Tafsir Mimpi Dalam Sudut Pandang Islam
Tafsir mimpi adalah bagian dari ikhtiar untuk menangkap petunjuk. Namun, tak semua mimpi bisa dijadikan petunjuk.
Ketika mengalami mimpi buruk, sebaiknya seorang muslim tidak menceritakannya kepada siapapun.
Istilah mimpi dalam bahasa Arab disebut dengan ar-Ru'ya dan al-Hulm. Keduanya sama-sama memiliki arti mimpi. Ar-Ru'ya digunakan sebagai sebutan untuk mimpi yang baik, sementara al-Hulm digunakan untuk menyebut mimpi yang buruk.
Terdapat penjelasan bahwa mimpi yang baik datangnya dari Allah SWT, adapun mimpi buruk berasal dari setan. Rasulullah SAW menerangkan dalam sabdanya: "Ar-Ruya (mimpi) yang benar itu datang dari Allah, sedangkan al-Hulm berasal dari setan," (HR. al-Bukhari)
Mimpi Baik Dikirimkan oleh Malaikat
Allah SWT mengirimkan mimpi ke dalam tidur manusia melalui perantara malaikat. Hakikat mimpi dijelaskan oleh Ibnu Hajar dan Al Hakim yang mengatakan bahwa Allah SWT menugaskan malaikat untuk mengurus mimpi manusia dengan melihat Lauh Mahfudz.
Atas perintah ini, kemudian malaikat membuat perumpamaan dari setiap kisah manusia. Ketika manusia tidur, malaikat membuat permisalan dari kisah hidupnya secara baik. Oleh karenanya mimpi bisa kabar gembira, peringatan ataupun teguran.
Lain halnya dengan mimpi buruk. Mimpi buruk bukan dikirimkan oleh malaikat, melainkan oleh setan. Setan menguasai diri manusia yang kemudian membuat tipu daya dengan tujuan menjerumuskan dalam kesesatan.
Ibnul Qayyim RA pernah mengatakan tentang hakikat mimpi: "Mimpi merupakan permisalan yang dibuat malaikat yang ditugaskan Allah SWT untuk mengurusi persoalan mimpi agar orang yang bermimpi dapat mengambil petunjuk dari permisalan yang telah digambarkan baginya dan mengungkap apa yang samar baginya."
Penyebutan Mimpi dalam Al-Qur'an dan Hadits
Mengutip buku Rahasia Terlengkap Dahsyatnya Mukjizat Shalat Tahajjud yang ditulis oleh Abu Abbas Zain Musthofa al-Basuruwani, terdapat beberapa pembahasan mimpi dalam Al-Qur'an. Adapun pembahasan tersebut juga berkaitan erat dengan mimpi-mimpi yang dialami oleh nabi-nabi-Nya.
Seperti misalnya surat Al Fath ayat 27 yang menceritakan mimpi Nabi Muhammad SAW, surat Ash Shaafaat ayat 102-105 yang menceritakan mimpi Nabi Ibrahim AS, dan surat Yusuf ayat 4-6 yang menceritakan mimpi Nabi Yusuf AS.
Penyebutan mimpi dalam Al-Qur'an menjelaskan tentang karamah para wali Allah dan bukti betapa Allah sangat memelihara dan mengasihi mereka. Ayat-ayat tersebut juga menjelaskan ciri-ciri wali Allah, yakni para hamba yang beriman dan memiliki ketakwaan sempurna.
Adapun yang paling menonjol adalah penjelasan tentang kecintaan Allah kepada para wali-Nya yaitu dengan selalu memberikan berita gembira (al-busyra al-ilahiyyah) kepada mereka, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Senada dengan firman-firman Allah, menukil buku Petunjuk Nabi Tentang Mimpi yang disusun oleh Ahmad bin Sulaiman Al-Uraini, dijelaskan bahwa mimpi dalam pandangan Islam juga merupakan bagian dari kenabian.
Salah satu contohnya ada ada pada hadits shahih berikut ini: "Dari Anas bin Malik RA, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, 'Mimpi yang baik dari seorang yang shaleh adalah satu bagian dari 46 bagian kenabian'."
Namun, alim ulama menafsirkan hadits-hadits yang berkaitan dengan mimpi orang shaleh dan merupakan bagian dari kenabian adalah mimpinya para nabi saja karena berupa sebuah petunjuk atau wahyu.
Mimpi yang dijalani oleh selain para nabi bukanlah sebagian dari kenabian. Oleh karena itu, setidaknya terdapat beberapa jenis mimpi yang kerap kali mendatangi tidur seorang muslim.
Jenis-Jenis Mimpi
Penggolongan mimpi pernah disebutkan Rasulullah SAW terdiri dari tiga macam mimpi. Golongan tafsir mimpi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Mimpi baik yang merupakan kabar gembira dari Allah,
2. Mimpi karena bawaan pikiran seseorang (ketika terjaga), dan
3. Mimpi menyedihkan yang datang dari setan.
Jika kalian mimpi sesuatu yang tak kalian senangi, maka jangan kalian ceritakan pada siapa pun, berdirilah dan shalatlah!." (HR Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut, tiga jenis mimpi tersebut yakni :
1. Mimpi yang baik dan benar dari Allah SWT
2. Mimpi dari diri sendiri atau ungkapan perasaan jiwa
3. Mimpi yang buruk dari setan
Adab Menghadapi Mimpi Buruk atau Baik
Berdasarkan tiga pengkategorian mimpi tersebut, Rasulullah SAW mengingatkan umat muslim agar senantiasa bersyukur tatkala mendapatkan mimpi yang baik saat sedang tertidur. Mimpi yang dikirimkan oleh Allah SWT ini boleh diceritakan kepada orang lain.
"Apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang ia sukai, maka sesungguhnya ia datang dari Allah, maka bertahmid lah (mengucapkan Alhamdulillah) dan kabarkan mimpi baik tersebut kepada orang lain." (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW juga mengajarkan hal yang harus dilakukan ketika mendapat mimpi buruk yang berasal dari setan. Hal ini diterangkan dalam sabda Rasulullah:
"Apabila salah seorang dari kalian melihat mimpi yang ia benci, maka hendaknya ia meludah ke kiri sebanyak tiga kali dan berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan sebanyak tiga kali dan ubahlah posisi tidurnya dari posisi sebelumnya ke posisi lainnya." (HR. Muslim)
Tafsir mimpi termasuk disiplin pengetahuan yang paling sulit dipelajari jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain, sebab mimpi merupakan salah satu bagian dari wahyu kenabian, sehingga tidak semua mimpi bisa ditafsirkan dan tidak semua orang bisa secara sembarangan menafsirkan arti dari sebuah mimpi. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengelompokkan jenis mimpi menjadi tiga bagian. Dalam salah satu haditsnya, beliau bersabda :
وَالرُّؤْيَا ثَلَاثٌ، الحَسَنَةُ بُشْرَى مِنَ اللَّهِ، وَالرُّؤْيَا يُحَدِّثُ الرَّجُلُ بِهَا نَفْسَهُ، وَالرُّؤْيَا تَحْزِينٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ رُؤْيَا يَكْرَهُهَا فَلَا يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا وَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ
Artinya : “Mimpi itu ada tiga. Mimpi baik yang merupakan kabar gembira dari Allah, mimpi karena bawaan pikiran seseorang (ketika terjaga), dan mimpi menyedihkan yang datang dari setan. Jika kalian mimpi sesuatu yang tak kalian senangi, maka jangan kalian ceritakan pada siapa pun, berdirilah dan shalatlah!” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits di atas dapat dipahami bahwa tidak semua mimpi yang dialami oleh seseorang dapat dijadikan sebagai petunjuk, sebab ada kemungkinan mimpi yang dialami bukan berasal dari petunjuk Allah, tapi karena bisikan setan atau tersibukkannya seseorang dalam memikirkan suatu objek tertentu hingga objek itu terbawa dalam mimpinya.
Mimpi yang dapat dijadikan pijakan adalah mimpi yang betul-betul berasal dari petunjuk Allah subhanahu wa Ta’ala. Dalam Al-Qur’an dijelaskan :
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
Artinya : “Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat” (QS Yunus: 64).
Makna “berita gembira” dalam ayat tersebut adalah mimpi baik yang dialami oleh seorang Muslim. Dalam salah satu Hadits, makna ayat di atas dijelaskan :
هِيَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ، يَرَاهَا الْمُسْلِمُ، أَوْ تُرَى لَهُ
Artinya : “Yang dimaksud kegembiraan dalam ayat di atas adalah mimpi yang baik yang terlihat oleh orang Muslim atau yang diperlihatkan padanya” (HR Ibnu Majah).
Maka tidak heran jika dalam menentukan sebagian dari hukum syariat (Hukum Wadl’i), Nabi Muhammad menjadikan dasar penetapannya pada sebuah mimpi yang dialami oleh para sahabat. Misalnya dalam menentukan pensyari’atan adzan yang berdasarkan mimpi Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khattab.
Hal ini merupakan salah satu contoh dari mimpi yang merupakan petunjuk dari Allah.
Untuk membedakan antara mimpi yang benar-benar petunjuk dari Allah dengan mimpi yang berasal dari bisikan setan salah satunya dengan menandai waktu terjadinya mimpi tersebut. Jika mimpi terjadi pada dini hari atau saat waktu sahur maka kemungkinan besar mimpi itu adalah mimpi yang benar dan dapat ditafsirkan. Sedangkan mimpi yang dipandang merupakan bisikan dari setan adalah mimpi yang terjadi pada awal-awal malam atau saat petang. Ketentuan ini seperti yang dijelaskan oleh Ibnu al-Jauzi :
وَأَصْدَقُ الرُّؤْيَا: رُؤْيَا الْأَسْحَارِ، فَإِنَّهُ وَقْتُ النُّزُولِ الْإِلَهِيِّ، وَاقْتِرَابِ الرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ، وَسُكُونِ الشَّيَاطِينِ، وَعَكْسُهُ رُؤْيَا الْعَتْمَةِ، عِنْدَ انْتِشَارِ الشَّيَاطِينِ وَالْأَرْوَاحِ الشَّيْطَانِيَّةِ
Artinya : “Mimpi yang paling benar adalah di waktu sahur, sebab waktu tersebut adalah waktu turunnya (isyarat) ketuhanan, dekat dengan rahmat dan ampunan, serta waktu diamnya setan.
Kebalikannya adalah mimpi di waktu petang (awal waktu malam)” (Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Madarij as-Salikin, juz 1, hal. 76). Memiliki kemampuan untuk memahami arti dari mimpi termasuk salah satu bentuk keistimewaan.
Hal ini salah satunya dibuktikan dari pemberian keistimewaan mampu menafsirkan mimpi dari Allah kepada Nabi Yusuf yang dijelaskan dalam firman-Nya :
وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ وَلِنُعَلِّمَهُ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya : “Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya takwil mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti” (QS Yusuf:21)
Dengan demikian, mempelajari ilmu tentang tafsir mimpi bukanlah hal yang terlarang. Bahkan oleh sebagian ulama ilmu ini dimasukkan dalam kategori ilmu syariat. Salah satu yang berpandangan demikian adalah antropolog terkemuka Muslim, Ibnu Khaldun. Berikut pandangan beliau tentang ilmu tafsir mimpi :
علم تعبير الرؤيا. هذا العلم من العلوم الشرعية وهو حادث في الملة عندما صارت العلوم صنائع، وكتب الناس فيها. وأما الرؤيا والتعبير لها، فقد كان موجوداً في السلف كما هو في الخلف
Artinya :“Ilmu Tafsir Mimpi. Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu syariat dan merupakan ilmu yang baru dalam agama tatkala ilmu-ilmu dijadikan sebuah pekerjaan dan manusia menuliskan tentang ilmu. Sedangkan mimpi dan tafsir mimpi sebenarnya telah wujud di zaman salaf (terdahulu) seperti halnya juga wujud di zaman khalaf (masa kini) (Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 288). Selain itu, sebagai bentuk apresiasi, Islam menganjurkan agar seseorang berusaha mencari makna atau tafsir dari mimpi yang dialami, sebab dalam sebuah mimpi terdapat pengetahuan tentang hal-hal gaib yang tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia. Hal ini seperti dijelaskan dalam dua kitab hadits di bawah ini :
وفي الحديث الحث على علم الرؤيا والسؤال عنها وتأويلها
Artinya : “Dan dalam hadits terdapat motivasi untuk mempelajari ilmu tentang mimpi, bertanya tentang mimpi dan tafsir dari mimpi” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh an-Nawawi li al-Muslim, Juz 15, Hal. 30)
وَفِيهِ الْحَثُّ عَلَى تَعْلِيمِ عِلْمِ الرُّؤْيَا وَعَلَى تَعْبِيرِهَا وَتَرْكِ إِغْفَالِ السُّؤَالِ عَنْهُ وَفَضِيلَتِهَا لِمَا تَشْتَمِلُ عَلَيْهِ مِنَ الِاطِّلَاعِ عَلَى بَعْضِ الْغَيْبِ وَأَسْرَارِ الكائنات
Artinya : “Dan dalam hadits terdapat motivasi untuk mengajarkan ilmu tentang mimpi, tafsir mimpi, tidak lupa menanyakan tentang mimpi dan keutamaan mimpi".
Sebab di dalam mimpi terkandung pengetahuan terhadap sebagian hal yang gaib dan rahasia alam” (Syekh Al-Hafiz Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, juz 12, hal. 437)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mimpi memiliki berbagai macam kategori dan memiliki pengetahuan tentang tafsir mimpi adalah suatu bentuk keistimewaan sebab mempelajarinya adalah bagian dari mempelajari ilmu syariat. Namun meski demikian, hendaknya dalam melangkah untuk mempelajari ilmu ini seseorang terlebih dahulu menguasai ilmu-ilmu syariat yang bersifat fardlu ‘ain baginya, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, dan ilmu-ilmu syariat lainnya. Hal ini dimaksudkan agar seseorang memiliki fondasi ilmu agama yang mumpuni dan tidak mudah tertipu dengan hal-hal gaib yang ternyata merupakan bisikan dari setan atau khayalan pribadinya.
Kesimpulan :
Pertama, mimpi dalam Islam diyakini selain karena aspek fikiran maupun psikis mimpi juga berhubungan dengan ilham atau wahyu yang berfungsi sebagai kabar gembira bagi seorang hamba, ujian keimanan, petikan dari sebagian kejadian di masa depan untuk mempersiapkan diri menghadapinya saat waktunya tiba dan menumbuhkan spirit dalam berjuang.
Kedua, dalam menyikapi mimpi baik Mu'abbir maupun yang bermimpi untuk selalu berbaik sangka dan tidak sembarangan menceritakannya, kecuali kepada orang yang tepat, bila mimpinya baik maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah swt. dan boleh menceritakannya kepada orang yang dicintai atau kepada orang yang alim sedang bila mimpinya buruk maka itu tidak boleh diceritakan kepada siapapun dan tidak akan berakibat buruk dalam kehidupan nyata dan untuk menghilangkan pengaruh buruknya dia disunnahkan meludah kekiri, berlindung kepada Allah SWT dan mengubah posisi tidur.
Ketiga, semua kejadian hidup ini karena kehendak Nya dan pasrah kepada Nya dengan menjalankan perintah Nya dan menjauhi larangan Nya.
Aamin semoga pembaca artikel blogger ini di lindungi oleh Allah SWT.
Kanti Suci Project