KISAH
SUNAN KAJENAR atau SYEH SITI JENAR
Penulis Agung : Damar Shashangka
Konon,
Seorang ulama Islam, bernama Syeh Abdul Jalil, datang ke Jawa dan bermukim di
Bukit Amparan Jati (Daerah Cirebon sekarang). Disana, beliau bertemu dengan
Syeh Dzatul Kahfi, seorang ulama sepuh yang sudah lama menetap di Bukit Amparan
Jati. Ulama sepuh inilah guru dari Pangeran Walang Sungsang dan Dewi Rara
Santang, putra-putri dari Prabhu Silih Wangi, Raja Pajajaran.
Setelah menetap berdekatan dengan Syeh Dzatul Kahfi, Syeh Abdul Jalil kemudian berpindah ke Carbon Girang. Disana beliau mendirikan sebuah Pesantren dengan nama KRENDHASAWA.
Banyak yang tertarik dengan ajaran beliau yang bernuansa
spiritual murni. Sama sekali berbeda dengan para ulama-ulama lain yang juga
mengurusi kenegaraan. Sibuk ingin mendirikan Kekhalifahan Islam.
Di
Pesantren Krendhasawa, para santri tidak menemui nuansa politik seperti itu.
Ajaran tassawuf begitu kental. Nuansa kedamaian sangat terasa.
Kehadiran Syeh Abdul Jalil, menyita perhatian Dewan Wali Sangha yang berpusat di Ampeldhenta (Daerah Surabaya sekarang).
Sudah menjadi kesepakatan bersama, seyogyanya, para ulama yang menetap di Jawa, masuk menjadi anggota Dewan Wali. Syeh Abdul Jalil tidak menolak ajakan itu.
Beliau bersedia masuk menjadi
anggota Dewan Wali Sangha.
Begitu menjadi anggota Dewan Wali, beliau mendapat julukan Syeh Lemah Abang atau Syeh Ksiti Jenar (Lemah = Tanah, Abang = Merah. Ksiti = Tanah, Jenar = Kuning). Beliau mendapat gelar seperti itu karena beliau tinggal didaerah Jawa bagian barat yang terkenal tanahnya berwarna merah kekuning-kuningan, beda dengan tanah jawa bagian tengah dan bagian timur.
Kata SITI yang artinya tanah, lama-lama berubah menjadi SITI.
Maka terkenallah beliau dengan sebutan Syeh
Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang atau Sunan Kajenar.
Beliau
bukan keturunan bangsawan. Kebanyakan, para ulama yang waktu itu dikenal dengan
sebutan Wali, berasal dari kalangan bangsawan. Sebut saja Sunan Ampel, dia
berdarah bangsawan Champa. Sunan Benang ( lama-lama berubah menjadi Bonang ),
Sunan Darajat ( lama-lama berubah menjadi Drajat ), Sunan Lamongan, ketiganya
putra Sunan Ampel, berdarah bangsawan Champa dan Tuban (karena istri Sunan
Ampel masih keturunan Kadipaten Tuban), begitu juga Sunan Kalijaga (berdarah
Tuban), Sunan Giri (berdarah Blambangan), dll.
Syeh
Siti Jenar, tidak berdarah biru. Namun beliau memiliki ‘kecemerlangan’ melebihi
para menak berdarah keraton. Mungkin ini juga yang menjadi salah satu faktor
sehingga beliau sama sekali tidak tertarik dengan tetek bengek urusan
perpolitikan, selain memang ‘kesadaran’ beliau yang benar-benar tinggi.
Konon, Syeh Siti Jenar adalah putra Syeh Datuk Sholeh yang bermukim di Malaka. Syeh Datuk Sholeh putra dari Syeh Datuk Isa. Syeh Datuk Isa putra Syeh Khadir Khaelani. Syeh Khadir Khaelani adalah putra Abdullah Khannuddin.
Dan Abdullah
Khannuddin putra Ashamat Khan atau Syeh Abdul Malik, yang konon tinggal di
India sebelah barat yang sekarang wilayah Pakistan. (Nah, bisa diketahui kan,
kebijaksanaan beliau berasal dari mana? : Damar Shashangka).
Namun,
status keanggotaan Syeh Siti Jenar didalam Dewan Wali Sangha tidak-lah
berlangsung lama. Sebab, begitu melihat para ummat Islam yang semula
benar-benar murni memperbaiki akhlaq, lama-lama terpengaruh gerakan militansi
Islam yang mulai digalang oleh Sunan Giri, santri senior Sunan Ampel. Ditambah
lagi, hal serupa juga tengah dilakukan oleh Pangeran Cakrabhuwana, penguasa
Carbon Girang.
Kegiatan-kegiatan
ruhani Islami, kini berubah diwarnai dengan latihan-latihan tempur. Fokus utama
memperbaiki diri, kini berubah menjadi out action, menyalahkan fihak lain.
Suasana damai antara penganut Islam, Hindhu dan Buddha, lama-lama mulai
goncang.
Syeh
Siti Jenar tidak menyukai hal ini. Dimana-mana, aksi sepihak dari ummat Islam
membuat suasana menjadi panas. Penganut Hindhu dan Buddha yang selama ini
merasa damai bersanding dengan penganut agama baru ini, mulai terusik.
Syeh
Siti Jenar, melayangkan surat protesnya ke Ampeldhenta. Namun Sunan Ampel
meyakinkan, semua masih wajar dan tidak berlebihan. Namun, bagi Syeh Siti
Jenar, apa yang dikatakan Sunan Ampel tidaklah sesuai dengan kenyataan di
lapangan.
Ada
seorang ulama yang menyuarakan hal serupa, dialah Sunan Kalijaga. Bersama Syeh
Siti Jenar, Sunan Kalijaga mencoba membendung gerakan-gerakan ummat Islam yang
kini berubah radikal. Mau tidak mau, diam-diam, ummat Islam terpecah menjadi
dua kubu. Kubu yang militan dan merasa dirinya paling benar karena katanya
mengikuti anjuran Al-Qur’an dan Hadist secara kaffah di dipimpin Sunan Giri,
Sunan Giri menyatakan, siapa saja yang menolak pergerakan ummat Islam yang
tengah gencar-gencarnya saat ini, sama saja menjalankan ajaran bid’ah. Sunan
Giri mengklaim, golongannya adalah golongan PUTIHAN (Kaum Putih), dan ummat
Islam yang tidak sepaham dengan golongannya, di tuduh sebagai penganut bid’ah,
golongan ABANGAN (Kaum Merah).
Untuk
mengukuhkan pengakuannya, pengikut Sunan Giri bahkan menyebarkan desas-desus bahwa
Syeh Siti Jenar adalah seorang penganut ilmu sihir dari India. ( Jelas
diceritakan dalam Babad Tanah Jawa, Syeh Siti Jenar mencuri dengar wejangan
agama dari Sunan Bonang yang kala itu tengah mewejang Sunan Kalijaga. Syeh Siti
Jenar konon berubah menjadi cacing tanah. Sunan Benang sendiri yang menambal
bagian perahu yang sedikit berlobang kala hendak berlayar ke tengah laut untuk
sekedar memberikan wejangan rahasia kepada Sunan Kalijaga. Sunan Benang
menambalnya dengan segenggam tanah. Padahal, didalam tanah yang sudah
tergenggam itu, ada Syeh Siti Jenar yang berwujud cacing. Sunan Benang tahu,
tapi dia diam saja. Begitu selesai mewejang barulah Sunan Benang menyuruh
cacing itu berubah menjadi manusia. Simbolisasi ini sangat jelas sekali,
bahwasanya masuknya Syeh Siti Jenar ke Dewan Wali Sangha adalah atas prakarsa
Sunan Benang, disimbolkan dengan mengambil tanah berisi cacing. Dan Syeh Siti
Jenar dianggap hanyalah rakyat jelata yang sama dengan cacing. Perahu
melambangkan Dewan Wali. Di bagian jawa sebelah barat, ada kekosongan pimpinan
ummat Islam. Syeh Dzatul Kahfi sudah sepuh. Pangeran Cakrabhuwana bukanlah
seorang ulama, dia seorang politikus, ( Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
Jati, belum datang ke Cirebon. Dia masih di Mesir. Dengan datangnya ‘sang
rakyat jelata Syeh Siti Jenar’, kekosongan pemimpin agama bisa ditutupi, tak
mengapa walau yang mengisi kekosongan adalah ‘seekor cacing’. Cacing ini,
rakyat jelata ini, berubah menjadi manusia atas anugerah Sunan Benang. Seorang
rakyat jelata, kini disegani sederajat dengan para bangsawan, itu karena andil
Sunan Benang. Dan sang cacing ini, sangat dekat dengan Sunan Kalijaga. : Damar
Shashangka )
Simbolisasai
ini jelas-jelas muncul dikemudian hari setelah Syeh Siti Jenar difatwakan sesat
oleh Dewan Wali. Ada ungkapan diskriminatif di Jawa “ Wong ya pancene godhong
Krokot, diunggahna nganti dhuwur ya tetep wae cukule melorot.” ( Namanya juga
daun Krokot, walaupun diangkat setinggi mungkin, tumbuhnya tetep saja melorot
kebawah. ) Ungkapan ini biasanya mencerminkan kekesalan seseorang yang telah
berjasa mengangkat orang lain dari kesengsaraan namun kemudian lupa daratan.
Dan manakala Syeh Siti Jenar, yang dulu bukan apa-apa, dan dimasukkan ke Dewan
Wali oleh Sunan Benang, sehingga kedudukannya terangkat, namun dikemudian hari
berani menentang Para Wali yang lain, maka kerluarlah ungkapan kekesalan secara
simbolik ini. Namanya saja rakyat jelata, bagaimanapun juga, tetep saja
kelakuannya seperti rakyat jelata, seperti cacing. Kurang lebih seperti itu.
Padahal,
tingkat ‘spiritualitas’ seseorang tidak bisa diukur oleh pangkat dan derajatnya
di masyarakat. Para Wali lupa. Karena mereka memang tengah terfokus pada
duniawi. Pada Kekhalifahan semata. Namun, tidak demikian dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga, sangat menghormati Syeh Siti Jenar karena tingkat
spiritualitasnya benar-benar tinggi.
Kubu
Sunan Giri dan kubu Sunan Kalijaga, tidak pernah sepaham dimana-mana. Dan
manakala Sunan Giri memberontak ke Majapahit dan ingin mendirikan Kekhalifahan
Islam di Jawa, walaupun lantas bisa dihancurkan oleh Majapahit, Syeh Siti
Jenar, menyampaikan protes keras. Bahkan beliau kemudian menyatakan, keluar
dari Dewan Wali Sangha.
Pada
tahun 1475, Syarif Hidayatullah bersama ibunya Syarifah Muda’im, datang dari
Mesir ke Cirebon. Syarifah Muda’im adalah nama muslim Dewi Rara Santang. Dia
adalah adik kandung Pangeran Cakrabhuwana, penguasa Carbon Girang.
Mendengar
kedatangan Syarif Hidayatullah, Sunan Giri segera mengirim utusan untuk
memintanya bergabung bersama Dewan Wali Sangha yang berpusat di Ampeldhenta.
Syarif Hidayatullah menyetujuinya. Lantas dia dikenal dengan nama Sunan Gunung
Jati. Dengan adanya Sunan Gunung Jati, kekosongan kepemimpinan Islam di jawa
bagian barat yang semula di jabat Syeh Siti Jenar, tertutupi sudah.
Maka
kini, ada dua kekuatan besar di Cirebon. Satu Syeh Siti Jenar dan yang kedua
Sunan Gunung Jati.
Pada
awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Pimpinan Dewan Wali Sangha berpindah ke
tangan Sunan Giri. Hubungan Syeh Siti Jenar dan Sunan Giri yang selama ini
terkenal tidak bagus, begitu kepemimpinan Dewan Wali berganti, maka hubungan
ini semakin meruncing.
Bahkan,
manakala terdengar bahwa Syeh Siti Jenar, mengajarkan Ilmu Tassawwuf tingkat
tinggi kepada murid-muridnya, yang sesungguhnya semua wali juga paham akan Ilmu
tersebut, oleh Sunan Giri, hal itu dijadikan alasan untuk mencari-cari
kesalahan Syeh Siti Jenar.
Syeh
Siti Jenar, dipanggil menghadap ke Giri Kedhaton. Dan kisahnya tercatat dalam
Pupuh ( Bait-Bait ) Tembang Jawa seperti dibawah ini :
Sinom
Pagurone
Syeh Lemah Bang,
Wejangane
tanpa rericik,
Lan
wus atinggal sembahyang,
Rose
kewala liniling,
Meleng
tanpa aling-aling,
Wus
dadya Paguron Agung,
Misuwur
kadibyannya,
Denira
talabul’ilmi,
Wus
tan beda lan sagunging aulia.
Sangsaya
kasusreng janma,
Akeh
kang amanjing murid,
Ing
praja praja myang desa,
Malah
sakehing ulami,
Kayungyun
ngayun sami,
Kasoran
kang Wali Wolu,
Gunging
Paguronira,
Pan
anyuwungaken masjid,
Karya
suda kang amrih agama mulya.
Santri
kathah keh kebawah,
Mring
Lemah Bang manjing murid,
Ya
ta Sang Syeh Siti Jenar,
Sangsaya
gung kang andasih,
Dadya
imam pribadi,
Mangku
sa-reh bawahipun,
Paguroning
Ilmu Khaq,
Kawentar
prapteng nagari,
Lajeng
karan Sang Pangeran Siti Jenar.
Satedhaking
Majalengka,
Kalawan
dharahing Pengging,
Keh
prapta apuruhita,
Mangalap
kawruh sejati,
Nenggih
Ki Ageng Tingkir,
Kalawan
Pangeran Panggung,
Buyut
Ngerang Ing Betah,
Lawan
Ki Ageng Pengging,
Samya
tunggil paguron mring Siti Jenar.
Ing
lami-lami kawarta,
Mring
Jeng Susuhunan Giri,
Gya
utusan tinimbalan,
Duta
wus anandhang weling,
Mangkat
ulama’ kalih,
Datan
kawarna ing ngenu,
Wus
prapta ing Lemah Bang,
Duta
umarek mangarsa,
Wus
apanggih lan Pangeran Siti Jenar.
Nandukken
ing praptaning,
Dinuteng
Jeng Sunan Giri,
Lamun
mangkya tinimbalan,
Sarenga
salampah mami,
Wit
Jeng Sunan miyarsi,
Yen
paduka dados guru,
Ambawa
Imam Mulya,
Marma
tuwan den timbali,
Terang
sagung ing pra Wali sadaya.
Prelu
musyawaratan,
Cundhuking
masalah ilmi,
Sageda
nunggil seserepan,
Sampun
wonten kang sak serik,
Nadyan
mawi rericik,
Apralambang
pasang semu,
Sageda
salingsingan,
Pangeran
Siti Jenar angling,
Ingsun
tinimbalan Sunan Giri Gajah.
Apa
tembunge maring wang,
Ature
duta kekalih,
Inggih
maksih Syeh Lemah Bang,
Pangeran
Siti Jenar angling,
Matura
Sunan Giri,
SYEH
LEMAHBANG YEKTINIPUN,
ING
KENE ORA ANA,
AMUNG
PANGERAN SEJATI,
Langkung
ngungun duta kalih duk miyarsa.
Andikane
Syeh Lemah Bang,
Wasana
matus aris,
Kados
pundi karsandika,
Teka
makaten kang galih,
Wangsulan
kang sayekti,
Pangeran
ngandika arum,
Sira
iku mung saderma,
Aja
nganggo mamadoni,
INGSUN
IKI JATINING PANGERAN MULYA.
Duta
kalih lajeng mesat,
Lungane
datanpa pamit,
Sapraptaning
Giri Gajah,
Marek
ing Jeng Sunan Giri,
Duta
matur wot sari,
Dhuh
pukulun Jeng Sinuhun,
Amba
sampun dinuta,
Animbali
Syeh Siti Brit,
Aturipun
sengak datan kanthi nalar.
Terjemahan :
Perguruan
Syeh Lemah Bang,
Wejangannya
tanpa menggunakan perlambang ( simbolisasi dan langsung ke inti sarinya ilmu ),
Sholat
syari’at tidak dipentingkan,
Inti
sarinya saja yang dihayati,
Sangat
gamblang, jelas dan tidak ditutup-tutupi lagi,
Sudah
menjadi Perguruan Besar,
Terkenal
kehebatannya,
Kedalaman
Ilmu beliau,
Sudah
tak ada beda dengan para Aulia.
Semakin
terkenal ditengah masyarakat,
Banyak
yang datang menjadi murid,
Berasal
dari kota sampai ke pelosok pedesaan,
Bahkan
banyak para ulama,
terpikat
dan masuk menjadi pengikut,
Kalahlah
Delapan Wali yang lain,
Karena
kebesaran perguruannya,
Masjid
para wali ditinggalkan,
Membuat
surut pengikut para Wali yang katanya membawa agama paling mulia.
Banyak
para santri yang menjadi pengikut,
Menjadi
murid Syeh Lemah Bang,
Adapun
Sang Syeh Siti Jenar,
Semakin
banyak yang mencintai,
Beliau
menjadi Imam tunggal,
Jadi
panutan para murid,
Perguruannya
mengajarkan Ilmu Khaq ( Ilmu Sejati ),
Terkenal
diseluruh wilayah negara,
Beliau
mendapat sebutan,
Sang
Pangeran Siti Jenar.
Seluruh
keturunan Majalengka ( Majapahit ),
Termasuk
keturunan dari Pengging,
Banyak
yang terpikat oleh beliau,
Datang
menimba ilmu pengetahuan sejati,
Seperti
Ki Ageng Tingkir,
Juga
Pangeran Panggung,
Buyut
Ngerang dari daerah Butuh,
serta
Ki Ageng Pengging,
Menjadi
satu paham dengan beliau.
Lama-lama
terdengar juga,
Oleh
Kangjeng Susuhunan Giri,
Beliau
segera memanggil utusan,
Sang
duta sudah mendapatkan pesan yang harus disampaikan,
Berangkatlah
dua orang ulama,
Tidak
diceritakan di perjalanan,
Sudah
sampai di Lemah Bang,
Sang
duta mendekat dihadapan,
Setelah
bertemu langsung dengan Pangeran Siti Jenar.
Menyampaikan
maksud kedatangannya,
Diutus
Jeng Sunan Giri,
Bahwasanya
Pangeran Siti Jenar diharapkan menghadap,
Berangkat
bersama kami,
Sebab
Jeng Sunan Giri telah mendengar,
Bahwasanya
paduka ( Pangeran Siti Jenar ) telah menjadi Guru Agung,
Menjadi
Imam Mulia,
Oleh
karena itu tuan dipanggil,
Untuk
bermusyawarah menyelesaikan kesalah pahaman dengan Para Wali semua.
Berembug
untuk menyatukan pemahaman,
Supaya
tidak terjadi perpecahan,
Agar
tercapai kesepahaman,
Jangan
sampai timbul fitnah,
Walaupun
Ilmu yang diajarkan memakai metode berbeda,
menggunakan
kata-kata kiasan dan perlambang,
Intisari-nya
jangan sampai berbeda makna,
Pangeran
Siti Jenar berkata,
Aku
dipanggil Sunan Giri Gajah,
(Sunan
Giri Gajah, salah satu nama lain Sunan Giri Kedhaton. Ada cerita simbolik
mengenai hal ini.Konon, Sunan Giri tengah menggendong anaknya yang
terus-terusan menangis. Karena tak juga berhenti, maka Sunan Giri menyabda
sebuah batu menjadi gajah. Melihat batu berubah menjadi gajah. Anak Sunan Giri
diam tangisannya. Namun, gajah tersebut kemudian berubah menjadi batu lagi
Simbolisasinya, Sunan Giri didesak oleh para ulama-ulama yang lain untuk segera
membentuk Kekhalifahan Islam. Sunan Giri menurutinya. Dan, diamlah
desakan-desakan itu. Walaupun ternyata, kebesaran Giri Kedhaton yang seumpama
besarnya seekor gajah, ternyata hanya sekejap saja. : Damar Shashangka)
Apa
panggilan Sunan Giri kepadaku?,
Kedua
duta menjawab,
Beliau
memanggil Syeh Lemah Bang,
Pangeran
Siti Jenar berkata,
Katakan
kepada Sunan Giri,
SYEH
LEMAH BANG SESUNGGUHNYA,
DISINI
TIDAK ADA,
YANG
ADA PANGERAN SEJATI ( TUHAN YANG SESUNGGUHNYA ),
Terkejut
keheranan kedua duta.
Mendengar
kata-kata Syeh Lemah Bang,
Lantas
berkata,
Bagaimana
maksud anda ?
Sampai
bisa berkata demikian?
Tolong
berikan penjelasan kepada kami,
Pangeran
Siti Jenar berkata lembut,
Kalian
hanyalah utusan,
Jangan
membantah,
INGSUN
(AKU) INI SESUNGGUHNYA PANGERAN MULYA ( TUHAN YANG MAHA MULIA ).
Kedua
utusan lantas keluar,
Pergi
tanpa berpamitan,
Sesampainya
di Giri Gajah,
Mendekat
kepada Jeng Sunan Giri,
Utusan
menghaturkan hasil tugasnya dari awal sampai akhir,
Dhuh
Yang sangat kami hormati dan yang menjadi junjungan kami,
Kami
sudah tuan utus,
Memanggil
Syeh Siti Brit ( Brit ; Merah ),
Jawaban
beliau memanaskan telinga dan tidak memakai nalar.
Nama
besar Syeh Siti Jenar berkumandang keseluruh wilayah Majapahit dan Pajajaran.
Bukan hanya penganut Islam, para pemeluk agama Hindhu dan Buddha-pun sangat
menghormati beliau. Sunan Kalijaga sering bertandang ke Pesantren Krendhasawa.
Kedua tokoh ini, ibarat kakak adik yang tidak bisa dipisahkan.
Kedekatan
dua tokoh besar yang sangat disegani oleh seluruh masyarakat Majapahit, sangat
merisaukan Dewan Wali Sangha. Apalagi ketika dua tokoh itu, mengumandangkan
ajaran Islam yang mengakui segala persamaan dengan agama lain, Dewan Wali
sedikit berang. Dewan Wali Sangha masih menganggap Islam adalah segala-galanya,
tidak bisa disamakan dengan agama lain.
Dan
ketika Sunan Giri mendengar Syeh Siti Jenar mengajarkan esensi Islam yang
sesungguhnya tidak berbeda dengan esensi agama lain, maka diutuslah duta untuk
memanggil beliau agar menghadap ke Giri Kedhaton.
Syeh
Siti Jenar sengaja mengeluarkan ucapan yang sangat dalam, ucapan esensial
kepada kedua utusan Sunan Giri, untuk mencoba mereka, apakah mereka juga telah
mendapatkan wejangan serupa dari Sunan Giri? Ternyata, kedua utusan masih
mentah. Masih bengong dan kebingungan. Jelas sudah, Dewan Wali Sangha hanya
mengajarkan kulit luar Islam. Kulit luar yang akan memicu perpecahan, memicu
ego spiritual, memicu sikap eksklusifisme, karena bagaimanapun juga, pada
tataran ‘kulit’, pastilah akan tampak perbedaan yang mencolok.Jika tidak
didalami, jika tidak ditingkatkan lagi, mereka akan terjebak, terjebak pada
kulit semata. Ini bisa menyesatkan. Namun, malahan Syeh Siti Jenar yang
dianggap sesat. Menggelikan.
Mendengar
Syeh Siti Jenar mengucapkan kata-kata yang sangat tinggi kepada kedua ulama
utusan Sunan Giri, Sunan Kalijaga segera bertandang ke Cirebon. Beliau
menanyakan kebenaran berita itu. Dan Syeh Siti Jenar membenarkannya. Sunan
Kalijaga menasehati, agar berhati-hati mengeluarkan ucapan, karena para
pengikut PUTIHAN, banyak yang masih terjebak kulit. Mereka tidak memahami
esensi Islam. Dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah bagi diri Sang Syeh. Namun
Syeh Siti Jenar menjawab itu semua memang beliau sengaja untuk menyentil Sunan
Giri. Syeh Siti Jenar tahu, Sunan Giri paham akan ucapan beliau, dan Syeh Siti
Jenar ingin melihat reaksi pemimpin Dewan Wali Sangha itu.
Kedua
utusan Sunan Giri telah sampai di Giri Kedhaton. Keduanya menghadap Sunan Giri
dan kisahpun berlanjut seperti dibawah ini :
Kinanthi
Makaten
wiraosipun,
Heh
sira dhuta kekalih,
Ingsun
mengko tinimbalan,
Ing
ngarsa Jeng Sunan Giri,
Matura
yen ora ana,
Kang
ana Pangeran Jati.
Sakala
kawula rengu,
Paran
kang dados pamanggih,
Dene
ngaken Pangeran,
Ulun
nunten den wangsuli,
Sira
iku mung saderma,
Ngaturake
ala becik.
Wau
sapamyarsanipun,
Legeg
Jeng Susuhunan Giri,
Jaja
bang mawinga-winga,
Kadya
age den tedhaki,
Rinapa
pra auliya,
Dhuh
Sang Ambeg Wali Mukmin.
Den
sabar penggalihipun
Inggih
katandha rumiyin,
Kekencengane
ing tekad,
Gampil
pinanggih ing wingking,
Yen
sampun kantenan dosa,
Kados
boten makalahi.
Leleh
ing penggalihipun,
Myarsa
sabdaning Pra Wali,
Jeng
Sunan Ing Giri Gajah,
Dhuta
kinen wangsul malih,
Animbali
Syeh Lemah Bang,
Ujare
kinen nuruti.
Jangji
seba ngarsaningsun,
Ujare
ywa mindho kardi,
Dhuta
lajeng nembah mesat,
Sampun
prapta ing Siti Brit,
Panggih
lawan Syeh Lemah Bang,
Nandukken
dennya tinuding.
Mring
Sunan Giri Kedhatun,
Pangeran
dipun timbali,
Sarenga
salampah kula,
Pangeran
Siti Jenar angling,
Mengko
Pangeran tan ana,
Kang
ana Syeh Siti Brit.
Dhuta
tan sawaleng wuwus,
Sarehning
sampun wineling,
Inggih
mangkya Syeh Lemah Bang,
Kang
wonten dipun timbali,
Ngandika
Syeh Siti Jenar,
Pangeran
tan amarengi.
Awit
Syeh Lemah Bang iku,
Wajahing
Pangeran Jati,
Nadyan
sira ngaturana,
Ing
Pangeran Kang Sejati,
Lamun
Syeh Lemah Bang ora,
Masa
kalakona yekti.
Dhuta
ngungun lajeng matur,
Inggih
kang dipun aturi,
Pangeran
lan Syeh Lemah Bang,
Rawuha
dhateng ing Giri,
Sageda
musyawaratan,
Lan
sagunging Para Wali.
Pangran
Siti Jenar nurut,
Lajeng
kering dhuta kalih,
Praptane
ing Giri Gajah,
Pepekan
kang Para Wali,
Pangeran
Ing Siti Jenar,
Anjujug
Jeng Sunan Giri.
Lajeng
ingandika arum,
Bageya
Pangeran kang prapti,
Rawuhe
ing ngarsaningwang,
Pangeran
Siti Jenar angling,
Dhuh
Pukulun sama,
Sama
tumeka suka basuki.
Jeng
Sunan ngandika arum,
Marma
sanak sun aturi,
Kasok
karoban ing warta,
Yen
andika teki-teki,
Makiki
nangkar Ilmu Khaq,
Dadi
paguron sabumi.
Ngasoraken
Wali Wolu,
Mandar
bawa Imam Suci,
Datan
asuci Jumungah,
Saestu
ngong anjurungi,
Pira-pira
sira bias,
Alim
ngelem Para Wali.
Pangeran
Siti Jenar matur,
Nggen
amba purun mbawani,
Medhar
Gaibing Pangeran,
Awit
Allah sipat Asih,
Asih
samining tumitah,
Saben
titah angranggoni.
Nganggowa
ugering ilmu,
Kang
abuntas den atitis,
Sampun
ngantos selang sebat,
Mindhak
abebingung piker,
Amet
ansar dadi sasar,
Karana
kurang baresih.
Pedah
punapa mbebingung,
Ngangelaken
ulah ilmi,
Jeng
Sunan Giri ngandika,
Bener
kang kaya sireki,
Nanging
luwih kaluputan,
Wong
wadeh ambuka wadi.
Telenge
bae pinulung,
Pulunge
tanpa ling-aling,
Kurang
waskhitha ing cipta,
Lunturing
Ilmu Sejati,
Sayekti
kanthi nugraha,
Tan
saben wong anampeni.
Pangran
Siti Jenar matur,
Paduka
amindho kardi,
Ndadak
amerangi tatal,
Tetelane
ing dumadi,
Dadine
saking nugraha,
Punapa
boten ngalami.
Sunan
Giri ngandika rum,
Yen
kaya wuwusireki,
Tan
kena den nggo rerasan,
Yen
ngebreh amedhar wadi,
Pangeran
ora Kuwasa,
Anane
tanpa ling-aling.
Endi
kang ingaran Luhur,
Endi
kang ingaran Gaib,
Endi
kang ingaran Purba,
Endi
kang ingaran Bathin,
Endi
kang ingaran Baqa’,
Endi
kang ingaran Lathif.
Endi
kang ingaran Besus,
Endi
ingaran Birahi,
Yen
Baqa’ mbabar walaka,
Bakal
bubur tanpa bibit,
Mangka
Pangeran Kang Nyata,
Ora
kena den rasani.
Pan
Ora kena dinumuk,
Anane
wahana Gaib,
Matur
Pangran Siti Jenar,
Sedya
purun amabeni,
Bantahan
masalah rasa,
Sinapih
kang Para Wali.
Dhuh
sanak sekalihipun,
Ywa
tansah aben prang sabil,
Prayogi
kanyatakena,
Wonten
ing nggon kang asepi,
Samun
sepen sepi hawa,
Sarahsa
saged anunggil.
Wonten
kawekasanipun,
Yen
mukid yekti karadin,
Jeng
Sunan Ing Giri Gajah,
Wrin
kedhaping sambaing liring,
Sabdaning
Pra Auliya’,
Lajeng
angandika aris.
Heh
Syeh Lemah Bang,
Sireku
aja pijer madoni,
Besuk
ing ari Jumungah,
Padha
musyawaratan batin,
Yekti
katandha kanyata,
Lelere
asmareng ilmi.
Terjemahan
(Kata
sang duta), Begini jawaban beliau,Hai kalian para duta berdua,
Aku
dipanggil menghadap,Dihadapan Sunan Giri,Katakan bahwasanya aku tidak ada,Yang
ada PANGERAN JATI (TUHAN YANG SESUNGGUHNYA).
Seketika
hamba berdua terkejut, Bagaimana bias berpikiran demikian, Mengaku sebagai
PANGERAN (TUHAN),Hamba lantas diberi jawaban, Kalian berdua hanya sekedar
utusan, Kewajibannya hanya menyampaikan saja.
Setelah
mendengar hal tersebut, Tertegun Jeng Susuhunan Giri, Dada bergemuruh
membara,Tidak sabar ingin menemui Syeh Siti Jenar sendiri, Para Auliya (Wali)
menyabarkan,Duh yang menjabat sebagai Wali Mukmin ( Wakil para orang-orang
beriman ).
Mohon
sabarkan hati, Seyogyanya dibuktikan dulu, Apa maksud Syeh Siti Jenar berkata
demikian, Gampang memberikan keputusan hukuman kelak, Apabila sudah jelas dosa
(kesalahan)-nya, (Dan jika memang sudah terbukti ) tidak menjadi soal lagi
untuk menjatuhkan sangsi.
Reda
kemarahan (Sunan Giri),Mendengar sabda Para Wali, (Oleh) Jeng Sunan Giri Gajah,
Utusan disuruh kembali lagi, Memanggil Syeh Lemah Bang, Apapun yang dikatakan
supaya dituruti.
Asalkan
bias menghadap kepadaku (Sunan Giri), Jangan sampai mengulang kegagalan, Utusan
lantas menghaturkan sembah dan berangkat, (Telah) sampai di Siti Brit, Bertemu
dengan Syeh Lemah Bang, (Lantas) menghaturkan maksud mereka diutus kembali.
Oleh
Sunan Giri Kedhaton, PANGERAN (TUHAN) dipanggil menghadap, Berangkatlah bersama
kami, Pangeran Siti Brit menjawab, Saat ini PANGERAN tidak ada, Yang ada Syeh
Siti Brit.
Para
utusan tidak membantah perkataan lagi, Karena sudah diwanti-wanti (oleh Sunan
Giri), Jikalau sekarang yang ada Syeh Lemah Bang, Syeh Lemah Bang dipanggil
menghadap, Berkata Syeh Siti Jenar, PANGERAN (TUHAN) tidak membolehkan.
Sebab
Syeh Lemah Bang itu, Wajah Tuhan Yang Sesungguhnya, Walaupun engkau memohon,
Kepada Tuhan Yang Sesungguhnya, Namun apabila tidak memohon kepada Syeh Lemah
Bang, Sungguh tidak akan terlaksana.
Para
utusan terheran-heran lantas berkata, Sesungguhnya yang diharapkan, PANGERAN
(TUHAN) dan Syeh Lemah Bang, Bertandang ke Giri, Untuk bermusyawarah dengan
segenap Para Wali.
Pangeran
Siti Jenar menurut, Dengan diiringi kedua utusan beliau berangkat, Sesampainya
di Giri Gajah, Para Wali sudah menanti, Pangeran Siti Jenar, Menghadap Jeng
Sunan Giri.
Lantas
( Sunan Giri ) menyambut dengan berkata ramah, Semoga senantiasa sejahtera
kepada Pangeran (Siti Jenar), Yang tengah datang dihadapan kami ini, Pangeran
Siti Jenar menjawab, Duh yang hamba hormati sama-sama, Sama-sama semoga
mendapatkan kebahagian dan keselamatan.
Jeng
Sunan (Giri) berkata manis, Sebab mengapa saudaraku aku undang kemari, (Sebab)
sangat santer terdengar, Apabila saudaraku tengah ber-olah batin, Mengajarkan
Ilmu Khaq ( Ilmu Sejati ), Mendirikan sebuah perguruan (yang sangat terkenal)
dimuka bumi.
Mengalahkan
Para Wali yang lain, Memegang jabatan sebagai Imam Suci, Kesucian hari
Jum’at-pun seolah tertandingi, Benar-benar kami mendukung, Apa saja yang
saudaraku kerjakan, Para Wali menyanjung-nyanjung.
Pangeran
Siti Jenar berkata, Sebab mengapa hamba berani, Membuka Gaib Tuhan, Sebab Allah
bersifat KASIH, KASIH kepada semua makhluk, Setiap makhluk mendapatkannya.
(Hamba
hanya ingin) mengajarkan ilmu sesuai dengan ketentuan, Secara lengkap dan
gamblang, Jangan sampai asal-asalan, (Sehingga) membuat kebingungan para murid,
Memakai ‘kulit’ (syari’at) berlebihan malah akan menyesatkan, Sebab apa yang
diajarkan kurang jelas.
Apa
untungnya membuat bingung, Mempersulit mereka yang menimba ilmu (Sejati), Jeng
Sunan Giri berkata, Benar apa yang kamu katakan, Akan tetapi sangat-sangat
dipersalahkan, Manusia yang sembrono membuka rahasia.
Hanya
mengambil inti sari, Inti sari diambil tanpa memakai ‘kulit’ apapun, (Hal) itu
akan membuat kurang tajam kecerdasan para murid, Turunnya Ilmu Sejati, Sungguh
harus disertai anugerah, Tidak setiap orang boleh menerima.
Pangeran
Siti Jenar menjawab, Perkatan paduka bertolak belakang (inkonsisten), Seperti
hendak menghitung serpihan-serpihan kayu sisa digergaji (artinya : merepotkan),
Bukankah sesungguhnya seluruh makhluk, Tercipta karena anugerah, Apakah tidak
menyadari?
Sunan
Giri berkata manis, Apa yang kamu ucapkan (kepada kedua utusan), Tidak boleh
dibuat percakapan, Apabila lancang membuka rahasia, (Maka seolah-olah) Tuhan
tidak Maha Kuasa, Keberadaan-Nya seolah-olah tidak rahasia.
Maka
seakan-akan tidak ada lagi konsep Keluhuran, Seakan-akan tidak ada lagi konsep
Maha Gaib, Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Berkuasa, Seakan-akan tidak
ada lagi konsep Maha Rahasia, Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Kekal,
Seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Halus.
Maka
seakan-akan tidak ada lagi konsep Maha Cerdas, Ujung-ujungnya etika moral juga
akan rusak, Apabila Maha Kekal ( Al-Baqa’: Bhs. Arab) menjadi Walaka ( Bhs.
Sanskerta, yang artinya umum, lumrah, remeh.), Bakalan bubar tanpa benih,
Padahal Tuhan Yang Sesungguhnya, Tidak bisa dibuat percakapan.
Tidak
bisa diraba dengan tangan kasar, Keberadaannya berada diranah Gaib, Berkata
Syeh Siti Jenar, Hendak berniat berdebat tentang Ilmu Rasa ( Ilmu Sejati),
(Namun) dilerai oleh Para Wali.
Duh
kedua saudaraku, Jangan terus-terusan berdebat, Seyogyanya dinyatakan sendiri (
Hakikat Tuhan itu ), Ditempat yang sepi, Yaitu maksudnya sepinya diri dari hawa
nafsu, Dalam kondisi seperti itu pasti akan nyata kesatuan-Nya dengan kita.
Hal
ini bisa dicapai, Apabila kita benar-benar telah berpasrah total, Jeng Sunan
Giri Gajah, Melihat isyarat leraian, Melalui ucapan Para Auliya’, Lantas
berkata lirih.
Heh
Syeh Lemah Bang, Jangan hanya bisa membantah, Nanti pada hari Jum’at, Datanglah
lagi untuk bermusyawarah tentang Ilmu Bathin, Pasti akan kelihatan nyata, Siapa
yang benar-benar memahami Ilmu Sejati.
Ucapan
Syeh Siti Jenar sangat besar dampaknya bagi image beliau. Kubu PUTIHAN semakin
getol menghakimi kubu ABANGAN.
Sesungguhnya
memang apa yang diucapkan beliau, terlalu tinggi untuk didengar oleh
mereka-mereka yang baru saja mengenal spiritualitas. Namun, pada hakikatnya,
memang benarlah apa yang beliau ucapkan.
Siapakah
DIA YANG TAK TERBAYANGKAN itu? Siapakah RUH manusia itu? Sesungguhnya tiada
beda. Ibarat udara yang terkurung dalam sebuah karet sintetis mainan anak-anak
yang biasa disebut Balon, dengan udara bebas yang ada ditempat terbuka. Apakah
kita bisa membedakannya? Sebuah karet sintetis yang bernama Balon, ibarat
Suksma Sariira ( Badan Halus) dan Sthula Sariira (Badan Kasar) manusia. Dan
udara yang terkurung didalamnya ibarat Atma Sariira ( Ruh ). Dan udara yang ada
ditempat terbuka adalah Brahman itu sendiri.
Suksma
Sariira dan Sthula Sariira, keduanya adalah produk Prakrti, produk Alam, yang
muncul karena diadakan, karena diciptakan. Dan sesuatu yang diadakan,
diciptakan dari ketiadaan, pasti akan memiliki limitasi, memiliki batas
kegunaan. Dan pada saatnya, pasti akan berakhir. Oleh karenanya, kedua produk
ini disebut produk Maya, produk khayalan, produk fana.
Sedangkan
Atma Sariira (Ruh), tidak diciptakan. Tidak diadakan. Dari dulu ada, sekarang
dan sampai selamanya. Atma Sariira adalah bagian yang tak terpisahkan dari
Brahman. Apabila Atma Sariira masih terbelenggu oleh Suksma Sariira dan Sthula
Sariira, tampaklah ia sebagai MANUSHA. Namun, apabila Atma Sariira ( Ruh )
telah lepas dari belenggu Suksma Sariira dan Sthula Sariira, maka apakah bisa
dibedakan lagi mana Atman mana Brahman? Keduanya sudah MENYATU LAGI. Sudah
MANUNGGAL lagi. Inilah MANUNGGALING KAWULA GUSTI!.
Setiap
kali Syeh Siti Jenar berdzikir dgn sendirinya beliau menangkap suara dzikir yg
berbunyi lain. Subhani, Alhamdu li, La ilaha illa ana wa ana al-akbar, fa’budni
(Maha Suci Aku, segala puji untuk- Ku, tiada Tuhan selain Aku, Maha besar Aku,
sembahlah Aku). Walaupun telinga beliau mendengarkan orang di sekitarnya
membaca dzikir Subhana Allah, Al-hamduli Allahi, La ilaha illa Allah, Allahu
Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar sebaliknya, sebagai esensi bunyi
hadist : “Man ‘arafa Nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” ( Siapa yang mengenal Diri
Sejatinya, sungguh dia telah tahu siapa Tuhannya). Dan Syekh Siti Jenar semakin
memahami makna hadist Nabi Muhammad yang berbunyi : “Al-Insan sirri wa Ana
sirruhu” (Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Apabila
sudah mencapai puncak spiritualitas seperti ini, apabila sudah mencapai maqam
(tingkat) Tajjali ( Allah terlihat nyata) seperti ini. Maka, bisakah kita
membedakan mana Jesus mana Bapa? Bisakah kita membedakan mana Siddharta Gautara
mana Buddha? Bisakah kita membedakan mana Krishna mana Bhagavan? Bisakah kita
membedakan mana Syeh Siti Jenar mana……………………………..Mengapa kita bertengkar?
Mengapa kita saling merasa paling benar? Dan yang merasa paling benar adalah
mereka yang baru mempelajari kulit Islam, kulit Hindhu, kulit Buddha dan kulit
Kristen. Mereka belum menemukan ‘Puncak Kesadaran’ yang seharusnya mereka cari.
Yang menjadi tujuan pengajaran Krishna, Buddha, Jesus dan Muhammad. Mereka
mengajarkan semua manusia untuk itu, bukan mengajarkan kulit luar yang
berbeda-beda. Kulit luar hanya sekedar metode. Kulit luar hanya sebuah alat,
sebuah sarana, untuk mencapai tujuan ini! Sadarlah!
Maka,
bila Syeh Siti Jenar yang telah mampu melampaui belenggu Suksma Sariira ( Nafs
) dan Sthula Sariira ( Jasad ), walaupun nampaknya Atma ( Ruh ) beliau masih
terkurung oleh kedua produk fana, produk Maya ini, namun sesungguhnya Ruh
beliau telah MENYATU lagi dengan Maha Ruh, yang dulu pernah meniupkan Ruh itu
kedalam Nafs dan Jasad! Dalam Nafs atau Suksma Sariira beliau, hanya tersisa
Nafs Muthmainnah ( Badan halus yang tenang ) atau Guna Sattva ( Watak suksma
sariira yang stabil). Mengapa kita jadi terkecoh hanya karena beda istilah?
Dari metode Islam, disebut Nafs Muthmainnah. Dari metode Hindhu disebut Guna Sattva.
Apanya yang beda? Kecuali kalimatnya semata. Kecuali kulit luar yang berupa
kata-kata semata. Sedangkan esensinya, SAMA! Maka, inilah yang saya maksud
JANGAN TERJEBAK METODE! JANGAN DIPERBUDAK METODE! KARENA JIKA ANDA TERJEBAK!
ANDA AKAN TERSESAT!
Kisah
Syeh Siti Jenar-pun, berlanjut seperti dibawah ini :
Asmaradana
Syeh
Lemah Bang nayogyani
Prapta
ing ari Jumungah,
Nuju
Ramadlan wulane,
Marengi
tanggal ping lima,
Kumpule
Pra Auliya’,
Anedheng
kalaning dalu,
Ngrakit
papan kang prayoga.
Sakehing
Para Wali,
Samya
paguneman Rahsa,
Ing
Giri Gajah enggone,
Akarsa
musyawaratan,
Ing
bab masalah tekad,
Den
waspada ing Hyang Agung,
Wajib
sami nyatakena.
Kang
samya angulah ilmu,
Lamun
bijaksaneng driya,
Dadi
wijang sayektine,
Tan
beda lan puruhita,
Mungguh
Rahsaning rasa,
Pralambanging
pasang semu,
Tan
liyan saking punika.
Nadyan
akeh kang wewisik,
Wosing
wasana wus ana,
Mung
kari met pratikele,
Ing
sawurira pepekan,
Kangjeng
Sinuhun Benang,
Ingkang
miwiti karuhun,
Lan
Sunan Kalijaga.
Sunan
Cirebon lan kang rayi,
Padha
nerang Syeh Lemah Bang,
Lan
Sunan Majagung-e,
Suhunan
Ing Banten,
Lawan
Suhunan Giri Gajah,
Samya
agunem ing ilmu,
Jenenge
masalah tekad.
Jeng
Sinuhun Ratu Giri,
Amiwiti
angandika,
He
sanak manira kabeh,
Pratingkahe
wong makripat,
Aja
dadi parbutan,
Dipun
sami ilmunipun,
Padha
peling pinelingan.
Wong
wewolu dadi siji,
Aja
na kang kumalamar,
Dipun
rujuk ing karepe,
Den
waspada ing Pangeran,
Nenggih
Sinuhun Benang,
Ingkang
miwiti karuhun,
Amedhar
ing pangawikan.
Ing
karsa manira iki,
Iman
tokid lan makripat,
Weruh
ing kasampurnane,
Lamun
masiha makripat,
Mapan
durung sampurna,
Dadi
batal kawruhipun,
Pan
maksih rasa rumasa.
Sinuhun
Benang ngukuhi,
Sampurnane
wong makripat,
Suwung
ilang paningale,
Tan
ana kang katingalan,
Iya
jenenging tingal,
Manteb
Pangeran Kang Agung,
Kang
anembah kang sinembah.
Pan
karsa manira iki,
Sampurnane
ing Pangeran,
Kalimputan
salawase,
Tan
ana ing solahira,
Pan
ora darbe seja,
Wuta
tuli bisu suwung,
Solah
tingkah saking Allah.
Sinuhun
Benang anuli,
Ngandikani
Wali samya,
Heh
sanak manira kabeh,
Punika
kekasih alam,
Yen
mungguh ing manira,
Jenenge
Roh semunipun,
Ing
Roh-e Nabi Muhammad.
Ora
beda ing Roh iki,
Yen
sedya mutabangatan,
Tan
beda ing panunggale,
Kadya
paran karsandika,
Matur
Wali sadaya,
Boten
sanes kang winuwus,
Sampun
atut sabda Tuwan.
Pundi
kang ingaran Nabi,
Jenenge
Roh ing semunya,
Mapan
iku kekasihe,
Sadurunge
jagad dadi,
Mapan
jinaten tunggal,
Den
dadekaken karuhun,
Kang
minangka kanyatahan.
Sinuhun
Majagung nenggih,
Amedhar
ing pangawikan,
Ing
karsa manira dene,
Iman
Tokid lan Makripat,
Tan
kocap ing akherat,
Mung
padha samengko wujud,
Ing
akherat ora ana.
Nyatane
Kawula Gusti,
Iya
kang muji kang nembah,
A0pan
mangkono lakone,
Ing
akherat ora ana,
Yen
tan anaa Iman,
Tan
weruh Jatining Ilmu,
Ora
cukup dadi janma.
Jeng
Sunan Ing Gunungjati,
Amedhar
ing pangawikan,
Jenenge
Makripat mengko,
Awase
marang Pangeran,
Tan
ana ingkang liyan,
Tan
ana roro telu,
Allah
pan amung kang Tunggal.
Jeng
Sunan Kalijaga ngling,
Amedhar
ing pangawikan,
Den
waspada ing mengko,
Sampun
ngangge kumalamar,
Den
awas ing Pangeran,
Dadya
paran awasipun,
Pangeran
pan Ora Rupa.
Ora
Arah Ora Warni,
Tan
Ana ing Wujudira,
Tanpa
Mangsa Tanpa Enggon,
Sejatine
Ora Ana,
Lamun
Ora Ana-a,
Dadi
jagadipun suwung,
Ora
Ana Wujudira.
Syeh
Benthong samya melingi,
Amedhar
ing tekadira,
Kang
aran Allah Jatine,
Tan
ana liyan Kawula,
Kang
dadi kanyatahan,
Nyata
ing Kawulanipun,
Kang
minangka Katunggalan.
Kangjeng
Molana Maghribi,
Amedhar
ing pangawikan,
Kang
aran Allah Jatine,
Wajibul
Wujud kang ana,
Syeh
Lemah Bang ngandika,
Aja-na
kakehan semu,
IYA
INGSUN IKI ALLAH.
NYATA
INGSUN KANG SEJATI,
JEJULUK
PRABHU SADMATA,
TAN
ANA LIYAN JATINE,
INGKANG
BANGSA ALLAH,
Molana
Maghribi mojar,
Iku
jisim aranipun,
Syeh
Lemah Bang ngandika.
Kawula
amedhar ilmi,
Angraosi
Katunggalan,
Dede
jisim sadangune,
Mapan
jisim ora ana,
Dene
kang kawicara,
Mapan
Sejatining Ilmu,
Amiyak
warana.
Lan
malih sadaya ilmi,
Sampun
wonten kumalamar,
Yekti
tan ana bedane,
Salingsingan
punapaa,
Dening
sedya kawula,
Ngukuhi
jenenging ilmu,
Sakabehe
iku padha.
Kangjeng
Syeh Maulana Maghribi,
Sarwi
mesem angandika,
Inggih
leres ing semune,
Puniku
dede wicara,
Lamun
ta kapyarsa-a,
Dening
wong akathah saru,
Punika
dede rerasan.
Tuwan
ucapna pribadi,
Aja-na
wong amiyarsa,
Anuksma
ing lathi dhewe,
Puniku
ujar kekeran,
Yen
kena-a Tuwan,
Amalangi
jenengipun,
Bok
sampun kadi mangkana.
Nenggih
Jeng Sunan Giri,
Amedhar
ing pangawikan,
Pasthine
Allah Jatine,
Jejuluk
Prabhu Sadmata,
Sampun
wancak wicara,
Tan
ana pepadhanipun,
Anging
Allah Ingkang Tunggal.
Ya
ta sakathahing Wali,
Angestokaken
sadaya,
Mapan
sami ing kawruhe,
Amung
sira Syeh Lemah Bang,
Tan
kena pinalangan,
Cinegah
Wali sadarum,
Tan
owah ing tekade.
Angandika
Syeh Siti Brit,
Pan
sampun ujar manira,
Dennya
nututi kepriye,
Dhasare
ingkang amedhar,
Pamejange
maring wang,
Puniku
wuruking Guru,
Datan
kenging ingowahan.
Ameksa
tan kena gingsir,
Sinuwalan
ing ngakathah,
Tan
kena owah tekade,
Sampun
ujar linakonan,
Pan
wus jangjining Suksma,
Sunan
Cirebon ngandika rum,
Sampun
ta Tuwan mangkana.
Punika
ujaring jangji,
Yekti
binunuh ing kathah,
Nenggih
sampun ing khususe,
Wong
ingkang ngaku Allah,
Ngandika
Syeh Lemah Bang,
Lah
mara Tuwan den gupuh,
Sampun
ngangge kalorehan.
Dhasar
kawula labuhi,
Ngulati
pati punapa,
Pan
pati iku parenge,
Sarenge
sih kawimbuhan,
Pan
tansah kawisesa,
Kang
teka jatining suwung,
Ana
Kadim ana anyar.
Ngulati
punapa malih,
Ora
ana liyan-liyan,
Apan
apes salawase,
Anging
Allah Ingkang Tunggal,
Ya
jisim iya Allah,
Taukhid
tegese puniku,
Apan
Tunggal Kajatennya.
Sakathahe
Para Wali,
Pra
samya mesem sadaya,
Miyarsa
pamuwuse,
Kukuh
tan kena ingampah,
Saya
banjur micara,
Amiyak
warananipun,
Ora
ngangge sita-sita.
Angaku
jeneng pribadi,
Andadra
dadi rubeda,
Ngreribedi
wekasane,
Nerang
anerak syara’,
Rembuge
andaliga,
Mawali
Pra Wali Wolu,
Winalon
kurang walaka.
Lajeng
abubaran sami,
Kang
Para Wali sadaya,
Kondur
ing padalemane,
Mung
Jeng Sunan Giri Gajah,
Kang
kawogan anglunas,
Kang
murang syara’-ing ngelmu,
Mumpung
durung ngantos lama.
Jeng
Sunan Giri nyagahi,
Ing
sirnane Syeh Lemah Bang,
Yen
sampun prapteng masane,
Adege
Nata ing Demak,
Bedhahing
Majalengka,
Sadaya
samya jumurung,
Lajeng
samya sasowangan.
Terjemahan
Syeh
Lemah Bang menepati janji, Datang pada hari Jum’at, Tepat pada bulan Ramadlan,
Bersamaan dengan tanggal lima, Kumpulnya Para Auliya’, Pada waktu malam hari,
Telah disiapkan tempat yang sepatutnya.
Seluruh
Para Wali, Hendak membahas masalah Ilmu Rahsa (Ilmu Sejati). Di Giri Gajah
tempatnya,Bermusyawarah, Tentang pencapaian masing-masing, Akan kebenaran Hyang
Agung ( Maha Agung ), Untuk saling dinyatakan kepada semua yang hadir.
Mereka
yang tengah mendalami Ilmu (Sejati), Apabila tajam kesadarannya, Akan terang
pemahamannya, Begitulah orang yang berguru mendalami Ilmu (Sejati), Menyibak
pusat rasanya rasa, Menguliti segala perlambang dan simbolisme, Hanya dengan
demikian intisari (esensi)nya bisa didapatkan.
Walaupun
banyak wejangan ( berbagai metode dan konsep), Intisari (esensi)-nya pasti
sama, Tinggal bagaimana kesadaran kita mampu menangkapnya, Setelah genap semua
yang hadir, Kangjeng Sinuhun Benang, Yang memulai, Lantas Sinuhun Kalijaga.
Kemudian
Sunan Cirebon (Sunan Gunungjati) dan adik beliau, Tengah membicarakan cara
menghadapi Syeh Lemah Bang, Juga Sunan Majagung, Sinuhun Banten, Dipimpin oleh
Sunan Giri Gajah, Hendak membahas Ilmu (Sejati), Mengungkapkan pencapaian
masing-masing.
Jeng
Sinuhun Ratu Giri, Memulai pembicaraan,Hai saudaraku semuanya,
Etika
manusia yang telah mencapai Ma’rifat ( Pencapaian spiritual tertinggi ),Tidak
pantas jika saling berebut benar, Maka dari itu mari satukan pendapat, Dan
saling ingat mengingatkan.
Semua
Wali harus menyatu, Jangan berbantahan sendiri-sendiri, Satukan pendapat kita,
Tentang kebenaran Tuhan (yang telah kita capai masing-masing), Lantas Sinuhun
Benang, Memulai pertama kali, Menyampaikan pencapaian spiritual beliau.
Menurut
pendapatku, Tingkatan Iman ( Keyakinan ), Taukhid ( Ke-Esa-an), dan Ma’rifat (
Melihat Kebenaran Sejati ), Masih harus ditambah lagi satu tingkatan yaitu
MENYADARI KESEMPURNAAN SEJATI, Apabila masih dalam tingkat Ma’rifat, Belumlah
sempurna, Karena masih sekedar ‘MELIHAT’, belum ‘MENYADARI’. Sehingga masih
mengira-ngira.
Sinuhun
Benang meyakini benar, Kesempurnaan Ma’rifat, Kosong Hilang Penglihatan
makhluk, Tiada lagi yang terlihat, Karena keadaan sang pelihat, Hanya ‘MELIHAT’
PANGERAN KANG AGUNG (TUHAN YANG AGUNG), (Tiada lagi terlihat lain, kecuali
hanya) Yang Menyembah dan Yang Disembah.
Jelasnya
maksudku (Sunan Benang) ini, Kesempurnaan Sejati, Adalah terliputi selamanya (
oleh Dzat-Nya ), Tiada lagi gerak (makhluk), Tiada lagi kehendak (makhluk),
Buta tuli bisu kosong (kemakhlukan kita), Dan segala gerak dan kehendak hanya
dari Allah.
Lantas
Sinuhun Benang, Menanyakan kepada Para Wali, Wahai saudaraku semua, Inilah
Kekasih Semesta, Yang ada didalam diri kita semua, Yaitu Ruh kita ini, Dan nama
Ruh kita sebenarnya adalah Muhammad ( Yang Terpuji).
Tiada
beda semua Ruh itu, Apabila diperbandingkan, Tak ada beda satu sama lainnya,
Bagaimanakah pendapat saudaraku semua? Menjawab semua Wali, Sudah benar apa
yang anda yakini, Kami semua sependapat.
Manakah
sesunguhnya yang dinamakan Nabi Muhammad, Sesungguhnya adalah nama dari Ruh,
Itulah Kekasih Allah, Sebelum semuanya tercipta, Berada dalam Jinaten Tunggal
(Kesejatian Tunggal/ Jadi Satu dengan Allah), Lantas ditiupkan dahulu, Sebagai
perwujudan Allah. ( Sunan Benang sebenarnya ingin menunjukkan bahwa Ruh manusia
dan Allah adalah SATU. Tapi beliau tidak terang-terangan mengatakannya.)
Sinuhun
Majagung kemudian, Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Menurut
pendapatku ( Sunan Majagung ), Iman ( Keyakinan ), Taukhid ( Ke-Esa-an ) dan
Ma’rifat ( Pencapaian tertinggi spiritual), Tidak ada gunanya di akherat (kata
akherat maksud Sunan Majagung adalah PUNCAK SPIRITUAL) nanti, Hanya dibutuhkan
pada saat ini saja ( Termasuk konsep belaka), Di akherat tidak ada.
Wujud
nyata Kawula ( Hamba ) dan Gusti ( Tuhan ) hanya ada didunia ini, Terlihat
memuji dan menyembah, Padahal sesungguhnya, Di akherat tidak terlihat Dua (
maksudnya Kawula dan Gusti. Intinya Sunan Majagung hendak berkata Kawula dan
Gusti itu SATU, tapi sama seperti Sunan Benang, beliau juga tidak
terang-terangan), Apabila tidak mempunyai Iman ( Keyakinan ) tentang hal ini,
Tidak akan tahu Kesejatian Ilmu, (Apabila tidak mengetahui Kesejatian Ilmu,
maka ) tidak lengkap menjadi manusia.
Jeng
Sunan Gunungjati, Menyampaikan pencapaian spiritual beliau, Sesungguhnya
Ma’rifat itu, Penglihatannya hanya melihat Tuhan semata, (Apabila sudah
mengetahui Tuhan, maka akan menyadari) Tidak ada yang lain lagi selain Dia, Tak
ada yang kedua dan ketiga ( Sunan Gunungjati sebenarnya juga hendak mengatakan,
TIDAK ADA LAGI KAWULA DAN GUSTI JIKA TELAH MENCAPAI MA’RIFAT, YANG ADA CUMA
GUSTI. TIDAK ADA LAGI DUALITAS, ATAU TRINITAS LAGI. KAWULA DAN GUSTI ADALAH
SATU. Karena KAWULA telah lebur kedalam GUSTI. INILAH TAUKHID. INILAH
KE-ESA-AN. Tapi, beliau sama seperti Sunan Benang dan Sunan Majagung, tidak
berani mengatakan terang-terangan). Hanya Allah Yang Maha Tunggal.
Sunan
Kalijaga berbicara, Menyampaikan pencapaian spiritual beliau, Sadarlah
senantiasa, Jangan sampai tergoyahkan, Senantiasa Menyadari Adanya Tuhan,
Bagaimana cara menyadari-Nya? Bukankah Tuhan tidak ber-Wujud?
Tidak
ber-Kedudukan disuatu tempat juga Tidak ber-Bentuk, Tidak ada Wujud-Nya, Tanpa
Ruang dan Waktu, Sesungguhnya ALLAH TIDAK ADA, (Allah yang personil, yang
berpribadi seperti yang dipahami orang awam) APABILA BEGITU, Sesungguhnya ALLAH
ITULAH KEKOSONGAN ABADI, DIA TIDAK BERWUJUD. (Sunan Kalijaga tidak mau
membicarakan tentang KESATUAN WUJUD (WAJIBUL WUJUD) seperti yang lain. Beliau
hanya memberikan gambaran bahwasanya apa yang dinamakan Allah itu adalah
KEKOSONGAN ABADI YANG MUTLAK, SUMBER SEGALANYA. Jadi, jika kita MENYATU LAGI
DENGAN YANG MUTLAK itu, maka itu dimungkinkan. Sunan Kalijaga, tidak mau
membahas tentang MANUNGGALING KAWULA GUSTI. Karena beliau sepaham dengan Syeh
Siti Jenar.)
Syeh
Benthong lantas berkata, Menyampaikan pencapaian spiritual beliau, Yang disebut
Allah sesungguhnya, Tak lain adalah Kawula ( Hamba ) ini juga, Yang menjadi
KENYATAAN WUJUD-NYA, Benar-benar nyata Ada-Nya terlihat pada Kawula-Nya, Karena
Gusti (Tuhan) dan Kawula (Hamba) adalah Satu. ( Syeh Benthong lebih berani
berbicara. Terlihat disini.)
Kangjeng
Maulana Maghribi, Menyampaikan pencapaian spiritual beliau,
Yang
disebut Allah sesungguhnya, WAJIBUL WUJUD (WUJUD YANG HARUS ADA). ( Syeh
Maulana Maghribi, tidak mau berbicara dalam. Terlihat disini). Dan Syeh Lemah
Bang kemudian berkata, Jangan berputar-putar, IYA INGSUN IKI ALLAH. (IYA AKU
INI TUHAN).
Nyatalah
AKU yang Sejati, Bergelar Prabhu Sadmata ( Raja bermata enam. Shiva adalah
Avatara Brahman. Jika Shiva bermata tiga, maka Brahman bermata enam. Inilah
maksud ‘jargon’ spiritual waktu itu). Tidak ada lagi yang lain, Apa yang
disebut Allah itu. Maulana Maghribi berkata, Yang anda tunjuk itu adalah jasad,
Syeh Lemah Bang menjawab.
Hamba
membuka rahasia Ilmu Sejati, Membahas tentang Kesatuan Wujud, Tidak membahas
Jasad (yang fana), Jasad sudah terlampaui, Yang saya ucapkan adalah Sejati-nya
Ilmu, Membuka Segala Rahasia.
Dan
lagi sesungguhnya semua Ilmu, Tidak ada yang berbeda, Sungguh tiada beda,
Sedikitpun tidak, Menurut pendapat hamba, Meyakini bahwasanya Ilmu itu,Semuanya
sama.
Kangjeng
Syeh Maulana Maghribi, Sambil tersenyum berkata, Benarlah sesungguhnya apa yang
kamu katakan, Akan tetapi itu bukan bahan pembicaraan, Apabila sampai
terdengar, Oleh banyak orang sangat tabu,Hal itu bukan bahan percakapan.
Ucapkanlah
sendiri, Jangan sampai terdengar oleh orang lain, Cukup terdengar oleh telinga
sendiri, Hal itu adalah Sabda larangan, Apabila bisa, Saya menyarankan,
Janganlah seperti itu.
Lantas
Jeng Sinuhun Giri, Menyampaikan pencapaian spiritual beliau, Sudah pasti Allah
itu sesungguhnya, Bergelar Prabhu Sadmata, Janganlah semua yang hadir disini
sembrono dalam berbicara, Dia tidak ada bandingannya, Hanya Allah Yang Maha
Tunggal.
Mendengar
kata-kata Sunan Giri ( yang turun ketingkat syari’at), Seluruh Wali terdiam dan
menta’ati, (Sunan Giri berkata kepada Syeh Lemah Bang), Hanya kamu wahai Syeh
Lemah Bang, Tidak bisa dihalangi, Tidak bisa dicegah oleh semua Wali, Tetap tak
berubah pendapat kamu.
Berkata
Syeh Siti Brit, Sudah menjadi tekad hamba, Bagaimanapun juga,
Karena
semua itu adalah wejangan, Diwejangkan kepada hamba, Oleh Guru hamba, Tidak
bisa lagi dirubah.
Dipaksapun
tidak bisa surut, Dibujuk oleh semua Para Wali, Tak pula berubah tekadnya,
Sudah menjadi ucapan umum, Dan sudah menjadi hukum syariat, Demikian Sunan
Cirebon ( Sunan Gunungjati) berkata,Janganlah tuan seperti itu.
Sudah
ditentukan, Hukumnya adalah dibunuh (Qisas), Khusus bagi mereka, Yang mengaku
Allah, Berkata Syeh Lemah Bang, Segeralah laksanakan, Jangan ditunda-tunda
lagi.
Memang
sudah saya niati, Mencari kematian yang bagaimana lagi, Sebab bersamaan dengan
kematian, AKAN DATANG KASIH-NYA, YANG MELIPUTI AKU, DAN KEKOSONGAN YANG SEJATI
AKAN DATANG PADAKU. Tidak perlu disesali sebab diriku ini memang terdiri dari
YANG KEKAL (Ruh) dan YANG FANA (Nafs dan Jasad).
Mau
mencari apa lagi? Tidak ada lagi pencapaian yang lebih sempurna (selain hal
ini). Yang fana selamanya pasti akan kembali ke fana, Yang kekal akan kembali
kepada Allah Yang Tunggal, Dan jasadku yang sesungguhnya adalah Ruh ini, Iya
Ruh Iya Allah, Satu. Taukhid itu namanya, Satu kesatuan dalam Kesejatian.
Seluruh
Para Wali, Tersenyum semuanya, Mendengar apa yang diucapan Syeh Siti Jenar,
Kokoh tidak bisa digoyahkan, Sangat berani, Membuka segala rahasia, Dengan
tidak segan-segan lagi.
Menyibak
Kesejatian Diri-Nya, Keberaniannya membikin masalah, Menjungkir balikkan syara’
(Hukum), Kata-katanya sangat berani, Dicegah oleh semua Wali, Namun seolah-olah
kurang juga yang mencegah beliau.
Lantas
hendak bubar, Para Wali semua, Untuk pulang ketempat tinggalnya masing-masing,
Dan Sunan Giri Gajah, Yang berhak memutuskan hukuman, Bagi yang menjungkir
balikkan syara’, Mumpung belum terlalu lama.
Jeng
Sunan Giri menyanggupi, Akan menjatuhkan hukuman mati bagi Syeh Siti Jenar,
Apabila sudah sampai pada waktunya, Pelantikan Sultan Demak, Setelah berhasil
merebut kekuasaan dari Majalengka ( Majapahit), Seluruh Wali menyetujui, Lantas
pulang kekediaman masing-masing.
Syeh
Siti Jenar, kini telah menjadi semacam duri dalam daging bagi Dewan Wali
Sangha. Sebuah duri ditengah berkobarnya semangat kekhalifahan. Sebuah obsesi
Kaum Putihan untuk mendirikan bentuk pemerintahan Islam pertama di Jawa. Suatu
Kekhalifahan yang menurut mereka bakal menjadi lebih besar gaungnya daripada
Kekhalifahan Malaka( yang berdiri -/+ 1400 M) maupun Kekhalifahan Samudera
Pasai yang berdiri pada tahun 1285 Masehi, tujuh tahun lebih awal berdiri
daripada berdirinya Kerajaan Majapahit di Jawa ( 1292 M).Samudera Pasai bisa
berdiri karena Kerajaan Shriiwijaya yang bercorak Buddhis, tengah terlibat
peperangan dengan Kerajaan Thai yang juga sama-sama bercorak Buddhis. Ditambah
lagi, serangan dari Kerajaan Singhasari yang berpusat di Malang, Jawa Timur dalam
ekspedisi Pamalayu-nya, ikut memperlemah kekuatan Shriiwijaya.
Dalam
situasi politik yang tidak menentu seperti ini, Samudera Pasai berhasil
memisahkan diri, dan kemudian memaklumatkan diri sebagai Kekhalifahan pertama
di Nusantara. Namun manakala Majapahit berdiri, sebagai penerus dinasty
Singhasari, dan ketika Shriiwijaya berhasil dimasukkan kedalam wilayah
kekuasaan Majapahit, maka Samudera Pasai-pun, mau tak mau, harus ikut tunduk
mengakui kekuatan Majapahit.
Namun
walaupun begitu, otonomi khusus bagi Samudera Pasai tetap diberikan oleh
Penguasa Majapahit ( Raden Wijaya kala itu ). Hukum Islam tetap boleh
diberlakukan diwilayah Samudera Pasai. Kebijakan yang luar biasa seperti ini,
hanya bisa didapati dari mereka-mereka yang sudah berkesadaran tinggi.
Seandainya Samudera Pasai yang berkuasa atas Majapahit, apakah akan terjadi
sebaliknya?
Dan
pada tahun 1401-1406 Masehi, Majapahit dilanda keguncangan. Kadipaten
Blambangan, sebuah Kerajaan kecil wilayah Majapahit yang ada diujung timur
pulau Jawa, hendak melepaskan diri dari pusat kekuasaan. Maka, terjadilah
perang saudara yang terkenal dalam sejarah dengan nama Perang Pareg-greg.
Blambangan berhasil ditundukkan. Beberapa bangsawan Blambangan berhasil
melarikan diri ke pulau Tumasik ( Negara Singapura sekarang : Damar
Shashangka). Namun, beberapa diantara bangsawan Blambangan merasa tetap tidak
aman tinggal di pulau Tumasik, salah seorang darinya, bernama Pangeran
Paramishora, diiringi beberapa pengikutnya, meninggalkan pulau Tumasik, menuju
ke Semenanjung Malaka.
Di
Semenanjung Malaka, Pangeran Paramishora dengan para pengikutnya dari Jawa,
emmbuka hunian baru. Karena letaknya strategis, hunian baru itu berkembang
pesat menjadi salah satu pusat perdagangan dunia. Pangeran Paramishora lantas
memberanikan diri memproklamirkan berdirinya sebuah Kerajaan baru bernama
Kerajaan Malaka. Dan Kerajaan Malaka inilah cikal bakal negara Malaysia
sekarang.
Mendengar
diproklamirkannya sebuah Kerajaan baru di Semenanjung Malaka yang merupakan
wilayah Majapahit dan yang tidak mengakui kedaulatan Majapahit, penguasa
Majapahit kala itu, yaitu Prabhu Wikramawardhana, tidak tinggal diam. Pangeran
Paramishora, meminta bantuan Kaisar China dan menyatakan tunduk kepada
Kekaisaran China, sehingga mau tidak mau Angkatan Perang Majapahit jika hendak
merebur kembali Malaka, harus berhadapan dengan Angkatan Perang China!
Pangeran
Paramoshora memang cerdik, bahkan untuk memperkuat tercapai ambisinya, dia
menyatakan masuk Islam karena dia menyadari, di Malaka kebanyakan masyarakatnya
telah memeluk Islam. Begitu masuk Islam dia mengganti namanya menjadi Sultan
Iskandar Syah. Dan Malaka lantas berubah menjadi sebuah kekhalifahan Islam.
Para penduduk Malaka dan Samudera Pasai menyatakan dukungannya kepada
Kekhalifahan Malaka. Praktis, kini Majapahit harus menghadapi dua kekuatan
sekaligus, yaitu kekuatan Angkatan Perang China dan kekuatan Islam.
Dilain
pihak, dipusat kekuasaan Majapahit sendiri, segala keputusan penting yang
menyangkut Kedaulatan Negara, terkesan sangat lambat dan tidak tegas. Terutama
kebijakan yang terlampau lunak kepada orang-orang Islam yang ada diwilayah
Majapahit membuat Majapahit semakin kehilangan pamornya. Kebijakan yang teramat
lunak ini juga tak lepas dari banyaknya petinggi Kerajaan yang telah beragama Islam.
Maka tak heran, kebijakan yang terlampau lunak kepada orang-otrang Islam, kerap
kali mewarnai keputusan-keputusan yang diambil. Dan menyangkut urusan Malaka,
pada akhirnya, Malaka lepas juga dari wilayah Majapahit. Konfrontasi yang
hendak dijalankan, tidak pernah terwujud. Majapahit tengah disetir oleh
kekuatan-kekuatan eksternal yang tidak kasat mata.
Sultan
Iskandar Syah, meninggal dunia pada tahun 1414 Masehi. Dia digantikan oleh
Muhammad Iskandar Syah. Sepuluh tahun kemudian (1424 M ), terjadi perebutan
kekuasaan. Adik Muhammad Iskandar Syah, yaitu Mudzafar Syah, merebut tahta
Kekhalifahan. Situasi politik Malaka mencekam.
Pada
masa inilah, Syeh Datuk Sholeh, seorang ulama Islam terkemuka yang tinggal di
Malaka, melarikan diri ke Jawa.
Syeh
Datuk Sholeh, adalah putra dari Syeh Datuk Isa. Syeh Datuk Isa adalah ulama
terkemuka juga di Malaka, beliau putra Syeh Ahmad Jalalluddin, ulama Islam yang
bermukim di Champa ( Kamboja sekarang : Damar Shashangka ). Syeh Ahmad
Jalalluddin adalah pendatang dari India, dia adalah putra Syeh Abdullah
Khannuddin, seorang Mursyid Thariqat Syathariyyah yang terkenal di Ahmadabad,
India. Syeh Abdullah Khannuddin sendiri adalah putra Syeh Abdul Malik yang juga
seorang pendatang di India. Beliau berasal dari Qazam, Hadramaut. Syeh Abdul
Malik adalah putra Syeh ‘Alawy. Syeh Alawiy adalah keturunan seorang ulama
terkenal yang bernama Syeh Isa al-Muhajjir al-Bashori al- ‘Alawiy.
Pada
tahun 1425 Masehi, Syeh Datuk Sholeh, tiba di Caruban Larang (Cirebon sekarang
: Damar Shashangka). Kedatangannya bersama istri beliau dan para pengikutnya.
Setibanya di Caruban Larang, yang waktu itu sudah diperintah oleh Pangeran
Cakrabhuwana, beliau memilih menetap di daerah Pakuwuan Caruban atau Astana
Japura sekarang, terletak sebelah tenggara kota Caruban Larang.
Di
Caruban, beliau bersahabat dekat dengan Syeh Datuk Kahfi, seorang ulama Islam
yang telah lebih dahulu tiba di Caruban, bahkan jauh-jauh hari sebelum Pangeran
Cakrabhuwana mendirikan Caruban Larang. Syeh Datuk Kahfi inilah, guru dari
Pangeran Cakrabhuwana.
Pada
awal tahun 1426 Masehi, Syeh Datuk Sholeh wafat. Kala itu, istri beliau yang
tengah mengandung semenjak kepergiannya dari Malaka, melahirkan seorang putra.
Putra yang lahir yatim ini, diberi nama San ‘Ali Anshar. Kelak, San ‘Ali Anshar
inilah yang terkenal dengan nama Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar.
Sejak
kecil, San ‘Ali Anshar diasuh oleh Ki Danusela, sahabat Syeh Datuk Sholeh.
Menginjak usia lima tahun, Ki Danusela mengirimkan San ‘Ali Anshar ke pasantren
Giri Amparan Jati yang diasuh oleh Syeh Satuk Kahfi.
San
‘Ali Anshar, adalah santri generasi kedua dari Pesantren Giri Amparan Jati.
Pada generasi pertama, tercatat nama Pangeran Walang Sungsang dan Dewi Rara
Santang. Keduanya adalah putra-putri Prabhu Silihwangi, Raja Pajajaran. Dan
Pangeran Walang Sungsang, lantas bergelar Pangeran Cakrabhuwana, sedangkan Dewi
Rara Santang lantas berganti nama menjadi Syarifah Muda’im. Syarifah Muda’im
adalah ibu dari Syarif Hidayatullah yang kelak terkenal dengan nama Sunan
Gunungjati.
Menginjak
dewasa, San ‘Ali Anshar setelah merasa cukup menimba ilmu agama dari Syeh Datuk
Kahfi, dia lantas memutuskan untuk menuju pedalaman Pajajaran. San ‘Ali Anshar
merasa bahwa apa yang dicarinya selama ini, apa yang didalaminya selama ini,
belum bisa memuaskan hasrat ‘spiritual’-nya. Dia ingin mencoba mencari seorang
Guru lain, Guru selain Syeh Datuk Kahfi. Dan San ‘Ali Anshar menerobos
pedalaman Pajajaran untuk mecari Para Pertapa Buddha dan Para Ahli Yoga Hindhu
yang kabarnya banyak bermukim disana.
Di
Pajajaran, San ‘Ali Anshar berhasil berguru kepada seorang Yogi Hindhu. Dari
Sang Yogi, San ‘Ali Anshar mendapatkan pelajaran Yoga yang bersumber dari
Rontal Catur Viphala, sebuah sistem Yoga yang juga dipelajari oleh Prabhu
Kertawijaya ( pengganti Ratu Suhita ) Raja Majapahit.
San
‘Ali Anshar, mampu dengan cemerlang menguasai empat tahapan sistem Yoga Catur
Viphala. Empat tahap yang disebut Nis-Prha, Nir-Hana, Nis-Kala dan Nir- Asraya.
Dalam
tahap Nis- Prha, seorang Sadhaka (pengembara spiritual) diharapkan sudah mampu
melampaui segala macam keinginan duniawinya. Duniawi sudah tidak menarik
minatnya lagi. Kehendak ‘aku’-nya hanya terarah pada ‘Sang Atma’ atau ‘Aku-
Semesta’. Seluruh Panca Indrya (Lima Indra penghubung dengan dunia Maya) dan
Panca Karmendrya (Lima Indera penggerak badan kasar ), sudah mampu ditundukkan.
Demikian juga dengan Manah (Pikiran), Citta (Ingatan), Ahamkara (Keakuan) dan
Buddhi (Kesadaran terbatas), sudah sangat tenang. San ‘Ali Anshar, menyebut
kondisi ini dengan satu kata : Heneng (Tenang)
Dalam
tahap Nir-Hana, seorang sadhaka diharapkan sudah mampu menyadari
sebenar-benarnya, bahwa diri-Nya adalah bagian dari Kesadaran Murni Semesta.
Telah benar-benar menyadari bahwa diri-Nya adalah Atma. Diri-Nya bukanlah Badan
Kasar atau Sthula Sariira yang terlihat ini. Diri-Nya bukanlah Badan Halus atau
Suksma Sariira yang terdiri dari Manah, Citta, Ahamkara, Buddhi dan kesepuluh
Indra ini. Diri-Nya tak lain adalah percikan Brahman, sebuah Kesadaran Total
Murni Yang Absolut Transendental. San ‘Ali Anshar, menyebut kondisi ini dengan
satu kata : Hening (Jernih).
Dalam
tahap Nis- Kala, seorang sadhana sudah mampu melampaui Badan Kasar dan Badan
Halusnya. Seorang sadhana sudah menyadari betul, bahwa Badan Kasar dan Badan
Halus hanyalah produk Maya, Produk Alam, yang tidak kekal dan bakalan musnah. Sandahan
benar-benar menyadari hanya Atma-lah yang kekal, karena Atma tidak diciptakan.
Atma adalah percikan Brahman. Sang Sadhana sudah melihat kebenaran ini Dia
sudah mampu melihat apa itu Atma, apa itu Brahman. Sang Sadhana sudah bisa
melihat bahwasanya Atman dan Brahman adalah Satu. San ‘Ali Anshar, menyebut
kondisi ini dengan satu kata : Hunong (Melihat).
Dalam
tahap Nir- Asraya, Sang Sadhana sudah mampu melebur ‘aku’-nya. Sudah mampu
memecahkan belenggu ‘Aku’-Nya Sudah melampaui Mindnya. Dan Atma sang Sadhana
yang ternyata adalag Satu Kesatuan Tunggal dengan Brahman, kini telah menikmati
kondisi penyatuan ini, penyatuan yang telah lama Ia lupakan. Menikmati
Ketunggalan yang telah lama tak disadarinya akibat pengaruh Maya, pengaruh
Mind. Pengaruh ‘aku’ kecilnya sendiri. Sang Sadhana telah lebur kedalam
Kebahagiaan Sejati Yang Tiada Akhir. San ‘Ali Anshar, menyebut kondisi ini
dengan satu kata ; Menang (Kemenangan).
Di
Pajajaran, melalui bimbingan seorang Yogi Hindhu, San ‘Ali Anshar, mencapai
‘Puncak Kesadaran’. Dan dari Pajajaran inilah, San ‘Ali Anshar menyadari bahwa
seluruh alam ini, sesungguhnya adalah Satu Kesatuan. Terlihat berbeda karena
setiap makhluk masih terliputi kesadaran Badan Halus. Sehingga muncul ‘aku’
kecil. Begitu ‘aku’ kecil muncul, maka setiap makhluk merasa terpisah sebagai
pribadi-pribadi tersendiri. Begitu pengaruh Maya ini berhasil disingkapkan,
maka semua yang terlihat hanyalah Brahman semata. San ‘Ali Anshar bersujud
syukur, karena melalui seorang Yogi Hindhu, dia bisa menyadari semua ini.
Bahkan akhirnya, dia juga bisa memahami apa yang pernah diucapkan oleh seorang
Sufi terkenal, yaitu Abu Yazid al-Busthami, manakala beliu pernah berkata
kepada seseorang yang tengah mencarinya. Seseorang yang tengah mengetuk pintu
rumahnya. Beliau bertanya : Siapa ?. Yang mengetuk menjawab : Aku, mencari Abu
Yazid. Beliau lantas menjawab : Pergilah. Yang ada dirumah ini hanya Allah!.
Setelah
berhasil memperoleh Kesadaran Purna dari Pajajaran, hasrat San ‘Ali Anshar
untuk melakukan pengembaraan, tak terbendung lagi. Dia bertolak ke Palembang.
Menemui Arya Damar. Disana San ‘Ali Anshar memperdalam lagi puncak
spiritualitas yang sesungguhnya telah ia dapatkan.
Arya
Damar adalah bangsawan Palembang. Dia adalah putra Prabhu Wikramawardhana, Raja
Majapahit yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi dengan seorang putri
China. Nama China Arya Damar adalah Swan Liong. Dia adalah peranakan
Jawa-China. Sempat belajar agama kepada Syeh Ibrahim As-Samarqand atau yang di
Jawa terkenal dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Syeh Ibrahim As-Samarqand
inilah ayah kandung Sunan Ampel. Arya Damar inilah ayah tiri Raden Patah.
Di
Palembang, San ‘Ali Anshar bersama Arya Damar membuktikan bahwa seluruh semesta
ini sejatinya adalah satu kesatuan tunggal. Sehabis dari Palembang, San ‘Ali
Anshar melanjutkan pengembaraannya ke Kesultanan Malaka (+/- 1450 M). Di
Malaka, San ‘Ali Anshar dikenal dengan nama Syeh Jabaranta, Bahkan, akibat
pertemuannya dengan Syeh Datuk Ahmad, yaitu kakak kandung Syeh Datuk Sholeh,
ayahnya, San ‘Ali Anshar, diberi nama baru, yaitu Syeh Abdul Jalil.
Rasa
ingin mengenal semesta raya yang semakin meletup-letup didada San ‘Ali Anshar
yang kini dikenal dengan nama Syeh Abdul Jalil, membuatnya memutuskan untuk
melanjutkan pengembaraan ke Baghdad, Irak. Bersama seorang ulama Sufi asal
Baghdad yang menetap di Malaka, bernama Syeh Ahmad Al-Mubasyarah Al- Tawwalud,
Syeh Abdul Jalil, berangkat ke Baghdad.
Di
Baghdad, Syeh Abdul Jalil semakin intensif mempelajari spiritualitas. Apalagi
disana, dikediaman Al-Tawwalud, banyak naskah-naskah Sufistik yang tersimpan.
Seluruh kitab Sufistik mulai dari Ihya’ Ulumuddin-nya Al-Ghazali, Fushushul
Hikam-nya Ibnu ‘Araby, karya-karya Abu Yazid Al-Busthami bahkan At-Thawasun-nya
Al-Hallaj, yang terkenal dengan ucapannya ‘Anna Al-Khaq’ (Aku-lah Kebenaran
Sejati) dan yang hidupnya berakhir targis ditiang eksekusi mati, semuanya
berhasil dipelajari oleh Syeh Abdul Jalil. Termasuk pula kitab Haqiqatul
Haqoiq, Insan Kamil dan Manazilul Alahiyyah-nya Al-Jilli, semuanya berhasil
dipahaminya.
Setelah
dirasa cukup, Syeh Abdul Jalil meneruskan pengembaraannya ke Makkah. Setelah
mengunjungi Makkah, Syeh Abdul Jalil bertolak pulang ke Jawa.
Syeh
Abdul Jalil tiba kembali dipulau Jawa pada tahun 1463 Masehi. Caruban Larang,
kini telah berubah menjadi daerah otonom. Pangeran Walang Sungsang kini
menjawab sebagai Penguasa tunggal wilayah Caruban Larang dan bergelar Pangeran
Cakrabhuwana, serta bergelar Shrii Manggana. Gelar terakhir adalah gelar
pemberian dari ayahandanya Prabhu Silih Wangi.
Syeh
Datuk Kahfi, masih dianugerahi usia panjang.
Kedatangan
Syeh Abdul Jalil ini diketahui oleh Dewan Wali Sangha, yaitu semacam Majelis
Ulama Jawa yang berpusat di Ampeldhenta, Surabaya. Majelis Ulama Jawa ini
berdiri pada tahun 1454 dibawah pimpinan Raden ‘Ali Rahmad atau lebih dikenal
dengan nama Sunan Ampel.
Selama
beberapa tahun meninggalkan Jawa, telah banyak sekali perubahan yang terjadi.
Syeh Abdul Jalil melihat umat Islam sekarang terkesan lebih militan, jauh
berbeda dengan kesan sebelum beliau meninggalkan Jawa.
Karena
di Jawa bagian barat kepemimpinan Islam belum ada yang memegang, atas usul
Sunan Benang, Syeh Abdul Jalil diangkat sebagai wakil Dewan Wali di sana. Syeh
Abdul Jalil, yang setibanya di Caruban mendapat gelar baru Syeh Lemah Abang
atau Syeh Siti Jenar, menerima tawaran itu.
Namun
melihat dominasi Dewan Wali Sangha yang semakin hari semakin tidak mencerminkan
Islam yang sesungguhnya, membuat Syeh Siti Jenar harus berkali-kali melayangkan
protesnya kepada Sunan Ampel. Syeh Siti Jenar tidak menyetujui gerakan-gerakan
lasykar Islam yang kian hari kian radikal. Harmonisasi terganggu. Toleransi
terkoyak. Etika kemanusiaan tercampak. Dan ujung-ujungnya Islam menjadi kambing
hitam.
Pada
puncaknya, Syeh Siti Jenar menyatakan keluar dari Dewan Wali Sangha. Bagi
beliau, spiritualitas Islam yang universal, menjadi terasa sempit terhimpit
dinding-dinding kelembagaan Dewan Wali. Dan, Syeh Siti Jenar tidaklah sendiri,
seorang anggota Dewan Wali, yang sangat disegani diwilayah Majapahit, yaitu
Sunan Kalijaga, mempunyai pandangan yang sama dengan beliau. Maka, dimata Dewan
Wali, kedua tokoh ini telah menjadi dua sosok figur ‘pemberontak’.
Seorang
santri senior Sunan Ampel, yang bernama Sunan Giri, menamakan kelompok Syeh
Siti Jenar dan Sunan Kalijaga, sebagai kelompok Abangan, semacam kelompok
bid’ah. Kelompok yang tidak mengamalkan ajaran Islam secara keseluruhan,
sepotong-sepotong. Dan, situasipun memanas. Ummat Islam Jawa terpecah menjadi
dua kelompok besar. Mereka yang berpandangan bahwasanya umat beragama lain
berhak berdampingan secara sejajar dengan umat Islam, saling asah, asih dan
asuh, saling memberi, saling mengisi, dikelompokkan oleh Sunan Giri sebagai
pengikut Abangan. Sedangkan kelompok yang berpandangan bahwa Islam adalah
kebenaran tunggal, tidak ada lagi agama yang benar kecuali Islam, tidak ada
lagi toleransi bagi mereka yang bukan Islam kecuali ada perjanjian tertulis dan
selayaknya ajaran Islam yang berhak mendominasi segala aspek kehidupan manusia,
dikelompokkan sebagai kaum Putihan.
Pada
tahun 1475 Masehi, Syarif Hidayatullah, keponakan Pangeran Cakrabhuwana,
beserta ibunya Syarifah Muda’im, datang ke Cirebon dari Mesir. Mengingat
kedudukan kepemimpinan Islam di Jawa bagian barat tengah kosong, maka Dewan
Wali Sangha meminta Syarif Hidayatullah bersedia mengisi kekosongan itu. Syarif
Hidayatullah lantas terkenal dengan nama Sunan Gunungjati.
Menjelang
awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat. Kepemimpinan Dewan Wali Sangha beralih
ketangan Sunan Giri. Melihat perubahan yang tak terduga ini, mau tak mau posisi
abangan sangat terjepit.
Dan
manakala mendengar Pesantren Krendhasawa yang diasuh oleh Syeh Siti Jenar
mengalami kemajuan sedemikian pesat, dimana materi pengajaran yang diajarkan
ternyata sangat-sangat lunak bagi akidah Islam, begitu menurut Sunan Giri,
bahkan tassawuf adalah materi utama yang diajarkan disana melebihi ilmu-ilmu
yang lain, maka Sunan Giri, yang merasa sebagai Wali Mukmin, Pemimpin Dewan
Wali, meminta Syeh Siti Jenar untuk menghadap ke Giri.
Dewan
Wali Sangha yang mendapati bahwa Syeh Siti Jenar benar-benar sudah diluar
kontrol, diam-diam memutuskan untuk menyingkirkan beliau.
Pada
tahun 1478, Demak Bintara mengadakan perebutan kekuasaan. Majapahit berhasil
dihancurkan . Perebutan kekuasaan yang berakhir sukses gemilang ini membuat
orang-orang Islam golongan Putihan merasa bangga. Kala itu, mereka yakin, Tuhan
telah merestui perjuangan mereka. Andai saja mereka tahu, seandainya Majapahit
tetap berdiri kokoh, kelak Belanda tidak akan mampu menguasai Nusantara secara
keseluruhan. Sebab dengan dihancurkannya Majapahit, maka integrasi
wilayah-wilayah diluar pulau Jawa yang selama ini mampu disatukan dalam panji
kebesaran Majapahit, akan sangat sulit dilakukan oleh Demak Bintara, mengingat
Demak Bintara memiliki kebijakan politik yang sangat kaku.
Begitu
juga, hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa, pasti tidak akan bisa berjalan
lancar selancar disaat Majapahit masih berkuasa. Bangsa Eropa dan dunia Islam,
semenjak Perang Salib, telah memiliki dendam sejarah yang teramat dalam. Mau
tidak mau, untuk memperlancar kembali pasokan rempah-rempah dari Nusantara yang
kini didominasi kekuatan Islam, maka politik konfrontasi akan dikedepankan oleh
bangsa-bangsa Eropa.
Secara
tidak sadar, ummat Islam Putihan telah mengundang konflik lebih besar bagi
Nusantara. Mengundang keterpurukan Nusantara dalam jangka waktu yang cukup
lama.
Namun
dikala itu, disaat mereka telah berhasil menghancurkan Majapahit, mereka
benar-benar optimis, benar-benar yakin, bahwa dengan tegaknya Kesultanan Demak
Bintara, maka Nusantara akan diberkahi kemakmuran oleh Tuhan.
Pada
kenyataannya, sejak masa itu, Nusantara terus tenggelam kedasar jurang
keterbelakangan dan kemiskinan. Mana janji Tuhan ? Seandainya Majapahit tetap
berdiri, maka dapat dipastikan, Nusantara akan tetap tegak sejajar dengan
China!
Kubu
Abangan tidak ikut campur sama sekali dengan urusan perebutan kekuasaan ini.
Namun, begitu kaum Putihan memenangkan pertarungan, maka bukan saja komunitas
Hindhu-Buddha, kubu Abangan-pun ikut tersudut. Dan pada puncaknya, mereka lama-lama
tidak betah juga terus-terusan disudutkan, dihakimi, diajari, dinasehati bahkan
diintimidasi. Banyak para pengikut Abangan yang kemudian menjauhi pusat-pusat
perkotaan. Menyingkir ke pedesaan. Membentuk kelompok-kelompok kecil,
terpisah-pisah dan terkucil. Dan pada perkembangan selanjutnya, sebagian dari
mereka ini menyebut dirinya sebagai penganut aliran Kejawen.
Kekhalifahan
pertama Jawa, yang selama ini dicita-citakan oleh Kaum Putihan berhasil
berdiri. Raden Patah atau Tan Eng Hwat dikukuhkan sebagai khalifah pertama
Demak Bintara dengan gelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Jiem-Boenningrat (Nama
Jiem-Boen, adalah nama China. Saya belum tahu pasti darimana dan mengapa nama
itu diambil. : Damar Shashangka)
Praktis,
Raden Patah mulai berkuasa dari tahun 1479 Masehi. Begitu naik tahta, wilayah
negara Demak Bintara yang dulu diperkirakan kurang lebihnya separuh bekas
wilayah Majapahit, terutama wilayah bagian barat yang mayoritas sudah banyak
penduduknya yang memeluk Islam, ternyata perkiraan itu salah!
Daerah-daerah
yang dapat dikuasai oleh Demak, yang terang-terangan dengan suka rela mengakui
kedaulatan Demak Bintara, ternyata hanya sebatas Jawa Tengah sekarang dan
pesisir utara Jawa Timur hingga ke Pulau Madura. Selebihnya, tidak ada satu
Kadipaten-pun yang mau tunduk tanpa syarat.
Yang
sangat mencolok mata, begitu Pangeran Cakrabhuwana meletakkan jabatannya
sebagai Akuwu (setingkat Adipati ) di Caruban Larang pada tahun 1479, dan pada
tahun itu pula Sunan Gunungjati diangkat sebagai pengganti beliau bahkan
dinikahkan dengan putri beliau Nyi Pakungwati, Caruban Larang, secara tegas
menolak menjadi wilayah Demak Bintara! Sunan Gunungjati berdalih, secara
historis, Caruban Larang dari dulu bukan wilayah Majapahit, tapi wilayah
Pajajaran. Dan Caruban Larang berhak menentukan nasibnya sendiri.
Syeh
Siti Jenar diam-diam prihatin melihat kekonyolan mereka-mereka yang mengaku
sebagai pemimpin umat ini. Namun, ketegangan demi ketegangan yang terjadi antar
kaum Putihan sendiri, dita,bah operasi-operasi militer yang harus dilakukan
oleh pemerintahan Demak Bintara, membuat Syeh Siti Jenar, sedikit banyak luput
dari perhatian Dewan Wali.
Dewan
Wali tengah sibuk, tengah kewalahan menghadapi perlawanan-perlawanan sisa-sisa
kekuatan Hindhu-Buddha yang beberapa daerah masih nekad melakukan perlawanan.
Seandainya Prabhu Brawijaya, mau mengkoordinasikan setiap kekuatan sisa-sisa
Majapahit ini, maka Demak Bintara tak akan bertahan lama. Cuma yang
dikhawatirkan oleh Sunan Kalijaga, jika memang pengkoordinasian kekuatan itu
benar-benar dilakukan, bukan hanya Demak Bintara, bahkan seluruh umat muslim
yang kontra Demak-pun jadi terkena imbasnya.
Banjir
darah tidak hanya akan terjadi di Jawa, tapi diseluruh wilayah Majapahit, jika
sampai Prabhu Brawijaya mengeluarkan komando penyatuan sisa-sisa kekuatan itu.
Demi kemanusiaan, yang ‘sadar’, harus mengalah.
Disisi
lain-pun, seandainya Raden Patah tidak memandang Dewan Wali Sangha, pasti dia
akan melakukan invasi ke Caruban Larang yang kini, setelah dipimpin oleh Sunan
Gunungjati, berubah nama menjadi Carbon Girang. Namun mengingat kedudukan
kekhalifahan Islam di Jawa masih sangat lemah dan butuh kesatu paduan, untuk
sementara Raden Patah memendam niatannya.
Semua
dinamika politik ini, tak lepas dari pengamatan Sunan Kalijaga dan Syeh Siti
Jenar. Pada awal berdirinya Demak, Sunan Kalijaga yang pernah berjanji kepada
Prabhu Brawijaya untuk ikut terjun ke kancah perpolitikan, demi untuk bisa ikut
menentukan arah kebijakan Demak Bintara ( baca catatan saya Misi Peng-Islam-an
Nusantara : Damar Shashangka ), pada waktu itu memilih untuk menunggu dan
melihat perkembangan dulu. Beliau sekarang lebih terfokus untuk berdakwah
keliling, dari satu kota ke kota lain, terutama di pedalaman Jawa demi untuk
menghindari sewaktu-waktu Dewan Wali Sangha meminta bantuannya untuk
menundukkan daerah tertentu dengan meminjam wibawa beliau.
Sedangkan
Syeh Siti Jenar, lebih memfokuskan diri untuk mengajar para santri-santrinya.
Terdapat beberapa nama santri beliau yang terkenal, diantaranya Lontang Asmara
dan Sunan Panggung.
Waktu
berjalan cepat. Pemerintahan Demak Bintara terus disibukkan dengan
operasi-operasi militer yang tak kunjung selesai. Praktis, kesejahteraan
masyarakat menjadi kurang diperhatikan. Rakyat kecil, yang dulu merasakan taraf
hidup yang mapan pada saat Majapahit berkuasa, kini, pelahan-lahan, dibahaw
naungan Ke-khalifah-an yang katanya pasti akan memberikan keberkahan, ternyata,
malah membawa ke ambang ketidak pastian.
Stabilitas
kacau balau. Roda perekonomian-pun terganggu. Banyak investor yang sudah pada
hengkang dari Jawa. Jawa setelah Majapahit jatuh, bukannya berubah menjadi
surga, namun malah menjadi neraka.
Dan
konyolnya, pada tahun 1487 Masehi, Sunan Giri Kedhaton memproklamirkan
berdirinya kembali Ke-khalifah-an Giri yang dulu pernah dihancurkan oleh
Majapahit ( baca Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka).
Raden
Patah, dibuat pusing karenanya.
Carut
marut perpolitikan di Jawa membuat Dewan Wali melupakan kasus Syeh Siti Jenar
dalam jangka waktu yang lama. Kini ditambah lagi, Carbon Girang mulai
ikut-ikutan mencoba menggoyang Pajajaran.
Tahta
Pajajaran, telah berganti dari Prabhu Silih Wangi atau Prabhu Niskala Wastu
Kancana kepada Prabhu Tohaan sejak tahun 1475. Sunan Gunungjati, mendapati
kakeknya, Prabhu Silih Wangi telah lengser, maka kini dia tak lagi
sungkan-sungkan untuk mengadakan penyerangan ke wilayah Pajajaran. Namun,
Pajajaran sangat kuat dan tertutup. Sehingga, baik invasi militer maupun taktik
infiltrasi seperti yang pernah dilakukan kepada Majapahit, tak mampu menembus
Pajajaran. Padahal Carbon Girang dibantu oleh Demak Bintara dan Kadipaten
Banten. ( Banten adalah wilayah Carbon Girang. Dipimpin oleh Pangeran
Sebakingkin, putra Sunan Gunungjati dengan Nyi Kawungten, putri Adipati Banten.
Pangeran Sebakingkin kelak dikenal dengan gelar Maulana Hassanuddin. : Damar
Shashangka).
Kegagalan
taktik infiltrasi sebagian besar dikarenakan di Pajajaran, tidak banyak
pejabatnya yang memeluk agama Islam seperti halnya Majapahit dulu. Bahkan
diam-diam, beberapa sisa-sisa lasykar Majapahit, menyokong Pajajaran.
Jalan
satu-satunya untuk memperlemah Pajajaran hanyalah menguasai pelabuhan-pelabuhan
pantai utara Jawa Barat, dimana dari pelabuhan-pelabuhan ini, roda perekonomian
Pajajaran sebagian besar tertunjang karenanya. Seluruh pesisir utara Jawa
Barat, dikuasai dengan paksa oleh Carbon Girang. Praktis, jika dengan kekuatan
militer, Carbon Girang tidak mampu menembus Pajajaran, maka jalan satu-satunya
adalah melakukan blokade ekonomi!
Melihat
perkembangan politik Caruban Larang yang kini berganti nama Carbon Girang
sedemikian panas, Syeh Siti Jenar punya niatan untuk memindahkan pesantrennya
ke pedalaman Jawa. Beliau berniat untuk menyingkir ke basis kaum Abangan.
Carbon Girang hendak beliau tinggalkan. Namun, Syeh Siti Jnear, bukanlah tokoh
yang dekat dengan kekuasaan seperti halnya Sunan Kalijaga. Beliau kesulitan
melobi hunian baru untuk tempat kepindahan pesantrennya.
Seandainya
beliau tidak memikirkan nasib para pendukungnya, bisa saja beliau meninggalkan
Jawa. Namun, itu bukan watak orang yang sudah ‘tercerahkan’.
Menginjak
awal tahun 1490 Masehi, ketika Pajajaran diperintah oleh Sang Raja Jayadewata
(1482-1521 M), Ki Ageng Kebo Kenanga, atau yang terkenal dengan gelar Ki Ageng
Pengging, penguasa daerah Pengging ( sekitar Surakarta, Jawa Tengah, sekarang :
Damar Shashangka), yang masih berusia 21 tahun, sangat muda, diam-diam
menawarkan daerah Pengging sebagai tempak hunian baru kepindahan pesantren
beliau.
Mendengar
hal itu, Sunan Kalijaga, yang pernah mendapat amanah agar menjaga trah Pengging
dan trah Tarub dari Prabhu Brawijaya ( baca Misi Peng-Islam-an Nusantara :
Damar Shashangka ), segera memperingatkan Syeh Siti Jenar agar menolak tawaran
tersebut. Mengingat penguasa Demak Bintara masih menganggap trah Pengging
adalah bahaya laten bagi Demak Bintara. Karena memang sesungguhnya tahta
Majapahit, harus jatuh ke trah Pengging, bukan ke Raden Patah. Jika sampai
pemerintah Demak tahu ada hubungan khusus antara Syeh Siti Jenar dengan
Pengging, dapat dipastikan, Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging, akan
dicurigai tengah membangun kembali kekuatan politik Majapahit.
Syeh
Siti Jenar yang memang tidak paham peta politik Jawa, segera mempertimbangkan
akan hal itu. Dan segera, beliau menolak tawaran Ki Ageng Pengging yang masih
muda tersebut. Namun, Syeh Siti Jenar tidak bisa mengelak untuk menyukai sosok
Ki Ageng Pengging, yang walaupun masih muda, namun sangat tinggi kedalaman
‘spiritualitas’-nya. Syeh Siti Jenar dibuat kagug karenanya. Tidak hanya
beliau, Sunan Kalijaga-pun juga mengagumi pemuda ini.
Walau
terpaut usia yang cukup jauh, Syeh Siti Jenar tak segqan-segan mengajak Ki
Ageng Pengging berdiskusi masalah ‘spiritualitas’. Walaupun Ki Ageng Pengging
pemeluk Shiva Buddha dan Syeh Siti Jenar pemeluk Islam, tapi pada
ujung-ujungnya, esensi spiritualitas yang mereka dalami adalah sama.
Seringkali
Syeh Siti Jenar memeluk Ki Ageng Pengging dengan penuh kasih. Beliau sudah
menganggap, pemuda ini adalah anaknya sendiri, tiada beda dengan Syeh Datuk
Pardhun, putra Syeh Siti Jenar sendiri.
Begitu
juga Ki Ageng Pengging, juga sudah menganggap Syeh Siti Jenar seolah seperti
ayah kandungnya. Maklum, Adipati Handayaningrat IV, ayah kandung Ki Ageng
Penggging, memang sudah wafat.
Kedekatan
Ki Ageng Pengging dengan Syeh Siti Jenar, menarik minat Ki Ageng Tingkir, Ki
Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, sahabat-sahabat Ki Ageng Pengging, untuk
berguru kepada Syeh Siti Jenar.
Disini
perlu diperjelas, yang menjadi murid Syeh Siti Jenar sebenarnya adalah Ki Ageng
Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, sedangkan Ki Ageng Pengging,
walau dekat dengan Sang Syeh, tapi tetap memeluk Shiva Buddha. Hubungan yang
indah antara sahabat, ayah angkat, murid dan Guru ini memang seringkali
menimbulkan salah pengertian. Kelak, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang
terkenal dengan gelar Sunan Butuh dan Sunan Ngerang, murid-murid Syeh Siti
Jenar.
Namun,
gerak-gerik Ki Ageng Pengging, senantiasa dimonitor oleh mata-mata Demak
Bintara. Laporan kedekatan Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging telah masuk
ke hadapan Raden Patah, Sultan Demak. Hal ini, perlu diwaspadai. Sebagai
seorang pemimpin politik tertinggi Demak, mau tak mau, Raden Patah harus
mencurigai kegiatan Ki Ageng Pengging.
Dan
laporan serupa, sampai juga ke Kekhalifahan Giri. Sunan Giri, walau telah
menjabat sebagai Sultan Giri, namun masih tetap juga menjabat sebagai Pemimpin
Dewan Wali Sangha. Kerancauan ini, otomatis membuat Demak Bintara, walau bukan
wilayah Giri Kedhaton, namun mau tak mau harus tetap tunduk pada fatwa-fatwa
Sunan Giri. Dan fatwa-fatwa Sunan Giri, sangat tipis bedanya dengan perintah-perintah
beliau sebagai seorang Sultan. Kalau direnungkan kembali, sebenarnya Raden
Patah, tidak memiliki wewenang yang sesungguhnya sebagai Sultan Demak.
Hal
inilah yang memicu kelak dikemudian hari, pada masa sesudah Kekhalifahan Demak
jatuh, banyak penguasa Kekhalifahan Jawa yang berusaha menyerang Giri Kedhaton
dengan kekuatan militer. Karena bagaimanapun juga, sebuah pemerintahan tidak
akan bisa mementukan kebijakan secara bebas jika selalu diintervensi penguasa
pemerintahan lain dengan berselimutkan fatwa.
Namun,
usaha-usaha yang rasional seperti ini, malah dicerca habis-habisan oleh Kaum
Putihan dikemudian hari. Mereka menjelek-jelekkan Sultan Hadiwijaya (
Kesultanan Pajang ) dan Panembahan Senopati ( Kesultanan Mataram ) yang
menyerang Giri. Pada buku-buku kaum Putihan, yang melimpah ruah dipasaran,
kedua penguasa ini sangat-sangat dipersalahkan.
Kelak
pada tahun 1679 Masehi, pada saat Kesultanan Mataram diperintah oleh Sunan
Amangkurat II, Giri Kedhaton berhasil dihancurkan.
Perkembangan
hubungan antara Syeh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging, terus diawasi oleh
Kesultanan Demak Bintara dan Kesultanan Carbon. Menjalang tahun 1497 Masehi,
Sunan Giri, atas nama Pemimpin Dewan Wali Sangha, memerintahkan Sultan Syah
Alam Akbar, yaitu Sultan Demak dan Sultan Carbon, yang tak lain Sunan
Gunungjati, untuk menangkap Syeh Siti Jenar.
Pemerintahan
Demak dan Carbon, merespon perintah Dewan Wali tersebut.
Sultan
Demak segera menitahkan Sunan Kudus, Senopati Agung Demak Bintara untuk pergi
ke Carbon Girang, membawa pasukan sebanyak 700 orang untuk menangkap Syeh Siti
Jenar.
Kedatangan
pasukan Demak diwilayah Kasultanan Carbon Girang menggegerkan masyarakat
sekitar. Pasukan Carbon ikut bergabung dalam barisan pasukan Demak Bintara.
Pasukan
gabungan ini lantas menuju Pesantren Krendhasawa, dimana Syeh Lemah Abang atau
Syeh Siti Jenar bermukim. Para santri geger melihat kedatangan pasukan gabungan
ini. Seluruh santri diultimatum untuk meninggalkan area pondok Pesantren.
Namun, perlawanan terjadi. Perlawanan yang takseberapa. Namun jatuh juga korban
dipihak santri Syeh Siti Jenar.
Pondok
Pesantren Krendhasawa dikepung ketat. Setelah pasukan Demak Bintara dan Carbon
berhasil menguasai keadaan, Sunan Kudus, Senopati Demak Bintara, segera masuk
ke Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar tinggal. Kedua ulama yang berseberangan
ini bertemu dalam situasi tegang! Sunan Kudus, dengan menunjukkan surat
perintah dari Sultan Demak, meminta Syeh Siti Jenar bersedia ditangkap. Syeh
Siti Jenar dengan tenang menyatakan kesediaannya untuk ditangkap.
Pondok
Pesantren Krendhasawa selama beberapa hari dalam situasi mencekam. Syeh Siti
Jenar masih ada didalam sana. Beliautidak diperkenankan keluar dari kediaman
beliau. Status beliau sekarang adalah tahanan negara! Beliau akan diadili di
Cirebon, dengan tuduhan telah menggalang gerakan makar kepada pemerintahan yang
sah dan telah menyebarkan ajaran menyimpang kepada ummat Islam. Ki Ageng
Pengging, menyusul kemudian untuk ditangkap!
Tempat
pengadilan belum ditentukan, menunggu kedatangan para Wali dari Jawa Timur dan
Jawa Tengah yang tengah dalam perjalanan menuju Carbon Girang.
Beberapa
hari kemudian Sunan Kalijaga datang lebih dahulu. Diiringi dengan beberapa
santri beliau. Sunan Kalijaga, meminta kepada Sunan Kudus agar memperkenankan
dirinya bertemu dengan Syeh Siti Jenar. Sunan Kudus tidak memberikan ijin.
Tapi, Sunan Gunungjati, meminta Sunan Kudus agar memberikan kelonggaran bagi
Sunan Kalijaga. Akhirnya, Sunan Kudus memberikan ijin juga.
Sunan
Kalijaga berhasil menemui Syeh Siti Jenar, sosok yang sudah dianggap sebagai
kakak kandungnya sendiri. Di Dalem Agung, dimana Syeh Siti Jenar ditahan,
mereka berdua berpelukan erat. Meteka berdua bertemu dalam situasi memilukan.
Syeh
Siti Jenar, tetap terlihat tegar. Bahkan beliau berpesan kepada Sunan Kalijaga
agar terus berjuang menegakkan Islam yang toleran, yang penuh kasih, bukan
Islam yang kolot, kaku dan dangkal.
Beberapa
hari kemudian, datanglah rombongan Dewan Wali ke Carbon. Mereka langsung menuju
ke Istana Pakungwati ( Istana Kasultanan Carbon bernama Pakungwati, mengambil
nama dari istri Sunan Gunungjati, Nyi Pakungwati : Damar Shashangka). Dibawah
pimpinan Sunan Giri, Para Wali memutuskan untuk mengadili Syeh Lemah Abang
dengan mengambil Masjid Agung Sang Ciptarasa sebagai tempatnya.
Syeh
Lemah Abang, diiringi Sunan Kalijaga, dengan dikawal pasukan Demak dan Carbon,
segera menuju Masjid Agung Sang Ciptarasa. Pengawalan sangat ketat. Seluruh
masyarakat Carbon Girang mengawasi dengan hati tercekam.
Ada
beberapa kejadian yang tak terduga, beberapa santri Syeh Lemah Abang melakukan
perlawanan hendak menerobos blokade militer yang tengah mengawal Sang Syeh.
Mereka berhasil ditangkap. Syeh Lemah Abang, ditengah kerumunan pasukan dan
masyarakat yang hendak menyaksikan, segera memerintahkan agar seluruh santrinya
tenang dan ridlo’. Seluruh pendukungnya diminta agar berserah diri kepada Dzat
Penguasa ‘Alam.
Di
Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus berperan sebagai seorang Jaksa, dan Hakim
dipegang oleh Sunan Giri.
Pengadilan
berjalan a lot dan lamban. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi disana. Karena
pengadilan ini bersifat tertutup. Situasi Masjid Agung Sang Ciptarasa sangat
mencekam. Penjagaan ketat terlihat disana-sini. Pasukan Demak, dibantu Pasukan
Carbon, melakukan penjagaan berlapis-lapis. Tidak ada yang boleh memasuki areal
Masjid. Siapapun juga!
Hampir
seharian penuh, tak ada perubahan situasi. Tetap mencekam. Dan menjelang malam
tiba, nampak Syeh Lemah Abang, digiring ke halaman Masjid Sang Ciptarasa.
Pasukan semakin diperketat.
Dihalaman
Masjid Sang Ciptarasa, Sunan Kudus sendiri yang menjalankan eksekusi hukuman
mati. Syeh Lemah Abang, dengan senyum dibibirnya, dengan kepasrahan total
kepada Dzat Yang Meliputi Semesta, menyambut detik-detik terakhir hidupnya.
Sunan
Kudus, memenggal kepala Syeh Siti Jenar. Kepala sudah terlepas dari badan.
Darah menyemburat! Dan Syeh Lemah Abang, wafat saat itu juga!
Namun
terjadi keganjilan, diareal Masjid Sang Ciptarasa, begitu Syeh Lemah Abang
terpenggal kepalanya, mendadak sontak tercium aroma wangi semerbak yang aneh.
Wangi yang bukan datang dari alam manusia. Wangi yang menyeruak dari alam
Illahi!
Seluruh
yang hadir tercekat. Para Wali yang menyaksikan jalannya eksekusi mati
keheranan. Sunan Kudus tertegun. Para Pasukan yang bertugas sebagai penjaga
pelaksanaan eksekusi, miris dan ketakutan.
Bahkan
lamat-lamat, Para Wali melihat samar dan halus, ditengah-tengah darah yang
menggenang disekitar jasad Syeh Siti Jenar, lamat-lamat, muncul empat huruf
yang jika dibaca akan berbunyi ALLAH! Cuma sebentar. Dan kejadian gaib ini,
sudah membuat beberapa Wali terjajar halus kebelakang!
Kala
itulah, mendadak Sunan Kalijaga mengalami ‘Peningkatan Kesadaran’. Batinnya
sangat peka. Ada sebuah kekuatan illahi yang menarik ‘Kesadaran’ beliau. Dan
Sunan Kalijaga tergetar begitu mendengar suara lamat-lamat, yang syahdu,
berasal dari dalam jiwanya. Suara itu adalah suara Syeh Lemah Abang,…
Inilah
yang beliau dengar…………..
Kinanti
1.Wau
kang murweng don luhung,
atilar
wasita jati,
e
manungsa sesa-sesa,
mungguh
ing jamaning pati,
ing
reh pêpuntoning tekad,
santa-santosaning
kapti.
2.Nora
saking anon ngrungu,
riringa
rêngêt siningit,
labêt
sasalin salaga,
salugune
den-ugêmi,
yeka
pangagême raga,
suminggah
ing sangga runggi.
3.Marmane
sarak siningkur,
kêrana
angrubêdi,
manggung
karya was sumêlang,
êmbuh-êmbuh
den-andhêmi,
iku
panganggone donya,
têkeng
pati nguciwani.
4.Sajati-jatining
ngelmu,
lungguhe
cipta pribadi,
pusthinên
pangesthinira,
ginêlêng
dadi sawiji,
wijanging
ngelmu jatmika,
neng
kaanan ênêng êning.
Terjemahan
1.Dari yang sampai kepada Jalan Agung, Meninggalkan Pesan Sejati, Wahai manusia semua, Pada saat kematian menjelang, Tekad yang kuat (menggapai Kesempurnaan Sejati ), Dan keteguhan kehendak (menggapai Kesempurnaan Sejati )..
2.Tidak didapatkan karena hanya mendengar semata, Terkecoh ajaran berbelit-belit, Mementingkan keutamaan tubuh (Ilmu Fiqh), Apa yang tertulis dipercayai begitu saja, Padahal itu hanya Ilmu Etika, Belum menyentuh apa yang sesungguhnya.
3.Maka jangan terjebak syari’at, Sangat-sangat mengganggu pencapaian Kesejatian, Terlalu menimbulkan keragu-raguan dan ketidak pastian, Walau tidak yakin benar tetap saja kamu jalani, (Fiqh) itu Ilmu Duniawi, Ketika meninggal tidak berguna.
4.Sesungguh-sungguhnya Ilmu, Berada didalam Kesadaranmu sendiri, Tingkatkan Kesadaranmu itu, Satukan dengan Kesadaran Sejati, Kesempurnaan Ilmu Sesungguhnya, Akan kamu dapatkan dalam keadaan ENENG ( DIAM ) ENING ( HENING).
Sunan Kalijaga menitikkan air mata haru mendapati fenomena luar biasa itu. Dan segera, beliau memerintahkan pasukan Demak, merawat jasad Sang Kekasih Allah tersebut.
Sunan Kudus terpaku. Tak mampu berucap sepatah kata-pun.
Jenasah beliau, dikebumikan di Kampung Kemlaten. Namun dikemudian hari, jenasah beliau dipindahkan ke Giri Amparanjati atas perintah Sunan Gunungjati.
Keharuman
nama Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, tidak bisa dihapuskan begitu saja
dari benak masyarakat Jawa. Walaupun demikian hebat fitnahan yang dilancarkan
kepada beliau sesudah beliau wafat, namun bagi masyarakat Jawa, diam-diam Syeh
Siti Jenar tetap sebagai tokoh Agung.
(Tamat)