Al-Arif Billah = العارف بالله
Huruf Arab untuk "Al Arif Billah" adalah العارف بالله. Frasa ini secara harfiah berarti "orang yang mengenal Allah" atau "orang yang berpengetahuan tentang Allah" dalam terminologi Sufi, merujuk pada orang yang telah mencapai pengetahuan mistik tertinggi tentang Allah.
Berikut penjelasannya :
الـعـارف: (Al-Arif) = Orang yang mengenal
بـالـلـه: (Billah) = Dengan Allah atau tentang Allah
Arif Billah artinya adalah orang yang mencapai derajat tinggi dalam kesadaran dan keimanan kepada Allah, di mana kehendak dan kepasrahannya telah menyatu dengan kehendak Allah. Istilah ini mencakup seseorang yang tidak lagi menginginkan apa pun kecuali ridha dan kedekatan dengan Allah, merasa tidak memiliki apa-apa karena semuanya adalah milik Allah, dan selalu menyadari bahwa ia hanya berinteraksi dengan Allah dalam segala hal, baik lahir maupun batin.
Tentang Arif Billah
1. Tingkat Kesadaran yang Tinggi.
Arif Billah adalah orang yang telah melalui proses suluk atau perjalanan spiritual untuk mencapai pemahaman mendalam (ma'rifat) tentang Allah.
2. Fana dalam Kehendak Allah.
Kehendak-kehendak pribadi seseorang akan melebur dan sirna dalam kehendak Allah, sebab-sebab duniawi menjadi lenyap di bawah kuasa-Nya, dan segala sesuatu tampak menyatu dalam cahaya penyaksian-Nya.
3. Tidak Menginginkan Apa Pun.
Berbeda dengan 'abid (orang yang beribadah untuk pahala) atau murīd (orang yang ingin mendapatkan sesuatu dari Allah), seorang Arif Billah tidak menginginkan apa pun dari Allah karena ia merasa tidak layak dan menyadari bahwa ia tidak memiliki apa pun, karena semua adalah milik Allah.
4. Bersama Allah dalam Batin dan Lahir.
Seorang Arif Billah tetap berinteraksi dengan dunia dan manusia secara lahiriyah, tetapi batinnya selalu bersama Allah. Ia menyadari bahwa dalam setiap aktivitas dan interaksinya, ia hanya berinteraksi bersama Allah.
5. Kondisi Batin yang Tertinggi.
Maqam (derajat spiritual) Arif Billah dianggap sebagai salah satu maqam tertinggi dalam tasawuf, setelah kenabian.
Orang-orang 'Arif Billah dan Tujuannya Yang Mulia
(مطلب العارفين من الله تعالى الصدق فى العبودية والقيام بحق الربوبية)
Yang dituju oleh orang-orang 'Arif (dalam kesungguhannya bergantung kepada Allah SWT) adalah benar dalam memberikan pelayanan dan menunaikan hak ketuhanan.
Apa yang dituju oleh orang-orang 'Arif adalah tujuan yang paling luhur dari pada tujuan-tujuan yang lain, baik ia sebagai seorang hamba, orang yang zuhud dan orang yang alim.
Sebab, orang 'Arif termasuk orang-orang yang serius dalam Ubudiyyah, yaitu keharusan bertata krama dan beretika dalam penghambaannya serta menunaikan hak Allah SWT di dalam ubudiyyah yang ia tunaikan, seperti bersyukur terhadap apa yang telah dianugerahkan, bersabar dengan cobaan, melawan orang yang memusuhi Allah SWT dan menolong orang yang memperjuangkanNya.
Selanjutnya ialah tidak memonopoli dan mengatur apa yang ada di sisi Allah SWT serta senantiasa dalam setiap kondisi - merasa diawasi olehNya dan berdiri di hadapan pintuNya dalam keadaan mengenakan pakaian ketundukan serta kerendahan hati, membentangkan tangan kefakiran, memegang erat-teguh tali harapan, mengenakan selendang rasa takut dan berbagai macam sifat serta akhlak 'Ubudiyyah lainnya.
Oleh karenanya, orang yang telah bersungguh-sungguh menunaikan (nilai-nilai 'ubudiyyah), berarti ia telah menyempurnakan penuh janjinya kepada Allah SWT.
Sedangkan dalam menunaikan hak ketuhanan adalah melakukan ketaatan secara zhahir, setiap saat batinnya merasa diawasi oleh Allah SWT. serta senantiasa hadir bersama-Nya.
Sederhananya, mereka ('Arif billah) tidaklah tertuju kecuali pada dua hal ini (الصدق فى العبودية والقيام بحق الربوبية) tanpa memperhatikan kepentingan dan keegoisan pribadinya.
Tidak termasuk orang 'Arif Ia yang tidak ingin berpisah dengan kepentingan dan tujuan-tujuan yang diinginkan secara pribadi. Dengan demikian, tujuan yang lebih agung adalah apa yang dituju oleh mereka.
Menurut beliau yang mulia, maha guru Abi Madyan, semoga barakah beliau mengalir kepada kita, jauh sekali perbedaan antara orang yang cita-citanya sekedar bidadari berikut istana, dengan orang yang harapannya untuk tersingkap tirai-tirai (rahasia-rahasia ilahi) serta selalu hadir dengan Tuhannya.
Dari sekian penjabaran syekh al-Syarqawi mengenai hikmah ini, perihal orang yang memiliki tujuan, tentu saja mengharuskan suatu tindakan untuk dicapai dan diperoleh olehnya, baik yang memberikan faedah ataupun hal-hal yang dapat menghindarkannya pada kekhawatiran.
Golongan 'Arifin, para ulama asketik juga yang tekun beribadah, dan golongan orang-orang bodoh yang sering lalai adalah klasifikasi syekh Ali Baras al-Kindi secara umum untuk menggambarkan Hikmah syekh ibn 'Athaillah ini.
Mengenai orang-orang bodoh, beliau justru agak sinis, menyebutnya sebagai orang yang tidak dapat membedakan cahaya dan kegelapan, sebab apa yang dituju hanya hal-hal yang bermanfaat di dunia serta dorongan-dorongan untuk memenuhi kebutuhan jasmani saja.
Beralih ke mereka yang ahli ibadah dan orang-orang yang zuhud. Apa yang dituju mereka? Tak lain menghindari perhatian manusia - supya tidak Riya' - yang dapat merusak pahala dan apa-apa yang menyebabkan disiksa suatu saat.
Tentu saja tujuan seperti ini sungguh-sungguh terpuji dan mulia dimiliki oleh mereka yang cerdas. Beramal hanya karena Allah supaya mendapatkan kemuliaan di sisiNya serta terhindar dari segala dosa-dosa.
Selanjutnya al-'Arifun, mereka adalah orang yang tidak fokus terhadap kepentingan-kepentingan pribadi dan balasan apa yang akan diterima diakhirat nanti.
Menjadi seorang hamba yang sebenar-benarnya, diciptakan hanya untuk melayani Allah SWT., patuh terhadap apa yang diperintah, berupaya dengan segenap cinta dan kemuliaan yang sempurna.
4 Ciri Orang yang Arif Billah Menurut Ustman bin Affan.
Orang arif adalah seseorang yang bertindak sesuai norma dan kondisi, mempertimbangkan akibat tindakannya, memiliki wawasan luas, terbuka pada masukan, dan mampu mengambil keputusan bijaksana, seringkali disebut juga sebagai orang yang bijaksana atau mengerti kehendak Tuhan. Sifat arif sering diasosiasikan dengan ketenangan batin, mampu introspeksi diri, dan menyelesaikan masalah tanpa menyalahkan orang lain.
Karakteristik Orang Arif.
- Bijaksana. Orang arif mampu bersikap bijaksana dalam mengambil keputusan, memperhatikan segala aspek dengan penuh kehati-hatian.
- Paham dan Mengerti. Memahami situasi dan kondisi sekitar, serta memiliki wawasan luas.
- Bertindak Sesuai Norma. Mampu bertindak sesuai norma-norma yang berlaku, baik hukum, keagamaan, maupun kesusilaan.
- Memperhitungkan Akibat. Memperhitungkan akibat dari setiap tindakan yang diambilnya.
- Introspektif. Sering melakukan introspeksi diri dan mencari solusi masalah dari dalam diri, bukan menyalahkan orang lain.
- Tawadu. Memiliki sifat rendah hati dan tidak egois.
- Tenang. Mampu menemukan ketenangan dalam batin.
Perbedaan dengan Orang Pintar
- Orang Pintar.
Cenderung memiliki kecerdasan dan pengetahuan, tetapi belum tentu bijaksana dalam bertindak.
- Orang Arif.
Lebih dari sekadar pintar, orang arif sudah paham dan mengerti bagaimana menggunakan kepintarannya untuk hal yang bijak, bahkan tidak egois.
- Peran Orang Arif
Dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, orang arif sangat dibutuhkan karena dapat membawa ketenangan dan kebijaksanaan dalam menghadapi tantangan, serta membentuk pribadi yang rendah hati dan tawadu.
- Orang-orang Makrifat.
Mengenal orang-orang yang makrifat dan dekat dengan Allah tidak hanya melalui Al-Qur'an. Mengenal Allah Swt. lebih dekat juga bisa dilakukan dengan mengenal lebih mendalam tentang asmaul husna dan sifat-sifat hati yang menghamba kepada Allah SWT.
Ciri Arif Billah (Makrifat Kepada Allah SWT)
Ciri orang yang Arif Billah (yang makrifat kepada Allah SWT) sebagaimana dituturkan oleh Sayyina Ustaman bin Affan ada 4, yakni :
1. Hatinya selalu diliputi ketakutan dan sekaligus harapan.
Takut yang dimaksud dalam hal ini adalah makrifat hati mengenal keagungan Allah Swt., mengenal sifat Maha Memaksa Allah, mengenal sifat Maha Kaya Allah tidak membutuhkan sama sekali mahkluk-makluknya, dan paham bahwa Allah Swt. sangat pedih siksanya kepada makluk-makluknya yang melakukan maksiat.
Dari situlah orang yang Arif Billah mencapai tahapan makrifat keagungan Allah Swt., dan dari sana muncul buah amal berupa menjauh dari maksiat.
Sementara, makna berharap dalam maqalah Sayyidina Ustman ini adalah kesadaran hati (makrifat hati) atas luasnya rahmat Allah Swt. serta agungnya anugerah Allah Swt. dan sadar keindahan balasan janji-janji Allah SWT. kepada mereka yang taat kepada-Nya.
Dari sini, orang yang Arif Billah bisa memiliki kesadaran tinggi dan kebahagiaan mengharap Allah Swt. Tujuan sikap berharap adalah untuk berlomba-lomba melakukan amal kebaikan.
Rasulullah Saw. bersabda,
ما اجتمع الرجاء والخوف فى قلب مؤمن إلا أعطاه الله عز وجل الرجاء وأمّنه من الخوف
Artinya :
"Tidak ada balasan atas beretemunya sikap roja (berharap) dan khouf (khawatir/takut) dalam hati orang mukmin kecuali Allah Azza wa Jalla memberinya harapan dan mengamankannya dari ketakutan". (HR. Thabrani).
2. Lisannya penuh dengan ucapan memuji Allah Swt. sekaligus mengagumi-Nya.
3. Mata pandangnya diliputi dengan akhlak: malu kepada Allah dan sekaligus mudah menangis. Rasulullah Saw. bersabda,
لو أن بكاء داود وبكاء أهل الأرض يعدل بكاء أدم مـــا عدله
Artinya :
"Andai tannginya Nabi Dawud dan tangisan ahli bumi dikumpulkan, tidak akan bisa menandingi (saking pedihnya)". (HR. Ibnu Asakir).
4. Keinginan(syahwat)nya selalu bisa dihindari sekaligus ridha kepada Allah. Ia lebih memilih meninggalkan kesenangan dunia untuk mencari ridha Rabb-Nya.
Maksudnya, orang yang Arif Billah itu ketika dia "memaksa diri" meninggalkan keinginan hatinya, padahal saat itu dia sangat mengingingin, ia selalu iringi dengan sikap selalu ridha lebih menginginkan iradah Allah Swt. daripada keinginan dirinya.
Ini lebih sublim daripada ikhlash. Mengapa ?
Karena orang yang Arif Billah bukanlah muridun (orang yang bebas meraih keinginan), tapi muradun (yang diinginkan Allah saja yang dia lakukan dan dia relakan).
Ciri- ciri Al-Arif Billah Tulen Menurut Ibnu Athaillah
Tingkat keimanan manusia terhadap Allah SWT beragam. Ada keimanan seseorang yang dirangsang oleh sesuatu (ibarat, isyarat, rumuz) di luar dirinya. Tetapi ada juga yang tidak. Ada orang yang beriman setelah melihat mukjizat rasul atau khariqul adat (kejadian luar biasa) seperti umat-umat kafir zaman para nabi terdahulu.
Ada juga orang yang takjub pada keajaiban dunia seperti lafal “Allah” pada cangkang telur atau pada gumpalan awan sebagai kuasa Allah dalam bentuk tulisan, gambar, video yang dishare orang-orang via media sosial baik fesbuk, instagram, twitter, whatsapp, line, dan lain sebagainya.
Mereka yang merasa dekat dengan Allah karena keajaiban dunia dan kuasa Allah lainnya bukan masuk kategori al-arif billah yang sempurna karena keimanannya masih dirangsang oleh fenomena selain Allah.
ﻣﺎ ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ ﻣﻦ ﺇﺫﺍ ﺃﺷﺎﺭ ﻭﺟﺪ ﺍﻟﺤﻖ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺇﺷﺎﺭﺗﻪ ﺑﻞ ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ ﻣﻦ ﻻ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﻟﻪ ﻟﻔﻨﺎﺋﻪ ﻓﻲ ﻭﺟﻮﺩﻩ ﻭﺍﻧﻄﻮﺍﺋﻪ ﻓﻲ ﺷﻬﻮﺩﻩ
Artinya, “Al-Arif billah itu bukan orang yang terima isyarat lalu merasakan Allah lebih dekat dengannya karena isyarat itu. Al-Arif billah itu orang yang tak perlu isyarat karena lenyap pada wujudnya dan tersembunyi pada penyaksiannya.”
Petunjuk atas Allah yang dikenal para ulama terdiri atas tiga jenis yang memiliki tingkat berbeda. Ibarat adalah petunjuk kasar. Sementara isyarat lebih halus dibandingkan ibarat. Simbol atau rumuz adalah penanda paling halus atas Allah.
ﻗﻠﺖ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﺃﺭﻕ ﻭﺃﺩﻕ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺒﺎﺭﺓ ﻭﺍﻟﺮﻣﺰ ﺃﺩﻕ ﻣﻦ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﻓﺎﻷﻣﻮﺭ ﺛﻼﺛﺔ ﻋﺒﺎﺭﺍﺕ ﻭﺇﺷﺎﺭﺍﺕ ﻭﺭﻣﻮﺯ ﻭﻛﻞ ﻭﺍﺣﺪﺓ ﺃﺩﻕ ﻣﻤﺎ ﻗﺒﻠﻬﺎ ﻓﺎﻟﻌﺒﺎﺭﺓ ﺗﻮﺿﺢ ﻭﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﺗﻠﻮﺡ ﻭﺍﻟﺮﻣﺰ ﻳﻔﺮﺡ ﺃﻱ ﻳﻔﺮﺡ ﺍﻟﻘﻠﻮﺏ ﺑﺈﻗﺒﺎﻝ ﺍﻟﻤﺤﺒﻮﺏ
Artinya, “Bagi saya, isyarat itu lebih tipis dan lebih halus dibanding ibarat. Simbol lebih halus dibanding isyarat. Jadi semua penanda ini ada tiga, yaitu ibarat, isyarat, dan simbol. Setiap satu dari semua itu lebih halus dibanding tanda sebelumnya. Tugas ibarat adalah memperjelas. Isyarat memberi petunjuk. Sedangkan tugas simbol itu menyenangkan, maksudnya menyenangkan hati atas sambutan Allah SWT,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam , Beirut, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 118).
Isyarat merupakan medium petunjuk atas Allah yang menampung makna yang tak terwadahi pada ibarat. Isyarat ini sangat dibutuhkan bagi pesuluk sebagai penanda dan petunjuk atas Allah. Tetapi isyarat ini masih juga membawa serta sesuatu yang menandai keberadaan Allah sehingga mereka masih juga memandang yang lain selain Allah.
ﺃﻗﻮﻝ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﻫﻲ ﻣﺴﺘﻮﺩﻉ ﺃﻟﻄﻒ ﺍﻟﻤﻌﺎﻧﻲ ﺍﻟﺘﻰ ﺗﻀﻴﻖ ﻋﻦ ﺣﻤﻠﻬﺎ ﺍﻟﻌﺒﺎﺭﺓ، ﻭﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ ﺍﻟﻜﺎﻣﻞ ﻣﻦ ﺇﺫﺍ ﺃﺷﺎﺭ ﺑﺈﺷﺎﺭﺓ ﻟﻤﺴﺘﺮﺷﺪ ﻭﺟﺪ ﺍﻟﺤﻖ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻨﻬﺎ ﻓﻀﻼ ﻋﻦ ﻣﻦ ﻳﺸﻴﺮ ﻓﻴﺠﺪ ﺍﻟﺤﻖ ﻗﺮﻳﺒﺎ ﻣﻨﻬﺎ ﺃﻭ ﻣﻦ ﻳﺸﻴﺮ ﻓﻴﺠﺪ ﺍﻟﺤﻖ ﻋﻨﺪﻫﺎ ﻟﻤﺎ ﺗﻀﻤﻨﺘﻪ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻌﺪﺩ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﻣﺸﻴﺮﺍ ﻭﺇﺷﺎﺭﺓ ﻭﻣﺸﺎﺭﺍ ﺇﻟﻴﻪ، ﺑﻞ ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ ﺍﻟﻜﺎﻣﻞ ﻣﻦ ﻻ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﻟﻪ ﺃﺻﻼ ﺇﻣﺎ ﻟﻔﻨﺎﺋﻪ ﻓﻲ ﻭﺟﻮﺩ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﺍﻧﻄﻮﺍﺋﻪ ﻓﻲ ﺷﻬﻮﺩﻩ ﻏﻴﺒﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﻭﺇﻣﺎ ﻟﺒﻘﺎﺋﻪ ﺑﺎﻟﺤﻖ ﻭﻧﻮﺭﻩ ﻭﺍﻧﺘﺸﺎﺭﻩ ﺑﻪ ﻓﻲ ﻣﺮﺍﺗﺐ ﻇﻬﻮﺭﻩ
Artinya, “Menurut saya, isyarat adalah gudang makna sangat halus yang tak tertampung dalam ibarat. (Al-Arif billah yang kamil itu bukan orang yang memberikan isyarat bagi mereka yang meminta petunjuk, lalu ia merasakan Allah lebih dekat dengannya karena isyarat itu), terlebih lagi bagi Al-Arif billah yang kamil itu sehingga mereka merasakan Allah dekat karenanya atau di sisinya mengingat kekayaan kandungan isyarat itu yang menghendaki pemberi isyarat, isyarat, dan yang diisyaratkan. Al-Arif billah yang kamil itu adalah orang yang tidak memerlukan isyarat sama sekali karena ia telah melebur di dalam wujud Allah dan tersembunyi pada penyaksiannya sehingga makhluk itu lenyap (di matanya). Hal ini terjadi bisa karena ia menjadi ‘baqa’ sebab Allah, cahaya-Nya, dan pendaran cahaya itu dalam martabat pancarannya,” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili, Ihkamul Hikam , Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2008 M/1429 H, halaman 69).
Isyarat menandai adanya jarak dan antara. Isyarat kerapkali disertai dengan alasan, bukti, atau argmentasi. Ada orang beriman kepada Allah setelah mengetahui alasan, bukti, atau argmentasi sebagai isyarat atas Allah. Dari sini kemudian dapat dipahami bahwa semakin banyak alasan, bukti, atau argumentasi yang diperlukan untuk beriman, tanda seseorang jauh dari Allah.
ﻭﺳﺌﻞ ﺃﺑﻮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﻭﺫﺑﺎﺭﻯ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﻋﻦ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﺍﻹﺑﺎﻧﺔ ﻋﻤﺎ ﻳﺘﻀﻤﻨﻪ ﺍﻟﻮﺟﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺸﺎﺭ ﺇﻟﻴﻪ ﻻ ﻏﻴﺮ ﻭﻓﻰ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﺃﻥ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﺗﺼﺤﺒﻬﺎ ﺍﻟﻌﻠﻞ ﻭﺍﻟﻌﻠﻞ ﺑﻌﻴﺪﺓ ﻣﻦ ﻋﻴﻦ ﺍﻟﺤﻘﺎﺋﻖ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺒﻠﻰ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﻭﻛﻞ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﺃﺷﺎﺭ ﺑﻬﺎ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﻖ ﻓﻬﻲ ﻣﺮﺩﻭﺩﺓ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺣﺘﻰ ﻳﺸﻴﺮﻭﺍ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﻖ ﺑﺎﻟﺤﻖ ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻬﻢ ﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﻃﺮﻳﻖ ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻳﺰﻳﺪ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﺃﺑﻌﺪﻫﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻛﺜﺮﻫﻢ ﺍﺷﺎﺭﺓ ﺍﻟﻴﻪ
Artinya, “Abu Ali Ar-Raudzabari ketika ditanya perihal isyarat menjawab, isyarat tidak lain merupakan ungkapan dari dalam hati yang menjelaskan sesuatu yang ditunjuk. Sejatinya isyarat diiringi dengan illat (alasan, bukti, atau argumentasi). Illat itu jauh dari zat hakikat. As-Syibli mengatakan, setiap isyarat atas Allah yang ditunjukkan oleh makhluk-Nya hakikatnya tertolak sehingga mereka memberi isyarat atas Allah dengan Allah itu sendiri dan mereka tidak punya jalan untuk itu. Abu Yazid berkata, mereka yang paling jauh dari Allah adalah mereka yang paling banyak isyarat atas-Nya,” (Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam , Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 63).
Untuk seorang al-arif billah yang kamil, isyarat tidak diperlukan karena mereka tidak berjarak dengan Allah. Isyarat dibutuhkan oleh para pejalan atau pesuluk. Isyarat itu sangat membantu mereka untuk dekat dengan Allah SWT.
ﻓﻘﻮﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﺎ ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ ﺇﻟﺦ ﺃﻱ ﻟﻴﺲ ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ ﺍﻟﻜﺎﻣﻞ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺮﺍﺳﺦ ﺍﻟﻤﺘﻤﻜﻦ ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻟﺴﺎﺋﺮ ﻓﻴﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻰ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﻭﻳﺠﺪ ﺍﻟﺤﻖ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﺃﻭ ﻣﻌﻬﺎ ﻭﻫﻲ ﺇﻋﺎﻧﺔ ﻟﻪ ﻭﻗﻮﺗﻪ ﻛﺎﻟﻌﺒﺎﺭﺓ ﻟﻠﻤﺘﻮﺟﻬﻴﻦ ﻭﺳﻴﺄﺗﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺭﺓ ﻗﻮﺕ ﻟﻌﺎﺋﻠﺔ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﻌﻴﻦ ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻚ ﺇﻻ ﻣﺎ ﺃﻧﺖ ﻟﻪ ﺁﻛﻞ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﻣﻦ ﺇﺫﺍ ﺃﺷﺎﺭ ﺃﻱ ﺃﺷﻴﺮ ﻟﻪ ﻭﻗﻮﻟﻪ ﺑﻞ ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ ﻣﻦ ﻻ ﺇﺷﺎﺭﺓ ﻟﻪ ﺃﻱ ﻻ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﻭﻗﺪ ﻳﺸﻴﺮ ﻷﺟﻞ ﻏﻴﺮﻩ ﻛﻤﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻭﺍﻧﻤﺎ ﺍﺳﺘﻐﻨﻰ ﻋﻦ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﻷﻥ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﻭﺍﻟﻌﺒﺎﺭﺓ ﻗﻮﺕ ﺍﻟﺠﺎﺋﻊ ﻭﻫﻮ ﻗﺪ ﺷﺒﻊ ﻭﺍﺳﺘﻐﻨﻰ ﺃﻭ ﺗﻘﻮﻝ ﻷﻥ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﺗﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺒﻴﻨﻮﻧﺔ ﻭﺍﻟﻔﺮﻕ ﻭﻫﻮ ﻣﺠﻤﻮﻉ ﻓﻲ ﻓﺮﻗﻪ … ﻭﺍﻧﻤﺎ ﻧﻔﻲ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﻻﺳﺘﻐﻨﺎﺀ ﺍﻟﺤﻖ ﻋﻦ ﺍﻹﺷﺎﺭﺓ ﻭﺍﻟﻤﺸﻴﺮ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻋﻠﻢ
Artinya, “Redaksi Syekh Ibnu Athaillah ‘Al-Arif billah itu bukan…’ maksudnya adalah al-arif billah yang tidak kamil, belum mendalam dan mantap. Sedangkan mereka yang sedang berjalan tetap membutuhkan isyarat dan merasakan Allah lebih dekat dengannya karena atau bersama isyarat itu. isyarat itu membantu mereka dan menjadi makanan pokok bagi mereka layaknya ibarat bagi mereka yang mengarahkan pandangan kepada Allah sebagai akan dijelaskan di depan, ‘Ibarat adalah makanan pokok bagi mereka yang butuh mendengarkan. Dan kau akan mendapatkan sesuai apa yang kau ‘makan’.’ Redaksi penulis, ‘ketika memberi isyarat’, maksudnya adalah diberikan atau menerima isyarat. Sedangkan ‘Al-Arif billah itu orang yang tak perlu isyarat,’ maksudnya ia tak membutuhkan isyarat untuk dirinya, tetai untuk memberikan isyarat untuk orang lain. Ia sendiri tak memerlukan isyarat karena isyarat dan ibarat makanan orang yang lapar. Sementara ia sudah kenyang dan cukup. Kita bisa mengatakan bahwa isyarat itu mengandaikan jarak dan perpisahan. Sementara ia tetap bersatu dalam perpisahannya… Al-arif billah yang kamil menafikan jalan/isyarat karena sudah merasa cukup dengan Allah sehingga tak membutuhkan isyarat dan pemberi petunjuk. Wallahu a‘lam,” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, Beirut, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 120-121).
Pertanyaannya kemudian adalah apakah yang disebut arifin yang kamil itu mereka yang selalu menggenggam tasbih, menggelar sajadah, atau membenahi letak sorban? Apakah mereka hidup soliter menyepi? Semua itu mungkin saja, bukan pasti. Tetapi yang pasti mereka tetap bergaul dengan manusia lain. Mereka tetap manusiawi. Mereka bisa jadi buruh tani, pekerja kasar, guru, buruh pabrik, kuli angkut di pasar, pegawai rendahan, penunggu kafe, penunggu lahan parkir liar, atau guru agama di sekitar kita. Semua itu sangat mungkin sebagai dijelaskan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi berikut ini.
ﺍﻟﻌﺎﺭﻑ ﻣﻦ ﺑﻠﻎ ﻣﻦ ﺗﻮﺣﻴﺪﻩ ﻟﻠﻪ،ﻭﺛﻘﺘﻪ ﺑﺎﻟﻠﻪ، ﻭﺗﻮﻛﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﺗﻔﻮﻳﻀﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺩﺭﺟﺔ ﺗﻔﻨﻰ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﺭﺍﺩﺗﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﺮﻳﺪﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺗﻨﻄﻮﻯ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻷﺳﺒﺎﺏ ﺗﺤﺖ ﺳﻠﻄﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺗﺬﻭﺏ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻤﺸﻬﻮﺩﺍﺕ ﻓﻲ ﻭﻫﺞ ﻣﻦ ﺷﻬﻮﺩ ﺍﻟﻠﻪ . ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻌﻨﻰ ﺫﻟﻚ ﻣﺎ ﻗﺪ ﺗﺘﻮﻫﻤﻪ ﻣﻦ ﺃﻧﻪ ﻳﻨﻘﻄﻊ ﻋﻨﺪﺋﺬ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﻌﺎﻣﻞ ﺑﺎﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺗﻨﺒﺖ ﻋﻼﻗﺘﻪ ﺑﺎﻵﺧﺮﻳﻦ : ﺑﻞ ﻳﺘﻌﺎﻣﻞ ﻣﻌﻬﺎ ﻭﻣﻌﻬﻢ ﻛﺴﺎﺋﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ، ﻭﺗﻈﻞ ﻋﻼﻗﺘﻪ ﺑﻬﻢ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ، ﻭﻟﻜﻨﻪ ﺇﺫ ﻳﺘﻌﺎﻣﻞ ﻣﻊ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﺃﺳﺒﺎﺑﻬﺎ ﻻ ﻳﺮﻯ ﻧﻔﺴﻪ ﺇﻻ ﻣﻊ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﻫﻮ ﺇﺫ ﻳﻤﺎﺭﺱ ﺷﺆﻭﻧﻪ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻳﻨﺸﻂ ﻣﻌﻬﻢ ﻓﻰ ﻗﻀﺎﻳﺎﻫﻢ ﺍﻻﺟﺘﻤﺎﻋﻴﺔ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ، ﻻ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﻦ ﺣﺎﻟﻪ ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻳﺘﻌﺎﻣﻞ ﻣﻊ ﺍﻟﻠﻪ، ﻓﻬﻮ ﻛﻤﺎ ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﻋﺮﺷﻲ ﻭﻓﺮﺷﻲ ﺑﺂﻥ ﻭﺍﺣﺪ، ﻋﺮﺷﻲ ﻣﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻣﺸﺎﻋﺮﻩ ﻭﺑﺎﻃﻦ ﺣﺎﻟﻪ، ﻭﻓﺮﺷﻲ ﻣﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﺗﺼﺮﻓﺎﺗﻪ ﻭﻇﺎﻫﺮ ﺣﺎﻟﻪ، ﻭﻳﻌﺒﺮ ﻋﻦ ﻫﺬﺍ ﻛﻠﻪ ﺧﻴﺮ ﺗﻌﺒﻴﺮ ﻣﺎ ﻫﻮ ﻣﺄﺛﻮﺭ ﻣﻦ ﻗﻮﻝ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ، ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ : ﻣﺎ ﺭﺃﻳﺖ ﺷﻴﺌﺎ ﺇﻻ ﻭﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻌﻪ ﻭﻗﺒﻠﻪ ﻭﺑﻌﺪﻩ، ﻛﻤﺎ ﻳﻌﺒﺮ ﻋﻨﻪ ﻗﻮﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻓﺨﺮ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺮﺍﺯﻱ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ : ﻛﻦ ﻇﺎﻫﺮﺍ ﻣﻊ ﺍﻟﺨﻠﻖ، ﺑﺎﻃﻨﺎ ﻣﻊ ﺍﻟﺤﻖ . ﻭﻫﻲ ﺃﻋﻠﻰ ﺩﺭﺟﺎﺕ ﺍﻟﺴﻠﻮﻙ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻨﺒﻮﺓ .
Artinya, “Al-Arif billah adalah orang yang dengan tauhid, kepercayaan, tawakal, dan kepasarahannya kepada Allah mencapai derajat di mana kehendak-kehendaknya fana dalam kehendak/iradah-Nya, sebab-sebab atau alasan lenyap di bawah kuasa-Nya, dan semua yang tampak meleleh pada cahaya terang penyaksian-Nya. Tetapi pengertiannya tidak seperti yang kita sangka selama ini di mana al-arif billah terputus dari dunia, lalu menjalin dengan alam lain. Al-arif billah tetap berhubungan dengan dunia berinteraksi makhluk-Nya sebagaimana manusia lainnya. Ia tetap berhubungan dengan mereka seperti sebelumnya. Tetapi ketika berinteraksi dengan dunia dan sebab-sebab duniawi, ia tak melihat dirinya selain bersama dengan Allah. Ketika menangani masalahnya dengan orang lain dan beraktivitas di tengah publik dalam soal kemasyarakatan dan masalah lainnya, ia hanya menyadari bahwa ia berinteraksi bersama Allah. Al-arif billah itu seperti yang dikatakan para sufi, ‘Arasy dan bumiku ada pada satu waktu. Arasyku bersama Allah dalam perasaan dan batin. Tetapi bumiku bersama manusia dalam muamalah dan lahiriyah.’ Hal ini diungkapkan sangat baik oleh atsar dari Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq perihal dirinya sendiri, ‘Tiada sesuatu yang kulihat selain kulihat Allah bersamanya, sebelum, dan sesudahnya.’ Kondisi ini juga diungkapkan oleh Imam Fakhruddin Ar-Razi, ‘Hendaklah kamu bersama mereka secara lahiriyah, tetapi batinmu bersama Allah.’ Inilah maqam suluk tertinggi kepada Allah setelah maqam kenabian,” (Lihat M Said Ramadhan Al-Buthi, Al-Hikam Al-Athaiyyah, Syarhun wa Tahlilun , Beirut, Darul Fikr Al-Muashir, cetak ulang 2003 M/1424 H, juz II, halaman 471-472).
Menurut kami, penjelasan Syekh Said Ramadhan Al-Buthi cukup klir bahwa makrifatullah yang kamil itu bukan soal pakaian atau profesi, tetapi lebih pada cara pandang. Cara pandang makrifatullah ini dapat hadir pada siapapun dan mereka yang berprofesi apapun sesuatu dengan anugerah yang Allah berikan kepada mereka. Mereka dapat merasakan kehadiran Allah tanpa harus dirangsang oleh ibarat atau isyarat tertentu.
Wallahu a‘lam.
Koleksi artikel Kanti Suci Project