Untukmu Agamamu, dan Untukkulah, Agamaku
(Tafsir Surah Al-Kafirun)
By, Rr. Rahma Kanthi Suci
Surat Al-Kafirun : 109
(109) : سُورَة
الْكَافِرُون
Qul Yā 'Ayyuhā Al-Kāfirūna
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir!" (QS.
109:1) قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ
Lā 'A`budu Mā Ta`budūna
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah (QS. 109:2)
لاَ أَعْبُدُ
مَا تَعْبُدُونَ
Wa Lā 'Antum `Ābidūna Mā 'A`budu
Dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah (QS. 109:3)
وَلاَ أَنْتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
Wa Lā 'Anā `Ābidun Mā `Abadttum
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah (QS. 109:4) وَلاَ أَنَا عَابِد
ٌ مَا عَبَدتُّمْ
Wa Lā 'Antum `Ābidūna Mā 'A`budu
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Ilah yang
aku sembah (QS. 109:5) وَلاَ أَنْتُمْ عَابِدُونَ
مَا أَعْبُدُ
Lakum Dīnukum Wa Liya Dīni
Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku (QS. 109:6) لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Inilah di antara prinsip
akidah Islam yang mesti dipegang dan dianut setiap muslim. Namun sebagian orang
masih tidak memahami ayat ini. Jika seorang muslim memahami ayat ini dengan
benar, tentu ia akan menentang keras bentuk loyal pada orang kafir dan berlepas
diri dari mereka. Bentuk loyal pada orang kafir yang terlarang di antaranya
dengan menghadiri perayaan mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ
يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ
مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾
وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا
عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا أَنتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, (1) Aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. (2) Dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku
sembah. (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (4)
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah. (5)
Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (6)” (QS. Al Kafirun: 1-6)
Makna Ayat
Ayat tersebut berisi seruan pada orang-orang musyrik
secara terang-terangan bahwa kaum muslimin berlepas diri dari bentuk ibadah kepada
selain Allah yang mereka lakukan secara lahir dan batin. Surat tersebut berisi
seruan bahwa orang musyrik tidak menyembah Allah dengan ikhlas dalam beribadah,
yaitu mereka tidak beribadah murni hanya untuk Allah. Ibadah yang dilakukan
orang musyrik dengan disertai kesyirikan tidaklah disebut ibadah. Kemudian ayat
yang sama diulang kembali dalam surat tersebut. Yang pertama menunjukkan
perbuatan yang dimaksud belum terwujud dan pernyataan kedua menceritakan sifat
yang telah ada (lazim). Lihat faedah tafsir surat Al Kafirun. Di akhir ayat
Allah tutup dengan menyatakan,
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. Ayat ini
semisal firman Allah Ta’ala,
قُلْ
كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya
masing-masing.” (QS. Al Isra’: 84)
أَنْتُمْ
بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا
بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan
akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)
لَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS.
Al Qashshash: 55)
Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum
diinukum wa liya diin’,
“Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan
selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit
melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut.
Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya.
Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama
selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 24: 704)
Dalam Tafsir Al Bahr Al Muhith, Ibnu Hayyan menafsirkan,
“Bagi kalian kesyirikan yang kalian anut, bagiku berpegang dengan ketauhidanku.
Inilah yang dinamakan tidak loyal (berlepas diri dari orang kafir).”
Lakum diinukum wa liya diin juga bisa terdapat dua makna.
Pertama, bagi kalian akidah kekufuran yang kalian anut, bagi kami akidah Islam.
Kedua, karena diin bisa bermakna al jazaa’, yaitu hari pembalasan, maka
artinya: bagi kalian balasan dan bagiku balasan. Demikian dijelaskan oleh Al
Mawardi dan Muhammad Sayid Thonthowi dalam kitab tafsir keduanya.
Prinsip Seorang Muslim
Inilah prinsip yang sudah jelas diajarkan dalam akidah
Islam. Agama ini mengajarkan tidak loyal atau berlepas diri dari orang kafir,
dari peribadatan mereka, dari perayaan mereka dan dari berbagai hal yang
menyangkut agama mereka. Loyal di sini tidak boleh ada, meskipun dengan bapak,
ibu, saudara, kerabat atau teman karib kita. Di antara bentuk loyal pada orang
kafir:
Pertama: Tasyabbuh dengan orang kafir, yaitu menyerupai
pakaian dan adat yang menjadi ciri khas mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia
termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam
Iqtidho’ [hal. 1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no.
1269)
Beda halnya jika hal tersebut sudah tersebar di tengah
kaum muslimin dan tidak ada dalil yang melarang serta tidak ada sangkut paut
dengan agama, maka yang terakhir ini dibolehkan selama tidak lagi jadi ciri
khas orang kafir.
Kedua: Turut serta dalam perayaan non muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ
لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ
مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur,
dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72)
Ibnul Jauziy dalam Zaadul Masiir mengatakan bahwa ada 8
pendapat mengenai makna kalimat “tidak menyaksikan perbuatan zur”, pendapat
yang ada ini tidaklah saling bertentangan karena pendapat-pendapat tersebut
hanya menyampaikan macam-macam perbuatan zur. Di antara pendapat yang ada
mengatakan bahwa “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri
perayaan orang musyrik. Inilah yang dikatakan oleh Ar Robi’ bin Anas. Jadi,
ayat di atas adalah pujian bagi orang yang tidak menghadiri perayaan orang non
muslim. Ini berarti turut dalam perayaan tersebut adalah suatu perbuatan yang
sangat tercela dan termasuk ‘aib (Lihat Iqtidho’ Ash Shiroth Al Mustaqim,
1/483). Oleh karena itu, tidak pantas bagi seorang muslim menghadiri perayaan
natal, mengucapkan selamat natal pada orang nashrani, menghadiri perayaan natal
bersama atau bahkan membantu mereka dalam melaksanakan perayaaan tersebut.
Dalam perayaan Natal, orang Nashrani mengingat-ingat akan
kelahiran Yesus yang dinyatakan sebagai anak Allah. Padahal Allah sendiri
menyatakan Dia tidak memiliki anak dan pernyataan seperti ini adalah suatu
kekufuran. Allah Ta’ala berfirman,
لِلرَّحْوَقَالُوا
اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا (88) لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا
إِدًّا (89) تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ
مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا (90) أَنْ دَعَوْامَنِ
وَلَدًا (91) وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ
أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا (92) إِنْ كُلُّ مَنْ
فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آَتِي الرَّحْمَنِ
عَبْدًا (93)
“Dan mereka berkata: “Rabb Yang Maha Pemurah mempunyai
anak”. (88) Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat
mungkar, (89) hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan
gunung-gunung runtuh, (90) karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah
mempunyai anak. (91) Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil
(mempunyai) anak. (92) Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan
datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba. (93)” (QS. Maryam:
88-93). Secara tidak langsung turut dalam perayaan natal dan memberi ucapan
selamat, berarti melegalkan Allah mempunyai anak.
Sungguh aneh jika seorang muslim masih menghadiri acara
natal, padahal sudah jelas mereka (Nashrani) merayakan kekufuran. Dengan alasan
toleransi apakah kita ingin mengorbankan akidah Islam kita? Dengan alasan
karena tidak enak dengan tetangga, atasan, teman kerja, apakah kita berpaling
dari ayat Allah? Apakah hanya karena alasan mereka telah memberi kita selamat
Idul Fithri, kita jadi rela terjerumus dalam dosa? Simak haramnya seorang
muslim mengucapkan selamat natal dan menghadiri perayaan natal di: Bolehkah
Seorang Muslim Mengucapkan Selamat Natal.
Bentuk loyal pada orang kafir lainnya sudah dibahas di
rumaysho.com: Bentuk loyal pada orang kafir. Sedangkan tafsir surat Al Kafirun
juga sudah diulas: Faedah Tafsir Surat Al Kafirun.
Lakum Dinukum Waliyadin yang merupakan ayat ke-6 dari
surat Al Kafiiruun yang terjemahannya adalah: “Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku”, digunakan oleh fihak tertentu agar umat Islam berhenti menyeru
(orang-orang non-Muslim) untuk masuk dan memeluk Islam. Padahal ayat dalam Al
Qur’an bukan hanya ayat tersebut, kita bisa membaca surah Ali Imran mengenai
kewajiban umat Islam untuk menyeru orang-orang masuk dan memeluk Islam,
terjemahannya adalah sebagai berikut:
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran
Islam), maka katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian
pula) orang-orang yang mengikutiku.” Dan katakanlah kepada orang-orang yang
telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi 190): “Apakah kamu (mau)
masuk Islam”. Jika mereka memeluk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat
petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan
(ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. [Ali ‘Imran
(3): 20]
190). Ummi artinya ialah orang yang tidak tahu tulis
baca. Menurut sebagian ahli tafsir yang dimaksud dengan ummi ialah orang
musyrik Arab yang tidak tahu tulis baca. Menurut sebagian yang lain ialah
orang-orang yang tidak diberi Al Kitab.
Kita juga dapat melihat hadits mengenai
pertanggungjawaban kita dalam melaksanakan perintah Allah yang terdapat dalam
Al Qur’an, salah satunya perintah yang terdapat dalam surah Ali Imran (salah
satu perintah dalam surah Ali Imran adalah menyeru manusia ke dalam Islam).
Terjemahan haditsnya adalah sebagai berikut:
999. dari an-Nawwas Ibn Sam’an ra, dia berkata: “Saya
mendengar Rasulullah saw bersabda: “Akan didatangkan pada hari kiamat al Qur’an
dan orang-orangnya yaitu orang yang mengamalkannya didunia, ia akan didahului
oleh surat al-Baqarah dan Ali Imran, keduanya akan berargumentasi untuk membela
orang yang mengamalkannya.” (HR. Muslim) Riyadhus Shalihin Jilid 2 Page: 212.
Dalam surah Ali Imran terdapat perintah untuk mengajak
orang-orang ke dalam Islam, maka kaum Muslimin diharapkan dapat melaksanakan
perintah tersebut. Nah, setelah berdakwah barualah kita dapat mengatakan: lakum
dinukum waliyadin atau untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. Harus ada
usaha terlebih dahulu untuk mengajak orang lain memeluk Islam, setelah berusaha
baru pasrah.
Surah al-Kafiruun diturunkan ketika Rasulullah diajak
oleh kafir Quraisy untuk beribadah bersama, maksudnya kafir Quraisy memberikan
opsi, jika waktu ibadah orang kafir Quraisy, Rasulullah dan kaum Muslimin harus
ikut beribadah bersama mereka dan ketika Rasulullah dan umat Islam beribadah,
maka kafir Quraisy pun akan ikut beribadah bersama Rasulullah dan kaum
Muslimin. Lalu turunlah surah Al-Kafiruun ini untuk menyatakan penolakan
terhadap ajakan kafir Quraisy tersebut. 010511
Allah dan kepada para nabi tersebut walaupun diantara
keluarganya ada yang membangkang, tidak menurut atau tidak setia.
Ketiga nabi dan rasul tersebut adalah:
1. Nabi Nuh as yang anaknya membangkang tidak mau
mentaati seruanya untuk menyembah hanya kepada Allah, kemudian seruan untuk
taat kepada Allah dan Nabi Allah (Nuh as). Ketidaktaatan anaknya tersebut tidak
menghalangi Nabi Nuh as untuk terus berda'wah kepada kaumnya.
2. Nabi Ibrahim as yang terus dan tetap melakukan da'wah
walaupun ayahnya sendiri tidak mengindahkan seruannya untuk menyembah hanya
kepada Allah, serta seruannya untuk taat kepada Allah dan Nabi Allah (Ibrahim
as).
3. Nabi Muhammad saw yang menyeru pamannya untuk
menyembah hanya kepada Allah, serta menyeru untuk taat kepada Allah dan Nabi
Allah (Muhammad saw) namun seruannya itu ditentang mati-matian oleh pamannya
tersebut. Penentangan yang dilakukan oleh paman nabi tidak menyurutkan semangat
nabi untuk berda'wah kepada umat manusia.
Jadi maksud surah Al-Kafiruun itu bukan berarti kaum
Muslimin melepaskan diri dari kewajiban untuk menyeru atau mengajak umat agama
lain untuk masuk Islam, tapi lebih kepada pelajaran bagi kaum Muslimin untuk
melakukan penolakan terhadap ajakan kaum kafir yang mengajak untuk melakukan
ibadah bersama atau pelajaran bagi kaum Muslimin untuk melakukan penolakan
terhadap ajakan kaum kafir yang mengajak untuk pindah agama.
Sehingga prinsip yang mesti dipegang oleh setiap remaja
muslim. Prinsip ini mengajarkan sikap baro’ (tidak loyal) terhadap non-muslim.
Namun bukan berarti kita tidak berbuat baik pada mereka. Bentuk ihsan (berbuat
baik) berbeda dengan yang kami maksudkan. Tetap kita berbuat baik, namun dalam
hal berkaitan dengan keyakinan dan agama, tidak boleh kita sebagai seorang
muslim ada simpatik dan kasih. Ini prinsip yang mesti terus dijaga.
Allah Ta’ala berfirman mengajarkan prinsip yang mulia
ini,
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. Al
Kafirun: 6)
Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ayat ‘lakum
diinukum wa liya diin’, di mana beliau berkata, “Bagi kalian agama kalian,
jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih
dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas
agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku
selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah
ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 24: 704)
Ibnu Hayyan dalam Tafsir Al Bahr Al Muhith menerangkan,
“Bagi kalian kesyirikan yang kalian anut, bagiku berpegang dengan ketauhidanku.
Inilah yang dinamakan tidak loyal (berlepas diri dari orang kafir).”
Inilah prinsip yang diajarkan oleh Islam pada kita
seorang muslim. Jika Anda sebagai seorang muslim, harus memiliki prinsip ini.
Karena dengan berpegang pada prinsip ini, agamanya akan terjaga. Berbeda halnya
jika ia terlalu loyal atau menunjukkan kasih dan sayang pada non-muslim, ini
akan membuat agamanya lambat laun akan pudar.
Bagaimana bentuk tidak loyal pada non-muslim?
1- Tidak turut serta dalam perayaan non-muslim
Seorang muslim punya prinsip tidak loyal pada non-muslim.
Sedangkan sebagian orang yang berpaham liberal mengindahkan prinsip ini.
Alhasil, sikap toleransi lebih dijunjung tinggi dibanding dengan prinsip ini.
Ini jelas keliru karena toleransi ada batasnya. Bahkan bentuk mendiamkan atau
membiarkan mereka berhari raya, itu pun sudah cukup. Tidak perlu kita sampai
turut serta merayakan perayaan non-muslim, seperti Natal dan Tahun Baru. Tidak
perlu juga kita sampai menghadiri jika mendapatkan undangan, juga termasuk
mengucapkan selamat. Ini semua terlarang. Sifat orang beriman atau sifat
ibadurrahman yang disebutkan dalam surat Al Furqon adalah,
وَالَّذِينَ
لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ
مَرُّوا كِرَامًا
“(Sifat ibadurrahman atau hamba beriman adalah )
orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu
dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah,
mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72). Di
antara tafsiran “tidak menghadiri perbuatan zur” adalah tidak menghadiri
perayaan non-muslim.
2- Tidak tasyabbuh pada non-muslim
Yang dimaksud tasyabbuh adalah tidak meniru non-muslim
dalam hal beragama maupun penampilan yang menjadi ciri khas mereka. Di antara bentuk
tasyabbuh dalam penampilan misalnya adalah berpakaian yang menjadi ciri khas
non-muslim. Ketika ia memakai pakaian seperti itu, maka disangka bukan Islam.
Ini namanya tasyabbuh.
Bentuk tasyabbuh lainnya seperti dalam nama. Sebagian
remaja ada yang diberi nama dengan Ronaldo, Roberto, atau Carlos. Ini semua
nama non-muslim. Dan ketika ada yang bernama seperti itu disangka ia bukan
muslim. Nama seperti ini tidak dibolehkan dan termasuk tasyabbuh yang
terlarang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia
termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam
Iqtidho’ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no.
1269)
Sekali lagi, prinsip “lakum diinukum waliya diin” bukan
berarti mengajarkan kita untuk bersikap keras. Islam tidak mengajarkan
kekerasan. Bahkan Islam masih tetap mengajarkan berbuat baik (ihsan) pada
non-muslim.
Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata,
“Dulu pernah ada seorang anak kecil Yahudi yang mengabdi pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu suatu saat ia sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan,
“Masuklah Islam.” Kemudian anak kecil itu melihat ayahnya yang berada di
sisinya. Lalu ayahnya mengatakan, “Taatilah Abal Qosim (yaitu Rasulullah)
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. Akhirnya anak Yahudi tersebut masuk Islam.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dan berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut dari siksa
neraka.”(HR. Bukhari no. 1356). Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam masih berbuat baik pada non-muslim. Namun tujuan dia mengunjunginya
adalah mengajaknya masuk Islam, dan akhirnya ia pun masuk Islam.
Jadi semoga prinsip baro’ (tidak loyal) pada non-muslim
tetap ada pada diri kita. Dan moga Allah terus meneguhkan iman dan keyakinan
kita pada Islam.