Agama Hanya Kedok / Tameng
Agama dibuat kedok adalah frasa yang mengacu pada situasi di mana orang atau kelompok menggunakan praktik keagamaan atau identitas agama sebagai tameng atau penyamaran untuk tujuan duniawi, seperti meraih kekuasaan, keuntungan, atau untuk menyembunyikan niat jahat.
Frasa ini menunjukkan penyalahgunaan nilai-nilai agama yang seharusnya mulia menjadi alat untuk keuntungan pribadi, bukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan atau menciptakan kebaikan.
Makna Agama Hanya Kedok / Tameng
- Kedok atau Tameng.
Agama digunakan sebagai penutup untuk menutupi niat sebenarnya yang bukan berkaitan dengan spiritualitas atau tujuan agama itu sendiri.
- Penyalahgunaan Identitas
Orang yang menjadikan agama sebagai kedok memakai identitas keagamaan untuk meyakinkan atau memanipulasi orang lain demi keuntungan pribadi.
- Tujuan Duniawi
Fokus utama dari penggunaan agama sebagai kedok adalah untuk meraih hal-hal duniawi, seperti kekayaan, pengaruh, atau status sosial, bukan untuk mencapai keselamatan spiritual atau hubungan yang tulus dengan Tuhan.
Contoh dalam Konteks:
- Seseorang yang melakukan korupsi tetapi sering terlihat melakukan ibadah untuk membangun citra "baik" atau untuk menghindari kecurigaan, sebagaimana disebutkan dalam beberapa sumber.
- Adanya kelompok yang menggunakan dalil agama untuk membenarkan tindakan politik yang sebenarnya didorong oleh kepentingan pribadi atau golongan, bukan untuk kepentingan umat secara luas.
Respons Terhadap Fenomena Agama Hanya Kedok / Tameng :
- Fenomena ini sering kali dikritik karena merusak nilai-nilai luhur agama dan menciptakan sinisme terhadap praktik keagamaan yang tulus.
- Penting untuk membedakan antara menjalankan agama dengan tulus dan menggunakannya sebagai alat, agar kita tidak menjadi bagian dari orang-orang yang mempermainkan agama.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa musuh yang akan dihadapi Imam Ali bin Abi Thalib as sepeninggal Nabi, lebih sulit untuk ditaklukkan dibandingkan dengan musuh yang dihadapi semasa Nabi masih hidup. Kenapa? Karena perang di masa Rasul adalah perang untuk menegakkan Alquran (alat-tanzil), sedangkan perang di masa Imam Ali adalah perang melawan mereka yang menyelewengkan Alquran (alat-ta`wil). Rasul berperang melawan kaum kafir, sedangkan Imam Ali melawan kaum munafik.
Itulah pula yang dialami oleh Al-Husein bin Ali as. Saat Al-Husein menjalani peristiwa tragis Asyura di Karbala, lawan yang dihadapi adalah orang-orang Islam, yaitu mereka yang sama-sama membaca syahadat, melakukan salat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan pergi menunaikan ibadah haji. Mereka juga fasih membaca Alquran dan mengutip hadis Nabi. Akan tetapi, semua itu hanyalah bungkus belaka. Sedangkan motivasi di balik semua ‘perilaku agama’ tersebut adalah dunia, yaitu harta dan kekuasaan.
Islam sepeninggal Nabi adalah agama yang sangat besar dan dengan cepat memiliki penganut yang tersebar di separuh dunia. Persia dan sebagian besar Romawi, dua kekuatan imperium di zaman Nabi, takluk oleh para penggembala unta. Para pengendus kehidupan dunia tentu tak bisa melewatkan kilau kekayaan dan empuknya kursi kekuasaan Islam. Maka, Islam pun menjadi rentan disalahgunakan sebagai alat meraih kesenangan duniawiah. (Baca: Tasybih tanpa Takwil)
Untuk itulah Al-Husein bangkit; demi mengembalikan Islam kepada rel aslinya, yaitu agama yang menjadikan Allah sebagai tujuan akhir; yang mejadikan dunia hanyalah perantara dan tempat tinggal sementara. Al-Husein melihat agama sedang berada dalam bahaya, yaitu ketika Islam dianut oleh manusia karena Islam memberikan keuntungan duniawiah. Dalam sebuah riwayat, Al-Husein berkata:
النَّاسُ عَبیدُ الدُّنْیا وَالدینُ لَعْقٌ عَلی الْسِنَتِهِمْ یحُوطُونَهُ ما دَرَّتْ مَعایشَهُمْ فَاذا مُحِّصُوا بِالْبَلاءِ قَلَّ الدَّیانُونَ
(Kebanyakan) manusia adalah hamba dunia, sedangkan agama hanyalah permainan di mulut saja. Selama tidak mengancam urusan dunia, mereka berpegang teguh pada agama. Adapun ketika datang ujian (berupa terancamnya urusan dunia), mereka yang berpegang teguh kepada agama menjadi sedikit. (Tuhaf Al-Uqul halaman 245)
Dalam riwayat lainnya, Al-Husein mengingatkan betapa dunia ini adalah tempat yang fana.
عِبادَاللّهِ اِتَّقُواللّهَ وَکُونُوا مِنَ الدُّنْیا عَلی حَذَرٍ، فَاِنَّ الدُّنْیا لَوْ بَقِیَتْ لاِحَدٍ اَوْ بَقِیَ عَلَیْها اَحَدٌ، کانَتِ الاَنْبِیاءُ اَحَقَّ بِالْبَقاءِ، وَ اَوْلی بِالرِّضی وَ اَرْضی بِالْقَضاءِ. غَیْرُ اَنَّ اللّهَ تَعالی خَلَقَ الدُّنْیا لِلْبَلاءِ وَ خَلَقَ اَهْلَها لِلْفَناءِ فَجَدیدُها بالٍ، وَ نَعیمُها مُضْمَحِلٌّ وَ سُرُورُها مُکفَهِرٌّ، وَ الْمَنْزِلُ بُلْغَةٌ وَ الدّارُ قَلْعَةٌ فَتَزَوَّدُوا فَاِنَّ خَیْرَ الزّادِ التَّقْوی
“Wahai hamba-hamba Allah, takutlah kepada Allah, dan berhati-hatilah terhadap dunia. Jika dunia ini diciptakan supaya dimiliki oleh seseorang selamanya, atau jika ada orang yang diciptakan supaya dia kekal berada di dunia, maka para nabilah yang lebih berhak untuk hidup kekal; mereka juga yang lebih tertarik untuk hidup di dunia. Hanya saja, Allah telah menciptakan dunia ini hanya sebagai ujian, dan menciptakan para penghuninya untuk akhirnya akan lenyap. Segala yang baru darinya akan sirna, nikmatnya akan musnah, dan kesenangannya akan berubah menjadi kesusahan. Dunia diciptakan hanya agar menjadi rumah sementara. Oleh karena itu, berbekallah (untuk kehidupan akhirat). Bekal terbaik adalah takwa. Bertakwalah kepada Allah, supaya kalian beruntung. (Tarikh Ibnu Asakir halaman 215)
Lebih jauh lagi, Al-Husein mengingatkan kita, para pengikutnya, untuk menjalani kehidupan beragama dengan cara terbaik. Apa itu? Yaitu penyembahan kepada Allah dengan cara seperti orang-orang yang merdeka. Kita menyembah kepada Allah, bahkan bukan karena takut kepada neraka, atau mengharapkan balasan surga; melainkan karena rasa syukur kita kepada Allah. Kita menyembah kepada Allah sebagai bentuk dan ungkapan terima kasih karena Allah telah memberikan kepada kita beragam nikmat dan anugerah.
إنَّ قَوْماً عَبَدُوا اللهَ رَغْبَةً فَتِلْكَ عِبادَةُ التُّجارِ، وَ إنَّ قَوْماً عَبَدُوا اللهَ رَهْبَةً فَتِلْكَ عِبادَةُ الْعَبْيدِ، وَ إنَّ قَوْماً عَبَدُوا اللهَ شُكْراً فَتِلْكَ عِبادَةٌ الْأحْرارِ، وَ هِيَ أفْضَلُ الْعِبادَةِ.
Sebagian orang menyembah Allah karena ingin mendapatkan pahala. Itulah ibadah para pedagang. Sebagian yang lain menyembah Allah karena takut siksaan. Yang seperti ini adalah ibadah para budak. Sementara itu ada pula yang menyembah Allah karena hanya ingin bersyukur (kepada-Nya). Inilah ibadah orang-orang yang merdeka, dan itulah (motivasi) ibadah terbaik. (Bihar Al-Anwar, Jilid 75 halaman 117)
Sekarang, perhatikanlah diri kita. Apa motivasi kita menjadi orang Islam dan bermazhab Ahlulbait? Mengapa kita menjadi ustaz atau aktivis di komunitas Ahlulbait? Seandainya saja motivasinya adalah tak lebih dari urusan dunia, jika motif kita terpapar dan bercampur-baur dengan urusan dunia, celakalah kita. Jika kita hidup di masa Al-Husein, bisa jadi (wal-iyadzu billah), kitalah yang diperangi oleh Al-Husein
Agama Sebagai Candaan
Terdapat peringatan dalam agama kita yang melarang seseorang membuat suatu lawakan atau candaan dengan menceritakan suatu hal yang isinya dusta atau berbohong, dalam rangka membuat manusia tertawa. Peringatannya cukup keras.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻭَﻳْﻞٌ ﻟِﻠَّﺬِﻯ ﻳُﺤَﺪِّﺙُ ﻓَﻴَﻜْﺬِﺏُ ﻟِﻴُﻀْﺤِﻚَ ﺑِﻪِ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡَ ﻭَﻳْﻞٌ ﻟَﻪُ ﻭَﻳْﻞٌ ﻟَﻪُ
“Celakalah bagi orang yang berbicara lalu berdusta hanya karena ingin membuat suatu kaum tertawa. Celakalah dia, celakalah dia .”[1]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa dusta tidak diperbolehkan baik dalam hal serius maupun bercanda, Beliau menukilkan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
ﺇﻥ ﺍﻟﻜﺬﺏ ﻻ ﻳﺼﻠﺢ ﻓﻲ ﺟﺪ ﻭﻻ ﻫﺰﻝ
“Sesungguhnya berdusta tidak boleh baik dalam keadaan serius maupun bercanda”
Beliau menjelaskan lagi bahwa hukumannya lebih berat jika sampai menimbulkan permusuhan dan persengketaan di antara manusia bahkan menimbulkan bahaya bagi agama. Beliau berkata,
ﻭﺃﻣﺎ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻋﺪﻭﺍﻥ ﻋﻠﻰ ﻣﺴﻠﻢ ﻭﺿﺮﺭ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻳﻦ ؛ ﻓﻬﻮ ﺃﺷﺪ ﺗﺤﺮﻳﻤﺎ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ . ﻭﺑﻜﻞ ﺣﺎﻝ : ﻓﻔﺎﻋﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﺴﺘﺤﻖ ﻟﻠﻌﻘﻮﺑﺔ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺮﺩﻋﻪ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ
“Apabila hal tersebut (dusta) menimbulkan permusuhan di antara kaum muslimin dan menimbulkan madharat bagi agama, maka ini lebih terlarang lagi. Pelakunya harus mendapatkan hukuman syar’i yang bisa membuatnya jera.”
Ini menjadi peringatan bagi para komedian, aktivis stand-up comedy dan para pelawak agar hendaknya berhati-hati dan kita doakan kebaikan kepada mereka agar meninggalkan hal ini. Terlebih-lebih terlalu banyak tertawa bisa mematikan hati dan mengeraskan hati karena kebahagiaan sejati bukan dengan terlalu sering tertawa bahkan berlebihan sampai terbahak-bahak.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻻَ ﺗُﻜْﺜِﺮُ ﺍﻟﻀَّﺤَﻚَ ﻓَﺈِﻥَّ ﻛَﺜْﺮَﺓَ ﺍﻟﻀَّﺤَﻚِ ﺗُﻤِﻴْﺖُ ﺍﻟﻘَﻠْﺐَ
“Janganlah terlalu banyak tertawa karena banyak tertawa bisa mematikan hati.”
Larangan menjadikan agama sebagai bahan candaan, lawakan dan olok-olok
Hal ini sangat keras peringatannya. Allah berfirman,
ﻭَﻟَﺌِﻦ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ۚ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya BERSENDA GURAU dan BERMAIN-MAIN saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu BEROLOK-OLOK?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman… [At Taubah : 65-66]
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa hukumnya sangat berat yaitu bisa keluar dari agama Islam. Beliau berkata,
فإن الاستهزاء باللّه وآياته ورسوله كفر مخرج عن الدين لأن أصل الدين مبني على تعظيم اللّه، وتعظيم دينه ورسله
“Mengolok-olok dalam agama, ayat Al-Quran dan Rasul-Nya termasuk kekafiran yang bisa mengeluarkam dari Islam, karena agama ini dibangun di atas pengagungan kepada Allah, agama dan Rasul-Nya.”
Karena memang agama ini adalah suatu yang mulia dan sangat tidak layak jika digunakan untuk jadi bahan candaan atau lawakan. Ingatkah kita ada aturan di bandara, “Bagi yang bercanda membawa bom di bandara, bisa terkena pasal hukuman pidana”. Jika urusan dunia seperti ini saja tidak boleh, tentu urusan agama lebih tidak boleh lagi.
Perlu diperhatikan juga bahwa menjadikan agama sebagai candaan atau mem-plesetkan istilah-istilah agama adalah kebiasaan orang Yahudi, sebagaimana Allah berfirman,
ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻻَ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﺭَﺍﻋِﻨَﺎ ﻭَﻗُﻮﻟُﻮﺍ ﺍﻧﻈُﺮْﻧَﺎ ﻭَﺍﺳْﻤَﻌُﻮﺍ ﻭَﻟِﻠْﻜَﺎﻓِﺮِﻳﻦَ ﻋَﺬَﺍﺏٌ ﺃَﻟِﻴﻢٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. [Al-Baqarah/2:104].
Raa’ina berarti “Sudilah engkau memperhatikan kami”. Yaitu kebiasaan para sahabat ketika berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yahudi mem-plesetkan menjadi “Ru’unah” yang artinya sangat dungu atau sangat tolol. Allah memerintahkan sahabat menggantinya dengan perkataan “undzurna” yang maknanya sama.
Artikel Kanti Suci Project