Ayat Mutasyabihat
Mutasyabihat, dalam konteks Al-Qur'an, merujuk pada ayat-ayat yang memiliki makna samar-samar atau ambigu, yang memerlukan penafsiran dan pemahaman mendalam untuk mengetahui maksud sebenarnya. Ayat-ayat ini berbeda dengan ayat muhkamat yang jelas maknanya.
Ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang maknanya tidak langsung jelas dan bisa ditafsirkan dengan beberapa cara.
Contoh :
Ayat-ayat yang berkaitan dengan hal-hal ghaib, sifat-sifat Allah, atau huruf-huruf muqatha'ah di awal surah adalah contoh ayat mutasyabihat.
Pentingnya Penafsiran :
Ayat-ayat mutasyabihat perlu ditafsirkan oleh para ulama atau ahli ilmu Al-Qur'an untuk mendapatkan pemahaman yang benar.
Sikap yang Tepat :
Orang yang beriman harus beriman pada ayat mutasyabihat, dan menyerahkan pemahaman yang mendalam kepada Allah SWT.
Tujuan :
Ayat-ayat mutasyabihat hadir untuk menguji dan memperkuat keimanan, serta mendorong umat Islam untuk terus belajar dan mencari ilmu.
Muhkam Dan Mutasyabihat Dalam Al-Qur'an.
Dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat yang dikenal dengan istilah ayat-ayat muhkam dan juga terdapat ayat-ayat yang dikenal dengan sebutan ayat-ayat mutasyabihat. Ayat Muhkan adalah ayat sudah jelas makna dan maksudnya, sedangkan Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang memilki banyak interpretasi makna, dan oleh karenanya sering menimbulkan permasalahan dalam pemahaman ayat-ayat mutasyabihat tersebut. Sebenarnya bagaimana ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat?
Tulisan artikel berikut mudah-mudahan dapat memberikan sedikit pencerahan bagi pembaca yang Budiman semua.
1. Makna Muhkam
Al-Qur’an (baca ; ayat-ayat suci Al-Qur'an) semuanya adalah muhkam. Ungkapan ini dimaksudkan bahwa kemuhkaman Al-Qur'an mencakup lafadh dan keindahan nadhamnya, (baca ; susunan dan rangkaian kata & kalimatnya) sunguh sangat sempurna¸tak ada sedikitpun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafadhnya, maupun dalam segi maknanya. Dan dengan pengertian seperti inilah Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagaimana yang Allah tegaskan dalm firmannya :
الر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Alif Laam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu. (QS. 11 : 1)
2. Makna Mutasyabih
Dan kita dapat juga mengatakan, bahwa seluruh Al-Qur’an (ayat-ayatnya) adalah mutasyabih, jika yang kita maksudkan dengan kemutasybihannya adalah kemutamatsilan (yaitu serupa atau sebanding) antara ayat-ayatnya, baik dalam bidang balaghoh maupun dalam bidang I’jaz dan kesulitan kita menampakkan kelebihan sebahagian sukunya atau yang lain. Dengan pengertian inilah Allah swt berfrman :
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, (QS. 39 : 23)
3. Beberapa pendapat ulama
Makna ihkam dan tasyabuh (baca; muhkam dan mutasyabi) dalam pengertian bahwa ayat-ayat Al-Qur'an seluruhnya muhkam atau mutasyabihat (sebagaimana yang dibahas di atas) bukanlah yang kita maksudkan dari muhkam dan mutasyabihat yang akan kita bahas. Namun yang perlu digaris bawahi pula adalah bahwa yang mennyebabkan kita mengatakan istilah muhkam dan mutasyabih, landasannya adalah firman Allah :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. (QS. 3 : 7)
Didalam ayat itu telah dinyatakan, bahwasanya muhkam ialah imbangan (baca; lawan) dari mutasyabih. Dalam artian bahwa sebagai orang yang rasikh (mendalam) ilmunya adalah imbangan (baca; lawan) dari orang-orang yang ada kesesatan dalam jiwanya. Para Ulama telah mnjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk mendefinisikan muhkam dan mutasyabih. Maka banyaklah pendapat-pendapat mereka dalam maudhu/ tema ini yang bermacam pula .
Namun demikian pada akhirnya mereka menetapkan, bahwasanya yang dikatakan muhkam adalah “yang menunjukkan kepada maknanya dengan jelas”, sedikitpun tak ada yang tersembunyi padanya. Sedang mutasyabih ialah : yang kosong dari petunjuk yang kuat, yang menunjuk pada maknanya. Maka masuklah ke dalam muhkam : nash dan dzahir (jelas). Dan ke dalam mutasyabih : mujmal, muawwal dan musykil . Karena lafadh mujmal memerlukan penjelasan. Lafadh muawwal, tidak menunjukkan kepada suatu makna, terkecuali sesudah ditakwil, sedang musykil, tersembunyi petunjuknya. Pada pokoknya ada kesamaran dan kemubhaman.
Jelasnya, adalah pada ayat-ayat yang muhkam, menyebabkan kita tidak perlu membahasnya, karena dengan kita membacanya, kita telah mengetahui apa maksudnya. Tapi tersembunyinya maksud dari ayat-ayat mutasyabih, itulah yang menyebabkan kita membahasnya, supaya kita mengetahui kemudian menjauhi dari golongan orang-orang yang didalam jiwanya ada kesesatan.
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa yang mutasyabih tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah SWT sendiri dan mereka mengharuskan kita berwaqaf (baca; berhenti) dalam membaca Surat Ali Imran ayat 7 pada lafadh jalalah :
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو اْلأَلبَابِ
Dan tidak ada yang mengetahui maknanya melainkan Allah. Adapun orang-orang yang rasikh ilmuny , maka mereka hanya mengatakan : “aamannaa bihii kullun min indi rabbina” ( Kami beriman kepadanya semuanya itu dari pada Tuhan kami)”.
Sedangkan Abu Hasan al Asy’ari berpendapat bahwa waqof (berhenti membaca) dilakukan pada: “warrasikhuuna fil ilmi “, dengan makna bahwa; mereka yang rasikh itu mengetahui takwil mutasyabih. Pendapat ini dijelaskan oleh Abu Ishak Asy Syirozi (wafat pada th 476 H) dan mendapatkan pembelaan dari beliau. Asy Syirazi berkata: tak ada satupun dari ayat-ayat Al-Qur’an yang Allah sendiri mengetahui maknanya “Para Ulama mengetahui maksudnya, karena sesungguhnya Allah menyebut firmannya ini dalam rangka menguji para ulama. Andaikata mereka tidak mngetahui makna mutasyabih, bersekutulah mereka dengan orang-orang awam.
Ar-Raghib al-Ashfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi masalah ini. Beliau membagi mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahui maknanya kepada tiga bahagian :
1. Bahagian yang tak ada jalan mengetahuinya, seperti waktu terjadi , keluar binatang dari bumi dan yang sepertinya.
2. Bahagian manusia menemukan sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafadh-lafadh yang ganjil dari hukum-hukum yang sulit/rumit.
3. Bahagian yang terletak antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh sebahagian ulama yang rasikh ilmunya, tidak diketahuinya oleh sebahagian yang lain.
Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya kepada Ibnu Abbas ra, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَعَ يَدَهُ عَلَى كَتِفِي أَوْ عَلَى مَنْكِبِي شَكَّ سَعِيدٌ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ - رواه أحمد
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa Rasulullah SAW meletakkan tangannya di atas bahuku, kemudian berkata, Ya Allah jadikanlah dia seorang yang fakih dalam agama dan ajarkanlah takwil kepadanya” (HR. Ahmad)
Pendapat ar-Raghib inilah yang imbang, tidak ifrath dan tidak tafrith. Dzat Allah dan hakikat-hakikat sifat-Nya tak ada yang mengetahuinya selain dari Allah sendiri. Dalam pengertian inilah mengatakan dalam doanya :
أنت كما أثنيت غلى نـفسك لا أحصى ثناء عليك
“Sebagaimana engkau telah menyanjung diri engkau . Aku tak dapat menghinggakan puji dan sanjung atas diri engkau”
Dalam membahas fawatihus Suwar, kita akan ketemukan berbagai takwil yang diberikan para ulama. Semua pendapat para ulama berkisar pada permasalahan hikmah wujudnya (fawatihu Suwar), bukan sekitar hakikat-hakikatnya. Maka di dalam ketidak mampuannya manusia menemukan hakikat-hakikat itu. terasalah oleh manusia kelemahannya. Dan diapun mengucapkan :
قَالُوا سُبْحَانَكَ لاََ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Kami mengakui kesucian Engkau, tak ada ilmu bagu kami terkecuali apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya. Engkau adalah Tuhan yang senantiasa mengetahui lagi senantiasa menyelesaikan sesuatu dengan hikmah.” (QS. 2: 32)
Ayat-ayat yang musykil mengenai sifat-sifat Allah, diantaranya adalah seperti firman Allah SWT berikut :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy. (QS.20 : 5)
Ar-Razi dalam tafsirnya menerangkan hikmah yang diterangkan sifat-sifat yang mutasyabih, belaiu berkata: “Sesungguhnya Al-Qur’an melengkapi dakwah kepada orang-orang khusus dan dakwah kepada orang-orang umum.” Para ulama dalam menanggapi sifat-sifat mutasyabihah, mempunyi dua madzhab :
- Madzhab Salaf, yaitu : mengimani sifat-sifat yang mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikat kepada Allah sendiri.
- Madzhab Khalaf, yaitu : mempertanggung jawabkan(mentakwilkan) lafadz yang mustahil dhahirnya kepada makna yang layak dengan dzat Allah
Ulama salaf mensucikan Allah dari kenyataan–kenyatan yang mustahil dan mengimani apa yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahklan urusan hakikat nya kepada Allah SWT. Sedangkan Ulama khalaf memaknakan istiwa’ dengan ketinggian yang berupa maknawi yaitu mengendalikan alam ini tanpa merasa payah, memaknakan kedatangan Allah dengan kedatangan perintah-Nya, memaknakan Allah berada diatas hamba-Nya dengan Allah Maha Tinggi, bukan berada di suatu tempat, memaknakan “janbillah” dengan hak Allah, memaknakan wajah dengan Dzat,memaknakan “ain dengan “inayat”, memaknakan yad dengan qudrat dan memaknakan nafs dengan siksa.
Sementara para khalaf mentakwilkan sifat-sifat mutasyabihah dengan jalan mempertanggung jawabkannya kepada majaz yang terdekat, sehingga makna dari ayat-ayat mutasyabihat tersebut dapat lebih difahami.
Namun sebagai hamba Allah SWT, hendaknya kita memiliki kehati-hatian dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Jangan sampai kita "terjebak" dalam penta'wilan yang tidak ada nash dan dasarnya, yang justru akan menjerumuskan pada pemahaman yang keliru. Namun hendaknya juga jangan "enggan" untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an, karena kita masih dapat merujuk ke kitab-kitab tafsir (bil ma'tsur) untuk dapat memahami maksud dan makna yang terkandung di dalamnya.
Menyikapi Makna Ayat Mutasyabihat.
Ayat muhkam merupakan ayat yang maknanya mudah dipahami, sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat yang hakikat maknanya hanya Allah yang mengetahui dan sebagian orang yang mumpuni ilmunya. Oleh karena itu, tak bisa sembarangan dalam memahami ayat mutasyabih. Demi memahami hakikat ayat muasybih secara jelas dan gamblang, simak wawancara Abdul Adim Wahid dengan Ust. Alil Wafa selaku Pemimpin Redaksi Sidogiri Media berikut ini :
Bagaimana metode memaknai ayat mutasyabih secara benar ?
Dalam al-Qur’an, terdapat ayat yang disebut muhkam dan mutasyabih. Allah berfirman dalam surah Ali-Imran ayat tujuh terkait pembagian ayat Qur’an ini:
“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.”
Sebagian ulama Ahlusunah Waljamaah mengartikan makna ayat di atas bahwa yang bisa memahami ayat mutasyabih hanyalah Allah dan orang tertentu yang Allah pilih untuk juga memahaminya.
Ada dua metode dalam menyikapi ayat mutasyabih; takwil dan tafwid. Takwil biasa digunakan oleh mayoritas ulama khalaf (ulama yang hidup setelah tiga abad pertama Hijriah). Mereka menakwil (memaknai) ayat-ayat mutasyabih secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam Bahasa Arab. Metode takwil ini sangat tepat untuk diterapkan, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan akidah dikalangan orang-orang awam.
Kedua adalah tafwid. Metode kedua ini adalah memasrahkan penuh maknanya pada Allah. Jadi tak ada satupun yang berhak memaknainya. Untuk metode kedua ini biasa digunakan oleh ulama salaf.
Mengapa ulama salaf dan khalaf berbeda sikap ?
Sikap dua ulama dalam memahami ayat mutasyabih ini sama-sama benar dan sama-sama boleh kita ikuti. Ketidakmauaan ulama salaf untuk menakwil ayat mutasyabih dengan takwil tafsili, itu karena sikap kehati-hatian mereka. Ini terbukti dengan perkataan ulama salaf yang mengatakan, “Mendalami ayat-ayat mutasyabih ini tidak diperbolehkan, khususnya ayat-ayat yang menjelaskan asma Allah dan sifat-sifat-Nya”.
Sedangkan ulama khalaf lebih condong untuk menakwili tafsili ayat mutasyabih, demi menghindari kebingungan kepada orang-orang awam dalam memahaminya.
Jalan keluar dalam memahami ayat mutasyabih ?
Ikuti ulama salaf (tafwid)! Menurut Imam al-Ghazali, tauhid yang sederhana namun tidak ada lagi keraguan di dalamnya adalah tauhid yang dimiliki orang-orang salaf. Dalam kehidupan sehari-hari jika mereka mendapati hadis Rasulullah yang berhubungan dengan masalah tauhid dan di luar jangkauan akal pikiran (mutasyabih), mereka selalu menimbangnya dengan tujuh dasar; Taqdis ( penyucian), tashdiq ( Pembenaran ), jujur mengakui keterbatasan akal, diam, imsak (menahan), berusaha agar hati dan pikiran tidak terbius terlalu memikirkannya, dan memasrahkannya pada ahlinya masing-masing.
Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat.
Di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman :
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya : Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu. Diantara (isi) nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah ummul Qur’an dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya (sesuai dengan hawa nafsunya), padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya yang mengatakan : “kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal (Q.S. Al Imran : 7)
1. Ayat Muhkamat adalah ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya.
Contohnya :
a. Firman Allah :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
Artinya : Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (Q.S. asy-Syura: 11)
b. Firman Allah :
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Artinya : Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya (Q.S. al Ikhlash : 4)
2. Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat.
Ada dua metode untuk memaknai ayat-ayat mutasyabihaat yang keduanya sama-sama benar :
Pertama : Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama. Yakni kebanyakan dari mereka menyerahkan maknanya kepada Allah tanpa mentakwilkannya, yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah :
“Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (Q.S. asy-Syura: 11)
Metode ini dinamakan juga dengan metode tafwizh, yaitu menyerahkan takwilnya kepada Allah Ta’ala.
Kedua : Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya.
3. Contoh-contoh ayat mutasyabihat,antara lain :
a. Contohnya firman Allah :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya : Tuhan yang yang bersifat dengan Rahman istiwa’ atas arasy (Q.S. Thaha : 5)
Ayat ini wajib ditafsirkan dengan selain bersemayam, duduk dan semacamnya.. Berarti ayat ini tidak boleh diambil secara zhahirnya tetapi harus dipahami dengan makna yang tepat dan sesuai dengan ayat muhkamaat seperti “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya” di atas. Para ulama ada yang memaknai lafazh istiwa’ di sini dengan al-qahr, menundukkan dan menguasai dan ada juga yang mentakwil dengan makna qashad (mazhab al-ta’wil, dianut oleh kebanyakan ulama Khalaf). Namun menurut kebanyakan ulama salaf, ayat mutasyabihaat ini diserahkan saja pengertiannya kepada Allah Ta’ala (mazhab al-tafwizh)
b. Firman Allah SWT :
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
Artinya : Datang tuhanmu dan malaikat secara bershaf-shaf (Q.S. al-Fajr : 22)
Datang yang dinisbatkan kepada Allah SWT ini, maknanya bukan datang dengan bergerak, berpindah, mengosongkan suatu tempat dan mengisi tempat yang lain, karena Allah SWT yang menciptakan sifat bergerak, diam dan semua sifat makhluk, maka Allah tidak disifati dengan bergerak dan diam. Jadi yang dimaksud adalah datang sesuatu dari Tuhanmu, yakni salah satu tanda kekuasaan-Nya. Inilah takwil yang dikemukakan oleh Imam Ahmad.
c. Firman Allah SWT :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Artinya : Dia (Allah) bersama kamu dimana saja kamu berada (Q.S. al-Hadid : 4)
Perkataan al-ma’iyyah (bersama) di sini berarti bahwa Allah, ilmu-Nya meliputi di manapun seseorang berada. Kadang al-ma’iyyah berarti juga pertolongan dan perlindungan Allah SWT.
4. Sebab terjadi perbedaan pendapat mazhab Salaf dan Khalaf mengenai ayat mutasyabihat.
Perbedaan para ulama dalam memahami ayat mutasyaabihat ini disebabkan perbedaan mereka dalam mewaqafkan atau menyambung firman Q.S. Al Imran : 7 di atas. Ulama Shalaf lebih cenderung mewakafkan pada lafazh وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ, sehingga makna ayat berbunyi : “Tidak diketahui takwil ayat mutasyabihat kecuali Allah”, sedangkan lafazh berikutnya merupakan permulaan kalam baru. Sehingga menurut golongan ini, ayat mutasyabihat diserahkan saja maksudnya kepada Allah Ta’ala, tanpa dicari maknanya tertentu.
Sedangkan ulama Khalaf cenderung menyambung lafazh tersebut dengan lafazh selanjutnya, sehingga ayat itu berbunyi : “Tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya”.
Daftar Pustaka :
1. Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura,
2. Mana’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo,
3. Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Turats, Kairo
Kanti Suci Project