KARTINI TERUS BERJUANG MESKI HIDUP DALAM SUNYI
Raden Ajeng Kartini. Setiap kali mendengar nama beliau disebut, pikiran saya selalu hanyut terbawa pada kondisi masyarakat kita di masa kolonial dulu, masa dimana perempuan-perempuan bangsa kita masih terbelenggu oleh adat dan budaya yang belum berkembang seperti yang dirasakan oleh perempuan-perempuan Indonesia di masa kini.
Mendengar nama Kartini juga mengingatkan kita pada perjuangan beliau bagi emansipasi perempuan yang jejaknya bisa ditelusuri lewat surat-menyurat putri bangsawan Jawa ini dengan teman-teman Eropanya yang dikumpulkan dan diungkap oleh Tuan Abendanon dalam bukunya: “Door Duisternis Tot Licht, Gedachten van Raden Ajeng Kartini.”
Dalam perjuangan soal emansipasi perempuan, Kartini tidaklah sendiri. Dalam catatan sejarah, banyak perempuan-perempuan tangguh di banyak bangsa dan negara juga menggaungkan perjuangan serupa. Bahkan di abad ke-21, praktik yang jauh lebih mengerikan dari sekedar persoalan emansipasi, yaitu perbudakan terhadap kaum perempuan, masih saja terjadi. Salah satunya adalah kisah yang dialami oleh Nujood Ali, gadis remaja Yaman yang dipaksa menikah oleh ayahnya dengan lelaki berusia tiga kali lipat dari usianya dan diperlakukan kasar oleh ibu mertua dan suaminya. Berkat perjuangan Nujood dengan bantuan seorang pengacara Yaman, Nujood berhasil keluar dari neraka dunia, dan keberaniannya itu telah mengilhami suatu perubahan besar terhadap adat kolot yang berlaku di negeri Yaman, Nigeria dan negeri-negeri lainnya di Timur Tengah tahun 2008 lalu.
Tapi membaca lembar demi lembar dari buku karya Tuan Abendanon ini, selain rasa simpati dan kagum, ada pula perasaan pilu manakala kita menempatkan diri pada posisi Kartini sebagai pejuang emansipasi perempuan dan pengecam praktik poligami, yang dalam kehidupannya tidak mampu menolak takdir dan menghadapi kenyataan dipoligami sebagai istri keempat dari Bupati Rembang waktu itu. Maka kepada Nyonya N. van Kol (Augustus 1901) Kartini menulis;
“Velen vinden er een eer in om met onbewogen gelaat een of meer vrouwen van haar echtgenoot naast zich te verdragen; maar vraag niet, wat er onder dat stalen masker is verborgen, en wat de wanden harer woningen aan het oog der wereld ontrekken.”
(Banyak perempuan beranggapan, adalah suatu kehormatan buat menampakkan air muka tetap berseri meski suaminya mempunyai seorang atau banyak istri lainnya. Tapi jangan bertanya apa sesungguhnya yang tersembunyi dibalik penampilan wajah berseri itu, dan apa sejatinya yang terjadi dalam rumahtangga mereka yang tidak diketahui oleh orang luar).
Dan kepada Nyonya Abendanon (4 September 1901), Kartini menulis;
“Er zijn uren, waarin ‘t heen en weer geslingerde en gefolterde menschenhart in vertwijfeling vraagt: ‘Mijn God, wat is dan toch plicht?’
Zelfverloochening heet plicht: hoe kunnen twee dingen, die lijnrecht tegenover elkar staan beiden plicht heeten en zijn?
‘Blijf,’ zegt luid hierbinnen een stem, ‘blijf, bestrijd uwe eigen wenschen en verlangens ter wille van hen, die u dierbaar zijn en aan wie gij dierbaar zijt; deze, uw strijd adelt uw menschzijn.”
(Ada suatu keadaan dimana hati manusia terombang-ambing tak menentu dan tersiksa dalam kebingungan sampai ia bertanya: Allahku, apalah artinya kewajiban?
Tidak peduli pada kepentingan diri sendiri dinamakan kewajiban, begitu pula mewujudkan apa yang menjadi angan-angan juga suatu kewajiban. Bagaimana mungkin dua hal yang bertentangan satu sama lain bisa dinamakan kewajiban?
‘Yang pasti’, dengar dan ikuti suara hati kita, tetaplah kita bergulat untuk bisa menekan keinginan sendiri buat kegunaan orang yang menyinta dirimu dan engkau pun menyinta padanya: inilah suatu pergulatan yang meninggikan derajat kemanusiaan.”)
Meski hidup dalam “kesunyian” dan boleh dikata gagal dalam menjalani kehidupan rumah tangga sebagaimana yang beliau impikan, semangat Kartini untuk memperjuangkan nasib kaumnya, yaitu kaum perempuan Indonesia, tak pernah surut. Hal itu terbukti dari isi surat-surat beliau yang dibukukan oleh kawan Eropanya, yaitu Tuan Abendanon. Impian dan optimisme Kartini dalam menatap masa depan kaum perempuan Indonesia, atau Jawa khususnya, terbukti telah mengilhami dan menjadi tonggak perubahan cara pandang masyarakat kita terhadap kaum perempuan. Perempuan Indonesia modern tidak lagi ditempatkan pada posisi lemah, yaitu sekedar sebagai teman atau pasangan hidup dari kaum laki-laki, tetapi sebagai insan manusia yang bisa berkiprah di lapangan kehidupan apa saja, sama seperti kaum laki-laki pada umumnya. Oleh karena itu sangatlah tepat jika Tuan Abendanon memberi judul bukunya: “Door Duisternis Tot Lichct” atau “Habis Gelap Terbitlah Terang.”