Ingsun
(Misteri Tasawuf Mistik Syekh Siti Jenar)
Selayang Pandang
Artikel
berikut berjudul “Ajaran Tasawuf Dalam Serat Siti Jenar : Telaah Kritis Atas
Serat Siti Jenar Karya Sunan Giri Kedhaton.”
Dalam
tugas akhir berupa tesis itu, artikel blogger ini berusaha mengungkap ajaran
Syekh Siti Jenar sebagaimana yang tertulis di dalam Serat Siti Jenar tersebut.
Meskipun
tesis tersebut telah disahkan oleh para pembimbing dan sukses dalam ujian
munaqasah, tetapi artikel blogger ini merasa belum mampu mengungkap secara
lebih komprehensif ajaran salah satu anggota Wali Sanga tersebut.
Apalagi Serat Siti Jenar Sunan Giri Kedhaton tersebut hanya merupakan salah satu sumber dari sekian banyak sumber tertulis yang dinisbahkan sebagai ajaran Syekh Siti Jenar.
Serat
Siti Jenar Sunan Giri Kedhaton tersebut merupakan ringkasan dari himpunan Mas
Ng. Harjawijaya (1848-1918). Para penghimpun ajaran Siti Jenar lain yang
sejaman dengan M. Ng. Harjawijaya adalah Sasrawijaya alias Raden Panjinatarata
(1810- 1890), dan Mas Ng. Mangunwijaya (1847- 1917). Raden Panjinatarata
menulis ajaran Syekh Siti Jenar dengan judul Serat Siti Jenar.
Karya
Panjinatarata ini diterbitkan pertama kali oleh penerbit Keluarga Bratakesawa
Yogyakarta pada tahun 1958. Sedangkan Mangunwijaya menulis ajaran Syekh Siti
Jenar dengan judul Serat Sèh Siti Djenar.
Karya Mangunwijaya ini diterbitkan oleh Pakempalan Widya Pustaka dan dicetak oleh Indonesische Drukkerij di Weltri Preden pada tahun 1917.
Dalam
konteks perkembangan agama Islam di tanah Jawa, sebagian ahli menganggap bahwa
nama Syekh Siti Jenar dengan segala kontroversi yang melekat pada dirinya sebagai
figur yang merepresentasikan salah model keberagamaan (religiusitas) masyarakat
Jawa.
Beberapa sumber tertulis menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar sejajar dengan sufi martir Abu al-Mughits al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidhawi (244-301 H) atau al-Hallaj. Sebutan al-Hallaj- nya orang Jawa pun melekat padanya.
Sebagaimana
al-Hallaj, beberapa literatur sesuai dengan penuturan cerita babad menyebutkan
bahwa Syekh Siti Jenar mati di tangan para algojo suruhan penguasanya.
Para algojo tersebut melakukan ekskusi atas kematian Syekh Jenar, di antaranya, dengan alasan karena perbedaan pemahaman keagamaan Syekh Siti dengan mainstream pemahaman agama penguasanya.
Syekh Siti Jenar yang diperkirakan hidup pada masa pemerintahan Sultan Demak Pertama, Raden Patah sebagai tokoh yang menjadi pusat perhatian dari kalangan masyarakat awam, ulama, maupun penguasanya. Syekh Siti Jenar merupakan salah satu anggota wali sanga yang mengajarkan paham tasawuf wujudiyah (tasawuf yang mengandung ajaran paham wahdat al-wujud) di tanah Jawa.
Inti ajarannya tentang ke-Aku-an,
I amness, al-Aniyyah, Ingsun, Pribadi, memicu perdebatan di kalangan ulama dan
penguasanya. Sebagian sumber menyebutkan karena sikapnya yang gegabah dalam
menyebarkan doktrin ke-Aku-an itulah yang mengantarkan dirinya pada pedang para
algojo kerajaan.
Masyarakat Indonesia bagi yang memeluk tradisi Islam mengenal nama Syekh Siti Jenar sejak abad 16 M.
Mereka
mengenal, terutama masyarakat Jawa, Syekh Siti Jenar sama baiknya dengan
pengenalan mereka terhadap Wali Songo, apalagi jika dikaitkan dengan ajarannya
tentang manunggaling kawula Gusti atau wahdat al-wujud.
Meskipun banyak faktor yang bisa dikaitkan dengan tokoh Syekh Siti Jenar, tampaknya bagi sebagian ahli cerita kehidupan tasawuf- falsafinya lebih menonjol. Sebagian mereka menganggap bahwa ajaran Syekh Siti Jenar hingga sekarang masih terus menjadi rujukan sebagian masyarakat Indonesia, terutama kalangan penganut kebatinan Jawa.
Sesuai dengan hasil penelaahan, artikel blogger ini berkesimpulan bahwa cerita yang diuraikan dalam babad lebih menekankan sikap politik kerajaan Islam Demak terhadap langkah yang ditempuh Syekh Siti Jenar.
Dalam konteks kekuasaan yang
merambah pada model pemahaman keagamaan tokoh Syekh Siti Jenar dituduh sebagai pembangkang
dan penganut Islam yang sesat. Cerita pembangkangan dan penganutan Islam yang
sesat itu terus disampaikan oleh sebagian masyarakat Jawa secara turun temurun.
Sehingga sampai saat ini, masih terdapat kelompok masyarakat yang secara
terang-terangan mengkafirkan Syekh Siti Jenar tanpa disertai data yang memadai.
TAFSIR TERHADAP SYEKH SITI JENAR
Selama kurang lebih satu abad antara abad 19 sampai dengan awal abad 20 atau sekitar 400 tahun setelah kematian tokoh Syekh Siti Jenar lebih dari satu buku tentang Syekh Siti Jenar diterbitkan. Para artikel blogger ini menjadikan Syekh Siti Jenar sebagai figur atau lakon utama dalam materi penceritaan. Bahkan mereka menyandarkan ajaran yang terkandung dalam buku-buku tersebut kepada Syekh Siti Jenar. Secara ekplisit para artikel blogger ini menyebutkan bahwa karya mereka tentang Syekh Siti Jenar merujuk pada Babad Demak dan Serat Walisana dengan memberi judul Serat Siti Jenar atau Suluk Siti Jenar.
Selain itu, munculnya buku-buku yang berusaha mengupas dan memberi tafsiran terhadap Syekh Siti Jenar beserta pemikirannya menginspirasi sebagian kalanagan untuk mendalami kajian terhadap ajaran Syekh Siti Jenar. Buku-buku tersebut adalah; Falsafah Sitidjenar : Ngewrat Pangrembag Paham Wahdatul-Wudjud (Pantheisme) Ing Tanah Djawi, Ingkang Menggok Dados Paham Ngaken Allah Tuwin Ngorakaken Wontenipun Ingkang Nitahaken (Atheisme), karya Bratakesawa (1954), Syekh Siti Jenar, karya Moh.
Hari Siti Jenar (+ 1985), Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa, karya Abdul Munir Mulkhan (2000), Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar: Konflik Elite Dan Lahirnya Mas Karebet, karya Abdul Munir Mulkhan (2001), dan Syekh Siti Jenar: Makna “Kematian,” karya Achmad Chodjim (2002).
Artikel blogger ini menyimpulkan bahwa dari sekian buku-buku tersebut tidak satu pun yang menggunakan rujukan seluruh karya klasik yang mengupas secara khusus tentang ajaran Siti Jenar.
Bratakesawa, dalam bukunya Falsafah Siti Jenar, berusaha meluruskan ajaran Syekh Siti Jenar yang menginspirasi gerakan dan paham kaum Sarekat Abangan. Kaum Sarekat Abangan ini merupakan cikal bakal gerakan politik Partai Komunis Indonesia. Bratakesawa menjelaskan bahwa mereka telah memahami secara keliru ajaran Syekh Siti Jenar. Selain itu, Bratakesawa menjelaskan secara singkat sejarah Syekh Siti Jenar serta maksud umum ajarannya yang terdapat dalam Serat Sitidjenar karya Raden Panji Natara. Dalam karyanya itu, Bratakesawa menjadikan Serat Sitidjenar karya Natarata sebagai rujukan utama.
Dalam
artikel blogger inian artikel ini tidak menemukan karya M. Ng. Harjawiaya dan
M. Ng. Mangunwijaya sebagai rujukan tambahan. Sehingga dengan menjadikan karya
Natarata sebagai rujukan tunggal memungkinkan munculnya pemahaman yang tidak
komprehensip tentang pemikiran Syekh Siti Jenar.
Moh. Hari Soewarno merupakan pemerhati dan artikel blogger ini ajaran Syekh Siti Jenar yang menjadi perhatian artikel blogger ini. Dalam bukunya yang berjudul Syekh Siti Jenar,10 Soewarno memberi informasi yang cukup memadai tentang ajaran Syekh Siti Jenar.
Beberapa bagian dari karyanya itu Soewarno menyadur tulisan Bratakeasawa (1954) dan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, terutama dalam bab Mengungkap Nama Siti Jenar, Isi Ajaran Siti Jenar, Ditunggangi Oleh S.I. Merah, Karangan, serta Syekh Lemah Abang.
Meskipun
demikian, berbeda dengan Bartakesawa, Soewarno menyebut sumber lain ajaran
Syekh Siti Jenar karya M. Ng. Harjawijaya (lih. hal. 43-70). Seperti terhadap
tulisan Bratakesawa, Soewarno pun juga melakukan penerjemahan secara bebas
terhadap tulisan M. Ng, Harjawijaya ke dalam bahasa Indonesia. Artikel
blogger ini tidak menemukan secara kritis analisa ilmiah yang terdapat dalam
tulisan Soewarno, kecuali pengkuannya bahwa Syekh Siti Jenar sebagai figur yang
hadir dalam sejarah nyata dengan berbagai ajaran yang dibawanya.
Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam Jawa, memberi nuansa lain seputar tokoh Syekh Siti Jenar dan ajarannya dalam konteks Indonesia baru. Dalam bukunya setebal 369 halaman itu, Munir Mulkhan menyajikan Syekh Siti Jenar lebih sistematis serta menggunakan bahasa ilmiah dan populer.
Pada bagian awal buku tersebut Munir Mulkhan memaparkan tentang Dimensi Politik Tawauf dan Syekh Siti Jenar. Pada bagian awal ini, Munir Mulkhan mendiskusikan konflik antara institusi agama versus kesadaran beragama, yang populer dengan syari’ah versus tasawuf. Dalam konteks Syekh Siti Jenar, konflik tersebut diwakili oleh kerajaan Islam Demak dengan tokoh Syekh Siti Jenar. Kedua pihak tersebut terlibat konflik karena pijakan memahami dengan menggunakan pendekatan dan tinjauan yang berlainan.
Munir
Mulkhan juga memberi penilaian teologis terhadap Syekh Siti Jenar beserta
ajarannya dalam tradisi pemikiran Islam.
Namun
demikian, penilaian Munir Mulkhan ini hanya sepintas lalu saja, tidak
menguraikan secara detail model dan tipe teologi dalam ajaran Syekh Siti Jenar.
Pada bagian yang lain Munir Mulkhan juga melakukan penyebutan tema-tema pokok
yang dibicarakan dalam Serat Sitidjenar.
Penyebutan tema-tema pokok itulah, dalam pandangan artikel blogger ini merupakan sesuatu yang baru, yang tidak disebut secara detail oleh para artikel blogger ini sebelumnya. Sebagaimana para artikel blogger ini lain, Munir Mulkhan tidak menggunakan karya penghimpun lain seperti R. Mas Ng Mangunwijaya dan R. Ng. Harjawijaya. Dengan kata lain, Munir Mulkhan menulis tentang ajaran Syekh Siti Jenar dengan menjadikan karya R Panji Natarata sebagai rujukan utama.
Abdul
Munir Mulkhan juga menulis tentang ajaran Syekh Siti Jenar. Pada bukunya yang
kedua ini, Munir Mulkhan menyoroti ajaran Syekh Siti Jenar terutama tentang
kematian, dengan judul, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar: Konflik
Elite dan Lahirnya Mas Karebet. Seperti pada karya sebelumnya, di bagian awal
buku ini, Munir Mulkhan memberi uraian tentang humanisasi Islam untuk semua
melalui tasawuf. Pada bagian berikutnya, Munir Mulkhan menguraikan pemahamannya
atas makna kematian dalam ajaran Syekh Siti Jenar, serta nasib tokoh-tokoh
dalam Serat Sitidjenar yang memilih jalan kematian.
Pada
bab akhir pada bukunya itu, sepertiga lebih dari keseluruhan halaman yang ada,
merupakan terjemahan bebas dari Serat Syekh Siti Jenar karya R. Panji Natarata.
Pada
bagian ini, lagi-lagi Munir Mulkhan tidak menjadikan Serat Siti Jenar lainnya
sebagai rujukan untuk memperkaya tulisannya.
Achmad
Chodjim adalah pemerhati ajaran Syekh Siti Jenar yang berkesempatan menulis
pemahamannya atas ajaran Syekh Siti Jenar.
Dalam bukunya Syekh Siti Jenar: Makna Kematian, artikel blogger ini menyimpulkan bahwa Chodjim hanya menjelaskan kembali apa yang telah ditulis oleh artikel blogger ini sebelumnya, terutama Abdul Munir Mulkhan.
Bisa
dikatakan Chodjim adalah penafsir (mufassir) dari pemahaman Munir Mulkhan
terhadap ajaran Syekh Siti Jenar. Karena dari hasil pembacaan artikel blogger
ini terhadap karya Chodjim, artikel blogger ini tidak menjumpai karya lain yang
membahas secara khusus ajaran Syekh Siti Jenar kecuali karya Abdul Munir
Mulkhan yang berjudul Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa dan Ajaran dan
Jalan Kematian Syekh Siti Jenar: Konflik Elite Dan Lahirnya Mas Karebet, karya
Abdul Munir Mulkhan. Namun demikian, bila dibandingkan dengan tulisan Munir
Mulkhan, Chodjim telah menyajikan gagasan ajaran Syekh Siti Jenar lebih detail
dengan menggunakan bahasa relatif lebih populer dan istilah-istilah yang lebih
filosofis. Berbeda dengan tulisan Munir Mulkhan yang menyertakan analisa
teologis, dalam karyanya Chodjim tidak memberi penilaian teologis.
Buku
setebal 292 itu tidak lebih merupakan refleksi perenungan serta pembacaannya
terhadap karya penafsir ajaran Syekh Siti Jenar.
Satu
bulan setelah karya Ahmad Chodjim terbit, Abdul Munir Mulkhan menulis kembali
sebuah buku yang berjudul Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnan Syekh Siti
Jenar.
Berbeda
dengan buku-buku tentang ajaran Syekh Siti Jenar yang lain, dalam karyanya kali
ini Munir Mulkhan menggunakan rujukan buku utama yang berjudul Serat Bayan
Budiman. Buku tersebut berasal dari pemberian seorang rekannya di Jawa Timur.
Dalam karyanya ini Munir Mulkhan mereflekskan perenungannya terhadap buku
pemberian sang kawan itu. Sepanjang pembacaan artikel blogger ini terhadap buku
tersebut, artikel blogger ini tidak menemukan hubungan langsung antara Syekh
Siti Jenar dengan Serat Bayan Budiman. Artikel blogger ini hanya menduga bahwa
hubungan antara keduanya meskipun tidak terdapat hubungan timbal balik secara
eksplisit berkaitan dengan ajaran Syekh Siti Jenar dengan kandungan makna dalam
Serat Bayan Budiman.
Pada
bulan Agustus 2003, Ashad Kusuma Djaya pimpinan Langgar Padepokan Syekh Siti
Jenar Kadipaten Kulon Yogyakarta menulis ajaran Syekh Siti Jenar. Buku tersebut
berjudul, Pewaris Ajaran Syekh Siti Jenar: Membuka Pintu Makrifat.
Dalam melengkapi tulisannya tersebut Kusuma Djaya mengambil rujukan utama dari Babad Julasutra, Suluk Malang Sumirang, Babad Jaka Tingkir, dan Serat Siti Jenar.
Kedua
buku yang pertama tersebut merupakan rujukan baru yang artikel blogger ini
jumpai dari serangkaian buku tentang Syekh Siti Jenar yang sudah ada.
Dalam
karya Kusuma Djaya tersebut artikel blogger ini tidak menemukan sesuatu yang
baru dari para artikel blogger ini yang lainnya, kecuali rujukan yang baru. Artikel
blogger ini memahami Kusuma Djaya berusaha mempertemukan ajaran Syekh Siti
Jenar dengan pengetahuan modern. Tetapi tidak menyinggung sedikitpun tentang
konsep Ingsun yang menjadi salah satu ajaran Syekh Siti Jenar.
Pada tahun 2004, Abdul Munir Mulkhan kembali menulis buku yang menghubungkan dengan Sekh Siti Jenar, dengan judul Makrifat Siti Jenar: Teologi Pinggiran Kehidupan Wong Cilik.
Artikel blogger ini memahami bahwa buku setebal 389 halaman tersebut tidak lain merupakan perluasan penjelasan Munir Mulkhan atas perenungannya terhadap ajaran Syekh Siti Jenar yang ditulis oleh Panjinatarata. Selain itu, Munir Mulkhan berupaya membawa ajaran dan kehadiran Siti Jenar dalam konteks yang lebih komprehensif; politik, ekonomi, sosial budaya, sikap keberagamaan pribadi maupun kelompok, dan wilayah teologi. Dalam kaitannya dengan religiusitas Munir Mulkhan menegaskan bahwa kehadiran cara beragama Syekh Siti Jenar merupakan representasi dari kaum pinggiran (wong cilik, rakyat) berhadapan cara beragama kaum bangsawan dan para penguasa pada zamannya. Secara ekplisit Munir Mulkhan menyimpulkan bahwa kehadiran Syekh Siti Jenar beserta ajarannya merupakan realitas sejati cara beragama yang sesungguhnya. Suatu cara beragama yang manusiawi, jujur (tidak berpura-pura), dan membela kaum tertindas.
Baik
Bratakesawa, Moh. Hari Soewarno, Abdul Munir Mulkhan, Ashad Kusuma Djaya,
maupun Achmad Chodjim mereka menjadikan Serat Siti Jenar karya Panjinatarata
sebagai rujukan utama. Karya Harjawijaya dan Mangunwijaya tidak mereka jadikan
sebagai rujukan. Artikel blogger ini menyimpulkan bahwa tulisan Siti Jenar
karya Harjawijaya dan Mangunwijaya meskipun lahir beberapa tahun setelah
Panjinatara disertakan sebagai rujukan
dalam mengungkap ajaran Syekh Siti Jenar.
Sehingga pemahaman tentang ajaran Syekh Siti Jenar semakin lebih komprehensif.
Bermula
dari ketidaklengkapan rujukan tersebut artikel blogger ini menyimpulkan bahwa
tulisan-tulisan tentang ajaran Syekh Siti Jenar tersebut tidaklah lengkap.
Selain
itu, dari beberapa tulisan yang artikel blogger ini telaah, masing-masing buku
tersebut tidak satu pun yang secara tegas menyebutkan ajaran inti Siti Jenar
yakni tentang Ingsun, Prabu Satmata, Sang Hyang Manon, I-ness, atau ke-Aku-an.
Ajaran
tentang ingsun inilah yang menurut artikel blogger ini merupakan maniverstasi
puncak dari pengalaman beragama dan berspiritual.
Ke-Aku-annya
yang menjadi pertimbangan para wali untuk menjatuhi hukuman mati pada Syek Siti
Jenar.
Ke-Aku-annya ini menjadi bukti nyata bahwa Syekh Siti Jenar telah membocorkan rahasia tertinggi.
Berpijak
dari adanya beberapa rujukan penting tentang ajaran Syekh Siti Jenar serta
konsep ke-Aku-an yang diucapkan oleh Syekh Siti Jenar itulah, membuka sejumlah
pertanyaan, seperti :
Apakah
ke-Aku-an itu sama dengan ego ?
Apakah
ketika mengucapkan Ingsun sebagai Prabu Satmata itu dalam keadaan hulul atau
ittihad ?
Ataukah
ungkapan ke-Aku-an itu muncul sebagai refleksi spiritual-filosofis (wahdah
al-syuhud) yang terjadi dalam diri Syekh Siti Jenar ?
Ataukah
ucapan Syekh Siti Jenar itu hanyalah ucapan para kaum yang gila karena Allah
(majnunullah) yang tidak perlu harus dikenai sanksi ?
Terlepas
dari pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, setidaknya semakin membuka
munculnya pemahaman baru bahwa terdapat gagasan yang lebih penting dari sekedar
sikap Siti Jenar berlawanan dengan penguasa.
KE-AKU-AN SEBELUM SYEKH SITI JENAR
Sebenarnya, jauh sebelum kehadiran Syekh Siti Jenar fenomena munculnya konsep ke-Aku-an sudah ada sejak abad 3 H, yang ditampilkan oleh Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H). Dalam suatu kesempatan secara nyata Abu Yazid mengaku dirinya Allah. “Anaallah, Laa Ilaaha Illa Anaa Fa’buduuni: Aku Allah, Tiada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku, Suatu ketika Dia (Yang Maha Benar) mengangkatku dan menundukkan aku di antara tangan-Nya.
Maka ujar-Nya padaku: Abu Yazid! Makhluk-makhluk-Ku senang melihatmu. Jawabku: Hiasilah aku dengan keesaanMu, pakaikanlah aku dengan keakuan-Mu, dan angkatlah aku ke ketunggalan-Mu. Sehingga apabila makhluk-makhluk-Mu melihatku, mereka akan berkata: Kami telah melihat- Mu. Dan Engkau pun menjadi aku yang di sana, dan aku tidak berada di sana.”24 Kehadiran Abu Yazid dengan ungkapannya itu pada zamannya bukan merupakan sesuatu yang ganjil.
Para pemerhati tasawuf baik yang hidup sezaman atau pun sesudah Abu Yazid memberi apresiasi yang positif terhadap ungkapannya. Abu al-Wafa merujuk para artikel blogger ini seperti al-Sulami dalam karyanya Thabaqat al-Shufiyyah, al-Thusi dalam karyanya al-Luma, dan al-Qusyairi dalam karyanya al- Risalah al-Qusyairiyah, menyimpulkan bahwa menurut para artikel blogger ini buku tersebut apa yang diungkapkan Abu Yazid sejalan dengan al- Qur’an dan al-Sunnah. Para sufi menyebut pengalaman Abu Yazid itu, dengan sebutan fana atau trance. Al-Junaid mengatakan bahwa trance seorang sufi tidak mengucapkan tentang dirinya sendiri, tetapi tentang apa yang disaksikannya, yaitu Allah. Menurut W.T. Stace pengalaman al-Busthami merupakan kesadaran untuk bersatu (unitary consciousness). Dengan kata lain, bahwa apa yang diucapkan Abu Yazid al-Busthami merupakan hal yang wajar dalam tradisi keagamaan, khususnya Islam.
Selain
Abu Yazid, tokoh yang menggunakan konsep ke-Aku-an adalah Abu al-Mughisy
al-Husain ibn Manshur ibn Muhammad al-Baidhawi (w. 244-301 H).
Tidak seperti Abu Yazid, al-Hallaj harus mengakhiri hidupnya di tiang salib. Penguasa pada zamannya menuduhnya sebagai orang sesat dari keislaman, karena ungkapan ke- Aku-an itu. Di antara pernyataan adalah, “Duh, penganugerah bagi pemegang karunia. Terhadap diri-Mu dan diri-Ku begitu aku terpana. Kau buat begitu dekat diriku dengan-Mu, sehingga. Kau adalah aku, begitu kiraku. Kini dalam wujud diriku menjadi sirna. Dengan-Mu aku kau buat menjadi fana.”
Namun demikain, para ahli tasawuf memberi penilaian yang beragam terhadap apa yang dialami al-Hallaj. Mayoritas menilai bahwa al-Hallaj telah menyimpang dari ajaran Islam. Akhir kematiannya yang tragis dengan cara disalibkan dan dibakar di tengah lapangan seakan menjadi bukti bahwa al- Hallaj telah menganut ajaran yang sesat.28 Ke- Aku-an al-Hallaj sebagai Sang Kebenaran tidak diterima secara wajar seperti ke-Aku-an yang diucapkan oleh Abu Yazid al-Busthami. Akibat ke-Aku-annya itu dia harus menemui ajalnya dengan cara yang sangat menyedihkan.
Komentar
positif, yang berisi dukungan dan pembelaan terhadap apa yang dilakukan
al-Hallaj, datang dari berbagai tokoh sufi besar dalam Islam. Mereka adalah
Ibn Suraih, seorang ulama fiqh dari madzhab Maliki; Imam Ghazali, Jalal
al-Din al-Rumi,31 Farid al-Din al-‘Aththar, Abdulqadir al- Jailani, dan
al-Damiri. Tokoh-tokoh tersebut tidak memberi penolakan terhadap apa yang
dialami al-Hallaj. Bahkan sebagian dari mereka menjadi rujukan umat Islam di
seluruh dunia.
Selain Abu Yazid al-Busthami dan al-Hallaj pada abad 15 terdapat pula tokoh yang mengaku sebagai Kebenaran. Dia adalah Ismail (w. 1524). Sesuai dengan anggapan para sejarawan tentang Ismail yang beranggapan bahwa dirinya merupakana inkarnasi Tuhan. Mereka menyebut kekuasaan Ismail sebagai pemerintahan Tuhan. Ismail juga menulis puisi yang sebagian berisi dirinya yang merupakan penjelmaan dari Tuhan.
Berikut pernyataan Ismail yang menyatakan dirinya
sebagai Kebenaran;
The
secret of ‘I am the Truth (haqq)’ is hidden in this heart of mine
For
I am the absolute Truth and what I say is the Truth.
Artinya:
Rahasia
akan Aku Sang Kebenaran tersembunyi dalam hati milikku
Karena
Aku Kebenaran Mutlak, maka apa yang aku ucapkan adalah Kebenaran
Istilah
al-Haqq daam ucapan Ismail tersebut secara berarti Kebenaran Lisan melemahkan
penguasaan atas pendewaan diri (self-deification). Tetapi pernyataan tersebut
dibantah oleh pernyataan lain dari Ismail seperti berikut :
I
am the eye of God I am the eye of God the eye of God
Come
now and see the Truth O blind man who have lost your way
I
am that absolute doer of whom they tell I am the commander of the sun and moon
My
existence is the House of God know for sure
Prostration
to me is incumbent upon you in the evening and at daybreak.
Artinya:
Aku
adalah mata Tuhan Aku adalah mata Tuhan mata Tuhan
Kini
datang dan lihatlah Sang Kebenaran, wahai orang buta yang tersesat
Aku
adalah pelaku Mutlak itu yang mereka ceritakan
Aku
adalah komandan matahari dan bulan Wujudku adalah Rumah Allah mengetahui karena
yakin
Sujud
padaku adalah berkewajiban padamu pada saat sore dan fajar
Tidak
jauh berbeda dengan figur Syekh Siti Jenar. Tokoh yang dalam cerita babad
dianggap sebagai pembangkang para Wali Sanga ini pun mengalami hal yang sama
dengan al-Hallaj. Ia harus mati dihadapan para Wali Sanga sebagai wujud
pengakhiran atas ke-Aku-annya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Tokoh
Siti Jenar tidak semulus para sufi yang lainnya, seperti Abu Yazid al-Busthami
dan Ismaili. Bahkan sebagian masyarakat Islam Indonesia yang berorientasi
pada kebenaran fiqhiyah menganggap Siti Jenar sebagai tokoh sesat yang
menyimpang dari ajaran Islam. Padahal sebagian mereka menjadi pengikut aliran
tarikat Qadiryah.
WACANA KE-AKU-AN
Wacana
ke-Aku-an sebenarnya merupakan gagasan abadi yang akan muncul sepanjang zaman.
Syekh Siti Jenar dalam konteks Islam Indonesia merupakan varian lain meruapakn salah dari mata rantai keabadian
gagasan tersebut. Dia telah memperkenalkan ke-Aku-annya sebagai bagian dari
perjalanan hidup sejatinya. Sebelum Siti Jenar, para nabi, rasul, wali, santo,
dan orang-orang suci lainnya telah memperkenalkannya. Hanya saja tanggapan dari
masyarakat yang hidup sezaman dengan mereka memberi respon yang beragama.
Mereka adalah orang-orang yang mencapai pemahaman yang secara sempurna akan
ke-Aku-annya. Sayangnya, untuk kasus Siti Jenar pengantar akan ke- Aku-annya
itu justru disambut dengan tuduhan atas dirinya sebagai orang yang telah keluar
dari agama bahkan tidak beragama.
Ke-Aku-an
atau Ingsun atau Ananiyyah, atau the I-amness merupakan sesuatu yang inhern
dalam kehidupan setiap manusia. Karena Ingsun merupakan sumber dari kisah
penciptaan. Hanya saja tidak setiap manusia mau dan atau mampu menerimanya
sebagai bagian dari dirinya. Siti Jenar dan siapa pun yang memahami Ingsun sudah
secara tidak langsung telah menghayati dua wilayah sekaligus, yaitu; Ingsun
dalam konteks raga/ fisik/ badan dan Ingsun dalam konteks the Ultimate Reality.
Pada konteks Ingsun raga berorientasi pada pijakan tubuh fisik yang meliputi
bukan hanya pada badan melainkan juga jiwa dan nyawa. Pada konteks ini Siti Jenar
melalui muridnya Ki Kebokenongo menguraikan bahwa agama seharusnya mengarahkan
setiap para pemeluknya menjadi orang yang hidup menyatu dengan alam dan
merdeka. Yaitu hidup yang berupaya menerima realitas antara kebaikan (becik,
goodness) dengan keburukan (ala, badness), kehidupan (urip, life) dengan
kematian (pralaya, death), dan Tuhan (Gusti, God) dengan hamba (kawula, slave).
Berikut ajaran Siti Jenar,
Wong
neng nusapada iki, Mung mengku kalih prakara, Ala becik loro kuwe,
Urip
jodhone pralaya, Gusti lawan kawula,
Nanging
Kyageng Pengging tambuh,
Wong mati tan ngrasa laya.
Artinya:
Manusia
yang berada di alam semesta ini, Hanya menhadapi dua persoalan,
Baik
buruk berpasangan dengan kamu, HIdup berpasangan dengan mati, Tuhan bersama
hamba,
Tetapi
Kyageng Pengging tidak memahaminya, Orang yang mati tidak merasakan mati
Dalam
kaitannya Ingsun ragawi akan senantiasa berhadapan dengan keburukan, kematian,
dan kehambaan. Ketiga hal tersebut menjadi realitas wajib yang melekat pada
setiap manusia, yang seharusnya disadari setiap manusia. Pada tataran ini
Ingsun ragawi adalah ingsun yang relative. Ingsun ragawi adalah yang senantiasa
berubah wujud, bentuk, dan tempat. Pada Ingsun inilah inilah mungkin yang oleh
Paul F Knitter disebut dengan anthropocentrism.
Pada
Ingsun ini pula manusia sebagai imago dei, citra ilahi yang nyata. Bahkan
berpijak pada Ingsun ini pulalah kesadaran akan adanya Pencipta (Khaliq,
Creator), ciptaan (makhluq, creatures), dan etika (akhlaq, ethic). Hubungan
antara Tuhan dan Hamba itulah yang secara sosial dan rohani melahirkan
hokum-hukum yang mendamaikan. Hokum-hukum yang tidak diatur dan ditentukan oleh
penguasa yang mengatasnamakan agama, melainkan ho- kum-hukum yang berpijak pada
setiap kesadaran diri individu yang tercerahkan yang senantiasa mendamaikan
diri, orang lain, dan alam sekitar.
Sementara itu Ingsun dalam konteks Ilahi adalah Ingsun yang Abadi. Ingsun dalam hal ini adalah Ingsun yang senantisa berkaiatan dengan the Ultimate Reality, Tuhan, Gusti, atau Sang Kebenaran.Ingsun Ilahi adalah Ingsun sebagaimana dikatakan dan disaksikan oleh Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj, dan Ismaili. Ingsun dalam hal ini adalah Ingsun yang hanya diperintah secara langsung oleh Tuhan. Proses pencapaian kesadaran akan Ingsun Ilahi pada diri manusia biasanya melalui perjalanan spiritual yang disebut dengan ittihad dan hulul. Pada saat seseorang merasakan dirinya sebagai Ingsun Ilahi itu biasa disebut dengan wahdat al-syuhud atau wahdat al-wujud. Biasanya pula orang yang mengalami demikian sering mengatakan sesuatu (yang disebut syathohat) yang terkadang berlawanan dengan pandangan masyarakat umum. Meskipun demikian, sebagian kalangan muslim memahami bahwa orang yang mengalami demikian tidak bisa dihukum sesuai dengan hokum agama.
Implikasi
dari Ingsun Ilahi ini adalah adanya pemahaman bahwa Ingsun Ilahi yang bersemayam
dalam diri manusia adalah Ingsun Sang Abadi, Ingsun Yang Mutlak.
Ingsun inilah yang merupakan the Ultimate Reality yang harus disembah oleh setiap hamba. Ingsun Sang Abadi ini juga bersemayam di dalam diri setiap manusia, hanya saja tidak semua orang menyadarinya. Selain itu, tidak semua orang meneladani Tuhan secara baik. Oleh karena itu, meskipun setiap manusia adalah Ingsun Ilahi tetapi tidak setiap orang pula mengakui dirinya sebagai Tuhan. Untuk bisa memahami bahwa dirinya adalah Tuhan Yang Nyata, manusia harus melewati latihan spiritual serta perjalanan rohani yang tidak gampang. Manusia yang mengaku dirinya sebagai Ingsun Ilahi dia harus meneladani sifat-sifat Tuhan dan bersifat sebagaimana sifat 20 yang ada pada Tuhan.
Orang
yang telah mampu meneladani perbuatan Tuhan, maka orientasi hidupnya akan
senantiasa pada bagaimana menjunjung tinggi kebaikan, Tuhan, dan kehidupan,
mungkin ketiga komponen itu oleh Paul F Knitter disebut dengan biocentrism.
Suatu paham yang berorientasi pada keabadian yaitu kebaikan abadi, Tuhan, dan
kehidupan itu sendiri. Suatu keabadian yang tidak hanya berorientasi atas nama
Tuhan, melainkan juga atas nama seluruh makhluk Tuhan yang diberi kesempatan
hidup oleh Tuhan. Karena dalam diri seluruh makhluk itu Tuhan menampakkan
Diri-Nya. Meskipun demikian, tidak lantas setiap makhluk Tuhan adalah Tuhan,
karena Tuhan adalah berbeda dengan seluruh makhluk-Nya.
KESIMPULAN
Wacana
ke-Aku-an (Ingsun) sebenarnya bukan sesuatu yang baru dalam dunia Islam.
Sayangnya sebagian umat Islam terutama di Indonesia memahami secara tidak
komprehensif konsep Ingsun tersebut.
Apalagi
jika tulisan-tulisan yang berkaitan dengan ajaran Ingsun itu lebih
menitikberatkan pada uraian politik dan sikap keberagamaan yang berbeda dengan
penguasa suatu zaman. Sehingga hakekat Ingsun itu menjadi kabur. Selain Syekh
Siti Jenar, tokoh-tokoh Islam seperti Abu Yazid al- Busthami, al-Hallaj, dan
Ismaili telah mengawali ajaran Ingsun tersebut. Hanya saja perhatian masyarakat
tidak meyeluruh, sehingga Ingsun itu kehilangan makna aslinya.
Sebenarnya,
ajaran Ingsun berupaya mengembalikan kesadaran manusia pada kesejatiannya
terutama berakitan dengan agama. Ingsun membuka kesadaran bahwa setiap manusia
harus menerima kenyataan hidup ini yang selalu berpasangan baik-buruk,
kehidupan-kematian, dan Tuhan-hamba.
Kebaikan,
kehidupan, dan Tuhan adalah realitas Abadi Tuhan. Sedangkan, keburukan,
kematian, dan hamba adalah realitas manusia. Ajaran Ingsun menjembatani
kesenjangan antara manusia dan Tuhan itu sendiri.
Sumber
Penulis :
Aris
Fauzan
Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jl. Laksda Adisucipto,
Yogyakarta.
Email:
aris.fauzan@uin-suka.ac.id
DAFTAR
PUSTAKA
·
Abdullah, Hawwash. tt. Perkembangan Ilmu Tasawuf dan
Tokoh-tokohnya di Nusantara. Surabaya: Al-Ikhlas.
·
Abdullah, M Amin. 1987. Sejarah dan Masyarakat:
Landasan Historis Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus.
·
Abdullah, M. Amin. 1999. Studi Agama: Normativitas
atau Historisitas? Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·
Aceh, Abubakar. tt. Pengantar Sejarah Sufi dan
Tasawuf.
·
Surakarta: Ramadhoni.
·
Afifi, A.E. 1995. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, Terj.
Sjahrur Mawi dan Nandi Rahman. Jakarta: Gaya Media Pratama.
·
Amin, M Darori, Drs. MA. ed. 2000. Islam dan
Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
·
Anderson, Benedict ROG. 1995. Mythology and Tolerance
of Javanese. New York.
·
Ansari, Abdul Haq Muhammad. 1997. Merajut Tradisi
Syari’ah dengan Sufisme: Mengkaji Gagasan Mujaddid Syeikh Ahmad Sirhindi.
Jakarta: Srigunting.
·
Ardani, H. M. 1995. Sembah dan Budi dalam Serat-serat
Piwulang Mangkunegara IV Surakarta. Makalah disampaikan dalam Pengukuhan Guru
Besar IAIN
·
Jakarta.
·
Armstrong, Amatullah, Sufi Terminologi (Al-Qamus al-Sufi):
The Mystical Language of Islam, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen.
·
Ashad, Kusumajaya. 2003. Pewaris Ajaran Syekh Siti
Jenar: Membuka Pintu Makrifat, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
·
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauam Nusantara abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
·
Babad Cirebon. 1979. Alih aksara dan ringkasan oleh
S.Z. Hadisutjipto, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek
Penerbitan Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
·
Babad Jaka Tingkir: Babab Pajang. 1981. Alih aksara
dan alih bahasa Moelyono Sasrtonaryatno, Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Proyek Penerbitan Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
·
Babad Majapahit dan Para Wali I. 1988. Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Jakarta.
·
Bartakesawa. 1954. Falsafah Sitidjenar: Ngrewat
Pangrembag Paham Wahdatul-Wujud (Pantheisme) Ing Tanah Djawi, Ingkang Menggok
Dados Paham Ngaken Allah Tuwin Ngorakaken Wontenipun Ingkang Nitahaken
(Atheisme). Surabaja: Jajasan Penerbitan,,Djojobojo”.
·
Berg, CC. 1972. Artikel blogger inian Sejarah Jawa.
Jakarta: Bharata. Bertens, K. 1989. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta:
·
Kanisius.
·
Bilal, Wasim, M. 1988. Mistik Dalam Suluk Pesisiran,
Yogyakarta: Yayasan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan “Panunggalan” Lembaga
Javanologi.
·
Boekoe Siti Djenar Ingkang Toelen. 1931. Kediri: Tan
Khoen Swie.
·
Bolland, B.J. 1985. Pergumulan Islam di Indonesia.
Jakarta: Grafiti.
·
Bruinessen, Van, Martin. 1995. Kitab Kuning, Pesantren
dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan.
·
Budiman, Amin. 1982. Walisongo Antara Legenda dan
Fakta Sejarah, bagian I dan II, Semarang, Pn. Tanjung Sari.
·
Butterworth, E., Charles. ed. 1992. The Political
Aspects Islamic Philosophy, Massachusetts, Cambridge: Harvard Univercity Press.
·
Chodjim, Achmad. 2002. Syekh Siti Jenar: Makna
Kematian, Jakarta: Serambi.
·
Ciptoprawiro, Abdullah. 1986. Filsafat Jawa, Jakarta:
Balai Pustaka.
·
D.A. Rinkes, De. 1986. Helligen van Java II: Sjeh Siti
Djenar voor de Inquititie. Tijdschrift Bataviasch Genootschap deel III, 1911.
Terjemahan, Orang-orang Suci Dari Jawa II: Syeh Siti Jenar di Muka Pengadilan,
penj. M. Soenjata Kartadarmaja,Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional.
·
Dahlan, Aziz, Abdul. 1992. “Tasawuf Samsuddin
Sumatrani”, Desertasi Doktoral Dalam Ilmu Agama Islam, Jakarta: Perpustakaan IAIN
Jakarta.
·
Danusiri. 1996. Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
·
Danuwijaya, HM. tth. Proses Timbulnya Ilmu Kebatinan
dan
·
Akibat-akibatnya, Semarang: Condro Kartiko.
·
Darban, A., Adaby. 1988. Kiyai dan Politik pada Zaman
Kerajaan Islam Jawa, dalam Pesantren 5, No. 2.
·
Daudy, Ahmad. 1982. Falsafat Mistik Syeikh Hamzah
Fansuri Dalam Sanggahan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Al-Jami’ah, No. 27. Institut
Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta., h. 32-33.
·
De Graaf, H.J. dan Th. Pigeud. 1985. Kerajaan-Kerajaan
Islam Pertama di Jawa, Jakarta, Graffity Pers dan KITLV.
·
Fauzan, Aris. 2004. Ajaran Tasawuf Dalam Serat Siti
Jenar (Telaah Kritis atas Serat Siti Jenar Karya Sunan Giri Kedhaton), Tesis:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.2006. Siti Jenar: a Model
of Indigenous Religion, a Religius Image Among Javanese People, Alamah: Jurnal
Pembaharuan Pemikiran Islam, Vol. IV, Januari- Desember.
·
Kamajaya. 1995. Karkono, Kebudayaan Jawa, Perpaduannya
Dengan Islam, Yogyakarta, IKAPI DIY.
·
Kartapraja, Kamil. 1985. Aliran Kebatinan dan
Kepercayaan Indonesia, Jakarta, Yayasan Masagung.
·
Kartasoedjonoredjo. 1950. Kitab Wali Sepuluh: Mengajar
Ilmu Islam-Alam dan Kahanan Kepada Murid-muridnya, Kediri: Bukhandel Tan Khoen
Swie.
·
Kodiran. 1954. Kebudayaan Jawa dalam Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia, Jakarta, Jambatan.
·
Koentjaraningrat. 1975. Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia, Jakarta, Djambatan.
·
Komaruddin Hidayat. 1996. Memahami Bahasa Agama:
Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina.
·
Lambard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian
I: Batas-batas Pembaratan, Jakarta: Gramedia. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya,
Bagian II: Jaringan Asia, Jakarta: Gramedia.
·
Fovler, James W. 1995. Teori Perkembangan Kepercayaan,
1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian III: Warisan Yogyakarta, Kanisius.
·
G. Moedjanto, MA. 1992. Drs., Tantangan Kemanusiaan
Universal: Antologi Filsafat, budaya, Sejarah-Politik dan Sastra, Kenangan 70
tahun Dick Hartoko, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
·
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dam
Masyarakt Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya.
·
Hadijaya, (ed.). 1999. Kelas Menengah Bukan Ratu Adil,
Yogyakarta, PT Tiara Wacana.
·
Hadikusumo, H. Hilman. 1993. Antropologi Agama:
Pendekatan Budaya Terhadap Aliran Kepercayaan, Agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu
di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti.
·
Hadiwijana, Harun, 1976. Konsep Tentang manusia dalam
Kebatinan Jawa, Jakarta, Penerbit Sinar Harapan.
·
Hamka, Prof. Dr. 1994. Falsafah Hidup, Jakarta:
Pustaka Panjimas.. 1993. Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka
Panjimas.
·
Hammersma, Harry, S.J. 1978. Teologi Metafisik,
Yogyakarta: Kanisius.
·
Hardjawiraga, Marbangun. 1984. Manusia Jawa, Jakarta,
Intidayu. 1979. Adat Istiadat Jawa, Bandung, Padma. 1971. Sari Falsafat India,
Jakarta.
·
Hari Soewarno, Moh. tth. Syekh Siti Jenar, ttp: PT
Antar Surya Jaya, tth.
·
Harjawijaya. 1926. Serat Suluk Wali Sana Jilit I - II,
Kediri: Tan Khoen Swie.
·
Jamil, Abdul. Aspek Islam dalam Sastera Jawa, dalam M
Darori Amin. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa,
·
Kerajaan-kerajaan Konsentris, Jakarta: Gramedia.
·
Madjid, Nurcholish. 1985. Tasawuf Sebagai Inti
Keberagaman, Pesantren, Vol. II, No. 3. 1984. Khazanah Intelektual Islam,
Jakarta: Bulan Bintang.
·
Makalah Seminar ‘Reaktualisasi Ajaran Walisanga Dalam
Konteks Toleransi Antar Umat Beragama’, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian
Budaya Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab IAIN Yogyakarta dan
Gatra-Majalah Berita Mingguan 12 November 2001.
·
Mangun Wijaya. 1970. Syekh Siti Jenar, Surakarta:
Museum Radyapustaka.
·
Massignon, Louis. 2000. al-Hallaj: Sang Sufi Syahid,
Terj.
·
Dewi Candraningrum Yogyakarta: Fajar Pustaka.
Muhtarom, Zaini. 1988. Santri dan Abangan di Jawa,
·
Jakarta, IINIS, cet., ke-1.
·
Mulder, Neils. 1978. Kepribadian Jawa dan Pembangunan
Nasional, Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press.
·
Muljana, Slamet. 1968. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa
dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, Jakarta.
·
Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Ajaran dan Jalan Kematian
Syeikh Siti Jenar: Konflik Elite Dan Lahirnya Mas Karebet, Yogyakarta: Kreasi
Wacana. 2002. Makrifat Burung Surga dan Ilmu Kasampurnan Syekh Siti Jenar:
Memasuki Ajaran Kearifan Syekh Siti Jenar Dalam Serat Bayan Budiman,
Yogyakarta: Kreasi Wacana. 2004. Makrifat Siti Jenar: Teologi Pinggiran Dalam
Kehidupan Wong Cilik, Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.
·
Yogyakarta: Gama Media. 2000. Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa,
·
Jong, S. De. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Yogyakarta;
Bentang Budaya.
·
Yogyakarta. 1998.
Bisnis kaum Sufi: Studi Tarekat dalam
·
Journal Pemikiran Islam Paramadina. 1998. Vol. I Nomor
1, Juli - Desember.. 1999. Vol. I Nomor 2..
·
Masyarakat Industri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
cet., ke-1.
·
Mulyono, Sri. 1979. Simbolisme dan Mistikisme dalam Vol.
8 No. 2 Juli - Desember 2012 133
·
Wayang, Jakarta.
·
Murata, Sachiko. 1998. The Tao of Islam: Kitab Rujukan
Tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Bandung: Mizan.
·
Nabilah Lubis. 2001. Naskah, Teks dan Metode
Penelitian Filologi, Jakarta: Yayasan Media Alo Indonesia.
·
Nadim, Syaikh al-Jisr. 1998. Para Pencari Tuhan:
Dialog Al- Qur’an, Filsafat, dan Sains dalam Bingkai Keimanan, Bandung, Pustaka
Hidayah.
·
Nainar, S. Muhammad Husayn. 1956. Islam di India dan
Hubungannya dengan Indonesia, Jakarta.
·
Nasr, Hossein, Seyyed. 1996. The Intellectual
Tradition in Persia, Surrey: curzon Press.
·
Nasution, Harun. 1992. Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam, Jakarta: Bulan Bintang.. 1986. Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta:
Universitas Indonesia Press.1992. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta:
Djambatan.
·
R. Woodward, Mark. 1999. Islam Jawa: Kesalehan
Normatif versus Kebatinan, Yogyakarta: LkiS.
·
Raden Tanojo. 1954. Suluk Wali Sanga: Anggambarake
mekare kawruh kebatinan kang pada ginilut para linuwih dek djaman pandjenengane
Wali Sanga ing Nusa Djawa, nalika achier Karaton Madjapahit nganti tumeka awale
Karaton Demak, Surakarta: R Tanojo.
·
Rahman, Fazlu. 1975. The Philosophy of Mulla Sadra
(Sadr al-Din al-Shirazi), Albany: State University of New York press.
·
Ras, J. J. 1990., Tradisi Jawa Mengenai Masuknya Islam
di Indonesia, Seri INIS.
·
Rasjidi, M. 1992. Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan
Bintang.
·
Robson. 1981. Java at The Crossroads: Aspect of
Javanese Cultural History, ttp, Bijdragen.
·
Ronkel, Ph. S. Van. 1913. Suluk Syekh Lemahbang.
·
Saksono Widji. 1995. Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah
atas Metode Dakwah Walisongo, Bandung: Mizan.
·
Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang. 1962. Islam Menurut Wejangan Wali Songo,
Dalam 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I dan II, Jakarta:
Universitas Indonesia Pres. 1998. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof.
·
Dr. Harun Nasution, Bandung: Mizan. 1987. Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: Universitas Indonesia Press.
·
Neco Kaptein et. al.1995. Delapan Tokoh Ilmuwan
Belanda Bagi Pengkajian Islam Indonesia Seri INIS XXVII, Jakarta: INIS.
·
Nicholson, A., Reynold. 1995. Aspek Rohaniah
Peribadatan Islam di Dalam Mencari Keridhaan Allah, Terj. A. Nashir Budiman,
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
·
Noer, Kautsar Azhari. 1995. Ibnu al-Arabi: Wahdat
al-Wujûd dalam Perdebatan, Jakarta: Paramadina.
·
Palmer, Richard F. 1969. Hermeneutics: Interpretation
Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Northwestern:
University Press.
·
Panji Natarata. 1958. Serat Sitidjenar: Njarijosaken
lalampahan sarta iktikadipun wali Syekh Sitidjenar saha
·
Majalah al-Jami’ah, nomor 4-5, Tahun I, April-Mei.
Salam, Solihin. 1960. Sekitar Walisongo, Menara Kudus. Schoun, Frithjof. 1987.
Mencari Titik Temu Agama-agama,
·
Jakarta: Pustaka Firdaus.
·
Serat Babad Tembayat 3, alih aksara dan bahasa Mulyono
Sastranaryatmo, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
·
Serat Seh Siti Djenar. 1936. Javaanche Uitgaven van
Widya Poestaka, Indonessche Drukkerij, Weltevreden, 1917. Legaat Prof. Dr. C.
Snouck Hurgrunje.
·
Serat Siti Jenar. 1922. Kediri, Solo: Tan Khoen Swie.
·
Sharif, M.M., ed. 1995. A History of Muslim
Philosophy: With Short Accounts of Other Disciplines and The Modern Renaissance
in Muslim Lands Vol I dan II, Delhi: Low Price Publication.
·
Simuh, “Mistik Islam Kejawen dalam Wedhatama” (Paper
disusun dan disajikan dalam rangka Diskusi Tetap Dosen-dosen IAIN Sunan
Kalijaga), th., ke-6 Akademik 1983/1984.
·
Kjai Kebokenanga ing Pengging, (Tembang) Jogkakarta: .
1988. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
·
Kulawarga Bratakesawa.
·
Poedjawijatna, Prof. Ir. 1981. Manusia Dengan Alamnya:
Filsafat Manusia, Jakarta: Bina Aksara.
·
Poejoesoebroto, R. 1978, Wayang Lambang Ajaran Islam,
Jakarta: Pradnya Paramita.
·
Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja. 1952. Kepustakaan
Jawa, Jakarta.
·
Poespowardojo, Soerjanto, ed. et. al.1982. Sekitar
manusia; Bunga Rampai Tentang Filsafat Manusia, Jakarta: PT. Gramedia.
·
Prasetyo, Hendro. 1994. Mengislamkan Orang Jawa:
Antropologi Baru Islam Indonesia, dalam Islamika, No. 3, Maret.
·
Purwadi. 2004. Gerakan Spiritual Syekh Siti Jenar,
Yogyakarta: Media Abadi.
·
Ranggawarsita: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid
Hidayat Jati, Jakarta: Universitas Indonesia Press.. 1999. Sufisme Jawa:
Tranformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya.
·
Sjadzali, Munawir. 1995. Kontekstualisasi Ajaran
Islam, Jakarta: IPHI dan Paramadina.
·
Sobary, Mohammad, Pengantar: Kewibawaan ‘Subversif’
Syekh Siti Jenar, dalam Abdul Munir Mulkhan. 2000. Syekh Siti Jenar: Pergumulan
Islam-Jawa, Yogyakarta: Bentang Budaya.
·
Sofwan, Ridin, at. al 2000.. Islamisasi di Jawa:
Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 1999. Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan, Semarang, Aneka Ilmu.
·
Steenbrink, Karel, A. 1988. Mencari Tuhan Dengan
Kacamata Barat, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press.
·
Sujamto. 1997. Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan
Hidup Jawa, Semarang, Dahara Prize.
·
Sulami, Abd al-Rahman, Abu, al-. 1992. Futuwwah:
Konsep Pendidikan Kekesatriaan di Kalangan Sufi, Bandung, al- Bayan.
·
Suluk Seh Siti Jenar, alih bahasa Sutarti, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah, 1981.
·
Suluk Wali-wali Tanah Jawa, alih aksara dan penerjemah
oleh Muhammad Khafid Kasri et.al., Jakarta: Universitas Indonesia, 1993.
·
Syahrastani, al-, Abdul Karim, Muhammad, Abu al-Fath,
Al- Milal wa al-Nihal, ttp: Dar al-Fikr, tth.
·
Syahrastani, al, Kitab Nihayah al-Aqdam Fi ‘Ilmi
al-Kalam, ttp:tth
·
Syaikh, Said, M., 1991. Kamus Filsafat Islam, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
·
Taftazani al-, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. 1997. Sufi
Dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad Rofi’ ‘Usman, Bandung: Penerbit Pustaka.
·
Thusi, al-, Nasr al-Din, Mushari’ al-Mushari’, ttp:
tth. Wahid, Abdurrahman. 1987. Islam dan Kebatinan: Sebuah
·
Tinjauan Umum, Pustaka, No. I Th. Ii, Februari. Wasit
dkk. 1998. Penyebaran Islam di Jawa, IAIN
·
Walisongo, Semarang.
·
Yulius Widiantoro, Pergeseran Ontologis Hermeneutik
Berpedomankan Bahasa, dalam Driyarkara: Majalah Filsafat Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara, th. XX, No. 3 1993/1994.
·
Ziai, Hossein. 1998. Suhrawardi Filsafat Illuminasi
Penceramahan Ilmu Pengetahuan, Bandung: Zaman Wacana Mulia.
·
Zoetmulder, J.P. 1991. Manunggaling Kawula Gusti:
Pantheisme dan Monisme Dalam Sastra Suluk Jawa, Jakarta: Gramedia.