wolu Siji Tinari" yang merupakan konsep kuno dari Jawa. Argumen ini bersumber dari Kitab Walisana yang ditulis abad 16 M.
Sementara Konsep Walisanga atau Wali Sembilan dalam kosmologi Islam, sumber utamanya dapat dilacak pada konsep kewalian yang secara umum oleh kalangan penganut sufisme diyakini meliputi sembilan tingkat kewalian. Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Araby atau Ibnu Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah memaparkan tentang sembilan tingkat kewalian dengan tugas masing-masing sesuai kewilayahan. Kesembilan tingkat kewalian itu :
1) Wali Aqthab atau Wali Quthub, yaitu pemimpin dan penguasa para wali di seluruh alam semesta.
2) Wali Aimmah, yaitu pembantu Wali Aqthab dan menggantikan kedudukannya jika wafat.
3) Wali Autad, yaitu wali penjaga empat penjuru mata angin.
4) Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim.
5) Wali Nuqaba, yaitu wali penjaga hukum syariat.
6) Wali Nujaba, yang setiap masa berjumlah delapan orang.
7) Wali Hawariyyun, yaitu wali pembela kebenaran agama, baik pembelaan dalam bentuk argumentasi maupun senjata.
8) Wali Rajabiyyun, yaitu wali yang karomahnya muncul setiap bulan Rajab.
9) Wali Khatam, yaitu wali yang menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan umat Islam.
Nama para Wali Sanga
Tokoh pendahulu Wali Sanga
- Syekh Jumadil Qubro
- Syaikh Syamsuddin Al-wasil
- Khaliqul Idrus
- Syekh Nurjati
- Qurotul Ain
- Bentong
- Ali Murtadho
- Muhammad Nurul Yaqin
- Fatimah binti Maimun
Asal
Sejumlah argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al Baqir, dalam buku Thariqah Menuju Kebahagiaan menyebut dan mendukung bahwa Wali Sanga adalah keturunan Hadramaut (Yaman). Namun, pendapat ini dirasa lemah karena mayoritas literatur ilmiah Delpher menyebut, orang-orang Hadramaut baru datang ke Pulau Jawa atas lisensi Belanda pada abad 19 M. Tepatnya periode Pasca Perang Jawa (1825-1830 M). Orang Hadramaut yang datang ke Pulau Jawa, bergelar Habib dan menampakkan "marga" di belakang namanya. Tradisi marga di belakang nama, menurut Agus Sunyoto (2012), hanya ada di Hadramaut, dan tidak ditemui pada tradisi para Sayyid yang berasal dari Hijaz maupun Maroko.
Pendapat bahwa Walisongo keturunan Sadah Maroko jauh lebih kuat. Baik secara literatur maupun tradisi. Mayoritas catatan dari abad 18 hingga 19 M, baik berupa naskah Babad ataupun Manuskrip, tak ada satupun yang menyebut kata Habib. Mayoritas menyebut kata Sayyid atau Makhdum. Penyebutan namanya pun tanpa disertai "marga" seperti umumnya tradisi Hadramaut.
Agus Sunyoto menyebut, pada abad 14 M, para pemuka Islam dari Iran, Maroko, dan Uzbekistan, yang leluhurnya berasal dari Hijaz, sudah berdatangan ke Nusantara dalam rangka persebaran Islam. Mereka keluarga Hasan dan Husain. Ada yang berasal dari jalur Al Kazimi Al Husaini.
Teori keturunan Cina (Hui).
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Wali Sanga adalah keturunan Tionghoa Muslim.bPendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Wali Sanga adalah keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Wali Sanga berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C van den Berg. Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia yaitu Martin van Bruinessen, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.
Teori keturunan Dinasti Ayubiyah/Fatimiyah
Teori lain adalah dinasti Ayubiyah/Fatimiyah. Teori ini khususnya bagi Walisongo di Jawa Timur. Hal ini diperkuat dengan keberadaan makam Fatimah binti Maimun yang kemungkinan merupakan nama seorang bangsawan dari dinasti Fatimiyah.
Teori Mekah
Teori Mekah adalah teori yang dikemukakan oleh Buya Hamka. Buya Hamka dengan sangat detail menyebut Islam datang dari Hijaz. Dari negeri-negeri Islam seperti Maroko dan Uzbekistan yang leluhurnya berasal dari Hijaz (Makkah). Teori ini sekaligus mengkritisi teori Hadramaut. Teori Makkah memperkuat bahwa para Wali Songo berasal dari Iran, Maroko, Uzbekistan yang leluhurnya berasal dari Hijaz. Bahkan, Buya Hamka tak menyebut Yaman sebagai bagian dari asal-usul kedatangan Islam di Jawa.
Sumber tertulis tentang Wali Sanga
Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Wali Sanga, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Wali Sanga karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan di antaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Artikel Kanti Suci Project