HARKAT DAN MARTABAT
Secara etimologis, kata karamah merupakan bentuk masdar dari kata karuma yang berarti kemuliaan, kehormatan, wibawa, reputasi, dan martabat.
Secara terminologis, karâmah adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah SWT dalam bentuk wibawa, kemuliaan, kehormatan dan martabat yang dikaruniakan kepada setiap insan hamba-Nya.
Posisi manusia jika dilihat dari sudut pandang Islam bahwa manusia sebagai makhluk Allah SWT yang mulia dan bermartabat. Harkat dan Martabat bagi manusia merupakan sumber dari seluruh hak-hak asasi manusia (HAM), sebagai bukti nyata perbedaannya dengan makhluk lainnya.
Martabat dan kemuliaan manusia inilah yang dapat menjinakan kebiasaan sikap kasar dan arogan mereka, sehingga dikehendaki untuk disusunnya norma-norma hukum yang diturunkan Allah SWT melalui Rasul-Nya.
Berdasarkan martabat inilah tegaknya tanggung jawab atau keperibadian manusia secara hukum, yang menjadikannya cakap dan layak untuk menikmati dan menggunakan hak asasi yang dimilikinya, yang diikuti dengan seperangkat kewajiban yang mesti dilakukannya.
Berdasakan penjelasan di atas dapatlah dikatakan bahwa Islam begitu sangat menghormati dan memuliakan status dan eksistensi manusia, baik yang berkait dengan :
Kemuliaan yang bersifat individual (karâmah fardiyyah) yang memelihara kemuliaan lahir dan batin masing-masing individu manusia.
Karâmah ijtima`iyyah atau kemuliaan yang bersifat masyarakat, pada status hubungan sosial antara sesama manusia sebagai makhluk sosial.
Kemuliaan secara politik (karâmah siyâsiyyah), dengan diberikan hak-hak politik kepada manusia untuk memilih atau dipilih bagi posisi-posisi politik, karena ia merupakan khalifah di muka bumi.
Bermartabat berasal dari kata martabat bermakna tingkat harkat kemanusiaan, harga diri. Kata harkat sendiri bermakna derajat, taraf, mutu, atau nilai. Dengan demikian, bermartabat bermakna mempunyai martabat, kehormatan, atau derajat kemanusiaan dan harga diri yang tinggi.
Martabat kemanusiaan adalah nilai fundamental yang menyebabkan manusia memiliki derajat mulia dalam kehidupan. Nilai-nilai fundamental itu harus dijaga dan hidup dalam masyarakat dan tidak boleh berubah walaupun perkembangan budaya terus berubah. Apalagi perubahan sosial akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi telah membawa perubahan dan perkembangan baru dari generasi ke generasi. Saat ini kita sedang berada pada era generasi milenial dan masyarakat society 5.0.
Persamaan harkat adalah persamaan nilai, harga, taraf yang membedakan makhluk yang satu dengan makhluk yang lain. Harkat manusia adalah nilai manusia sebagai makhluk Tuhan yang dibekali cipta, rasa, karsa dan hak-hak serta kewajiban azasi manusia. Martabat adalah tingkatan harkat kemanusiaan dan kedudukan yang terhormat. Sedangkan derajat kemanusiaan adalah tingkatan, martabat dan kedudukan manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kemampuan kodrat, hak dan kewajiban azasi.
Dengan adanya persamaan harkat, derajat dan martabat manusia, setiap orang harus mengakui serta menghormati akan adanya hak-hak, derajat dan martabat manusia. Sikap ini harus ditumbuhkan dan dipelihara dalam hubungan kemanusiaan, baik dalam lingkungan keluarga, lembaga pendidikan maupun di lingkungan pergaulan masyarakat. Manusia dikarunian potensi berpikir, rasa dan cipta, kodrat yang sama sebagai makhluk pribadi (individu) dan sebagai makhluk masyarakat (sosial).
Manusia akan mempunyai arti apabila ia hidup bersama-sama manusia lainnya di dalam masyarakat.
Martabat manusia bukan dilihat hanya dari sisi tertentu saja, melainkan pada seluruh diri manusia. Tubuh dan jiwa manusia adalah dua hal yang membentuk pribadi manusia yang utuh. Keberadaan manusia yang intelektual, sensitif, afektif, dan biologis menyandang gelar Persona manusia adalah seorang pribadi yang utuh. Ia adalah sebuah realitas yang personal. Persona berarti manusia adalah pribadi yang utuh, pesona juga berarti manusia adalah seorang individu yang tidak ada duanya. Persona juga dapat berarti personeita yang berarti seorang pribadi yang mampu untuk merefleksikan dirinya sendiri. Ia mempunyai kemampuan yang memungkinkan ia mampu melihat dirinya sendiri.
Menurut Marciano Vidal, (Marciano Vidal : 1994), manusia adalah realitas yang kreatif, Ia dapat menciptakan sesuatu.
Sebagai pribadi, tidak ada seorang manusia pun yang lebih atau yang kurang dari yang lain. Ia memberi dirinya dari kedalamannya kepada yang lain apa adanya dan menyelami kedalaman orang lain dalam dirinya. Manusia adalah mahkluk yang dalam dirinya mempunyai hubungan dengan orang lain. Keberadaan manusia yang demikian ini mengantarnya menjadi pribadi yang penuh dan utuh. Oleh karena itu nilai martabat seorang manusia atau seorang pribadi dihormati oleh hak asasi. Penghormatan atas hidup seseorang manusia yang masih dalam kandungan juga mendapat dasar dari prinsip etika dasar, yakni prinsip vulnerability. Prinsip ini berarti yang kuat memiliki kewajiban untuk melindungi yang lemah. Perlindungan akan hak dan martabat ini pun sudah dicanangkan oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia.
MARTABAT MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM
“Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam dan membawa mereka di darat dan di laut dan memberikan kepada mereka dari hal-hal yang baik dan lebih mengutamakan mereka dari apa yang Kami ciptakan, dengan preferensi (yang pasti).” (QS. Al-Israa: 70)
Menurut ayat di atas, manusia bermartabat bukan karena keyakinan atau perbuatannya; melainkan, itu sangat intrinsic, merupakan fakta bahwa Anda adalah seorang manusia, Anda segera menjadi pemegang martabat dan integritas manusia. Itu adalah sesuatu yang diberikan Islam kepada Anda dan tidak pernah memisahkan Anda, dan tidak pernah meninggalkan Anda.
Alquran memberi tahu kita bahwa manusia telah secara aktif diciptakan dengan cara yang sangat pribadi oleh Tangan Tuhan yang langsung.
Pakar Alquran, Imam Shihab Ad-Din al-Alusi berpendapat bahwa “semua anggota umat manusia, termasuk yang saleh dan berdosa, diberkahi dengan martabat, kemuliaan dan kehormatan. Konsep-konsep ini tidak eksklusif untuk kelompok atau kelas orang tertentu.”
Ketika orang bertanya kepada Al-Farabi tentang kebaikan yang harus dibagikan oleh manusia, komentar pertama yang dia buat adalah “kita semua harus berbagi status.”
Yang dimaksud dengan status adalah bahwa semua manusia adalah pemegang harkat dan martabat manusia.
Konsep Islam tentang martabat manusia dapat membantu kita merumuskan jawaban atas banyak pertanyaan kehidupan.
PERSAMAAN HARKAT DAN MARTABAT MANUSIA DALAM ISLAM
Allah subhanahu wata’ala menciptakan manusia dari satu asal keluarga yaitu Adam dan Hawa. Karena dari nasab yang sama, maka kita tidak boleh saling membanggakan nasab. Allah menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling berkenalan, bukan untuk saling membanggakan bangsa dan suku. Karena kemuliaan di sisi Allah adalah dari segi ketakwaan. Firman-Nya:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan kami jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenali. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti.” (QS Al-Hujurat : 13)
Ayat ini, Menurut Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah dalam Tafsir Al-Wajiz, diturunkan saat terjadi ejekan terhadap Bilal yang menaiki Ka’bah pada hari penaklukkan Mekah untuk mengumandangkan adzan, Kemudian Nabi SAW memanggil dan menegur mereka (yang mengejek) agar tidak membanggakan nasab.
Hadits berikut senada dengan ayat di atas :
عن جابرُ بنُ عبدِ اللهِ رضِيَ اللهُ عنهما أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ خَطَبَ أصحابَه في حَجَّةِ الْوَداعِ في أوْسَطِ أيَّامِ التَّشْريقِ:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا بِالتَّقْوَى، أَبَلَّغْتُ ؟ قَالُوا: بَلَّغَ رَسُولُ اللَّه
“Dari Jabir bin Abdullah semoga Allah meridhai keduanya, sesungguhnya nabi shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah dihadapan pengunjung haji wada’ diwaktu hari tasyriq: “Wahai umat manusia, ingatlah bahwa Tuhan kalian adalah satu, dan nenek moyang kalian juga satu. Tidak ada kelebihan bangsa Arab atas bangsa non-Arab, juga bangsa non-Arab atas bangsa Arab; bangsa berkulit putih atas bangsa kulit hitam, juga bangsa kulit hitam atas bangsa kulit putih, kecuali karena ketakwaannya. Apakah aku sudah menyampaikan?” Mereka [para sahabat] menjawab, “Rasulullah saw. telah menyampaikan.” (HR Ahmad).
Ini adalah penegasan Nabi saw. saat khutbah Haji Wada’. Dengan tegas Nabi saw. menyatakan bahwa identitas ketakwaan atau Islam itulah satu-satunya identitas yang ada; sementara identitas kesukuan, etnis dan bangsa semuanya telah dilebur dalam identitas keislaman. Karena itu meski suku, etnis dan bangsa tertentu jumlahnya banyak, itu tidak menentukan kedudukannya di dalam Islam. Yang menentukan adalah kualitas ketakwaan atau keislamannya.
Dengan demikian aspek dan faktor kemuliaan karena kesukuan, etnis dan bangsa yang menjadi penyebab lahirnya kelompok mayoritas dan minoritas jelas telah dihapus oleh Islam. Sebabnya, siapapun sama kedudukannya di dalam Islam. Inilah yang juga ditunjukkan oleh Nabi saw. ketika beliau mengangkat Muhammad bin Maslamah untuk menjadi pimpinan sementara di Madinah, selama Nabi saw. tidak berada di tempat saat berperang. Padahal Muhammad bin Maslamah bukan dari suku Quraisy. Begitu juga Abu Bakar yang dari suku Quraisy menjadi Khalifah, menggantikan Nabi saw., meski suku Quraisy di Madinah merupakan suku minoritas karena yang menjadi pertimbangan bukan faktor kesukuan, tetapi keislamannya.
Rasulullah SAW. datang salah satunya juga dalam rangka menghapus dan menenggelamkan superioritas suku dan kaum tertentu. Bagaimana tidak? hal ini terlihat dari fakta historis yang mengungkap bahwa aspek kesukuan pada masa itu masih sangat kental.
Juga islam datang salah satu juga dalam rangka menghapus adanya perbudakan dan penjajahan. Bagaimana tidak ? hal ini terlihat dari fakta ajarannya dan perjalanan sejarah membuktikan, diantara sebagai ciri khas ajaranya yaitu: al-insaniyah wal musawah (kemanusiaan dan persamaan harkat dan martabat). Karomatul insan (memuliakan kehidupan manusia), kemerdekaan yang bertanggung jawab, al-wahdah wal-ukhuwah (persatuan dan persaudaraan).
HARKAT DAN MARTABAT MANUSIA ADALAH ANUGERAH, INI DALIL-DALILNYA
Allah SWT telah mengungkapkan secara langsung dalam beberapa teks ayat berkait dengan harkat dan martabat manusia yang merupakan anugerah Allah SWT, antara lain :
QS. 17 (al-Isrâ): 70, yang artinya :
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Mereka Kami beri rezki dari yang bagus-bagus, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.
QS. 64 (at-Tagâbun):3, yang artinya :
Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar. Rupamu dibentuk oleh-Nya dan dibaguskan-Nya rupamu itu, dan hanya kepada Allah lah tempat kembali(mu).
QS. 95 (at-Tin): 4, yang artinya :
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. selain itu, kelebihan dan kemuliaan manusia ini oleh Allah ditambah lagi dengan dijadikannya sebagai khalifah di muka bumi. Sementara semua makhluk dijadikan oleh Allah tunduk kepada mereka.
Hal ini telah sampaikan oleh Allah SWT, antara lain pada QS. 31 (Luqman):20,
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗ وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِيرٍ
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
Demikian pula pada QS. 45 (al-Jâsiyah):13
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.”