KH. AHMAD DJAZULI USTMAN PLOSO KEDIRI
Biografi Singkat Kiai Ploso Kediri, KH. Ahmad Djazuli Utsman
Beliau bernama Mas’ud, beliau yang mendapat julukan Blawong dari sang KH. Zainuddin. Kelak Masu’ud akan lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, dialah sang pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri.
Pada suatu hari, KH. Zainuddin diam-diam memperhatikan gerak-gerik dan tingkah laku santri baru yang berasal dari Ploso itu. Hingga dalam satu kesempatan, sang pengasuh pondok pesantren ingin bertemu Mas’ud dan meminta supaya untuk tinggal di dalam pondok pesantren.
“Co, endang ning pondok!”
“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”
“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”
Mas’ud muda yang tidak mengerti sama sekali apa artinya Blawong hanya diam. Setelah sang pengasuh pondok tiga kali meminta, barulah beliau menuruti permintaan KH. Zainuddin untuk tinggal di dalam pondok. Pada saat itulah, Mas’ud mendapat julukan Blawong dan akrab dengan sebutan tersebut.
Tak disangka, Blawong ternyata adalah sebutan untuk burung perkutut yang harganya mahal, yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itulah dipelihara dengan baik di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya sangat merdu dan mengagumkan, tidak ada siapapun yang berkata-kata ketika Blawong sedang berkicau, semua orang mendengarkan suara si blawon. Seolah-olah burung itu mempunya karisma yang luar biasa.
Mas’ud lahir pada awal abad XIX, atau tepatnya pada tanggal 16 Mei 1900 Masehi. Beliau adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud terbilang beruntung, karena beliau dapat menerima pendidikan dalam sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.
Belum lama beliau menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib ( panggilan akrab RM Utsman) kedatangan tamu yaitu KH. Ma’ruf (Kedunglo) beliau yang dikenal sebagai murid dari Kyai Kholil, Bangkalan, Madura.
“Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.
“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.
“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok, maksudnya (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” atur Kyai Ma’ruf.
Sang ayah yang mendapat permintaan sekaligus perintah dari seorang ulama yang sangat beliau hormati, Pak Naib kemudian mengirimkan surat ke Batavia tujuannya meminta Mas’ud untuk segera pulang ke Ploso, Kediri. Mas’ud merupaka anak yang berbakti pada orang tua, beliau kemudian pulang ke kampung halaman dan mulai belajar dari pondok pesantren ke pondok pesantren yang lain, yang berada di sekitar karisidenan Kediri.
Mas’ud mengawali mondok di pondok pesantren Gondanglegi, tepatnya dj Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pondok ini beliau mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, yaitu tentang tajwid dan kitab Jurumiyah, yang di dalamnya berisi tata bahasa Arab, dasar (Nahwu) kurang lebih selama 6 bulan.
Setelah beliau menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama satu tahun di Pondok Sono, Sidoarjo. Beliau juga pernah mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh oleh KH. Abdul Rohman. Sampai akhirnya beliau mondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk, dan pada waktu itu pondok tersebut diasuh oleh KH. Zainuddin.
KH. Zainuddin selama ini dikenal sudah banyak melahirkan pra ulama-ulama besar, seperti KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari). Hingga pada suatu hari, Mas’ud pada waktu itu kehabisan bekal untuk tinggal di pondok, kemudian beliau ber mukim di langgar pucung (mushala yang terletak tidak jauh pondok KH. Zainudin).
Selama beliau mondok di Mojosari, Mas’ud hidup dengan sederhana. Berbekal lima rupiah dalam satu bulan, sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata mencapai Rp 10,-. Setiap hari, Mas’ud hanya makan satu lepek atau seporsi piring kecil, dengan lauk sayur ontong (jantung pisang) atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh sangat sederhana, dan sangat jauh dari kata lezat. Masya Allah.
Kehidupan mulai makin sulit, Pak Naib Utsman, sang ayah tercinta beliau pulang ke Rahmatullah. Untuk memnuhi biaya hidup di pondok, Mas’ud muda membeli kitab-kitab kuning yang masih kosong, kemudian beliau memberi makna yang sangat jelas sehingga mudah dibaca.
Harga satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual seharga Rp 2,5,-(seringgit), sungguh hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu pada masa itu.
Kemudian Mas’ud dijodohkan dengan puteri kiai, dia adalah Ning Badriyah putri dari Kiai Khozin, Widang, Tuban. Beliau adalah ipar dari Kyai Zainuddin.
Namun tak disangka, antara kiai Khozin dan kiai Zainuddin saling memperebutkan Mas’ud, agar beliau mengajar di pondoknya. Mas’ud pun merasa bingung, di tengah kebingungan itulah, kemudian beliau menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu langsung di Mekkah.
Setelah beliau pulang dari menunaikan ibadah haji, beliau dipanggil H. Djazuli. Selama di tanah suci Mekkah, beliau berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, beliau di sana tidak lama, kurang lebih sekitar dua tahun. Hal tersebut dikarenakan ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai oleh Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.
Di tengah berkecamuknya perang saudara, H. Djazuli bersama 5 sahabat lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Hingga akhirnya beliau dan para sahbatnya ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang melalui pengurusan konsulat Belanda. Masya Allah.
Setelah dari tanah suci, H. Djazuli lalu pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yaitu kitab Dalailul Khairat. Setelah satu tahun kemudian, tahun 1923 beliau meneruskan nyantri lagi ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri (pendiri NU).
Pad saat H. Djazuli tiba di Tebuireng, dan sowan pada KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh KH. Hasyim Asy’ari sudah mengetahui siapa H. Djazuli yang sebenarnya.
”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” kemudian, beliau H. Djazuli mengajar Jalalain, bahkan beliau sering mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diadak di Kenes, Semarang, Surabaya dan lain sebagainya. Subhanallah.
Setelah dirasa sudah cukup, beliau kemudian melanjutkan ke pondok Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tidak begitu lama, kemudian beliau pulang ke kampung halaman, Ploso.
Telah sekian lama H. Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Kini saatnya beliau mengalirkan air ilmu pegetahuan itu ke masyakrat.
Beliau hanya modal tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, beliau mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan cara sering mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan pada masyarakat sekitar. Hari demi hari beliau lalui dengan istiqamah, untuk menyiarkan agama Islam.
Karena hal tersebut, banyak masyakarat yang tertarik dan berguru kepadanya. Hingga sampai akhirnya beliau mulai merintis tempat untuk belajar pada para murid-murid yang berdatangan. Pada awalnya hanya sedikit, yaitu hanya dua orang, lama kelamaan jadi berkembang menjadi 12 orang. Sampai pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang pesat, sampai menjadi kurang lebih 200 santri.
Ada satu catatan yang sangat penting yang perlu diingat dari beliau, bahwa “Pada jaman penjajahan Jepang, beliau pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Beliau mempunyai tugas, pada siang hari beliau mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi dari berbagai desa. Saat malam tiba, beliau sangat gelisah bagaimana caranya bisa melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam itu.
Kekejaman Jepang mencapai puncaknya, sampai-sampai para santri selalu diawasi gerak-geriknya. Tak hanya itu mereka juga mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau tiba waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Saat tiba waktu malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.
Setelah perang kemerdekaan, pondok pesantren Al-Falah baru lah bisa berbenah. Pada sekitar tahun 1950, jumlah santri yang datang makin bertambah, yaitu mencapai 400 santri. Akhirnya dilakukan perluasan dan pengembangan pondok pesantren, Dengan Sistem meniru Tebuireng, pada tahun 1923. Suatu sistem yang sangat dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.
Hingga sampai hayatnya, KH. Ahmad Djazuli Utsman (sebutannya kini) beliau dikenal sangat istiqomah dalam mengajar kepada para santri-santrinya. Saat beliau memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) pada setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir.
Bahkan pernah dalam keadaan sakit, beliau tetap setia mendampingi para santri-santrinya untuk belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana, namun memiliki makna yang dalam. Perlu digaris bawahi, beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.
Hingga sampai pada akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, pada hari hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H) beliau pulang ke rahmatullah. Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari pernikahannya dengan Nyai Rodliyah.
Nama-nama anak-anak beliau yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman beliau, beliau adalah sosok pemimpin dan ulama waktu itu, yang letaknya di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.
Menurut cerita, ada sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, mereka melihat langit bertabur kembang (bunga). Langit seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu. (Al-fatihah untuk beliau).
Koleksi artikel Kanti Suci Project