Kisah Pengkianat Snouck Hurgronje
Snouck Hurgronje, seorang sejarawan Belanda, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh pedagang dari Gujarat, India. Teori ini disebut Teori Gujarat.
Teori Gujarat ini dikembangkan oleh Snouck Hurgronje bersama dengan orang lain, setelah sebelumnya dicetuskan oleh G.W.J. Drewes. Snouck Hurgronje tertarik untuk mengembangkan teori ini karena melihat bahwa Islam sudah kokoh di beberapa kota pelabuhan di India.
Teori Gujarat menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi. Menurut teori ini, pedagang Gujarat datang ke Indonesia melalui jalur Indonesia-Cambay-Timur-Tengah-Eropa. Mereka menetap di Indonesia untuk menunggu kedatangan angin musim dan berinteraksi dengan penduduk setempat. Interaksi ini menghasilkan asimilasi budaya melalui perkawinan, sehingga kebudayaan dan ajaran Islam mulai menyebar.
Selain Teori Gujarat, ada juga teori lain tentang masuknya Islam ke Indonesia, yaitu: Teori Arab (Mekah), Teori Persia (Iran), Teori Cina.
Snouck Hurgronje Arsitek Politik Islam Hindia Belanda
Dalam posting yang lalu tentang “Politik Islam Hindia Belanda“, telah ditulis beberapa dasar pemikiran tentang kebijakan-kebijakan politik dari pemerintahan Hindia Belanda terhadap umat Islam yang dikenal dengan politik Islam Hindia Belanda. Selanjutnya penulis artikel menyajikan kembali tentang kebijakan-kebijakan tersebut dan aktor dibalik keluarnya kebijakan-kebijakan itu penghianatan jaman Belanda.
Siapa Snouck Hurgronje ?
Prof. Dr. Snouck Hurgronje (1857-1936) selama ini merupakan tokoh yang sangat kontroversial. Disanjung dipuja sebagai sarjana Islam yang cemerlang, tetapi juga dicaci maki sebagai seorang ahli muslihat yang hendak menghancurkan Islam dari dalam dengan pura-pura masuk Islam. Betapapun diakui oleh semua pihak bahwa pemerintah Belanda baru mempunyai garis kebijaksanaan tentang Islam didaerah jajahannya yang bernama Hindia Belanda (Indonesia) setelah Snouck Hurgronje menjadi penasehat pemerintah dalam hal-hal yang berkaitan dengan Islam.
Christiaan Snouck Hurgronje, lahir pada 8 Februari 1857, di Oosterhout, dari pasangan pendeta J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria de Visser. Christiaan adalah nama kakeknya sehingga namanya adalah gabungan nama kakeknya dan bapaknya. Ia mengawali pendidikan dasar (lagere school) di tempat kelahirannya, Oosterhout. Kemudian ia melanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Breda. Setelah selesai di HBS, ia melanjutkan ke Universitas Leiden, dan menyelesaikan Sarjana Muda bidang teologi pada tahun 1878.
Setelah menyelesaikan Sarjana Muda dibidang teologi, Snouck Hurgronje mengalihkan studinya ke ilmu Sastera Samiyah dengan spesialisasi bahasa Arab dan Islam. Ia mengakhiri studinya dalam bidang itu pada tanggal 24 November 1880 dengan yudicium cum laude dan menjadi Doktor dalam bidang ilmu tersebut berdasarkan sebuah disertasi yang berjudul Het Mekkaansche feest.
Di sini, ada satu hal yang menarik untuk dicermati, yaitu pengalihan bidang studi Snouck Hurgronje dari ilmu teologi ke ilmu Sastera Samiyah. Peralihan ini menunjukkan adanya perkembangan pemikiran pada diri Snouck Hurgronje. Namun, perkembangan itu bukan disebabkan oleh perpecahannya dengan kekristenan, melainkan agaknya disebabkan oleh perkembangan teologi Kristen pada Universitas Leiden ketika itu. Perkembangan inilah yang menentukan gagasan-gagasannya tentang Islam dan politik kolonial Belanda di kemudian hari.
Misi politik Islam Snouck Hurgronje diawali pada tahun 1884, ketika ia pergi ke Mekkah untuk memperoleh pengetahuan praktis Bahasa Arab dan mempelajari kehidupan Islam di kota pusatnya. Di pusat kota Muslim ini, ia meneliti pengaruh Mekkah terhadap dunia Islam lainnya, terutama Hindia Belanda. Dalam salah satu suratnya kepada Th. Noldeke (1-8-1885), ia menyatakan tujuan utamanya pergi ke Mekkah adalah menelaah kehidupan Islam dengan mengamati cara berpikir, cara berbuat, dan perilaku kaum ulama dan bukan ulama di pusat kehidupan Muslimin.
Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan para haji jemaah Dari Indonesia untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan.
Pada saat itu pula, ia menyatakan ke-Islam-annya dan mengucapkan Syahadat di depan khalayak dengan memakai nama “Abdul Ghaffar.” Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck yang isinya menyebutkan “Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak, dan ulama- ulama Mekah telah mengakui keIslaman Anda”. “Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi tercatat dalam dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda.
Ada cerita bahwa H Hasan Mustapa-lah yang mengislamkan Snouck Hurgronje. Tapi cerita yang lebih dapat diterima mestinya Aboebakar Djajadiningratlah–paman Pangeran Ahmad Djajadiningrat dan Prof Dr Hoesein Djajadiningrat–yang mengislamkannya atau yang mengatur pengislamannya.
Pada waktu itu, Aboebakar Djajadiningrat bekerja di Kantor Konsulat Belanda di Jeddah. Dialah yang banyak memberikan bahan-bahan tentang Mekkah sehingga Snouck Hurgronje berhasil menulis bukunya Mekka dalam bahasa Jerman dua jilid yang dipuji banyak orang–dan Snouck samasekali tidak menyebut Aboebakar Djajadiningrat sebagai sumbernya.
Mestinya Snouck lebih dahulu berkenalan dengan Aboebakar Djajadiningrat daripada dengan H Hasan Mustapa yang ditemuinya di Jeddah daripada H Hasan Mustapa yang mungkin baru ditemuinya ketika dia ke Mekkah–beberapa lama setelah tinggal di Jeddah.
Dr. P. Sj. Van Koningsveld dalam bukunya Snouck Hurgronje dan Islam (Girimukti Pasaka, Jakarta, 1989) menggambarkan kemungkinan Snouck masuk Islam oleh Qadi Jeddah dengan dua orang saksi setelah Snouck pindah tinggal bersama-sama dengan Aboebakar Djajadiningrat (1989: 95-107).
Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh seorang ‘Ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama di Saudi Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya sebagai saudara seagama. Kesempatan ini digunakan oleh Snouck untuk memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat itu.
Snouck kemudian menjabat sebagai penasihat pemerintah (Hindia Belanda) untuk urusan Islam dari 1889 hingga 1906. Karena dianggap mualaf dan dengan reputasinya sebagai sarjana teologi, Snouck ditemani oleh sahabat Sunda-nya dari Mekah, Haji Hasan Moestapha, dengan mudah bisa berkeliling dan meninjau pesantren-pesantren di Jawa. Di Aceh tahun 1891, Snouck berhasil memperoleh kepercayaan dari ulama Tengkoe Noerdin.
Di Jawa Barat, Snouck alias Abdul Ghaffar dengan perantaraan Haji Hasan Moestapha menikah dengan dua putri ulama terkenal. Jika dia tidak diakui sebagai seorang Muslim, mustahil diizinkan menikah dengan gadis Sunda. Dia memenuhi segala persyaratan dari Islam. “Dia telah disunat (besneden), melakukan salat, berpuasa di bulan Ramadan, dan menjauhi makanan serta minuman yang terlarang”
Snouck mempunyai dua istri orang Sunda. Yang pertama, bernama Sangkana, anak tunggal Penghulu Besar Ciamis. Raden Haji Muhammad Ta’ib, dan dari pernikahan ini lahir empat anak yaitu Ibrahim, Aminah, Salmah Emah, dan Oemar. Yang kedua setelah Sangkana meninggal adalah Siti Sadijah, putri penghulu Bandung Haji Muhammad Soe’eb yang dikenal dengan nama Kalipah Apo, Snouck berusia 41 tahun dan Sadijah 13 tahun tatkala pernikahan berlangsung tahun 1898. Dari pernikahan dengan Siti Sadiyah melahirkan seorang anak bernama Joesoef.
Van Koningsveld juga memberikan petunjuk-petunjuk yang memberikan kesan ketidaktulusan Snouck Hurgronje masuk Islam. Dia masuk Islam hanyalah untuk melancarkan tugasnya atau tujuannya yang hendak mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia, jadi bersifat politik bukan ilmiah murni.
Tentu saja ketidaktulusan Snouck dalam memeluk agama Islam itu tidak diberitahukan dan tidak diketahui oleh kawan-kawannya orang Islam, termasuk H Hasan Mustapa. Dalam naskah yang ditulis H Hasan Mustapa berjudul Istilah terdapat bagian yang melukiskan hubungannya dengan guru-gurunya baik di Mekah maupun di Tanah Air, dan juga dengan beberapa orang pejabat Belanda yang dikenalnya, seperti K F Holle, Branders, van Ronkel, dan terutama tentang Snouck Hurgronje.
Dia mengatakan bahwa Snouck adalah “dulur kaula”, tur “sili bélaan salawasna keur deukeut keur jauh,” (”saudaraku” serta “selamanya saling jaga dan saling bela baik waktu berdekatan maupun waktu berjauhan”) (H Hasan Mustapa jeung karya-karyana, oleh Ajip Rosidi, Pustaka, Bandung, 1989: 56).
H Hasan Mustapa menjadi Penghulu Besar (Hoofdpenghoeloe) di Kotaraja (Banda Aceh) atas desakan Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer dan Sipil Acéh, Jenderal Deykerhoff. Menurut Snouck dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 8 Maret 1896, tidaklah mudah dia membujuk H Hasan Mustapa supaya mau menduduki jabatan di lingkungan pemerintahan. Dari H Hasan Mustapa lah Snouck mengetahui dan mengikuti perkembangan Aceh dengan seksama meskipun Snouck berada di Batavia melalui laporan-laporan yang dikirim oleh Hasan Mustapa.
Dalam meneliti Islam, menurut G.W.J. Drewes, ada tiga hal masalah penting yang menarik perhatian Snouck Hurgronje :
– Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan
– Kedua, apa arti Islam di dalam kehidupan sehari-hari dari pengikutnya yang beriman
– Ketiga, bagaimana cara memerintah orang Islam sehingga melapangkan jalan untuk menuju dunia modern dan bila mungkin mengajak orang-orang Islam bekerjasama guna membangun suatu peradaban universal.
Pemikiran Snouck Hurgronje Tentang Islam di Indonesia
Christiaan Snouck Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” yang merupakan garis kebijakan “Inlandsch politiek” yang dijalankan pemerintah kolonial Belnda terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang diciptakan Snouck terasa lebih lunak dibanding dengan konsep strategi kebijakan para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam terus berkepanjangan bahkan berkelanjutan sampai dengan saat ini.
Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah kolonial Belanda dapat mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-pergolakan di Hindia Belanda yang dimotori oleh umat Islam. Pemikiran Snouck -berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya- menjadi landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik”.
Konsep Snouck berlandaskan fakta masyarakat Islam tidak mempunyai organisasi yang “Hirarkis” dan “Universal”. Disamping itu karena tidak ada lapisan “Klerikal” atau kependetaan seperti pada masyarakat Katolik, maka para ulama Islam tidak berfungsi dan berperan pendeta dalam agama Katolik atau pastur dalam agama Kristen. Mereka tidak dapat membuat dogma dan kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya dikendalikan oleh dogma yang ada pada Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam beberapa hal memerlukan interprestasi sehingga kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya tidak bersifat mutlak.
Tidak semua orang Islam harus diposisikan sebagai musuh, karena tidak semua orang Islam Indonesia merupakan orang fanatik dan memusuhi pemerintah “kafir” belanda. Bahkan para ulamanya pun jika selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka para ulama itu tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi lain, Snouck menemukan fakta bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.
Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam menjadi tiga bagian, yaitu ; bidang Agama Murni, bidang Sosial Kemasyarakatan, bidang Politik. Pembagian kategori pembidangan ini juga menjadi landasan dari doktrin konsep “Splitsingstheori”.
Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh Snouck diusahakan agar umat Islam Indonesia berangsur-angsur memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik. Melalui “Politik Asosiasi” diprogramkan agar lewat jalur pendidikan bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa. Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita “Pan Islam” dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen.
Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam, penumpasan itu jika perlukan dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial dan akhirnya rela diperintah oleh “orang-orang kafir”.
Dalam bidang Agama Murni dan Ibadah, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan memperbaiki tempat peribadatan, serta memberikan kemudahan dalam melaksanakan ibadah haji.
Sedangkan dibidang Sosial Kemasyarakatan, pemerintah kolonial memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa. Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam, terutama dalam hukum dan peraturan. Konsep untuk membendung dan mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah dengan “Theorie Resptie”. Snouck berupaya agar hukum Islam menyesuaikan dengan adat istiadat dan kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya. Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika sudah diadopsi menjadi hukum adat.
Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial hendaknya menerapkan konsep “Devide et Impera” dengan memanfaatkan kelompok Elite Priyayi dan Islam Abangan untuk meredam kekuatan Islam dan pengaruhnya dimasyarakat. Kelompok ini paling mudah diajak kerjasama karena ke- Islaman mereka cenderung tidak memperdulikan “kekafiran” pemerintahkolonial Belanda.
Kelompok ini dengan didukung oleh konsep “Politik Asosiasi” melalui program jalur pendidikan, harus dijauhkan dari sistem Islam dan ajaran Islam, serta harus ditarik kedalam orbit “Wearwenization”. Tujuan akhir dari program ini bukanlah Indonesia yang diperintah dengan corak adat istiadat, namun Indonesia yang diper-Barat-kan. Oleh karena itu orang-orang Belanda harus mengajari dan menjadikan kelompok ini sebagai mitra kebudayaan dan mitra kehidupan sosial.
Kaum pribumi yang telah mendapat pendidikan bercorak barat dan telah terasosiasikan dengan kebudayaan Eropa, harus diberi kedudukan sebagai pengelola urusan politik dan administrasi setempa. Mereka secara berangsur-angsur akan dijadikan kepanjangan tangan pemerintah kolonial dalam mengemban dan mengembangkan amanat politik asosiasi.
Secara tidak langsung, asisiasi ini juga bermanfaat bagi penyebaran agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan lebih mudah menerima panggilan misi. Hal itu dikarenakan makna asosiasi sendiri adalah penyatuan antara kebudayaan Eropa dan kebudayaan pribumi Hindia Belanda. Asosiasi yang dipelopori oleh kaum Priyayi dan Abangan ini akan banyak menuntun rakyat untuk mengikuti pola dan kebudayaan asosiasi tersebut.
Pemerintah kolonial harus menjaga agar proses transformasi asosiasi kebudayaan ini seiring dengan evolusi sosial yang berkembang dimasyarakat. Harus dihindarkan, jangan sampai hegemoni pengaruh dimasyarakat beralih kepada kelompok yang menentang program peng-asosiasi-an budaya ini.
Secara berangsur-angsur pejabat Eropa dikurangi, digantikan oleh pribumi pangreh praja yang telah menjadi ahli waris hasil budaya asosiasi hasil didikan sistem barat. Akhirnya Indonesia akan diperintah oleh pribumi yang telah ber-asosiasi dengan kebudayaan Eropa.
Konsep-konsep Snouck tidak seluruhnya dapat dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga tak seluruhnya dapat mencapai hasil yang maksimal. Namun setidaknya selama itu telah mampu meredam dan mengurangi aksi politik yang digerakkan oleh umat Islam. Pada akhirnya, umat Islam pula yang menjadi motor penggerak gerakan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.
Tanggal 12 Maret 1906 Snouck kembali ke negeri Belanda. Ia diangkat sebagai Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab pada Universitas Leiden. Disamping itu ia juga mengajar para calon-calon Zending di Oestgeest. Snouck meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936, diusianya yang ke 81 tahun.
Kebesaran Snouck selalu dikenang, dialah ilmuwan yang dijuluki `dewa” dalam bidang Arabistiek-Islamologi dan Orientalistik, salah satu pelopor penelitian tentang Islam, Lembaga-Lembaganya, dan Hukum-Hukumnya. Ia “berjasa” menunjukkan “kekurangan-kekurangan” dalam dunia Islam dan perkembangannya di Indonesia. Di Rapenburg didirikan monumen “Snouck Hurgronjehuis” untuk mengenang jasa-jasanya dan kebesarannya. Christiaan Snouck Hurgronje, tokoh penting peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” merupakan “Pembaratan Islam Pribumi” kini diteruskan oleh para pewarisnya di Indonesia yang dikenal sebagai cendekiawan Islam Liberal Indonesia.
Snouck Hurgronje Seorang Muslim, BENARKAH ?
Buku C. Snouck Hurgronje dan Wajah Islamnya (2024) karya A. Ginanjar Sya’ban. (Foto: dok. istimewa)
Baru-baru ini telah terbit satu buku menarik berjudul C. Snouck Hurgronje dan Wajah Islamnya (diterbitkan Maret 2024) yang ditulis oleh A. Ginanjar Sya’ban. Buku ini membicarakan isi sejumlah surat korespondensi yang ditulis dan dikirim oleh keluarga, para ulama, habaib, mufti, bangsawan, saudagar, penghulu, dan tokoh Nusantara lainnya (Hindia Belanda) kepada Snouck (atau terkait Snouck) pada rentang tahun 1884 hingga 1929. Surat-surat ini dikirim kepada Snouck baik ketika ia berada di Hijaz (1884-1885), di Belanda pasca Hijaz (1885-1889), lalu ketika ia bertugas sebagai penasihat pemerintahan kolonial di Hindia Belanda (1889-1906), juga setelah kembalinya Snouck ke negaranya di Belanda pasca tugasnya di Hindia dan bekerja sebagai ilmuwan dan guru besar di Universitas Leiden hingga akhir hayatnya (1906-1936).
Terdapat 30 buah surat yang dibicarakan dalam buku ini yang kesemuanya tersimpan di Perpustakaan Universitas (Universiteit Bibliotheek/UB) Leiden, Belanda, sebagai kelompok koleksi C. Snouck Hurgronje. Ginanjar menjelaskan bahwa surat-surat yang ditulis ini menggunakan berbagai bahasa dan aksara yang berbeda-beda, antara lain bahasa Arab, Jawa, dan Sunda aksara Arab (Pegon), bahasa Sunda aksara Latin, juga bahasa Belanda. Melalui surat-surat tersebut, kita akan disuguhkan perspektif lain terhadap sosok Snouck dan wajah Islamnya, salah satunya adalah bagaimana para tokoh besar ini memanggilnya, menganggapnya, bahkan menempatkannya sebagai seorang yang sangat disegani.
Tulisan ini tidak akan membicarakan isi-isi surat tersebut, silahkan para pembaca membeli buku A. Ginanjar Sya’ban yang menarik ini di platform terkait. Kita juga tidak akan menggiring opini pada satu sudut pandang tentang sosok Snouck ini, baik sebagai sosok yang protagonis bahwa ia benar-benar seorang Muslim yang tulus, atau sebaliknya, sebagai sosok antagonis yakni seorang munafik, penghianat, yang berpura-pura memeluk agama Islam untuk tujuan menaklukkan masyarakat muslim Hindia Belanda. Ragam spekulasi ini kerap menimbulkan kontroversi sejak dulu hingga sekarang tiap kali disebutkan nama Snouck Hurgronje, baik dari kalangan para sarjana maupun publik secara umum. Akan tetapi, tulisan ini akan membicarakan bagaimana keadaan dan posisi Snouck berdasarkan data-data yang ditulis oleh para sarjana untuk kita menilai sendiri konteks apa yang melatarbelakangi pro kontra ini.
Awal Kesan Negatif tentang Snouck Hurgronje
Dikutip dari Ginanjar yang menjelaskan dalam kata pengantar bukunya bahwa kesan miring dan pandangan buruk terhadap sosok Snouck tampaknya tak lepas dari pengaruh Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935) seorang tokoh puritanisme Islam yang memusatkan aktivitasnya di Kairo, Mesir pada awal abad ke-20. Dalam majalah al-Manar yang terbit di Kairo dan tersebar pengaruhnya ke berbagai wilayah Islam, termasuk Hindia Belanda, Ridha menyebut Snouck sebagai “orang munafik, musuh agama Islam, penjajah.” Tulisan lainnya di majalah yang sama, Ridha juga kerap mengkritik ulama Hindia Belanda keturunan Arab-Hadrami yang juga menjadi mufti Batavia kala itu, yaitu Sayid Usman bin Yahya. Ridha menyebutnya sebagai “mufti antek penjajah, boneka buatan Belanda yang tidak ada kebaikan dalam dirinya.”
Pandangan miring selanjutnya juga datang dari seorang peneliti Belanda yang menulis tentang Snouck, yaitu P. Sj. van Koningsveld yang berpandangan bahwa keislaman Snouck hanyalah kepura-puraan belaka. Snouck melakukan sandiwara itu guna mendapatkan akses ke kota suci Makkah, berdialog dengan para ulama dan meneliti atau memata-matai orang-orang Jawi yang tinggal di kota suci itu. Snouck bahkan terus melakukan sandiwara itu ketika di Hindia Belanda sampai-sampai mengawini dua putri Sunda yang kedua-duanya merupakan anak seorang ulama terpandang, dan memiliki sejumlah anak.
Perlu diketahui, bahwa Snouck menikah di Hindia Belanda sebanyak dua kali. Pertama, ia menikah dengan Sangkana Resmi, gadis Sunda anak ajengan penghulu Ciamis, Rd. H. Moehammad Taibin. Pernikahan tersebut berlangsung di masjid agung Ciamis pada bulan Desember 1889. Dari pernikahannya dengan Sangkana, Snouck dikaruniai empat orang anak, yaitu Emah Salmah (l. 1890), Oemar (l. 1892), Aminah (l. 1893), dan Ibrahim (l. 1894). Ketika mengandung anak kelima di tahun 1896, Sangkana wafat karena keguguran. Dua tahun berikutnya, yaitu pada 1898, Snouck kembali menikah dengan seorang perempuan Sunda, bernama Siti Sadijah, putri dari Rd. H. Moehammad Soe’ib atau yang dikenal dengan nama Kalipah Apo, seorang ajengan penghulu Bandung. Dari pernikahan tersebut, Snouck dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Rd. Jousoef (l. 1905).
Kepura-puraan itu dibuktikan salah satunya melalui fakta bahwa ketika Snouck selesai dari tugasnya di Hindia Belanda dan pulang ke negeri asalnya pada 1906, ia tidak membawa istri dan anak-anak kandungnya ke Belanda. Melainkan yang dalam genggamanya ketika pulang adalah sejumlah hasil risetnya berkaitan tentang keislaman di Nusantara, berupa manuskrip, kitab, dokumen, rekaman, dan artefak kesejarahan. Sejak saat itu, ia tidak pernah menginjakkan kakinya ke Nusantara, dan tidak ada catatan mengenai perjumpaan kembali dengan keluarga Sundanya secara fisik, kecuali melalui surat menyurat. Bahkan, empat tahun setelah berada di Belanda, Snouck menikah dengan seorang perempuan Belanda bernama Ida Maria. Dari pernikahannya itu, Snouck dikaruniai seorang putri bernama Christien (l. 1914).
Snouck kemudian melanjutkan karirnya sebagai guru besar di Universitas Leiden, memberikan ceramah dan kuliah ilmiah di beberapa kampus bergengsi di Eropa dan Amerika, serta menjadi pembicara utama di beberapa kongres orientalis internasional. Dia bahkan secara resmi menjadi penasihat untuk Kementerian Urusan Tanah Jajahan (Ministerie van Ko-loniën) hingga akhir masa hidupnya di mana ia meninggal di Leiden pada 26 Juni 1936, dalam usia 79 tahun. Melalui kementerian itu, ia memberikan nasihat-nasihat yang berkaitan dengan dunia Islam dan Hindia Belanda. Meski begitu, ia kerap menjalin hubungan baik dengan para ilmuwan dunia, baik dari Eropa ataupun dari dunia Islam, termasuk pada tokoh dan ilmuwan dari Hindia Belanda.
Pandangan berbeda tentang Snouck Hurgronje
Sekarang kita beralih pada hal-hal berkaitan tentang Snouck Hurgronje menggunakan perspektif lain berdasarkan pandangan Snouck sendiri terhadap Islam. Perspektif yang berbeda ini akan kita temukan melalui interaksi Snouck dengan para tokoh Islam dan bagaimana penghormatan para tokoh tersebut terhadapnya. Tidak sampai di situ, kita juga perlu menyelami posisi Snouck sebagai seorang ilmuwan dan posisi lainnya sebagai pejabat Hindia Belanda.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Snouck telah melakukan riset ilmiah di Hijaz selama satu tahun, tepatnya dalam kurun Agustus 1884 sampai Agustus 1885. Menurut Ginanjar, Snouck telah mengikrarkan keislamannya di kota Jeddah, ia bersyahadat lalu berkhitan, setelah itu mengganti namanya dengan Abdul Ghaffar, dengan disaksikan oleh dua tokoh muslim. Setelah beberapa bulan kemudian, Snouck akhirnya melaksanakan ritual umroh. Dia memasuki kota suci Makkah pada minggu ketiga bulan Februari 1885. Tanggal 21 Februari 1885 adalah malam pertama ketika Snouck memasuki area Masjidil Haram yang sakral. Snouck pun menunaikan ibadah shalat di hadapan Ka’bah untuk pertama kalinya, bersujud di atas lantai marmer pada bagian teras baitullah (rumah Allah).
Selama di Makkah ini, Snouck berinteraksi dengan sejumlah tokoh berpengaruh dari kalangan pejabat, penyair, cendekiawan, dan juga para ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram. Mereka itu antara lain adalah Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti mazhab Syafi’i, w. 1886), Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi (ulama besar mazhab Syafi’i, w 1890), Syekh Sulaiman al-Zuhdi al-Naqsyabandi (ulama besar sufi, w. 1901), termasuk para ulama Nusantara yang mengajar di Makkah, seperti Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1897), Syekh Abdul Hamid Kudus (w. 1915), Haji Hasan Mustapa (w. 1930), Syekh Junaid al-Batawi, dan lain-lain.
Hal menarik yang perlu digarisbawahi dari riset Snouck di Makkah ini adalah rasa kekagumannya terhadap dinamika kehidupan masyarakat Muslim dan kepada kota suci itu sendiri. Dalam kumpulan bahan-bahan kuliah yang disampaikan Snouck berjudul Muhammedanisme (diterbitkan tahun 1916, versi terjemahan bahasa Indonesia berjudul Muhammadanisme, diterbitkan oleh Matabangsa tahun 2018), Snouck menjelaskan bahwa aktifitas kaum Muslim di Makkah yang menetap selama bertahun-tahun untuk belajar agama dan beribadah, mentalitas mereka bukan untuk menjawab rasa penasaran mereka, melainkan tujuannya adalah untuk mendapatkan arah yang benar bagi kehidupan mereka dan keselamatan jiwa-jiwa mereka dalam kehidupan yang akan datang (akhirat).
Snouck bahkan berkata : “Faktanya, jika kita mampu melepaskan diri kita untuk sesaat saja dari seluruh prasangka dogmatik dan menjadi seorang penduduk Makkah bersama warga Makkah yang lain, menjadi salah seorang “tetangga Allah”, begitu mereka menyebutnya, maka di dalam tempat suci itu, Masjidil Haram, kita akan merasa seolah-olah sedang berbicara dengan para leluhur kita dari lima atau enam abad yang lalu. Di sinilah skolastisisme dengan warna kenabian membentuk daya tarik yang luar biasa bagi pemikiran ribuan orang yang memiliki bakat intelektual luar biasa di segala zaman.”
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa rasa kekaguman itu muncul didasari oleh pengetahuan keislamannya yang mendalam. Snouck merupakan ilmuwan yang kompeten, ia fasih dalam berbahasa Arab, dan memiliki pengetahuan yang mendalam soal ajaran Islam, hal tersebut membuatnya menjadi tokoh yang disegani dan dihormati oleh para tokoh Islam kala itu. Menurut Kevin W. Fogg dalam artikel berjudul Mencari Arab, Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck Hurgonje tentang Hindia Belanda (versi terjemahan bahasa Indonesia, terbit tahun 2017), fakta bahwa Snouck mempraktikkan agama itu secara sangat serius selama berada di Makkah tampak jelas dalam buku hariannya. Apakah ia berpindah keyakinan atau tidak, tetapi waktu yang dihabiskannya di Makkah telah mengubah konsepnya tentang Islam secara keseluruhan, sebagaimana disepakati oleh para sarjana.
Gambaran wajah Islam Snouck juga ditemukan ketika ia bertugas sebagai penasihat pemerintahan kolonial di Hindia Belanda (1889-1906). Di Hindia, Snouck menjalin hubungan erat dengan para ulama, mufti, penghulu, para keturunan Arab, para bupati dan sultan, penguasa dan bangsawan lokal, hingga tokoh pergerakan nasional. Menurut Ginanjar, sebagian mereka menyebut Snouck dengan sebutan “al-‘allamah” (seorang ulama yang memiliki pengetahuan yang luas), “mufti besar Hindia Belanda,” “al-syaikh,” “al-ustaz,” “al-akh fillah” (saudara dalam agama Allah), “al-ab al-syafiq” (ayah yang penuh kasih sayang), “nashiruna ‘ala din al-Islam” (penolong kami dalam agama Islam), dan lain-lain.
Pernikahan Snouck dengan dua putri Sunda juga telah mengindikasikan hal penting bahwa Snouck telah menjalani kehidupan yang begitu intens kepada para tokoh-tokoh Muslim di negeri itu. Dia bahkan menamai anak-anaknya dengan nama-nama Islami, seperti Salmah, Oemar, Aminah, Ibrahim, dan Jousoef, serta menjamin kehidupan dan pendidikan istri dan anak-anaknya bahkan sampai Snouck sudah berada di Belanda. Wim van den Doel sebagaimana dikutip oleh Ginanjar, mengatakan bahwa, “Snouck sangat bahagia hidup bersama orang-orang Sunda. Dia benar-benar ingin menjalani kehidupan di kalangan para muslim. Dia bahkan tidak suka orang Belanda yang tinggal di Batavia hanya untuk cepat kaya atau berkarir sebagai pegawai negara.”
Dalam buku Ginanjar ini juga dijelaskan, bahwa pernikahan Snouck dengan Sangkana yang dilangsungkan di masjid agung Ciamis pada awal tahun 1890 telah memicu kontroversi di kalangan pejabat Belanda. Beberapa surat kabar menyoroti pernikahan tersebut. Bahkan Menteri Urusan Jajahan Belanda, Levinus Wilhelmus Christiaan Keuchenius (menjabat 1888-1890) meminta penjelasan resmi tentang kebenaran berita tersebut. Meskipun pernikahan tersebut benar-benar terjadi, namun pihak Snouck berupaya menyangkal kebenaran berita yang dipublikasikan oleh koran tersebut. Bahkan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Cornelis Pijnacker Hordijk (menjabat 1888-1893) pun turun tangan dengan mengatakan bahwa peristiwa perkawinan Snouck itu hanya rekayasa untuk keperluan studi Snouck tentang upacara perkawinan Islam.
Hal menarik dari peristiwa ini adalah pemerintah Hindia Belanda akan merasakan aib besar dan pengaruh buruk jika membenarkan pernikahan Snouck dengan Sangkana. Ginanjar mengutip ungkapan van Koningsveld, jika Snouck terbukti melakukan pernikahan secara resmi dan tertulis menurut hukum Belanda dengan wanita inlander (pribumi), maka status hukum baginya adalah hukum untuk kaum pribumi, dan akan dianggap sebagai manusia kelas bawah. Apalagi, jika hal tersebut terjadi pada Snouck, dalam kapasitasnya sebagai salah satu pejabat tinggi pemerintahan sekaligus ilmuwan besar Belanda yang disegani.
Integritas keilmuan
Pada akhirnya, berdasarkan data-data di atas yang menggambarkan tentang sosok Snouck Hurgronje, membawa saya pada satu kesimpulan penting, yaitu posisi Snouck yang penuh dengan dilematis. Satu sisi, adalah posisinya sebagai pejabat tinggi di pemerintahan Hindia Belanda dan seorang ilmuwan yang disegani. Sisi lain, Snouck telah menyelam terlalu dalam pada pengetahuan Islam hingga menjalin interaksi yang begitu erat dengan para tokoh penting dan ulama terkemuka pada masanya. Kedua posisi itu memunculkan sebuah asumsi dasar yang memungkinkan ia menyembunyikan status agama yang dipeluknya.
Kendati demikian, kehadiran sosok Snouck dan hasil risetnya telah memberikan dampak yang cukup besar bagi perkembangan studi keagamaan dan kebudayaan. Integritas Snouck sebagai seorang ilmuwan yang berpengalaman akan studi keislaman ditunjukkan melalui hasil-hasil risetnya yang menjadi rujukan para sarjana di seluruh dunia. Disertasi Snouck dalam meraih gelar doktor di Leiden berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan Makkah), menjadi karya penting dalam menjelaskan dinamika ibadah haji umat Muslim di kota suci Makkah.
Riset lainnya yang berjudul Mekka (diterbitkan tahun 1888), dianggap sebagai rujukan penting terkait sejarah sosio-intelektual kota suci Makkah di akhir abad ke-19. Di dalamnya, terdapat sejarah intelektual para ulama Nusantara dan jaringan keilmuan mereka di Masjidil Haram pada kurun masa tersebut. Karya lainnya yang menjadi rujukan penting dalam studi keindonesiaan adalah De Atjèhers (diterbitkan tahun 1893-1894) yang menjadi sumber otoritatif terkait kajian antropologi budaya yang menjelaskan Aceh serta seluk beluk masyarakatnya. Hal-hal tersebut perlu kita anggap sebagai apresiasi positif terhadap kemajuan ilmu pengetahuan sejarah dan budaya yang telah diwariskan Snouck kepada kita.
Peran Snouck Hurgronje dalam Kolonialisme Belanda di Indonesia
Snouck Hurgronje tahun 1890 |
Asal Usul Christiaan SH (Snouck Hurgronje)
Ia diberi nama Christiaan, lahir di Oosterhout 8 Februari 1857 dan meninggal dunia di Leiden 26 Juni 1936. Ayahnya bernama Ds. J.J. Snouck Hurgronje seorang pendeta yang dipecat yang telah memiliki enam anak. Ia memulai hubungan gelap dengan anak rekan kerjanya, Anna Maria tahun 1848. Christiaan merupakan anak keempat Snouck Tua dengan Anna Maria Visser. Setelah istri pertamanya meninggal mereka resmi menikah tanggal 31 Januari 1855 di Terheijden.
Ia memulai belajar teologi tahun 1874 di Leiden dan diselesaikannya sarjana muda tahun 1878. Setelah ia mengikuti kuliah teologi lalu ia belajar bahasa dan kesusastraan Semitis dengan disertasi berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan Mekah) 24 November 1880, dengan promotor De Goeje.
Tahun 1884 Snouck pergi ke Arab. Ia semula berada di Jeddah. Selama di Jeddah ia banyak dibantu oleh Raden Abu Bakar Djajadingrat dari Banten (paman dari murid Snouck, Ahmad dan Husein Djajadingrat) untuk laporan-laporannya. Setelah ia memakai nama Abdul Ghaffar, ia berhasil memasuki Makah tanggal 21 Februari 1885 dan ia bermukim selama sekitar enam bulan.
Pada tanggal 11 Mei 1889 Snouck Hurgronje berlayar dengan kapal uap Jepara dari Singapura ke Hindia Belanda, untuk mempelajari agama Islam di Indonesia. Selama di Hindia ia membuat laporan tentang aktivitas kaum pribumi. Atas laporan-laporannya yang baik mengenai alam pikiran orang Jawa dan Islam di Jawa tahun 1891 ia mendapat jabatan penasehat untuk bahasa-bahasa Timur dan hukum Islam. Tahun itu bulan Juli ia berangkat ke Aceh, dan kurang setahun kemudian kembali di Batavia. Setelah dari Aceh ia menulis De Atjehers (2 jilid, 1893-4). “Karya itu merupakan penerobosan, baik karena artinya untuk pengetahuan tentang Islam di Hindia Belanda, maupun karena pembahasan bangsa Aceh sampai ke sumsum kehidupannya. Pembahasan itu memberi landasan untuk pasifikasi di kemudian hari. Keakraban Snouck dengan Aceh dan bahasa Aceh bermula di Mekah, di mana rumah yang ditempatinya terletak di seberang “hotel” orang Aceh, yang dikunjunginya setiap hari,” kata Wensink (muridnya Snouck H., dan begitulah murid kepada gurunya).
Pada tahun-tahun selanjutnya ia secara bergantian berada di Batavia dan di Aceh.
Snouck sempat menikah dua kali dengan orang pribumi, pertama dengan Sangkana di Ciamis memiliki empat anak dan ketika istri pertamanya meninggal ia mengawini Siti Sadijah di Bandung. Dari istri kedua lahir seorang anak, diberi nama R. Jusuf.
Beberpa koran Hindia pada masa itu ada yang memberitakannya, tapi oleh pemerintah kolonial dibantah dan Snouck sendiri meminta untuk merahasiakannya.
“Memang betul terjadi, bahwa “orang-orang Eropa” atas dasar hukum perdata yang berlaku bagi mereka, dapat mengikat akad nikah dengan para wanita “Bumiputra”, dan anak-anak mereka dipandang sebagai “orang-orang Eropa”. Tetapi dalam masyarakat kolonial waktu itu, perkawinan-perkawinan demikian berarti menodai status Eropa yang bersangkutan, antara lain dapat menyebabkan kesulitan dalam karir”. (VK, h. 156)
Tahun 1906 Snouck dari Hindia kembali ke Belanda. Tahun 1910 ia menikah dengan Ida Maria, anak pensiunan pendeta AJ. Oort. Lalu ia ditawari jabatan guru besar bahasa Arab di Leiden, dan ia menerima jabatan itu. Tahun 1913 ia memberikan serangkaian ceramah tentang Islam atas undangan American Committee for Lectures on the History of Religions.
Antara tahun 1920-1922 Snouck sibuk menjalankan tugas sebagai sekretaris Senat dan Rektor Universitas di Leiden, dan dalam pengukuhannya ia berpidato dengan judul “De Islam en het rassenprobleem” (Islam dan masalah rasialisme). Dan pada tahun 1927, pada saat ulang tahunnya ia mendapat hadiah sejumlah uang dari kawan-kawannya. Uang itu ia gunakan membangun Lembaga Ketimuran (Oostersch Instituut).
Jika dilihat dari beberapa karyanya ia lebih dekat disebut sebagai etnolog, seperti De Atjehers (Aceh, Rakyat dan Adat istiadatnya). Karya ini berasal dari laporan-laporannya soal Aceh yang dibantu oleh informan Acehnya tapi di dalam pengantarnya tidak disebutkan. Kebanyakan sesama orientalis saling menyanjung dan apalagi murid-muridnya. Tidak ada karya yang bersifat kritik. Kecuali karya Van Koningsveld, ada beberapa kritik dari bukunya.
Politik Islam Hindia Belanda
Snouck menangani masalah kebijaksanaan politik pemerintah Hindia Belanda tentang Islam pada masa kolonialisme. Untuk mempertahankan kekuasaannya pemerintah Hindia Belanda melakukan berbagai cara, di antaranya ide politik Islam dari tokoh kolonialis-orientalis Snouck Hurgronje. Ia meneliti tentang penduduk pribumi dan bermukim di Makah, dan setelah itu ia memberikan nasehat-nasehat terhadap pemerintah Hindia Belanda untuk menangani pribumi dan terutama Aceh.
Yang semula penjajah selalu berdasar rasa takut dan tidak ikut campur dalam melihat Islam. Dengan penerapan Politik Islam di mana Snouck Hurgronje sebagai peletak dasar, maka pemerintah Hindia Belanda memiliki pola bagaimana menangani Islam. Terhadap urusan ibadah pemerintah kolonial bersikap netral, namun dalam masalah politik umat Islam harus dijaga, dijauhkan dan bahkan dihancurkan. Para penasehat bekerja di Kantoor voor Inlandsche zaken yang bertugas memberikan nasehat kepada Gubernur Jenderal urusan pribumi.
Snouck Hurgronje dan Islam
Peran Snouck dalam menyokong kolonialisme Belanda di Indonesia sangat besar. Untuk keperluan itu ia meneliti (atau memata-matai) Islam Nusantara dan ia berusaha masuk ke pusat Islam, Makah. Ia bermukim di sana, selama kurang lebih enam bulan, untuk mengumpulkan informasi mengenai kaum muslim Jawa di kota itu. Ia dibantu Sayyid Usman dan Hasan Mustafa. (kelak mereka berdua menjadi pejabat usulan Snouck di Hindia Belanda)
Mengapa Snouck berhasil masuk ke Makah ? Koningsveld mengungkapkan bahwa Snouck dengan keahliannya dapat mengecoh ulama-ulama Makah, bahwa ia seorang muslim, dengan nama samaran Abdul Gaffar. Hasil pengamatannya itu, dan kemudian di Aceh, ia gunakan untuk bahan nasehat-nasehat tentang bagaimana menangani kaum muslimin kepada pemerintah Hindia Belanda.
Polemik tentang Peran Snouck Hurgronje
Oleh generasi sesudah perang dunia kedua para tokoh yang memiliki peran penting dalam politik kolonial Belanda disorot, di antaranya Snouck Hurgronje. Sarjana yang melancarkan kritik terhandap Snouck ialah PS. van Koningsveld. Ia seorang peneliti ahli dalam sejarah Islam pada Fakultas Theologis, Universitas Leiden, Belanda, satu almamater dengan Snouck. Ia memberikan ceramahnya mengenai Snouck Hurgronje (SH) tentang perannya dalam politik kolonial, dengan mengajukan beberapa pertanyaan :
1) apakah tujuan SH pergi ke Makah untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam ataukah menjalankan tugas pemerintah kolonial serta menjalankan penelitiannya ?
2) apakah motivasi SH masuk agama Islam (dengan nama Abdul Ghaffar) ?
3) bagaimana pendirian SH terhadap Islam di Indonesia, melindungi atau memerangi ?
4) bagaimana sikap SH terhadap pribumi ?
Dalam ceramahnya yang kemudian disiarkan Koningsveld mengatakan bahwa SH selama di Tanah Suci Makah untuk menyelidiki gerak-gerik para haji pribumi dari Hindia Belanda. Penyelidikannya itu membantu penyusunan laporannya mengenai Aceh, yang kemudian menjadi buku De Atjehers. Dalam jilid kedua dipersoalkan Koningsveld karena SH tidak menyebutkan sumber datanya.
Ia didatangkan ke Hindia Belanda setelah terjadi pemberontakan di Cilegon, Banten (Juli 1888). Pendirian SH, kata Sartono Kartodirdjo, ada relevansinya dengan peristiwa itu. Di kalangan pemerintah Belanda sendiri penuh Islamo-phobia serta kiai-phobia.
Menurut Koningsveld masuk Islamnya SH untuk tujuan memasuki kota Makah, untuk menyelidiki jamaah haji Hindia Belanda. Di samping tujuan itu, SH mengikuti cara Ignaz Goldziher yang mempelajari Islam dari dalam.
Pandangan SH mengenai pribumi bahwa kaum pribumi perlu diemansipasi dari keterbelakangan, yang dikenal dengan “politik asosiasi”. Namun, dengan munculnya pergerakan nasional, politik asosiasi mengalami kegagalan. Hal itu juga mengindikasikan arogansi budaya (Eropa-centris) bahwa mereka lebih tinggi dari pribumi. Dalam tulisan-tulisannya SH sangat memusuhi Islam pribumi. Hanya saja kata-kata kasar dan negatif mengenai pribumi sudah banyak dihilangkan atau diedit pada laporan-laporan atau buku yang diterbitkan, seperti kata Koningveld.
Sumber referensi :
Strategi Belanda Melumpuhkan Islam Biografi C. Snouck Hurgronje, Lathiful Khuluq, Pustaka Pelajar, 2002.
Dr. Daud Rasyid, MA, Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan Konspirasi Hal. 196-199 (Usamah Press, Jakarta Cet I Agustus 2003)
Sumber lain :
– indrayogi.blog.friendster.com
– indrayogi.multiply.com
– http://ajip-rosidi.com/esai-bahasa-indonesia/snouck-hurgronje-dan-h-hasan-mustapa
– http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=10681
Koleksi Artikel Kanti Suci Project