MAKSIAT
Maksiat adalah perbuatan melanggar perintah Allah SWT, yaitu segala tindakan dan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan syariat Islam, baik dengan meninggalkan kewajiban maupun melakukan larangan, yang akan mendatangkan dosa dan menghalangi kedekatan dengan Allah SWT. Contoh maksiat antara lain mencuri, berzina, minum khamar (alkohol), dan perbuatan-perbuatan yang tidak bermoral lainnya, yang dapat memberikan dampak buruk berupa kegelapan hati, hilangnya keberkahan rezeki dan umur, hingga terhalangnya seseorang dari rahmat Allah SWT.
Ketahuilah bahwa para pelaku maksiat akan mendapat adzab bukan hanya di alam kubur dan di negeri akhirat tetapi juga di dunia. Perhatikanlah bahwa orang bermaksiat itu di dunia akan mendapati 4 (empat) keadaan dalam hidupnya sebagai balasan kemaksiatan dan kelakuan buruknya.
Keburukan di dunia antara lain :
1. Pertama : Orang orang yang bermaksiat tak mungkin mendapat ketenangan hati dan selalu merasa cemas dan ketakutan. Lalu apa arti kehidupan jika selalu dirundung kegelisahan.
2. Kedua : Orang yang bermaksiat bisa jadi akan mendapat adzab di dunia sebagaimana orang orang terdahulu yang bermaksiat lalu Allah turunkan berbagai musibah berupa adzab buat mereka di dunia.
3. Ketiga : Orang yang bermaksiat tetapi secara zhahir kehidupannya kelihatan semakin baik. Inilah yang disebut dengan istidraj. Allah Ta’ala berfirman:
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. Al-An’am: 44)
Dalam sebuah hadits juga disebutkan bahwa Rasulullah bersabda : “Jika ada orang yang berbuat dosa tetapi mendapat kesenangan dan tidak mendapat adzab dari Allah maka bisa jadi itu adalah istidraj. Kesenangan tersebut hanyalah kesenangan sesaat di dunia yang akan dibalas dengan adzab oleh Allah baik segera di dunia atau di akhirat.” (H.R Imam Ahmad dan ath Thabrani, dishahihkan oleh Syaikh al Albani)
4. Keempat : Orang yang bermaksiat terhalang atau dilalaikan beribadah. Inilah seburuk buruk balasan baginya. Lalu datang pertanyaan : Apakah ada adzab yang lebih besar kepada seseorang ketika dia LALAI MELAKUKAN IBADAH baik yang fardhu dan yang sunnah ?. Na’udzubillahi min dzaalik.
Oleh sebab itu seorang hamba haruslah menjaga diri dari perbuatan maksiat sekecil apapun karena mereka pasti akan mendapat balasannya di dunia dan di alam kubur dan di akhirat.
Selain itu, perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini :
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ
Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri.
Allah Ta’ala berfirman :
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. (Q.S al Zalzalah 7-8).
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Sesungguhnya bukan karena musuh yang kuat, tapi karena kita yang sedang lemah dan mendapat hukuman dari Allah ‘azza wa jalla disebabkan dosa-dosa kita.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian telah melakukan jual beli dengan cara ‘inah (salah satu bentuk riba), dan kalian memegang ekor-ekor sapi dan ridho dengan pertanian (cinta dunia), dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian. Dia tidak akan menghilangkan kehinaan kalian, sampai kalian kembali kepada agama kalian.” [HR. Abu Daud Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Ash-Shahihah: 11]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا. فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِى قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Hampir-hampir umat-umat yang kafir menguasai kalian seperti berkerumunnya orang-orang memperebutkan makanan. Maka berkatalah seseorang: Apakah karena sedikitnya kita kaum muslimin ketika itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian ketika itu banyak jumlahnya, akan tetapi kalian seperti buih banjir, dan Allah menghilangkan kewibawaan kalian dari hati-hati musuh kalian serta melemparkan ke dalam hati-hati kalian kelemahan. Maka berkata seseorang: Wahai Rasulullah apakah penyebab kelemahan tersebut? Beliau bersabda: Cinta dunia dan benci kematian.” [HR. Abu Daud dari Tsauban radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 958]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وحيث ظهر الكفار فإنما ذاك لذنوب المسلمين التي أوجبت نقص إيمانهم، ثم إذا تابوا بتكميل إيمانهم نصرهم الله كما قال تعالى ولا تهنوا ولا تحزنوا وأنتم الأعلون إن كنتم مؤمنين وقال أولما أصابتكم مصيبة قد أصبتم مثليها قلتم أنى هذا قل هو من عند أنفسكم
“Ketika orang-orang kafir menang maka itu hanyalah karena dosa-dosa kaum muslimin yang telah melemahkan iman mereka.
Kemudian apabila mereka bertaubat dengan menyempurnakan kembali iman mereka maka Allah akan menolong mereka.
Sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
‘Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang lebih tinggi (dalam keimanan dan mengharap pertolongan Allah serta pahala-Nya), jika kamu orang-orang yang beriman’. (Ali Imron: 139)
Dan firman Allah ta’ala,
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
‘Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (di Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (di Perang Badar) kamu berkata: Dari mana datangnya (kekalahan) ini? Katakanlah: Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu’.” (Ali Imron: 165) [Al-Jawaabus Shahih, 6/450]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa menunjukkan satu kebaikan maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya.” [HR. Muslim dari Abu Mas’ud Al-Anshori radhiyallaahu’anhu]
Tak dapat dipungkiri bahwa hati merupakan komponen yang sangat vital dan fundamental dalam tubuh manusia. Hati tak ubahnya dinamo yang berfungsi menggerakkan tubuh kita. Hatilah yang memicu seseorang untuk melakukan ketaatan atau kemaksiat. Seseorang tidak akan melakukan apa pun kecuali setelah hati berekehendak dan ingin melakukannya.
Rasulullah saw bersabda:
أَلآ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلآ وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, sungguh di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika daging tersebut baik, baiklah seluruh tubuh. Jika rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari dan Muslim)
Imam al-Ghazali dalam kitab Minhâj al-‘Âbidîn mengatakan agar selalu memperhatikan, menjaga, dan memperbaiki hati, karena hati mempunyai peran sentral bagi kehidupan manusia. Adalah amat mengherankan jika ada orang yang hanya sibuk membersihkan tampilan lahiriahnya dan tidak mengindahkan hatinya yang kotor dan penuh debu. Padahal, Nabi saw menegaskan bahwa Allah c tidak menilai seseorang dari tampilan lahiriahnya melainkan dari hatinya (HR Muslim).
Dalam kitab Sullam al-Taufâq ilâ Mahabbati-llâh ‘alâ al-Tahqîq, Habib Abdullah Ba’alawi menyatakan bahwa di antara kewajiban hati adalah membenci ahli (pelaku) maksiat. Dalam kitab Is’âd al-Rafîq, penjelas (syarh) kitab Sullam al-Taufîq, Syekh Muhammad Salim asy-Syafi’I menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah membenci kemaksiatannya bukan personal orangnya. Hal itu karena kemaksiatan merupakan sesuatu yang kotor yang hanya diberikan kepada musuh-musuh Allah dan orang-orang yang hatinya penuh penyakit.
Kemudian, ahli maksiat ada dua yaitu :
1. Pertama, ahli maksiat yang diberi taufik untuk bertobat. Maka, ketika telah bertobat, statusnya menjadi ahli taat (pelaku ketaatan). Sebab, orang yang bertobat dari dosa-dosanya sama halnya dengan orang yang tidak memiliki dosa, ia terlahir kembali.
2. Kedua, ahli maksiat yang tidak mau bertobat dan tetap konsisten melakukan kemaksiatan hingga ajal menjemputnya. Ia akan bertemu dengan Allah swt dalam keadaan penuh kotoran dosa, ia akan dibalas dengan balasan yang amat pedih terutama jika ia melakukan dosa-dosa besar.
Seperti telah disinggung di atas, yang harus kita benci adalah kemaksiatannya bukan personal orangnya. Maksud membenci kemaksiatan adalah kita menjauhi, tidak mendekati dan melakukannya sama sekali. Adapun terhadap personal orangnya, kita tidak boleh menghina dan merendahkannya. Sebaliknya, kita harus mengasihani dan bersimpati kepadanya.
Imam asy-Sya’rani dalam kitab Tanbîh al-Mughtarrîn menyebutkan bahwa di antara akhlak ulama salaf adalah mengasihi, bersimpati, dan tidak mencela pelaku maksiat. Mereka berpandangan bahwa bersimpati merupakan doa terbaik bagi pelaku maksiat.
Mutharrif bin Abdullah, seorang tabi’iin, berkata:
مَنْ لَمْ يَجِدْ فِيْ نَفْسِهِ رَحْمَةً لِلعَصَاةِ فَلْيَدْعُ لَهُمْ بِالتَّوْبَةِ وَالْمَغْفِرَةِ فِإِنَّ مِنْ أَخْلَاقِ الْملَاَئِكَةَ الإِسْتِغْفَارُ لِمَنْ فِي اْلأَرْضِ
“Jika seseorang tidak memiliki rasa simpati terhadap pelaku maksiat maka sebaiknya dia berdoa saja untuk mereka agar segera bertobat dan mendapat ampunan. Toh, di antara akhlak para malaikat adalah meminta ampunan untuk penduduk bumi.”
Rasulullah saw juga menegaskan :
إِذَا رَأَيْتُمْ أَخَاكُمْ قَدْ أَصَابَهُ جَزَاءٌ فَلَا تَلْعَنُوهُ , وَلَا تُعِينُوا عَلَيْهِ الشَّيْطَانَ ، وَلَكِنْ قُولُوا اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ ، اللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ
“Jika kalian melihat saudara kalian dihukum maka janganlah kalian melaknatnya dan janganlah kalian membantu setan, tetapi katakanlah, ‘Semoga Allah merahmatinya dan semoga Allah menerima tobatnya’.”
Imam as-Samarqandi, ahli fikih Mazhab Hanafi, juga menegaskan agar kita selalu mencontoh dan meneladani orang-orang terdahulu, utamanya para shahabat Nabi saw. Sebab, Allah swt telah memuji sikap simpati dan kasih sayang mereka terhadap sesama. Para shahabat tidak hanya menyayangi dan bersimpati antar sesama umat Islam, tetapi mereka juga melakukan hal sama kepada non muslim.
Suatu ketika Sayidina Umar ra melihat seorang lansia dari Ahli Kitab mengemis dari pintu ke pintu. Sayidina Umar berkata, “Kami tidak bersikap proporsional terhadapmu; kami mengambil upeti (jizyah) ketika kamu kaya dan sekarang kami tak memperdulikan dirimu”. Lantas, beliau memerintahkan agar keperluan lansia non muslim tadi ditanggung oleh negara melalui lembaga Bait al-Mal.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda :
بُدَلَاءُ أَمتِيْ لَا يَدْخُلُوْنَ الجَنةَ إِلا بِرَحْمَةِ القُلُوْبِ وَسَلاَمَةِ الصدُوْرِ
“Wali-wali Abdal umatku tidak masuk surga kecuali karena mereka memiliki hati penyayang dan selamat.”
Menurut Ibnu Sirin, yang dimaksud dengan hati yang selamat adalah hati yang selalu memberi inspirasi dan motivasi baik kepada orang lain karena Allah c. Ada yang mengatakan bahwa hati yang selamat adalah hati yang tidak dihuni oleh sifat dengki, iri, sombong, dan bangga diri.
Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah saw menyatakan ada empat hak umat Islam yang wajib kita penuhi, yaitu 1) membantu mereka yang berbuat baik, 2) memintakan ampunan bagi mereka yang melakukan dosa, 3) mendoakan mereka yang sopan dan santun, dan 4) mencintai mereka yang telah bertobat.
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah swt berfirman:
لَا يُرْحَمُ مَنْ لَا يَرْحَمْ
“Orang yang tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi.”
Rasulullah saw juga menegaskan :
مَنْ لَا يَرْحَمْ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
“Barang siapa tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak akan menyayanginya.” (HR.Muslim)
Imam Syaqiq al-Balkhi, ulama sufi, mengatakan :
إذا ذكرت رجل السوء فلم تهتم له ترحما فأنت أسوأ منهُ
“Ketika dituturkan kepadamu laki-laki yang buruk (kelakuannya) dan kamu tidak peduli dan bersimpati kepadanya maka kamu adalah orang yang lebih buruk darinya.”
Nabi Isa as menegaskan :
لا تنظروا إلى عيوب الناس كأنكم أرباب وانظروا إليها كأنكم عبيد وارحموا صاحب البلاء واحمدوا صاحب العافية
“Janganlah kalian melihat keburukan orang lain laiknya kalian Tuhan, tetapi lihatlah laiknya kalian hamba hina. Bersimpatilah kepada orang yang terkena kesusahan dan pujilah orang yang mendapat kelapangan.”
Arti membenci ahli maksiat adalah membenci kemaksiatannya bukan personal orangnya. Dengan kita lain, kita harus menjauhi dan tidak melakukan perbuatan maksiatnya. Terhadap orangnya, kita harus bersimpati dan menasehatinya tatkala melakukan kemaksiatan agar segera berhenti dan bertobat–tanpa harus memaksa dan dengan cara yang baik, sesuai aturan.
Kita tidak usah peduli dan masa bodo bila kita dituding dan dikatain sok paling baik dan suci, misalnya, saat kita menasehati suadara kita. Karena kita tahu bahwa kita melakukannya atas dasar cinta. Bukankah pencinta selalu ingin yang terbaik bagi orang yang dicintainya ?
Menasehati orang lain pada jalan kebaikan merupakan salah satu manifestasi dan bukti cinta. Adalah kebohongan besar mengaku cinta tapi pada saat bersamaan tidak peduli dan nihil perhatian. Cintailah orang lain sebagaiman kita mencintai diri kita.
Rasulullah saw menegaskan :
لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه
“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR Muslim)
Dampak-dampak buruk dari perbuatan maksiat
Maksiat memiliki berbagai dampak yang buruk, tercela, serta membahayakan hati dan badan, baik di dunia maupun di akhirat, yang jumlahnya tidak diketahui secara pasti kecuali oleh Allah semata. Di antara dampak-dampak kemaksiatan yang dimaksud, Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah رحمه اللة dalam karyanya Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’ menjelaskan sebagai sebagai berikut :
1. Maksiat menghalangi masuknya ilmu
Ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, sedangkan maksiat adalah pemadam cahaya tersebut.
Ketika Imam asy-Syafi’i رحمه اللة duduk sambil membacakan sesuatu di hadapan Imam Malik رحمه اللة, kecerdasan dan kesempurnaan pemahamannya membuat syaikh ini tercengang.
Beliau pun berujar :
“Sesungguhnya aku memandang bahwa Allah telah memasukkan cahaya ke dalam hatimu, maka janganlah kamu memadamkan cahaya tersebut dengan kegelapan maksiat.”
Imam asy-Syafi’i رحمه اللة berkata dalam sya’irnya :
“Aku mengadu kepada Waki’ tentang buruknya hafalanku, dia menasihatiku agar aku tinggalkan kemaksiatan.”
Dia pun berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya ilmu itu karunia, dan karunia Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.” [Diiwaan asy-Syafi’i]
2. Maksiat menghalangi datangnya rizki.
Disebutkan dalam al-Musnad:
“Sesungguhnya, seorang hamba akan terhalang dari rizki karena dosa yang diperbuatnya.” Hadits ini telah disebutkan sebelumnya.
Sebagaimana takwa kepada Allah adalah perkara yang mendatangkan rizki, maka meninggalkan takwa akan menyebabkan kefakiran. Tidak ada yang dapat mendatangkan rizki, kecuali dengan meninggalkan maksiat.
3. Maksiat menyebabkan kehampaan hati dari mengingat Allah.
Kehampaan hati yang dirasakan oleh pelaku maksiat, antara dirinya dan Allah, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kelezatan apa pun. Meskipun seluruh kelezatan dunia terkumpul padanya, tetap saja tidak akan mampu menutupi rasa hampa tersebut.
Hal ini tidak dirasakan, kecuali oleh orang yang hatinya masih hidup, sebagaimana disebutkan dalam sya’ir:
“Luka itu tidak akan menyakiti orang yang sudah mati.”
Sekiranya dosa-dosa tidak ditinggalkan melainkan untuk menghindari kehampaan tersebut, tentulah hal itu sudah layak dijadikan alasan bagi orang yang berakal untuk meninggalkannya.
Ada yang mengadu kepada sebagian orang arif tentang kehampaan yang dirasakannya dalam jiwa, lalu hal itu ditanggapi dengan sya’ir berikut:
“Apabila engkau telah merasa hampa karena dosa; maka tinggalkanlah ia, jika kau mau, dan raihlah kebahagiaan.”
Tidak ada yang terasa lebih pahit bagi hati daripada kehampaan yang disebabkan dosa di atas dosa. Wallaahul musta’aan.
4. Maksiat mengakibatkan pelakunya terasa asing di antara orang baik
Merasa terasing dari orang lain pasti dialami pelaku maksiat, terutama terhadap orang-orang baik yang di antara mereka. Jika keterasingan itu menguat, dia pun makin jauh dari mereka. Akibatnya, orang itu tidak dapat memperoleh berkah dengan mengambil manfaat dari orang shalih tersebut. Pelaku maksiat ini semakin dekat dengan hizbusy syaithan (golongan syaitan) sesuai dengan kadar jauhnya dia dari hizbur Rahmaan (golongan Allah). Rasa terasing ini akan bertambah kuat, bahkan semakin merajalela, sampai-sampai mempengaruhi hubungannya dengan isteri, anak, kerabat, bahkan terhadap jiwanya; hingga kamu melihatnya merasa asing meskipun terhadap diri sendiri.
Artikel Kanti Suci Project