TENTANG IMAJINASI
By, Imajier Nuswantoro
Imajinasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah khayalan atau daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang.
Imajinasi merupakan kemampuan berpikir untuk membuat ide atau gagasan baru. Kemampuan ini bermanfaat untuk pengembangan diri dan pemecahan masalah.
Imajinasi adalah sebuah kemampuan untuk menciptakan gambaran, ide atau konsep yang tidak ada dalam kenyataan. Kreativitas dalam berpikir ini memungkinkan kamu untuk memvisualisasikan sebuah konsep dan ide-ide baru dari pemikiranmu sendiri.
Imajinasi dapat berupa kreasi ulang dari pengalaman masa lalu, misalnya kenangan hidup dengan perubahan yang dibayangkan, atau pemandangan yang benar-benar diciptakan dan mungkin fantastis. Imajinasi juga dapat membuat kita dapat melihat masa lalu, kemudian membentuk skenario masa depan yang belum nyata, tapi bisa jadi akan nyata nantinya.
Imajinasi berfungsi sebagai kanvas mental untuk ide-ide inovatif, mendorong kita melampaui batas-batas konvensional. Intinya, imajinasi merupakan bagian integral dari perangkat kognitif kita, membentuk pendekatan kita terhadap tantangan, tujuan pribadi, dan pemahaman kita tentang dunia
Sedangkan menurut Steiner (dalam Peter Van Alpen, 2011:17) imajinasi dideskripsikan sebagai sesuatu yang muncul dari persepsi melalui indra, menyebabkan proses pemikiran yang aktif untuk menciptakan apa yang dia sebut 'gambar hidup' di benak pengamat.
Menurut ilmu pengetahuan, imajinasi dapat berperan dalam pembentukan dan pengembangan teori dan model ilmiah. Imajinasi juga dapat memainkan peran penting dalam representasi ilmiah dan mengarah pada penjelasan "bagaimana-mungkin".
Imajinasi adalah kemampuan berpikir untuk membuat ide atau gagasan baru. Imajinasi dapat berasal dari otak dan hati, dirasakan oleh indra, dan dibatasi oleh imajinasi itu sendiri. Imajinasi dapat diwariskan lintas generasi.
Namun, imajinasi juga sering gagal dalam cara yang menghambat pengungkapan rahasia alam. Beberapa imajinasi tampaknya tidak mampu terwujudkan karena ada lebih banyak realitas daripada apa yang sudah mereka ketahui.
Imajinasi menurut Alkitab adalah kemampuan untuk membayangkan sesuatu yang tidak dapat dirasakan atau belum pernah dirasakan sebelumnya, yang dipandu oleh ajaran-ajaran dalam Kitab Suci.
Berikut beberapa hal yang berkaitan dengan imajinasi menurut Alkitab :
2 Korintus 10:5 mengatakan, "Menyingkirkan khayalan dan segala kesombongan yang meninggikan diri melawan pengetahuan akan Allah, dan menawan segala pikiran untuk taat kepada Kristus".
- Imajinasi dapat digunakan untuk memahami kehendak Allah.
- Imajinasi dapat membantu dalam penginjilan dan pengajaran yang efektif.
- Imajinasi dapat membantu dalam membangun gereja dan membuat ibadah lebih menarik bagi pengunjung.
- Imajinasi dapat membantu untuk menyampaikan kualitas Allah yang abstrak dan nilai-nilai iman.
- Tuhan berbicara kepada kita melalui imajinasi, baik melalui apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan.
Pembahasan mengenai tema imajinasi (Khayȃl) sejatinya sudah dimulai sejak filsafat Yunani maupun Filsafat Islam dan menjadi pembahasan penting terkait pembahasan epistemologi. Al-Ghazalî misalnya, mendefinisikan imajinasi sebagai daya yang menyusun, memisahkan serta mengaitkan antara satu gambar/makna dengan gambaran/makna yang lain. Daya inilah yang membantu akal praktis dalam melakukan tugasnya dan memberi daya Khayȃl bagi akal untuk menyusun, memisahkan dan mengaitkan sebuah premis sehingga didapatkan sebuah konklusi rasional. Tanpa daya ini, akal tidak bisa bermanuver dan berkreasi pada penggalian objek-objek dan makna baru. Senada dengan al-Ghazali, Ibn Sina, al-Farabi dan beberapa filsuf yang lain juga mendefinisikan imajinasi (Khayȃl) sebagai sebuah daya atau fakultas kreatif dalam diri manusia. Berbeda dengan pandangan para filsuf kebanyakan, Ibn ‘Arabi mempunyai pandangan spesifik terkait konsep imajinasi (Khayȃl). Imajinasi (Khayȃl) tidak hanya dipandang sebagai sebuah daya kreatif dalam diri manusia, lebih jauh lagi, Ibn ‘Arabi ingin membawa kita melihat bahwa imajinasi juga berkenaan dengan masalah ontologi Wujud dan juga kosmologinya. Baginya –mengutip Hadits Qudsi- kehidupan ini adalah mimpi besar (kehidupan imajinasi), jika kita tidak bangun (sadar) maka kita senantiasa berada dalam kehidupan maya (imajinasi). Bagaimana pandangan Ibn ‘Arabi tentang imajinasi (Khayȃl) dan apa perbedaannya dengan pandangan lain inilah yang menjadi fokus dan tujuan dari penelitian tesis ini. Penelitian yang dikerjakan dengan metode analisis kualitatif terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi dan beberapa karya iii pendukungnya ini menghasilkan beberapa temuan: pertama, imajinasi (Khayȃl) yang digagas oleh Ibn ‘Arabi merupakan sebuah pandangan yang dilihat dari perspektif metafisika yang merupakan hasil dari penyaksian batinnya (kasyf), berbeda dengan pandangan para filsuf yang melihatnya dari sisi filsafat. Kedua, Pembahasan Ibn ‘Arabi mengenai imajinasi (Khayȃl) lebih luas dan lebih komprehensif dibandingkan pendapat para filsuf karena mencakup pembahasan ontologi, epistemologi dan kosmologi. ketiga, pandangan Ibn ‘Arabi terkait imajinasi (Khayȃl) lebih konsisten dan lebih mengakomodir makna imajinasi (Khayȃl) dari sisi etimologinya yang faktanya mempunyai beragam makna (musytarak lafdzi). keempat, terkait dengan objektivitas imajinasi, penelitian ini membuktikan bahwa pengetahuan yang berasal dari imajinasi juga mempunyai objektivitas yang sama validnya dengan pengetahuan sensorial dan intelektual, bahkan mempunyai kelebihan tersendiri yakni bisa menggabungkan dua fakultas yang saling bertolak belakang indra dan akal- dimana kemampuan ini tidak dimiliki oleh keduanya. Ibn ‘Arabi sendiri menekankan pentingnya imajinasi karena kemampuannya menjadi jembatan antara indra dan akal, alam jasmani dan alam ruhani dan sebaliknya. Terakhir, penelitian mengenai imajinasi (Khayȃl) dalam pandangan Ibn ‘Arabi pada intinya memberi perspektif metafisika pada kita bahwa ada perbedaan esensial antara realitas yang benar-benar riil (al-Haqq) dengan realitas imajinatif. Relitas imajinatif tidak mempunyai eksistensi mandiri selain bergantung pada al-Haqq. Di sisi lain, realitas imajinatif juga merupakan projeksi atau manifestasi al-Haqq sendiri, sehingga ia merupakan cermin dan sekaligus tanda bagi keberadaanNya.
Menurut tasawuf, kekuatan imajinasi atau quwwah al-hayaliyyah adalah kemampuan untuk melakukan kontemplasi yang sangat tinggi sehingga imajinasi dapat menembus dan melampaui batas alam syahadah.
Imajinasi sendiri dapat diartikan sebagai khayalan atau daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Imajinasi merupakan bagian integral dari perangkat kognitif manusia yang membentuk pendekatan terhadap tantangan, tujuan pribadi, dan pemahaman tentang dunia.
Beberapa cara untuk meningkatkan imajinasi, antara lain :
- Membaca
- Bermeditasi
- Bermain peran
- Berkarya
- Belajar hal baru
- Melibatkan diri dalam diskusi
Albert Einstein pernah berkata bahwa; “Imagination is more important than Knowledge”. Penulis mengartikan bahwa kedudukan imajinasi berada di atas ilmu pengetahuan dikarenakan induk ilmu pengetahuan adalah imajinasi dan rasa keiingintahuan.
Albert Einstein mengatakan, “Imagination is more important than knowledge…”.
Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.
Albert Einstein dianggap sebagai ilmuwan terbesar abad kedua puluh .
Lahir di Ulm, Jerman pada tahun 1879, Albert Einstein terkenal karena mengembangkan teori relativitas serta memberikan kontribusi pada pengembangan teori mekanika kuantum.
Albert Einstein memenangkan Hadiah Nobel untuk Fisika pada tahun 1921 untuk penjelasannya tentang efek fotolistrik, sebuah fenomena di mana partikel bermuatan listrik dilepaskan dari atau di dalam suatu material ketika menyerap radiasi elektromagnetik.
Albert Einstein menjadi terpesona oleh sains di tahun-tahun awalnya ketika dia melihat kompas pada usia lima tahun.
Albert Einstein ingin memahami kekuatan tak kasat mata yang bisa membelokkan jarum yang kemudian dia temukan secara signifikan.
Ketika dia berusia 12 tahun, Albert Einstein menemukan "buku geometri kecilnya yang suci".
Nama Albert Einstein masih membawa bobot hingga saat ini dan dianggap identik dengan kejeniusan. Albert Einstein kemudian dinobatkan sebagai Person of the Year oleh TIME pada tahun 1999 .
Berikut adalah kutipan imajinasi terbaik Albert Einstein :
1. “Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan terbatas. Imajinasi mengelilingi dunia.”
2. “Tanda kecerdasan yang sebenarnya bukanlah pengetahuan tetapi imajinasi.”
3. “Logika akan membawamu dari A sampai Z. Imajinasi akan membawamu kemana-mana.”
4. “Imajinasi adalah segalanya. Ini adalah pratinjau atraksi kehidupan yang akan datang.”
5. Yang penting jangan berhenti bertanya. Keingintahuan memiliki alasannya sendiri untuk eksis.”
6. “Pengalaman terindah yang bisa kita miliki adalah yang misterius. Ini adalah emosi mendasar yang berdiri di tempat lahirnya seni sejati dan sains sejati. Ini adalah sumber dari semua seni dan sains sejati. Dia yang tidak mengetahuinya dan tidak dapat lagi bertanya-tanya, tidak lagi merasa takjub, sama saja dengan mati, lilin yang padam.”
7. "Saya cukup seorang seniman untuk menggambar dengan bebas pada imajinasi saya."
Kebanyakan orang menganggap bahwa ilmu pengetahuan atau sains yang didasarkan pada pengetahuan dari berbagai fakta dibuktikan oleh akal dan logika semata-mata, dan sedikit sekali yang mengetahui bahwa pada mulanya selalu ada intuisi dan imajinasi.
Semua temuan saintifik berkembang dari kedua hal ini (intuisi dan imajinasi), baru kemudian akal mengambil alih dan logika membantunya.
Jadi intuisi dan imajinasi lebih dulu yang mengawali sebuah penelitian atau penemuan hampir setiap pengembangan saintifik.
“Imagination is the beginning of creation. You imagine what you desire, you will what you imagine and at last you create what you will”.
George Bernard Shaw mengatakan, “Imajinasi adalah awal penciptaan.
Kita mengimajinasikan apa yang anda kehendaki, anda menghendaki apa yang anda imajinasikan dan akhirnya anda menciptakan apa yang anda kehendaki” (George Bernard Shaw : 1856–1950)
Manusia masa kini tidak lagi percaya untuk menyandarkan diri mereka pada intuisi, inspirasi atau bahkan imajinasi.
Hal ini dikarenakan oleh lingkungan yang sedemikian sudah materialistis sehingga kepercayaan atas daya intuisi, inspirasi dan imajinasi mereka pun pudar.
Hal ini pun pada akhirnya berpengaruh atas karya-karya seni mereka.
Jika mereka adalah seniman karya-karya mereka terasa kering sehingga tidak menyentuh karena tidak muncul dari dari perasaan atau feeling tetapi dari otak.
Bila seseorang terus menerus menggunakan intuisinya, inspirasi dan imajinasi konstruktifnya, maka suatu saat akan datang padanya yang disebut sebagai wahyu.
(Wahyu di sini bukan semata-mata yang berhubungan dengan apa yang kebanyakan orang sebut dengan Kenabian.)
Semua makhluk Tuhan, sejatinya memiliki kemampuan ini.
Lihat saja banyak sekali ayat-ayat suci Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa “wahyu” tidak hanya semata ditujukan kepada para Nabi dan Rasul.
Kepada Maryam as, ibunda Nabi Isa as, misalnya, lihat QS.12:15, juga kepada ibu Nabi Musa as, lihat QS.20:38, bahkan kepada lebah pun Allah Swt. menyampaikan wahyu-Nya, lihat QS.16:68.
Pada ayat lain pun, wahyu tidak selalu dinisbahkan dari Tuhan saja, syaithan pun bisa saja membisikkan wahyu kepada manusia, lihat ayat QS.6:121.
Dengan demikian makna wahyu di sini bermakna penyingkapan (revelation), di mana Allah SWT. menyingkapkan rahasia segala sesuatu baginya.
Hal ini merupakan kejelasan wawasan batiniah.
Seseorang bisa saja berhubungan dengan orang lain dari jarak jauh tanpa bantuan peralatan komunikasi.
Pengetahuan seperti ini bisa datang seketika dan segala problem terpecahkan, apakah itu masalah filosofis, hukum kehidupan, alam ghaib, atau alam yang telah termanifestasikan dalam bentuk yang sangat jelas padanya.
Banyak orang salah paham terhadap arti visi yang sesungguhnya dan bahkan seringkali berpura-pura menjadi seorang visioner.
Namun perkembangan visi batin yang sesungguhnya menunjukkan kemajuan jiwa yang besar.
Kekuatan imajinasi dalam gaya bahasa Al-Qur'an dipercaya dapat meneguhkan keberadaan Al-Qur'an sebagai kitab mukjizat.
Imajinasi adalah kemampuan untuk membayangkan atau menciptakan gambar berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang. Imajinasi dianggap sebagai asal mula kreativitas, sehingga tanpa kemampuan untuk membayangkan sesuatu yang belum ada, tidak akan ada inovasi atau karya seni baru.
Imajinasi juga memiliki peran penting dalam perkembangan anak, karena berfungsi sebagai kanvas mental untuk ide-ide inovatif. Imajinasi mendorong kita untuk melampaui batas-batas konvensional dan membentuk pendekatan kita terhadap tantangan, tujuan pribadi, dan pemahaman kita tentang dunia.
Sementara itu, Al-Qur'an membimbing umat Islam untuk menjadi kreatif dan menggunakan kreativitas mereka untuk kepentingan kemanusiaan dan sesuai dengan hukum Syariah dan prinsip-prinsip Islam.
Al-Qur’an pun Mendorong Untuk Berimajinasi ?
Al-Qur’an senantiasa mendorong manusia untuk menggunakan akal. Berseru secara terang-terangan agar menghargai akal. Merenungkan semesta ciptaan Tuhan untuk mengetahui lebih dalam hal ihwal kehidupan dunia manusia, baik dunia fisik maupun dunia sosial. Sebab akal dalam Islam memegang peran yang sangat penting. Bahkan menyebutkan manusia yang tidak menggunakan akal sebagai makhluk yang menyerupai binatang. Hingga dikatakan pula sebagai manusia bisu, buta, dan tuli. Dalam hal ini Islam mendudukkan akal sebagai sesuatu yang mulia. Sebab akal juga adalah bagian dari fitrah kemanusiaan.
Pada umumnya akal senantiasa diidentikkan dengan rasionalitas. Sebuah alat yang terdapat pada diri manusia untuk menggunakan logika nalar dalam mensistematisasikan objek material dalam aneka bentuk silogisme. Memainkan nalar melalui konsep verbal-literal sebagaimana telah berakar kuat dalam ilmu pengetahuan modern dengan bentuk pola-pola matematis.
Pemahaman akan peran akal sebagai sesuatu yang melulu “me-rasionalitas-kan segala sesuatu” cenderung meletakkan intelek pada hirarki teratas sistem berpikir manusia. Penggunaan atas akal senantiasa diidentikkan dengan penggunaan atas intelek semaksimal mungkin. Seakan ruh dari akal adalah intelek. Dengan kata lain, akal cenderung disebut sebagai intelek itu sendiri.
Hal ini juga berimplikasi terhadap pemahaman kaum Muslimin terhadap ayat-ayat tentang dorongan menggunakan akal. Ayat-ayat mengenai “afalā ta’qilūn, “afalā tadabbarūn”, “afalā tatafakkarūn” juga dipahami sebagai penggunaan intelek sebagai esensi terdalam dari akal. Sehingga ayat-ayat tersebut dijustifikasi sebagai hak milik intelek. Gairah terhadap intelek inilah yang telah membawa kaum Muslimin terdorong untuk mengkaji, meneliti, dan menyelami samudra ciptaan Tuhan. Sehingga teks-teks al-Qur’an yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan penemuan-penemuan ilmiah disebut sebagai upaya kaum Muslimin dalam mengamalkan ayat-ayat perihal dorongan untuk menggunakan akal pikiran. Atas dasar ini, bermunculan pulalah penafsiran al-Qur’an yang berusaha mensintesiskan teks kitab suci dan ilmu pengetahuan modern. Tidak hanya itu, dalam ranah teologi pun terdapat pula golongan yang meletakkan akal secara lebih dominan. Terbukti dengan munculnya mazhab Mu’tazilah di masa klasik dan Islam sekuler di abad modern ini. Secara singkat, pemahaman kaum Muslimin atas akal juga dikaitkan dengan penggunaan atas intelek.
Hanya saja, apakah betul akal adalah hak milik intelek semata? Apakah intelek adalah ruh dari akal itu sendiri? Lantas bagaimana dengan peran imajinasi? Bukankah imajinasi adalah juga bagian dari akal itu sendiri? Bertolak dari pandangan Croce bahwa:
Pengetahuan mempunyai dua bentuk: pengetahuan intuitif dan pengetahuan logis. Pengetahuan yang didapatkan melalui imajinasi dan pengetahuan yang didapatkan melalui intelek.
Berdasarkan pandangan di atas, Croce mendikotomikan antara intelek dan imajinasi. Intelek diasumsikan sebagai hal yang bersifat logis dan imajinasi sebagai hal intuitif. Namun, lepas dari dikotomi intelek dan imajinasi sebagaimana yang dipaparkan Croce, imajinasi dapat dikategorikan juga sebagai salah satu sistem berpikir manusia yang bertolak dari akal. Dari sini, akal tidak dipahami sebagai intelek semata yang memandang objek material secara rasional. Imajinasi juga memiliki perannya sendiri. Dengan kata lain, imajinasi juga memiliki rasionalitasnya sendiri.
Dalam kehidupan, imajinasi sering dimaknai sebagai kemampuan orang-orang yang bergelut dalam dunia estetika belaka. Dunia yang digeluti oleh para seniman, sebuah dunia yang dikungkung dan dipenjara dibalik jeruji khayalan, fantasi, dan ilusi subjektif sang seniman. Sampai di sini, imajinasi hanya dipandang sebagai permainan pikiran semata dan seakan ditempatkan di sudut yang terlupakan. Nyatanya tidak. Imajinasi justru sangat berperan penting dalam kehidupan.
Sebagai misal, ketika Einstein menemukan teori relativitas waktu, pada dasarnya dia sedang mengimajinasikan variable-veriabel tertentu dalam pikirannya untuk kemudian menciptakan rumus. Juga ketika Newton menyadari teori gravitasi saat melihat apel jatuh ke tanah, dia juga sedang mencitrakan sesuatu dalam pikirannya dalam bentuk imajinasi. Sampai di sini, imajinasi memiliki pengaruh kuat hingga mencakup pula dalam ranah ilmu pengetahuan.
Bertolak dari latar belakang permasalahan imajinasi tersebut, pertanyaan yang kemudian muncul adalah seberapa besar fungsi imajinasi dalam karya seni? Dapatkah imajinasi dalam karya seni menemukan kebenaran-kebenaran tertentu sebagaimana yang terjadi dalam ilmu pengetahuan? Bambang Sugiharto menyebutkan bahwa fungsi imajinasi dalam karya seni terletak pada “efek”. Efek dalam karya seni bukanlah terletak pada “maknanya apa?” melainkan “dia melakukan apa pada kita?”, barulah kemudian makna dalam karya seni dapat ditemukan. Itulah fungsi imajinasi dalam karya seni.
Seni yang merupakan olah kreatif batin manusia yang dituangkan dalam bentuk karya adalah pengalaman eksternal maupun internal dalam memandang sebuah objek. Bahkan Arthur Schopenhaeur pada tahun 1891 dalam magnum opusnya, Dunia Sebagai Kehendak dan Bayangan, mendefinisikan seni sebagai cara mengamati benda terlepas dari prinsip penyebabnya. Seni bukan dunia abstrak ala sains ataupun dogmatisme ala agama. Tapi seni semacam cara unik dalam menafsir dan memaknai pengalaman.
Sebagai salah satu cara manusia dalam memaknai hidup, selain agama, filsafat, dan sains, seni tidak sekadar menyuguhkan keindahan fisik belaka. Akan tetapi, berusaha menampilkan sesuatu yang tersembunyi dalam realitas. Menampilkan objek sedemikian rupa melalui olah bahasa, warna, bentuk, bunyi, suara, gerak, mimik wajah hingga montase yang dihasilkan dari permainan visual-audio dalam dunia film. Bambang Sugiharto menyebutkan:
Kekuatan seni adalah melukiskan kedalaman pengalaman yang sebenarnya tak tampak dan tak terlukiskan, memperkatakan hal yang tak terumuskan, membunyikan hal yang tak tersuarakan, ataupun menarikan inti pengalaman batin yang tak terungkapkan.
Dari sini apa yang dinginkan dan diungkapkan oleh seni adalah kebenaran itu sendiri. Tak sekadar mengenai olah keterampilan dan keahlian dalam mempromosikan bakat. Tapi terkait erat dengan proses penciptaan yang berakar pada persepsi. Maka seni adalah soal menciptakan persepsi baru. Persepsi tentang kebenaran yang lebih dalam dari realitas yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Seni memang terkait dengan kebenaran kehidupan dibanding hanya sekadar keindahan belaka.
Dalam filsafat Islam, Muhammad Iqbal menyebut seni sebagai estetika vitalisme, yaitu seni harus mampu memberikan dorongan untuk memberikan kehidupaan dan semangat baru, bahkan harus mampu menyumbangkan hal-hal baru dalam kehidupan. Inilah yang disebut Muhammad Iqbal seni sebagai ekspresi ego. Sedangkan Sayyed Hossein Nasr menyebutnya sebagai manifestasi spiritual. Seni bagi Nasr tidak hanya terkait mengenai benda-benda material belaka, tetapi unsur kesadaran religius juga berperan penting dalam menjiwai sebuah seni.
Kembali kepada persoalan imajinasi sebagai bagian dari akal manusia bahwa imajinasi dalam karya seni dapat dinikmati setelah melalui tahap proses kreatif manusia. Proses kreatif inilah yang menghasilkan ragam kesenian, mulai dari sastra, rupa, musik, tari, teater hingga film. Mel Rhodes mengemukakan bahwa kreativitas merupakan fenomena dimana seseorang mengomunikasikan sebuah konsep baru yang diperoleh dari hasil proses mental dalam menghasilkan ide, yang merupakan upaya untuk memenuhi adanya kebutuhan yang dipengaruhi tekanan ekologis. Sedang Weisberg mendefinisikan kreatif sebagai cara berpikir yang membawa sesuatu yang baru.
Lebih lanjut, persoalan kreativitas manusia dalam karya seni tersebut senantiasa juga didorong oleh al-Qur’an. Tidak sedikit teks al-Qur’an yang secara tidak langsung memberi tantangan kepada manusia untuk terus melakukan kreativitas seni. Sebagai misal, saat nabi Nuh diperintahkan Allah swt. untuk membuat bahtera, Allah swt. tidak memerintahkan Nuh untuk membuat bahtera tertentu. Bahtera tersebut dibuat Nuh berdasarkan kreativitasnya sendiri, sehingga tidak heran bahtera Nuh yang ditemukan para arkeolog sangat jauh berbeda dengan kretivitas pembuatan bahtera di abad modern.
Begitupun ketika Allah memberi mukjizat kepada nabi Isa untuk menghidupkan burung yang terbuat dari tanah liat. Allah juga tidak memerintahkan Isa untuk membuat jenis burung tertentu. Burung tersebut dibuat berdasarkan kreativitas nabi Isa sendiri. Juga perintah Allah kepada kaum Muslimin untuk membaca al-Qur’an secara tartīl, pembacaan secara tartīl tersebut dilakukan kaum Muslimin berdasarkan kreativitas mereka sendiri. Ini dibuktikan dengan banyaknya bermuculan ragam murottal al-Qur’an yang tersebar sekarang ini. Di sisi lain, bukankah nabi Daud juga mampu membuat baju besi dan memiliki suara merdu?
Lâ Hawla Wa Lâ Quwwata illâ Billâh...
اللهم صل على محمد وآل محمد
Kanti Suci Project