ISLAM NUSANTARA
Istilah Islam
Nusantara sempat menimbulkan kehebohan tersendiri di tengah masyarakat
Indonesia. Beberapa kalangan mengemukakan pendapatnya tentang Islam Nusantara.
Ada yang menganggapnya sebagai agama Islam yang berkembang di Indonesia dan itu
sah-sah saja. Ada pula yang berpendapat bahwa Islam Nusantara sejatinya tidak
ada, mengingat Islam itu hanya satu dan tidak berlaku istilah Islam Nusantara
ataupun jenis Islam lainnya.
Islam Nusantara
adalah model aliran Islam yang dibentuk oleh Nahdlatul Ulama dan dikembangkan
di Nusantara (Indonesia). Islam Nusantara diperkenalkan pada tahun 2015,
sebagai bentuk gerakan denominasi masyarakat Islam di Nusantara yang menolak
denominasi Islam berdasarkan perspektif Arab dan Timur Tengah—misalnya
Wahabisme dari Arab Saudi.
Menurut Nahdlatul
Ulama, akar Islam Nusantara dapat dilacak setidaknya sejak abad ke-16, sebagai
hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, interpretasi, dan
vernakularisasi terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam yang universal, yang
sesuai dengan realitas budaya Indonesia. Islam nusantara didefinisikan sebagai
penafsiran Islam yang mempertimbangkan budaya dan adat istiadat lokal di Indonesia
dalam merumuskan fikihnya.
Pada Juni 2015,
Presiden RI Joko Widodo telah secara terbuka memberikan dukungan kepada Islam
Nusantara, yang merupakan bentuk Islam yang moderat dan dianggap cocok dengan
nilai budaya Indonesia.
Islam Nusantara
adalah istilah yang sempat memicu perdebatan di antara para ulama di Indonesia.
Ada yang berpendapat bahwa Islam Nusantara sebagai istilah yang mengacu pada
Islam yang berkembang di Nusantara atau Indonesia adalah hal yang sah-sah saja.
Sementara itu,
beberapa ulama yang lain berpendapat bahwa tidak diperlukan Islam Nusantara,
karena sejatinya Islam hanya satu dan telah sempurnah sehingga tidak
membutuhkan Islam lainnya.
Istilah Islam Nusantara
Banyak kalangan
yang menolak labelisasi Nusantara pada Islam. Karena bagi mereka Islam berlaku
universal dan tidak bisa disempitkan dengan pelabelan dengan sesuatu apapun.
Menambahkan kata Nusantara telah menghilangkan identitas rahmatan lil ‘alamin
dari Islam sebagai agama yang sempurna. Lalu apakah Islam Nusantara artinya
menyempitkan Islam?
Istilah Islam
Nusantara terdiri dari dua kata, yakni Islam dan Nusantara. Dikutip dari tesis
berjudul "Kajian Ayat-Ayat Multikultural dalam Tafsir al-Azhar Karya Hamka
dan Tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab" karya Rozi Umam (2018),
Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan
Rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman.
Nabi Muhammad SAW
mengajarkan bahwa Islam memiliki lima ajaran pokok, yakni “Islam adalah
bersaksi sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan puasa dan menunaikan
haji bagi yang mampu.”
Selain itu Islam
memiliki dua sumber pokok yang menjadi pedoman, yakni Alquran dan Hadits.
Sementara itu,
Nusantara merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah kepulauan
yang membentang dari Sumatera sampai Papua, yang sebagian besar bagiannya
merupakan wilayah Negara Republik Indonesia. Kata Nusantara tercatat pertama
kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) untuk
menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit.
Sementara itu
dalam artikel "Islam Nusantara: Sebuah Argumentasi Beragama dalam Bingkai
Kultural" (Interdisciplinary Journal of Communication Volume 2, No.1,
2017), disebutkan bahwa dalam Islam Nusantara, budaya merupakan bagian dari
agama, di mana awal mula Islam dapat dengan mudah diterima di Indonesia salah
satunya melalui akulturasi budaya, sehingga agama Islam terkesan merakyat
dengan masyarakat Indonesia.
Meski disebarkan
dan berkembang dengan menyesuaikan budaya setempat, ajaran pokok dalam Islam dan
sumber rujukannya tidak pernah berubah. Orang Islam di Indonesia tetap
berpegang teguh pada rukun Islam, dan selalu merujuk pada Alquran dan Hadits
sebagai sumber hukumnya.
Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa Islam Nusantara sebenarnya sama sekali tidak
menyempitkan makna Islam atau mengubah pokok ajarannya. Dapat dipahami bahwa
Islam Nusantara adalah ajaran agama yang terdapat bersumber dari Alquran dan
Hadits yang diikuti oleh penduduk asli Nusantara (Indonesia), atau orang yang
berdomisili di dalamnya.
Islam Nusantara
sesungguhnya tidak jauh beda dengan term “Islam Berkemajuan” oleh Muhammadiyah,
Islam Arab, Islam Pakistan, Islam Amerika. Penggalan istilah itu, bukan berarti
berusaha mengkotak-kotakkan Islam, apalagi membatasi makna Islam kaffah itu,
tidak sama sekali. Islam tetap Rahmatan lil alamin.
Islam Nusantara sebagai Praktik
Islam akan
menyesuaikan diri dengan tempat di mana hukum-hukumnya akan di terapkan.
Sebagai agama yang menjadi rahmatan lil alamin, Islam sangat fleksibel. Tidak
pernah memaksakan keberlakuannya bilamana kondisi masyarakat belum sanggup
menerimanya.
Dengan kata lain,
ketika masuk dan berkembang di wilayah Nusantara, Islam tidak dipraktikkan
seperti orang-orang Arab mempraktikkannya. Islam dipraktikkan dengan cara yang
menyesuaikan dengan kebudayaan yang berkembang di Nusantara, selama tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Islam Nusantara
selain mengacu pada Islam yang dipraktikkan oleh orang Indonesia, Islam
Nusantara juga dapat dipahami sebagai teknis yang dipakai untuk menggambarkan
penampakan wajah Islam di sebuah komunitas. Islam Nusantara adalah kiasan yang
mendeskripsikan Islam di Indonesia.
Jika dipahami
sebagai teknis, Islam Nusantara adalah sebuah metode atau cara dakwah, tentang
bagaimana ajaran Islam diajarkan dengan cara yang khas yang telah berkembang di
Nusantara. Misalnya, ajaran Islam diajarkan kepada masyarakat melalui pondok
pesantren yang tersebar di seluruh Nusantara.
Islam Nusantara
tidak mengubah ajaran pokok dari agama Islam. Islam Nusantara adalah istilah
yang mencerminkan Islam dengan budaya, adat istiadat, dan keramahannya.
Pemahaman itu, merupakan sebuah arti dari kontekstualisasi ajaran Islam.
Sejarah Islam Nusantara
Penyebaran Islam
di Indonesia adalah proses yang perlahan, bertahap, dan berlangsung secara
damai. Satu teori menyebutkan bahwa Islam datang secara langsung dari jazirah
Arab sebelum abad ke-8 M, sementara pihak lain menyebutkan peranan kaum
pedagang dan ulama Sufi yang membawa Islam ke Nusantara pada kurun abad ke-12
atau ke-13, baik melalui Gujarat di India atau langsung dari Timur Tengah. Pada
abad ke-16, Islam menggantikan agama Hindu dan Buddha sebagai agama mayoritas
di Nusantara. Islam yang pertama kali berkembang di Indonesia adalah cabang
dari Sunni (ahlussunnah wal-jama'ah), yang diajarkan oleh kaum ulama, para kiai
di pesantren. Model penyebaran Islam seperti ini terutama ditemukan di Jawa.
Beberapa aspek dari Islam telah memasukkan berbagai budaya dan adat istiadat
setempat.
Praktik Islam awal
di Nusantara sedikit banyak dipengaruhi oleh ajaran Sufisme dan aliran
spiritual Jawa yang telah ada sebelumnya. Beberapa tradisi, seperti menghormati
otoritas kyai, menghormati tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo, juga ikut
ambil bagian dalam tradisi Islam seperti Ziarah, tahlilan, dan memperingati
Maulid, termasuk perayaan sekaten, secara taat dijalankan oleh Muslim
tradisional Indonesia. Akan tetapi, setelah datangnya Islam aliran Wahhabi dari
Arab Saudi, golongan Islam puritan skripturalis ini menolak semua bentuk
tradisi itu dan mencelanya sebagai perbuatan syirik atau bid'ah, direndahkan
sebagai bentuk sinkretisme yang merusak kesucian Islam. Kondisi ini telah
menimbulkan ketegangan beragama, kebersamaan yang kurang mengenakkan, dan
persaingan spiritual antara Nahdlatul Ulama yang tradisional dan Muhammadiyah
yang modernis dan puritan.
Ciri-Ciri Islam Nusantara
Islam Nusantara
tidak mengubah ajaran pokok Islam. Kenyataannya, orang di Nusantara masih
menjalankan ajaran Islam sesuai ajaran pokoknya, di mana syahadat, shalat,
puaza, zakat, dan haji masih dipraktikkan oleh orang Islam di Indonesia. Selain
itu, Alquran dan Hadits masih menjadi sumber rujukan utama mengenai hukum-hukum
Islam.
Ciri utama dari
Islam ialah tawasut (moderat), rahmah (pengasih), anti-radikal, inklusif, dan
toleran. Dalam hubungannya dengan budaya lokal, Islam menggunakan pendekatan
budaya yang simpatik dalam menjalankan syiar Islam; ia tidak menghancurkan,
merusak, atau membasmi budaya asli, tetapi sebaliknya, merangkul, menghormati,
memelihara, serta melestarikan budaya lokal. Salah satu ciri utama dari Islam
merupakan mempertimbangkan unsur budaya Indonesia dalam merumuskan fikih.
Islam dikembangkan
secara lokal melalui institusi pendidikan tradisional pesantren. Pendidikan ini
dibangun berdasarkan sopan santun dan tata krama ketimuran; yakni menekankan
penghormatan kepada kiai dan ulama sebagai guru agama. Para santri memerlukan
bimbingan dari guru agama mereka agar tidak tersesat sehingga mengembangkan
paham yang salah atau radikal. Salah satu aspek khas adalah penekanan pada
prinsip rahmatan lil-'alamin (rahmat bagi semesta alam) sebagai nilai universal
Islam, yang memajukan perdamaian, toleransi, saling hormat-menghormati, serta
pandangan yang berbineka dalam hubungannya dengan sesama umat Islam, ataupun
hubungan antaragama dengan pemeluk agama lain.
Dengan kata lain,
hal yang membedakan Islam Nusantara tidak terletak dari ajaran pokok Islam. Hal
yang membuat Islam Nusantara berbeda, adalah hal yang di luar ajaran Islam.
Adapun ciri-ciri Islam Nusantara antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Moderat. Moderasi Islam dengan paham
moderat. Muslim Indonesia menjunjung tinggi toleransi karena hidup di negara
dengan enam agama yang diakui, oleh karena itu umat Islam di Indonesia tidak
boleh berlaku ekstrim. Kehidupan antar umat beragama harus seimbang.
2. Inklusif. Ini karena warga Nusantara sangat
menjaga tradisi tempat tinggalnya. Akibatnya, nilai-nilai Islam tetap masuk
secara inklusif dalam tradisi tersebut.
Beberapa pemikir
Muslim mengemukakan gagasan mereka. “Islam Nusantara ialah paham dan praktek
keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika antara teks syariat dengan
realitas budaya setempat.” (Muhajir dalam Sahal & Aziz, 2015: 67). “Islam
Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis
dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, adat istiadat di tanah air.” (Bizawie
dalam Sahal & Aziz, 2015: 239).
Definisi pertama
menjelaskan bahwa Islam Nusantara merupakan paham Islam yang substansi dan
implementasinya terjadi di wilayah Nusantara dalam bentuk pertautan antara
wahyu dan budaya Nusantara, yang menjadikan Islam Nusantara memiliki nuansa
khas Nusantara. Sedangkan definisi kedua menyatakan bahwa Islam Nusantara
merupakan Islam yang mempunyai karakter Indonesia, hasil interaksi nilai-nilai
Islam teologis dengan tradisi Indonesia. Definisi kedua mempersempit ruang
lingkupnya menjadi hanya wilayah Indonesia, lebih sempit dari pengertian
pertama yang menyebut bumi Nusantara di mana tidak turut dijelaskan batasan
Nusantara itu mencakup wilayah mana saja.
Pro dan kontra
soal Islam Nusantara juga terjadi di media sosial. Pihak yang pro berjuang
keras menggunakan penalarannya dalam beragumentasi agar Islam Nusantara dapat
diterima semua kalangan. Semantara pihak yang kontra berusaha menyerang dan
mematahkan semua argumen yang dibangun pihak pro Islam Nusantara. Tuduhan pihak
kontra terasa agak ambigu dengan mencurigai gagasan Islam Nusantara merupakan
produk Barat.
Pihak kontra meyakini
bahwa Islam itu hanya satu, yaitu Islam yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. Islam
tidak bisa diberikan julukan berdasarkan metode pendekatan maupun kawasan
seperti Islam Nusantara. Islam dengan ciri khas seperti Islam Nusantara
dipandang negatif dan diyakini hal itu salah. Di mata mereka, kelompok pro
Islam Nusantara dianggap sebagai ahli bid’ah, karena berbeda dengan Islam ideal
dalam pandangan mereka. Islam Nusantara, menurut mereka, tidak lagi murni
karena dimasuki paham dari luar.
Pihak pro, di sisi
lain, mendapat dukungan dari para pemikir Muslim. Dalam kesimpulan mereka,
Islam memang satu namun ekspresinya beragam. Islam Nusantara menunjukkan
ekspresi karakteristik Islam Indonesia yang khas dan tidak dimiliki Islam di
belahan bumi lain. Ali (Ali, 2006: 10) menjelaskan bahwa Islam itu satu.
Tetapi, ketika Islam telah membumi, pemahaman dan ekspresi umatnya sangat
beragam. Fanani (Fanani, 2004: 116) juga menyatakan bahwa fenomena keberagaman
umat dewasa ini seperti pendulum yang sangat warna warni. Islam tidak dipandang
lagi secara tunggal melainkan majemuk. Shihab (Shihab, 1998: 249) mensinyalir
bahwa ada cendekiawan kontemporer memperkenalkan adanya ‘versi’ Islam regional
dan Islam universal. Adapun Ma’arif (Ma’arif, 2009: 181) mengungkapkan, “Sebuah
Islam, seribu satu ekspresi.”
Wilayah Nusantara
memiliki sejumlah keunikan yang bereda dengan keunikan di negeri-negeri lain,
mulai keunikan geografis, sosial politik
dan tradisi peradaban (Ghozali dalam Sahal & Aziz, 2015: 115). Keunikan Nusantara
membentuk wajah Islam Nusantara yang jauh berbeda dengan wajah Islam di Timur
Tengah. Islam Nusantara memiliki ciri ramah, terbuka, inklusif dan mampu
memberi solusi terhadap masalah bangsa dan negara (Bizawie dalam Sahal &
Aziz, 2015: 240). Menjadi wajar kiranya wajah Islam Nusantara memiliki
karakteristik yang berbeda dengan wajah Islam di kawasan lainnya.
Islam disebarkan
di Indonesia secara damai, tanpa kekerasan, dan tanpa paksaan. Ulama pendakwah
Islam, terutama Walisongo, tidak mudah dalam mendakwahkan Islam di Indonesia.
Dengan fakta bahwa mayoritas masyarakat memeluk Hindu dan Budha serta masih
berkuasanya beberapa kerajaan Hindu dan Budha di Nusantara mengharuskan mereka
berdakwah dengan beragam cara dan tidak monoton. Beberapa metode di antaranya adalah
interaksi perdagangan, pendidikan, pernikahan, dan akulturasi budaya.
Unsur-unsur
akulturasi budaya, hemat kami, menjadi yang paling membekas sekaligus
menantang. Ritual ala Hindu yang telah membudaya di masyarakat Nusantara dan
‘berpotensi’ disebut syirik diperkaya dnegan nilai-nilai keislaman. Peringatan
7 hari wafat dan 40 hari wafat diimbuhi kegiatan yasinan dan tahlilan serta
doa-bersama khusus untuk orang yang meninggal.
Dakwah Islam oleh
para ulama menyesuaikan kondisi dan situasi di Nusantara saat itu. Jika boleh
berandai, Islam tidak akan pernah hidup di Nusantara seperti sekarang ini jika
saat itu Islam didakwahkan disebarkan dengan paksaan dan kekerasan. Pendakwah
Islam di Nusantara khususnya Walisongo sangat paham kondisi masyarakat Nusantara
saat itu, sehingga mereka menyebarkan Islam melakukan pendekatan-pendekatan
yang dapat diterima oleh masyarakat. Budaya asli masyarakat Nusantara tidak
serta merta ditolak, namun justru diterima dengan baik beberapa modifikasi dan
selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.