Kisah Misteri Nabi Khidir AS
Nabi Khidir : sebuah riwayat menceritakan Khidir adalah anak seorang raja yang agung, namun lahir di sebuah gua.
Nabi Khidir (Balya bin Mulkan bin Qali bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh).
Silsilah Nabi Khidir tidak diketahui secara pasti dan masih menjadi misteri, dengan berbagai pendapat dalam kitab dan riwayat kuno yang berbeda-beda. Namun, pendapat yang paling kuat menyebutkan nama aslinya adalah Balya bin Mulkan bin Qali bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh.
Berikut adalah beberapa pendapat mengenai silsilah Nabi Khidir :
1. Pendapat Wahb bin Munabbih.
Nama asli dan silsilahnya adalah Balya bin Mulkan bin Qali bin Syalikh bin Arfakhsyadz bin Sam bin Nuh.
2. Pendapat lain.
Ada yang menyebutkan ia adalah putra dari Qabil bin Adam AS, seperti disampaikan Abu Hatim as-Sijistani.
3. Ada juga yang mengaitkannya dengan seorang yang beriman kepada Nabi Ibrahim dan ikut dengannya dari Babilonia.
4. Pendapat lain menyatakan ia adalah Mu'ammar bin Malik bin Abdullah bin Nash bin al-Azad.
5. Beberapa riwayat bahkan menyebutkan ia adalah Ilyasa, cucu Nabi Harun, atau cucu Fir'aun dari pihak perempuan.
Penting untuk diingat bahwa tidak ada satu kesepakatan pasti mengenai garis keturunan Nabi Khidir. Ini karena sumber-sumber mengenai nasabnya beragam dan seringkali kontradiktif, yang menunjukkan misteri dan kebesaran Allah SWT dalam mengatur segala sesuatu.
Nabi Khidir : sebuah riwayat menceritakan Khidir adalah anak seorang raja yang agung, namun lahir di sebuah gua.
Masa kecil Nabi Khidir penuh misteri. Ada yang bilang Nabi Khidir adalah putra raja yang bijaksana. Namun, ada yang meriwayatkan bahwa Khidir lahir di dalam gua, saat ibunya sedang mengembara. Ia disusui dengan susu kambing.
Sebuah riwayat menyebutkan saat Rasulullah mikraj ke langit dengan menunggang punggung buraq bersama sahabatnya, Malaikat Jibril , tiba-tiba ia mencium bau yang harum semerbak.
Rasulullah bertanya, “Wahai Jibril, bau wangi apakah ini?”
Jibril menjawab, “Bau ini berasal dari seorang raja pada zaman dulu. Ia adalah raja yang punya riwayat menakjubkan pada masanya. Dan, dia hanya memiliki seorang anak, yaitu Khidir.”
Abu al-Qasim Abdullah bin Hasan al-Khats'ami dalam kitab at-Ta'rif menyatakan, Khidir adalah putra seorang raja bernama Amiyal. Raja ini merupakan putera dari al-Ish ibnu Ishak. Ibunya adalah Alha, seorang puteri raja bernama Faris.
Mahmud Asy-Syafrowi dalam bukunya berjudul "Khidir as: Nabi Misterius, Penguasa Samudra Yang Berjalan Secepat Kilat" juga menyampaikan riwayat lain menyebut, bahwa ayah Nabi Khidir bernama Balkan, seorang raja Persia.
Sementara itu, ibu yang melahirkannya mempunyai nama Alha binti Faris. Menurut Mahmud, terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa ibunya adalah perempuan bernama Rumania, yaitu seorang wanita kelas bangsawan asli dari keturunan Persia yang masih terhitung sebagai bibi dari ibu Iskandar Zulkarnain.
Perihal ibunya Khidir, tulis Mahmud, beliau adalah seorang perempuan yang memiliki kesenangan yang tidak lazim menurut ukuran kaum hawa pada umumnya. Beliau digambarkan sebagai sosok wanita yang senang mengembara. Bahkan, ketika sedang hamil tua sekalipun, ia masih sering melakukan pengembaraan.
Pada saat tiba waktunya Khidir akan dilahirkan, beliau masih berada di tengah-tengah masa pengembaraannya
"Konon, Khidir pun harus dilahirkan dalam sebuah gua yang terletak di atas sebuah bukit, jauh dari kehidupan manusia dan sanak keluarga yang dapat membimbing dan membantu kelahirannya," ujar Mahmud.
Naas bagi ibu Nabi Khidir. Belum lama melahirkan, para penyamun datang memasuki gua tersebut. Khidir pun harus terpisah dengan ibunya.
Konon, seketika itu juga, jejak Khidir menghilang dan lenyap. Sebagian keterangan menjelaskan bahwa kemungkinan ibu Khidir terbunuh oleh kalangan penyamun tersebut.
Khidir yang masih bayi itu diselamatkan dan dipelihara oleh seorang penggembala kambing. "Banyak yang menyimpulkan bahwa pada saat masih bayi, karena terpisah dari ibu kandungnya, Khidir disusui dengan susu kambing," tulis Mahmud.
Muhammad bin Iyas al-Hanafi dalam kitabnya Badai'u azh-Zhuhur fi Waqai'i ad-Duhar menceritakan Khidir dilahirkan di sebuah gua. Ibunya memberikan susu segar kambing setiap hari ketika Khidir masih bayi. Kemudian, Khidir diambil anak oleh seorang penggembala dan dididik sampai menginjak dewasa.
Dia tumbuh menjadi anak cerdas dalam hal tulis dan membaca shuhuf (lembaran-lembaran) yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim.
Putra Firaun
Ahmad bin Ibrahim an-Naisaburi dalam kitabnya "Qashash al-Anbiya" menyebutkan nama asli Khidir adalah Balya bin Malkan bin Faligh bin Abir bin Salikh bin Arfakhsad bin Sam bin Nuh.
Silsilah nama ini berasal dari pendapat Ibnu Abbas. Menurut pendapat Ibnu Ishak, dia adalah putera al-'Ish bin Ishak bin Ibrahim alKhalil.
Berbeda dengan keduanya, an-Naghasy memiliki pendapat lain. Menurutnya, Khidir adalah putra Fir'aun.
Akan tetapi, menurut at-Thabari pendapat ini tidak valid. Sebagian ulama lain berpendapat Khidir adalah Alyasa', teman Ilyas. Pendapat ini tidak valid. Ada lagi yang berpendapat bahwa Khidir adalah Armiya'. Sayang, pendapat ini pun tidak valid.
Sebuah riwayat mengatakan, ayah Khidir adalah seorang raja yang agung. Untuk urusan pendidikan puteranya, raja menyerahkan puteranya kepada seorang pendidik. Sayang, Khidir ternyata tidak berkenan dengan guru yang ditunjuk ayahnya.
Di antara istana dan rumah sang pendidik hidup seorang ahli ibadah. Setiap kali Khidir berangkat ke rumah si pendidik, ia selalu melewati rumah ahli ibadah tersebut.
Perilaku ahli ibadah tersebut memikat hatinya. Khidir pun memilih si ahli ibadah menjadi gurunya. Ia amat rajin menghadiri majelis ahli ibadah itu.
Ketika Khidir tidak datang menghadiri rumah sang pendidik yang ditunjuk ayahnya, sang pendidik mengira Khidir sedang berada di istana.
Sementara, raja mengira putranya sedang belajar kepada guru yang ditunjuknya. Hal itu berlangsung sampai Khidir menginjak dewasa dan ia menguasai seluruh pengetahuan serta cara ibadah dari si ahli ibadah.
Sementara itu, menurut pendapat Ibnu Ishak, ayah Khidir bernama “Amiyal. Suatu hari “Amiyal mencari seorang penulis profesional untuk menuliskan kembali suhuf yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim dan Syist. Berdatanganlah sekelompok penulis menghadapnya.
Di antara para penulis tersebut terdapat Khidir, putranya. Saat itu raja tidak menduga bahwa di situ ada putranya. Ketika tulisan-tulisan mereka selesai dan dihaturkan kepadanya, raja terkesan dengan salah satu tulisan.
Raja mencari tahu siapa gerangan penulis tersebut. Raja tidak menyangka ternyata penulis tadi adalah putranya sendiri. Ia pun bangkit dan merangkulnya.
Pada era kerasulan Musa, hidup seorang nabi bernama Khidir. Asal usulnya tak jelas. Ada yang mengatakan, ia merupakan keluarga Dzulqarnain, ada pula yang mengatakan, ia keturunan bangsa Persia dan Romawi. Beberapa menyebut, Khidir merupakan nama julukan dari pria kalangan biasa bernama Balya bin Malkan.
Entah siapa Khidir tersebut, sosoknya begitu misterius. Ia pun dikisahkan dalam sebuah perjalanan Musa yang penuh hal ajaib, luar biasa, dan tentunya penuh misteri.
Suatu hari, seorang dari Bani Israil menemui Musa dan kemudian bertanya, “Wahai Nabiyullah, adakah di dunia ini orang yang lebih berilmu darimu?” ujarnya. Tersentak, Nabi Musa pun jelas menjawab, “Tidak.” Tentu saja, siapa yang mampu menandingi ilmu Musa, utusan Allah kala itu. Sumber tuntunan agama dan sumber pengetahuan wahyu Allah ada di genggaman Musa. Ia memiliki Taurat dan beragam mukjizat dari-Nya.
Namun, rupanya Allah memiliki hamba lain selain Musa yang lebih berilmu. Allah pun mewahyukan pada Musa bahwa tak seorang pun di muka bumi yang mampu menguasai semua ilmu. Tak hanya Musa, di belahan bumi lain pun terdapat seorang yang memiliki ilmu luar biasa.
Ilmu itu tak dimiliki Musa sekalipun. Orang itu juga seorang nabi. Mengetahui hal tersebut, sontak Musa pun ingin berguru pada orang tersebut. Ia bersemangat ingin menuntut ilmu dan menambah pengetahuanya.
“Ya Allah, di mana orang ini bisa saya temui? Saya ingin bertemu dengannya dan belajar darinya,” tanya Musa antusias. Nabi Musa sendiri dikenal dengan keistimewaan sebagai nabi yang bisa berbicara langsung dengan Allah tanpa perlu perantara malaikat. Allah pun menunjukkan sebuah tempat di mana Musa dapat menemui orang berilmu tersebut.
Di pertemuan antara dua lautan, demikian lokasi ahli ilmu itu. Agar lebih yakin dan tak salah mengenali orang, Musa pun meminta tanda identitas orang tersebut. Allah pun memerintahkan Musa membawa seekor ikan dalam wadah berisi air. Ikan tersebut akan menunjukkan arah di mana keberadaan sang ahli ilmu Khidir.
Berangkatlah Musa menyusuri lautan, mencari keberadaan Khidir. Ia ditemani muridnya yang terkenal setia Yusya bin Nun. Yusya lah yang membawa bejana berisi ikan yang akan menghantarkan Musa pada Khidir.
Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, keduanya tak juga menemukan Khidir. Meski lelah, keduanya tetap melanjutkan perjalanan. “Aku tak akan berhenti sebelum sampai ke pertemuan dua lautan atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun,” ujar Musa pada Yusya.
Perjalanan telah jauh, tapi Khidir tak juga dijumpai. Musa pun memutuskan untuk sejenak beristirahat di sebuah batu besar di tepi sungai. Kelelahan, Musa pun tertidur. Saat Musa terlelap, Yusya melihat ikan dalam bejana tersebut meloncat keluar dari bejana ke arah sungai. Tapi, Yusya lupa mengabarkannya pada Musa. Saat Musa bangun, keduanya pun melanjutkan perjalanan tanpa ingat panduan sang ikan.
Pejalanan melelahkan keduanya hingga mereka merasa lapar. Ketika Musa menanyakan bekal untuk makan, Yusya baru teringat pada si ikan. “Saat kita istirahat di batu tadi, sungguh aku benar-benar lupa mengabarkan tentang ikan itu.
Tidaklah yang melupakanku untuk mengabarkannya padamu kecuali syaitan. Ikan itu kembali ke laut dengan cara yang aneh sekali,” ujar Yusya. Musa pun langsung mengetahui itu adalah sebuah tanda, “Itulah tempat yang kita cari,” ujar Musa bersemangat.
Lupa sudah rasa lapar tadi, keduanya pun kembali ke arah semula tempat mereka beristirahat. Sampailah mereka pada tempat yang mereka tuju dan bertemu sosok pria yang wajahnya tertutup sebagian oleh kudung. Sikapnya tegas menunjukkan kesalehannya. Pria itulah Khidir. “Bolehkah aku mengikutimu agar kau bisa mengajarkanku sebagian ilmu di antara ilmu-ilmu yang kau miliki?” ujar Musa kepada Khidir.
Apa jawab Khidir kepada Musa? “Sungguh kau tak akan sanggup untuk sabar jika bersamaku. Bagimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang itu,” kata Khidir.
Bukan Musa kalau langsung patah semangat dengan penolakan halus itu. “Insya Allah, kau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar. Aku tak akan menentangmu dalam urusan apa pun,’” ujarnya. Mendengar ketekadan hati Musa, Khidir pun akhirnya mengizinkan Musa mengikutinya. Tapi, dengan syarat, “Jika kau mengikutiku, jangan menanyakan suatu apa pun padaku sampai aku yang menerangkannya padamu,” kata Khidir.
Musa girang dapat mengikuti Khidir. Artinya, ia dapat menuntut ilmu dari Khidir. Pergilah Khidir dan Musa menumpang sebuah perahu. Tapi, ketika perahu itu hampir mendarat, Khidir melubangi perahu tersebut. Musa kaget, ia pun berkata, “Mengapa kau lubangi perahu ini. Kau akan membuat penumpang tenggelam. Kau telah melakukan sebuah kesalahan besar.”
Khidir hanya menjawab, “Bukankah aku telah berkata bahwa kau tak akan sabar bersamaku.” Musa pun teringat janjinya tak akan menanyakan apa pun. Ia pun menyesali ucapannya. “Jangan hukum aku atas lupaku dan jangan bebani aku dengan kesulitan urusan,” kata Musa.
Keduanya pun melanjutkan perjalanan. Di tengah jalan, mereka berjumpa dengan seorang anak. Mengagetkan, Khidir kemudian membunuhnya. Musa yang sifatnya spontan langsung bereaksi. “Mengapa kau bunuh jiwa yang bersih? Dia tak membunuh orang lain. Sungguh, kau melakukan suatu yang mungkar,” protes Musa.
Lagi-lagi, Khidir hanya menjawab, “Bukankah sudah kukatakan padamu bahwa kau sungguh tak akan sabar bersamaku?” Musa pun kembali teringat janjinya. Dia pun memendam rasa amarah sekaligus herannya atas kelakuan Khidir. “Jika setelah ini aku bertanya kembali padamu, jangan kau izinkan aku lagi mengikutimu. Sungguh, kau cukup memberiku uzur,” kata Musa.
Perjalanan keduanya dilanjutkan. Tibalah mereka di sebuah negeri. Tapi, tak ada satu pun penduduk negeri yang berkenan menjamu mereka. Lagi, Khidir melakukan perbuatan yang tak masuk akal bagi Musa. Kali ini khidir tidak melakukan perbuatan mungkar di negeri tersebut, ia justru memperbaiki dinding sebuah rumah yang hampir roboh. “Jika kau mau, kau dapat mengambil upah karena telah memperbaiki itu,” ujar Musa.
Lupa sudah Musa akan tekadnya untuk diam tak mengomentari ulah Khidir. Sesuai ucapan Musa, ia pun tak lagi mendapat pengecualian. Sudah tiga kali Musa mempertanyakan sikap Khidir. “Inilah perpisahanku denganmu,” kata Khidir.
Sebelum berpisah, Khidir pun menjelaskan maksud dibalik perbuatan yang Musa tak sabar atasnya. “Aku akan memberitahu tujuan perbuatanku. Perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut. Aku merusak perahu mereka karena mereka dihadapkan pada seorang raja yang merampas setiap perahu,” kata Khidir.
Betapa ilmu Khidir benar-benar luar biasa. Ilmu tersebut membuatnya sangat bijak. Bayangkan jika Khidir tak melubangi perahu itu, orang miskin tersebut akan kehilangan tak hanya perahu, tapi juga mata pencaharian mereka. Dengan perahu yang berlubang, raja lalim mana yang suka untuk mengambilnya.
Itu baru satu kisah. Kisah selanjutnya, Khidir menjelaskan, “Adapun anak itu, kedua orang tuanya merupakan Mukminin. Kami khawatir, dia akan mendorong kedua orang tuanya pada kesesatan dan kekafiran. Dan, kami menghendaki supaya Rabb mengganti anak lain untuk mereka yang lebih baik, suci, dan lebih sayang pada ibu bapaknya,” ujar Khidir.
Tahulah Musa bahwa ilmu yang dimiliki Khidir benar-benar luar biasa. Ia mengetahui hal misterius dan mengambil kebijaksanaan atasnya. Kisah terakhir, “Dinding rumah itu merupakan milik dua anak yatim di negeri tersebut. Di bawahnya tersimpan harta benda simpanan sang ayah untuk keduanya. Ayahnya adalah seorang yang shalih. Rabbmu menghendaki agar mereka sampai dewasa dan mengeluarkan simpanan itu sebagai rahmat Rabbmu,” jelas Khidir.
Terjawablah semua pertanyaan Musa atas sikap Khidir. Musa pun kagum dengan ilmu yang diajarkan Allah kepada Khidir. “Tidaklah aku melakukannya menurut kemauanku sendiri,” pungkas Khidir yang menunjukkan betapa dia memiliki ilmu yang luar biasa dari rahmat Allah.
Perjalanan Musa dan Khidir tersebut dikisahkan dalam Alquran surah al-Kahfi ayat 60 hingga 82. Rasulullah pun mengisahkannya dalam sebuah hadis riwayat Ubai Ibn Ka’ab yang tercantum dalam Shahih Al Bukhari. Ibnu Katsir menjelaskan kisah dengan rinci melalui hadis tersebut.
Di akhir hadis, Rasulullah bersabda, “Kami berharap, Musa dapat sabar dengan kebajikan yang mana Allah mungkin akan memberitahu kami lebih banyak tentang kisah ini. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada Musa,” sabda Rasulullah.
Adapun dalam al-kitab atau Injil Perjanjian Lama, tokoh Khidir tak disebut-sebut meski kisahnya terjadi di masa Bani Israil. Tapi, beberapa dari cendekiawan Bani Israil menganggap, Khidir merupakan Elia atau Ilyas. Beberapa mereka juga mengenal Khidir dengan sebutan St George. Dalam buku Mystical Dimensions of Islam karya Annemarie Schimmel, kisah Khidir termasuk di dalamnya dan disebut sebagai sosok yang kekal dan belum wafat hingga kini sebagaimana Nabi Isa.
Tapi, legenda mengenai kekalnya Khidir tersebut tampaknya hanyalah dongeng belaka. Ibnul Qayyim dalam kitabnya al-Manarul Munif fil Hadits-Shahih wa Dhaif menyebutkan bahwa tak ada riwayat shahih yang menyebut bahwa Khidir masih hidup.
Hikmah di Balik Kisah Nabi Khidir
Terdapat banyak hikmah dari kisah Khidir , salah satunya, yakni menuntut ilmu. Dalam Islam, menuntut ilmu merupakan perkara wajib. Tampak dalam kisah betapa Nabi Musa sangat antusias menuntut ilmu. Bahkan, meski kedudukannya saat itu merupakan nabi ia tak segan untuk terus menuntut ilmu.
Beliau bahkan bersedia menempuh perjalanan panjang demi bertemu sang guru. Beliau yang berstatus tinggi sebagai nabi, bahkan bersedia merendahkan diri dihadapan sang guru. Alasannya, karena ilmu memiliki kedudukan tinggi dalam Islam.
Allah berfirman dalam surah al-Mujadilah ayat 11, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu (agama) beberapa derajat.” Banyak ayat yang menyatakan keutamaan ilmu dan kewajiban menuntutnya. Dalam hadis, Rasulullah pun sering mengingatkan umatnya untuk menuntut ilmu. Beliau pun menyatakan keutamaan ilmu bagi para Muslimin.
Dalam hadis riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abud Darda menceritakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan yang padanya dia mencari ilmu, Allah akan mudahkan dia menempuh jalan dari jalan-jalan (menuju) jannah dan sesungguhnya para malaikat benar-benar akan meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu.
Dan, sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampun untuknya oleh makhluk-makhluk Allah yang di langit dan yang di bumi, sampai ikan yang ada di tengah lautan pun memintakan ampun untuknya. Dan, sesungguhnya keutamaan seorang yang berilmu atas seorang yang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi dan para Nabi tidaklah mewariskan dinar ataupun dirham, akan tetapi mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambilnya sungguh dia telah mengambil bagian yang sangat banyak.”
Artikel Kanti Suci Project