Tiga Tingkatan DALAM Puasa
Puasa secara etimologi berarti ‘shaum’
atau ‘shiyam’ yang artinya mengekang atau menahan diri dari sesuatu. Dalam
pengertian lebih lanjut, puasa berarti menahan diri dari makan, minum,
bercampur dengan istri (jima’) dan lain-lain hal sebagaimana telah diperintahkan
kepada kita untuk menahannya.
Di bulan Ramadhan ini, Allah Swt
memerintahkan umat Muslim untuk berpuasa sebagaimana ditegaskan dalam
firman-Nya QS Al-Baqarah ayat 183:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن
قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Sebagai bulan yang penuh dengan
keberkahan, banyak sekali keutamaan yang didapat ketika menjalani ibadah puasa
di bulan Ramadhan. Salah satunya yakni bahwa orang yang berpuasa di bulan
Ramadhan akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah Swt.
Bulan Ramadan menjadi bulan yang sangat
istimewa karena Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk melakukan ibadah
puasa. dalam menjelaskan keistimewaan
ibadah puasa melalui perbandingan dengan Masjidil Haram di Tanah Haram. Masjid
dan seluruh bumi adalah milik Allah, tapi Ka’bah itu adalah kehormatan Allah.
Begitu pula ibadah puasa, seluruh ibadah memang dilakukan untuk Allah, tapi
puasa adalah ibadah yang istimewa karena khusus untuk Allah.
Alasannya, puasa adalah ibadah yang
verifikasinya hanya dapat dilakukan oleh Allah dan orang yang melaksanakannya.
Berbeda dengan ibadah lain seperti salat, zakat, dan naik haji, yang dapat
dilihat oleh orang lain secara langsung.
Alasan lainnya, puasa adalah bentuk
konkret orang beriman melawan godaan setan. Pada saat puasa, orang akan menahan
diri dari hal-hal yang bersifat syahwat duniawi. Itu merupakan ibadah yang
secara terang-terangan menentang setan, maka dari itu puasa dapat dikatakan
sebagai tameng. Dengan puasa, orang beriman dapat membelenggu setan yang
menggoda melalui syahwat.
Imam Ghazali mengklasifikasikan puasa
menjadi tiga, yaitu puasa awam/umum, puasa khusus, dan puasa khusus dari yang
khusus. Tingkat pertama adalah puasa awam atau umum yang biasa dilakukan oleh
orang yang baru mulai berpuasa. Pada tingkat ini, puasa dilakukan untuk menahan
diri dari memasukkan sesuatu dalam perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan
syahwatnya.
Puasa umum hanya menekankan pada aspek
menahan diri dari hal yang membatalkan puasa secara jasmani, tidak memperhatikan
aspek lainnya seperti batin dan pikiran. Orang yang berada pada tingkat puasa
umum berpotensi melakukan dosa karena hanya berpuasa secara jasmani, tapi tidak
dapat menahan pandangannya, lisannya, dan bagian tubuh lainnya dalam hal-hal
makruh. Misalnya berpuasa tapi mengisi waktu dengan menonton tayangan yang
tidak penting, atau hal-hal lainnya.
Tingkatan selanjutnya adalah puasa khusus
yaitu menahan pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki, serta seluruh
anggota tubuh lainnya dari perbuatan dosa. Pada tingkat ini, orang yang
berpuasa tidak hanya menahan diri untuk memenuhi kebutuhan syahwat, tapi juga
menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan yang dilarang oleh Allah. Orang
yang berada pada tingkat puasa khusus akan menahan lisan, penglihatan,
pendengaran, dan seluruh anggota tubuh pada hal-hal yang tidak penting, tidak
perlu, makruh, dan menjerumuskan pada dosa.
Menurut pemikiran Imam Ghazali, hakikat
puasa adalah media untuk dekat dengan Allah swt. Puasa sebagai media dapat
berfungsi sebagaimana mestinya apabila puasa dilandasi oleh kemauan kuat untuk
semakin dekat dengan Allah dengan cara memerangi keinginan yang sifatnya
lahiriah.
Tingkatan paling tinggi adalah puasa
khusus dari yang khusus yaitu puasa hati dari segala cita-cita yang hina dan
segala pikiran duniawi serta mencegahnya daripada selain Allah secara
keseluruhan. Orang yang berada pada tingkat ini biasanya para nabi, para aulia
Allah, shiddiqin, dan orang-orang yang didekatkan pada Allah.
Pada tingkat ini, puasa tidak hanya
dilakukan untuk menahan diri secara jasmani, tapi juga hati, batin, dan
pikirannya. Orang pada tingkatan ini akan merasa batal berpuasa ketika muncul
dalam hati dan pikirannya tentang duniawi, kecuali hal-hal duniawi yang
mendorongnya untuk lebih dekat dengan Allah.
Tingkatan puasa tersebut menunjukkan
adanya proses orang-orang beriman untuk menjadi lebih baik dalam menjalankan
ibadah puasa yang begitu istimewa. Misalnya seseorang yang baru memulai berada
pada tingkat puasa umum, maka harus terus berusaha agar bisa naik tingkat ke
puasa khusus sehingga dapat terus berusaha berada dekat Allah SWT, sebagaimana
menggunakan fungsi puasa sebagai media mendekatkan seorang hamba dengan Allah
SWT.
Imam AL-GHAZALI di dalam kitab "IHYA
ULUMUDDIN" membagi tiga tingkatan puasa :
إعلم
أن الصوم ثلاث درجات صوم العموم وصوم الخصوص وصوم خصوص الخصوص:
1.
وأما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة كما سبق تفصيله،
2.
وأما صوم الخصوص فهو كف السمع والبصر واللسان واليد والرجل وسائر الجوارح عن الآثام،
3.
وأما صوم خصوص الخصوص فصوم القلب عن الهضم الدنية والأفكار الدنيوية وكفه عما سوى الله
عز وجل بالكلية ويحصل الفطر في هذا الصوم بالفكر فيما سوى الله عز وجل واليوم الآخر
Artinya,
“Ketahuilah bahwa puasa ada tiga tingkatan
: puasa umum, puasa khusus, dan puasa paling khusus.
1. Yang dimaksud puasa umum ialah menahan
perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat.
2. Puasa khusus ialah menahan pendengaran,
lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari smua dosa.
3. Sementara puasa paling khusus adalah
menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan
selain Allah SWT.
Untuk puasa yang ketiga ini (shaumu
khususil khusus) disebut batal bila terlintas dalam hati pikiran selain Allah
SWT dan hari akhir.”
Tiga tingkatan ini disusun berdasarkan
sifat orang yang mengerjakan puasa.
Ada orang puasa hanya sekadar menahan diri
dari makan dan minum, tetapi perbuatan maksiat tetap dilakukannya, Inilah puasa
orang awam.
Pada umumnya, mereka mendefenisikan puasa
sebatas menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara dzahir.
Hal ini berbeda dengan tingkatan kedua, yaitu
puasanya orang-orang shaleh.
Mereka lebih maju dibandingkan orang awam,
sebab mereka paham bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga
menahan diri dari melakukan dosa.
Percuma berpuasa, bila masih terus
melakukan maksiat.
Karenanya, kelompok ini menilai maksiat
menjadi pembatal puasa.
Selanjutnya puasa paling khusus.
Puasa model ini hanya dikerjakan oleh
orang-orang tertentu.
Hanya sedikit orang yang sampai pada tahap
ini. Pasalnya, selain menahan lapar dan haus dan menahan diri untuk tidak
bermaksiat, mereka juga memfokuskan pikirannya untuk selalu mengingat Allah
SWT.
Bahkan, pikiran selain Allah SWT dan
pikiran terhadap dunia dianggap merusak dan membatalkan puasa.
Dari tingkatan ini, kita mengetahui bahwa
ibadah puasa merupakan kesempatan terbesar untuk melatih diri kita supaya lebih
baik dari sebelumnya.
Kanti Suci Project