FATMAWATI SOEKARNO
By, Rr. Rahma Kantghi Suci
Nama Lengkap,
Fatmawati Soekarno
Agama ,
Islam
Tempat Lahir, Bengkulu
Tanggal Lahir ,Senin, 5 Februari 1923
Warga Negara ,
Indonesia
Suami ,Soekarno
Anak 2 ;
Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputra , Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Mohammad Guruh
Irianto Soekarnoputra
BIOGRAFI
Fatmawati, wanita asli pribumi ini lahir di Bengkulu pada
tanggal 5 Februari 1923 dengan nama asli Fatimah. Nama Fatimah merupakan
pemberian dari kedua orang tuanya. Fatmawati merupakan keturunan dari pasangan
Hassan Din dan Siti Chadijah yang mana kedua orangtuanya adalah keturunan Puti
Indrapura atau biasa disebut seorang keluarga raja dari kesultanan Indrapura,
Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Ayah Fatmawati juga terkenal sebagai salah satu
tokoh Muhammadiyah di Bengkulu. Fatmawati dididik dan dibesarkan kedua
orangtuanya di Bengkulu.
Ketika beranjak dewasa, Fatmawati menikah dengan Presiden
Indonesia Pertama Soekarno pada tanggal 01 Juni 1943, saat itu Fatmawati
berusia 20 tahun. Dari pernikahan tersebut, secara otomatis Fatmawati menjadi
Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967.
Fatmawati merupakan istri yang ketiga dari Presiden
Pertama Indonesia, Soekarno. Pasangan Pemimpin Negara Indonesia tersebut
dikaruniai lima orang putra dan putri, di antaranya adalah Guntur
Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati
Soekarnoputri, dan yang terakhir Guruh Soekarnoputra.
Ibu Negara Indonesia Pertama ini terkenal sebagai wanita
yang berjasa dalam menjahit bendera Sang Saka Merah Putih yang dengan tegas
dikibarkan pada upacara pertama Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta
tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Fatmawati meninggal pada tanggal 14 Mei 1980 pada usia 57
tahun di Kuala Lumpur, Malaysia karena serangan jantung ketika dalam perjalanan
pulang umroh dari Mekkah. Fatmawati dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta. Saat
ini nama Fatmawati dijadikan sebuah nama Rumah Sakit di Jakarta, nama Fatmawati
Soekarno juga dijadikan sebuah nama Bandara Udara di Indonesia tepatnya di
Bengkulu, kota kelahiran Fatmawati.
Ketiga putri pasangan Presiden pertama Soekarno dan Fatmawati
ini pernah meraih penghargaan MURI di Indonesia, dan salah satu putrinya
Megawati Soekarnoputri juga pernah mengikuti jejak ayahnya dalam menduduki
kursi kepresidenan yang sekaligus merupakan Presiden Wanita Pertama di
Indonesia.
Siapa yang tidak mengenal Fatmawati Soekarno, beliau
merupakan Ibu Negara Pertama dari Presiden Pertama Indonesia yaitu Presiden
Soekarno dan juga dikenal sebagai penjahit bendera pusaka yang dikibarkan pada
saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Fatmawati Soekarno lahir pada hari Senin, 5 Pebruari 1923 Pukul 12.00 Siang di
Kota Bengkulu, sebagai putri tunggal keluarga H. Hassan Din dan Siti Chadidjah.
Masa kecil Fatmawati penuh tantangan dan kesulitan, akibat sistem kolonialisme
yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ayahandanya, Hassan Din semula
adalah pegawai perusahaan Belanda, Bersomij di Bengkulu. Tetapi karena tidak
mau meninggalkan kegiatannya sebagai anggota Muhammadiyah, ia kemudian keluar
dari perusahaan itu. Setelah itu, Hassan Din sering berganti usaha dan
berpindah ke sejumlah kota di kawasan Sumatera Bagian Selatan.
Tidak banyak diketahui orang bahwa sebenarnya Fatmawati
merupakan keturunan dari Kerajaan Indrapura Mukomuko. Sang ayah Hassan Din
adalah keturunan ke-6 dari Kerajaan Putri Bunga Melur. Putri Bunga Melur bila
diartikan adalah putri yang cantik, sederhana, bijaksana. Tak heran bila
Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan mengayomi. Jalinan cinta antara Bung
Karno dan Fatmawti pada awalnya membutuhkan perjuangan yang sangat berat. Demi
memperoleh Fatmawati yang begitu dicintainya Bung Karno dengan perasaan yang
sangat berat terpaksa harus merelakan kepergian Bu Inggit, sosok wanita yang
begitu tegar dan tulusnya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai
Indonesia Merdeka. Pahit getir sebagai orang buangan (tahanan Belanda) sering
dilalui Bung Karno bersama Bu Inggit. Namun sejarah berkata lain. Perjalanan
waktu berkehendak lain, kehadiran Fatmawati diantara Bung Karno dan Bu Inggit
telah merubah segalanya.
Pada tahun 1943 Bung Karno menikahi Fatmawati, dan oleh
karena Fatmawati masih berada di Bengkulu, sementara Bung Karno sibuk dengan
kegiatannya di Jakarta sebagai pemimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera),
pernikahan itu dilakukan dengan wakil salah seorang kerabat Bung Karno, Opseter
Sardjono. Pada 1 Juni 1943, Fatmawati dengan diantar orang tuanya berangkat ke
Jakarta, melalaui jalan darat, sejak itu Fatmawati mendampingi Bung Karno dalam
perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Perjalanan sepasang merpati penuh
cinta ini, akhirnya dikaruniai lima orang putra-putri: Guntur, Mega, Rachma,
Sukma, dan Guruh. Belum genap mereka mengarungi bahtera rumah tangga, Sukarno
tak kuasa menahan gejolak cintanya kepada wanita lain bernama Hartini. Inilah
salah satu pangkal sebab terjadinya perpisahan yang dramatis antara Sukarno dan
Fatmawati.
Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17
Agustus 1945 memancar di ufuk timur kala, embun pagi masih menggelantung di
tepian daun, para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah
Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi
hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan
bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56
Jakarta, pada pukul 10.00 pagi. Tepat pukul 10.00, dengan suara mantap dan
jelas, Soekarno membacakan teks proklamasi, pekik Merdeka pun berkumandang
dimana-mana dan akhirnya mampu mengabarkan Kemerdekaan Indonesia ke seluruh
dunia.
Kalau ada yang bertanya, apa peran perempuan menjelang
detik-detik proklamasi kemerdekaan? Tentu kita akan teringat dengan sosok
Fatmawati, istri Bung Karno. Dialah yang menjahit bendera Sang Saka Merah
Putih. Setelah itu, ada seorang pemudi Trimurti yang membawa nampan dan
menyerahkan bendera pusaka kepada Latief Hendraningrat dan Soehoed untuk
dikibarkan. Dan, semua hadirin mengumandangkan lagu Indonesia Raya di Jalan
Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Pada hari itu, Ibu Fatmawati ikut dalam upacara
tersebut dan menjadi pelaku sejarah Kemerdekaan Indonesia.
Salah satu butir keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) dalam sidangnya tanggal 19 Agustus 1945 adalah memilih Bung
Karno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pertama Republik
Indonesia. Pada tanggal 4 Januari 1946 pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan
ke Yogyakarta karena keadaan Jakarta dirasakan makin tidak aman, menyusul
hadirnya tentara NICA yang membonceng kedatangan tentara sekutu.
Ibu Fatmawai dan Bung Karno tidak pernah merayakan ulang
tahun perkawinan, Jangankan kawin perak atau kawin emas, ulang tahun pernikahan
ke-1, ke-2 atau ke-3 saja tidak pernah. Sebabnya tak lain karena keduanya tidak
pernah ingat kapan menikah. Ini bisa dimaklumi karena saat berlangsungnya
pernikahan, zaman sedang dibalut perang. Saat itu Perang Dunia II sedang
berkecamuk dan Jepang baru datang untuk menjajah Indonesia.
"Kami tidak pernah merayakan pernikahan perak atau
pernikahan emas. Sebab kami anggap itu soal remeh, sedangkan kami selalu
dihadapkan pada persoalan-persoalan besar yang hebat dan dahsyat," begitu
cerita Ibu Fatmawati di buku Bung Karno Masa Muda, terbitan Pustaka Antar Kota,
1978.
Kehidupan pernikahan Bung Karno dan Fatmawati memang
penuh dengan gejolak perjuangan. Dua tahun setelah keduanya menikah, Indonesia
mencapai kemerdekaan. Tetapi ini belum selesai, justru saat itu perjuangan
fisik mencapai puncaknya. Bung Karno pastinya terlibat dalam setiap momen-momen
penting perjuangan bangsa. Pasangan ini melahirkan putra pertamanya yaitu
Guntur Soekarnoputra. Guntur lahir pada saat Bung Karno sudah berusia 42 tahun.
Berikutnya lahir Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Putra-putri Bung
Karno dikenal memiliki bakat kesenian tinggi. Hal itu tak aneh mengingat Bung
Karno adalah sosok pengagum karya seni, sementara Ibu Fatmawati sangat pandai
menari.
Di kota gudeg itu, Ibu Fatmawati mendapatkan banyak
simpati, karena sikapnya yang ramah dan mudah bergaul dengan berbagai lapisan
masyarakat. Sebagai seorang Ibu Negara, Ibu Fatmawati kerap mendampingi Bung
Karno dalam kunjungan ke berbagai wilayah Republik Indonesia untuk
membangkitkan semangat perlawanan rakyat terhadap Belanda dan mengikuti
kunjungan Presiden Soekarno ke berbagai Negara sahabat. Peran serta wanita
dalam pembangunan telah ditunjukkan Ibu Fatmawati, beliau sering melakukan
kegiatan social, seperti aktif melakukan pemberantasan buta huruf, mendorong
kegiatan kaum perempuan, baik dalam pendidikan maupun ekonomi. Pada tahun 14
Mei 1980 ia meninggal dunia karena serangan jantung ketika dalam perjalanan
pulang umroh dari Mekah yang lalu dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta. Kata-kata
terakhir beliau sebelum meninggal waktu itu :
“Datang ke Mekah sudah menjadi pendaman cita-citaku.
Saban hari aku melakukan zikir dan mengucapkan syahadat serta memohon supaya
diberi kekuatan mendekat kepada Allah. Juga memohon supaya diberi oleh Tuhan,
keberanian dan melanjutkan perjuangan fi sabilillah. Aku berdo’a untuk
cita-cita seperti semula yaitu cita-cita Indonesia Merdeka. Jangan sampai
terbang Indonesia Merdeka."
Rumah Sakit Fatmawati pada mulanya bernama Rumah Sakit
Ibu Soekarno, terletak di Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Wilayah
Jakarta Selatan, Didirikan pada tahun 1954 oleh Ibu Fatmawati Soekarno. Semula
direncanakan untuk dijadikan sebuah Sanatorium Penyakit Paru-paru bagi
anak-anak. Pada tanggal 15 April 1961 penyelenggaraan dan pembiayaan rumah
sakit diserahkan kepada Departemen Kesehatan sehingga tanggal tersebut
ditetapkan sebagai hari jadi RS Fatmawati. Dalam perjalanan RS Fatmawati, tahun
1984 ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Jakarta Selatan dan tahun 1994 ditetapkan
sebagai RSU Kelas B Pendidikan.
Di Kota Bengkulu, sebagai kota kelahiran Ibu Fatmawati,
Pemerintah Daerah beserta seluruh elemen memberikan apresiasi terhadap Ibu
Fatmawati. Sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus untuk mengenang Ibu
Fatmawati, maka pada tanggal 14 Nopember 2001, Bandar Udara Padang Kemiling
diubah menjadi Bandar Udara Fatmawati. Perubahan nama Bandar udara ini
diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri. Perjuangan
Ibu Fatmawati selama masa sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan diakui
oleh Pemerintah Pusat, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
118/TK/2000 tanggal 4 Nopember 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, maka
Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Ibu
Fatmawati.
Sang Saka dari kain tenda warung soto
Untuk pertama kalinya, bendera merah putih berkibar
sebagai bendera kebangsaan Indonesia, pada 17 Agutus 1945 di pekarangan rumah
Soekarno di Jl Pegangsaan Timur no 56, Jakarta. Bendera bersejarah itu akhirnya
menjadi keramat bangsa dengan menyandang nama sang saka merah putih yang
terpelihara hingga kini. Namun sejarah asal mula sang saka cukup unik.
Sebagai istri tokoh pergerakan nasional paling populer
ketika itu, Ny Fatmawati juga menyadari bahwa kemerdekaan Indonesia hanyalah
soal waktu. Suaminya, Ir Soekarno mendorongnya untuk membantu menyiapkan agenda
penting; Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ny Fatmawati membantu menjahitkan
bendera merah putih yang idenya diambil dari panji kebesaran Majapahit.
Ny Fatmawati tidak membuat bendera merah putih sekali jadi.
Sebelum 16 Agustus 1945, ia sudah menyelesaikan sebuah bendera merah putih.
Namun ketika diperlihatkan ke beberapa orang, bendera tersebut dinilai terlalu
kecil. Panjang bendera itu hanya sekitar 50 cm. Tak dinyana dalam situasi
seperti itu, tekanan malah bertambah.
Tanggal 16 Agustus 1945, terjadi peristiwa
Rengasdengklok. Para pemuda menuntut Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan
Indonesia, esok hari. Bahkan, Ny Fatmawati sempat ikut dibawa ke Rengasdengklok
bersama bayinya, Guntur, sebelum dipulangkan ke Jakarta. Dus, bendera merah
putih yang baru dan lebih besar harus segera dibuat.
Malam itu juga, usai sampai di rumah, Ny Fatmawati
membuka lemari pakaiannya. Ia menemukan selembar kain putih bersih bahan
seprai. Namun ia tak punya kain merah sama sekali. Beruntung ketika itu,
beberapa pemuda terus berada di kediaman Soekarno. Salah satunya adalah Lukas
Kastaryo (Di kemudian hari masuk militer dengan pangkat terakhir brigjen).
Seperti dituturkan Lukas Kastaryo pada majalah Intisari
edisi Agustus 1991, ia lantas berinisiatif mencarikan kain merah untuk Ibu Fat.
Lukas keliling Jakarta malam itu juga. Sekian lama, akhirnya ia menemukan kain
merah yang tengah dipakai sebagai tenda sebuah warung soto. Lukas menebusnya
dengan harga 500 sen (harga yang cukup mahal kala itu), dan menyerahkannya ke
ibu Fat.
Ny Fatmawati akhirnya menyelesaikan bendera merah putih
yang baru, malam itu juga. Ukurannya 276 x 200 cm. Bendera baru ini akhirnya
dikibarkan tepat 17 Agustus 1945, dan menjadi bendera pusaka negara di
tahun-tahun sesudahnya.
Karena usia tuanya, sang Saka terakhir kali berkibar pada
tahun 1969 untuk kemudian diistirahatkan di Museum Nasional. Untuk selanjutnya,
pemerintah membuat bendera duplikat dengan ukuran (300 m X 200 m)