Hakikat Allah
Di dalam ajaran tarekat, Allah sebagai "zat' tidak mungkin bisa dikenal. Bahkan dikatakan, kalau ada yang mengenal Allah sebagai 'zat," itu adalah kemudyrikan yang nyata. Kita hanya dapat mengenal-Nya sebagai sifat. Artinya juga, kita hanya dapat mengenal-Nya sebatas Dia mengenalkan diri-Nya kepada kita. Seperti yang saya tulis kemarin, ada aku-Nya Tuhan yang kita sandang. Aku-Nya Tuhan ini dikenal dengan sifat ma'ani. Koreksi saya kalau tersalah dalam hal ini. Apa yang saya kemukakan ini, sama dan sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh para ahli, berikut :
Manusia tidak dapat melihat dalam arti menjangkau hakikat Allah dengan nalarnya. "Ketuhanan adalah sesuatu yang hanya dimiliki Allah, tidak dapat tergambar dalam benak sesuatu yang mengenalnya kecuali Allah atau yang sama dengan-Nya dan, karena tidak ada yang sama dengan-Nya, tidak ada yang mengenalnya kecuali Allah." Demikian tulis al-Ghazâli dalam bukunya “al-Maqshadul-Asna" yang membahas tentang Asma' al- Husnâ."
Benar apa yang diucapkan oleh al-Junaid (W. 910 M) -tulis al-Ghazâli selanjutnya bahwa: “Tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah yang Mahatinggi sendiri. Karena itu, Dia tidak menganugerahkan kepada hamba-Nya yang termulia, Nabi Muhammad saw., kecuali 'nama' yang diselubungi dengan firman-Nya, (QS. al-A'lâ [87]: 1) :
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْاَعْلَىۙ 1
1. Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi,
Demi Allah tidak ada yang mengetahui Allah kecuali Allah sendiri, di dunia dan di akhirat."
Karena itu-tulis al-Ghazâli pada bagian lain dari bukunya di atas "Jika Anda bertanya apakah puncak pengetahuan orang-orang arif tentang Allah?" Saya menjawab, kata al-Ghazâli, "Puncak pengetahuan orang-orang arif adalah ketidakmampuan mengenal-Nya, itulah yang diisyaratkan oleh ( لا احصي ثناءا عليك انت كما اثنيت على نفسك ) .
Sabda Nabi Muhammad saw "Saya tidak menjangkau pujian untuk-Mu dan mencakup sifat-sifat ketuhanan-Mu hanya Engkau sendiri yang mampu untuk itu" (HR. Ahmad).
Sungguh indah ilustrasi yang dikemukan oleh ulama besar dan filosof muslim, Abdul Karim al-Kahtib, menyangkut hal ini. Dalam bukunya "Qadiyatul-Ulûhiyah Bainal Falsafah wa ad-Din", dia menulis lebih kurang seperti berikut:
Yang melihat/mengenal Tuhan, pada hakikatnya hanya melihat-Nya melalui wujud yang terhampar di bumi serta yang terbentang di langit. Yang demikian itu adalah penglihatan tidak langsung, itu pun memerlukan pandangan hati yang tajam, akal cerdas, dan kalbu Mampukah Anda dengan membaca kumpulan syair seorang penyair atau mendengar gubahan seorang komposer, dengan melihat lukisan pelukis atau pahatan pemahat; mampukah Anda dengan melihat hasil karya seni mereka mengenal mereka, tanpa melihat mereka secara langsung?
Memang, Anda bisa mengenal selayang pandang tentang mereka, bahkan boleh jadi melalui imajinasi Anda dapat membayangkannya sesuai kemampuan Anda membaca karya seni. Namun, Anda sendiri pada akhirnya akan sadar bahwa gambaran yang dilukiskan oleh imajinasi Anda menyangkut para seniman itu bersifat pribadi dan merupakan ekspresi dari perasaan Anda sendiri. Demikian juga yang dialami orang lain yang berhubungan dengan para seniman itu, masingmasing memiliki pandangan pribadi yang berbeda dengan yang lain. Kalaupun ada yang sama, persamaan itu dalam bentuk gambaran umum menyangkut kekaguman dalam berbagai tingkat. Kalau demikian itu adanya dalam memandang seniman melalui karya-karya mereka, bagaimana dengan Tuhan, sedang Anda adalah setetes dari ciptaan-Nya?
Apakah setelah ini Anda masih akan menjawab tuntas dengan akal pikiran Anda apa dan siapa Tuhan? Terserah! Tapi, yakinlah bahwa apa yang diinformasikan oleh akal Anda hanya setetes dari samudra. Kalaulah semua hasil pemikiran manusia dikumpulkan, itu pun hanya bagaikan sedetik dari waktu yang terbentang ini.
Karena itu, ketika Abû Bakar ash-Shiddiq ra. ditanya. "Bagaimana Anda mengenal Tuhan Anda?" Beliau menjawab, "Aku mengenal Tuhan melalui Tuhanku. Seandainya Dia tak Ada, Aku tak mengenal-Nya." Selanjutnya, ketika beliau ditanya "Bagaimana Anda mengenal-Nya?" Beliau menjawab, "Ketidakmampuan mengenal-Nya adalah pengenalan."
Ali bin Abi Thalib ra. pernah ditanya oleh sahabatnya, Zi'lib al-Yamani: "Amirul Mukminin, apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?"
"Bagaimana aku menyembah apa yang tidak kulihat?" jawab beliau, "Bagaimana engkau melihat-Nya?" tanya Zi'lib. "Dia tidak dapat dilihat dengan pandangan mata, tetapi dijangkau oleh akal dengan hakikat keimanan."
Yang beliau maksud dengan akal di sini bukan, sebagaimana pemahaman kita dewasa ini, tentang makna akal yang merupakan daya nalar. Akal dalam pengertian gabungan antara daya kalbu dan daya nalar yang menghasilkan "ikatan" yang menghalangi manusia melakukan hal-hal negatif. Ungkapan beliau itu menunjukkan bahwa jangkauan itu bukan jangkauan nalar secara langsung, tetapi jangkauan nalar dan kalbu berdasar keimanan tentang sesuatu yang tidak dapat terjangkau. Jawaban ini serupa dengan jawaban Abu Bakar ash-Shiddiq ra. yang telah dikutip sebelum ini (ajo) "Ketidakmampuan mengenal-Nya adalah pengenalan."
Hakikat Wujud ALLAH SWT dalam Diri Manusia
Agama-agama samawi dan para ulama akhlak sangat menekankan masalah perenungan dan pengenalan diri. Karena selama manusia tidak mengenal dirinya dan mengetahui potensi serta kemampuannya baik secara fisik maupun mental, maka dia tidak akan mengetahui kedudukannya yang sebenarnya di alam semesta ini. Tanpa pengenalan diri, manusia tidak akan mengetahui mengapa dia diciptakan. Oleh karena itu, dia juga tidak akan dapat menalar kepribadian dan nilai-nilainya.
Dalam surat Al-Maidah ayat 105, Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ ۖلَا يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ ۚإِلَى اللَّـهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Dalam ayat tersebut, orang-orang yang beriman ditekankan untuk mengenal hakikat dirinya. Dalam berbagai riwayat juga ditekankan masalah makrifatun nafs atau pengenalan diri sebagai jembatan untuk mencapai makrifat tentang wujud kesempurnaan mutlak Allah Swt. Imam Ali as dalam hal ini mengatakan, “Barang siapa mengenal dirinya, maka dia telah mengenal Tuhannya.” Karena manusia yang mengenal sifat-sifat dan potensi dirinya, maka tidak mungkin dia meninggalkan introspeksi diri. Adapun selama manusia belum mampu mengintrospeksi dirinya, maka dia akan tenggelam dalam urusan materi dan hawa nafsu, serta tidak dapat mengenal alam spiritualitas dan Allah Swt.
Al-Quran telah memberikan banyak penjelasan tentang hakikat wujud manusia. Allah Swt dalam surat Shad berfirman:
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
Artinya: “Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”.
Dengan demikian, ketika manusia memahami bahwa hakikat ruhnya adalah ruh Allah Swt dan merupakan makhluk yang paling dekat dengan-Nya, maka dia akan merasakan kebanggaan yang luar biasa besar. Memahami hal tersebut, manusia akan mengetahui betapa tinggi derajatnya dan tidak akan mengorban derajat tersebut demi mendekati kenistaan. Dengan kata lain, memahami kesucian hakikatnya, manusia juga akan dapat memahami dengan baik nilai-nilai akhlak dan sosial.
Dalam surat Al-Mukminun ayat 14, Allah Swt berfirman:
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚفَتَبَارَكَ اللَّـهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
Artinya: “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
Alalh Swt juga telah menjelaskan bahwa seluruh yang ada di langit dan bumi, semuanya diciptakan untuk manusia dan diamanahkan kepadanya. Dalam surat Al-Luqman ayat 20, Allah Swt berfirman:
أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّـهَ سَخَّرَ لَكُم مَّا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً ۗوَمِنَ النَّاسِ مَن يُجَادِلُ فِي اللَّـهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُّنِيرٍ
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
Pada hakikatnya, Al-Quran menjelaskan kepada manusia bahwa dia bukan makhluk yang tercipta secara kebetulan seperti akibat dari benturan atom dan molekul. Melainkan diciptakan dan terpilih sebagai makhluk terunggul di alam semesta ini. Oleh karena itu, manusia pula yang mengemban risalah dan kepemimpinan. Seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖقَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖقَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Al-Quran menyebut manusia sebagai makhluk terunggul serta khalifah Allah Swt di muka bumi bahkan para malaikat pun bersujud kepadanya. Akan tetapi pada saat yang sama, Al-Quran juga menjelaskan kelemahan, ketergesaan, kesombongan dan ketamakan yang dimiliki manusia. Manusia memiliki potensi untuk berkembang dan sempurna, namun pada saat yang sama juga berpotensi menyimpang dan tergelincir. Manusia berada di antara dua pilihan untuk sempurna atau tersesat. Jika memilih untuk mencapai kesempurnaan, maka para malaikat tidak akan dapat menandinginya, namun jika memilih jalan kegelapan, maka manusia akan lebih hina dari binatang.
Mengetahui potensi, kemampuan dan kekuatannya sendiri, akan menjadi sumber seluruh amal perilakunya menuju kesempunaan. Kemampuan manusia memilih itu sendiri yang akan menjadi alasan mengapa dia akan dimintai pertanggung jawaban atas perbuatannya. Semakin dalam manusia mengenali dirinya, maka semakin banyak pula potensi yang akan terbuka baginya. Ketika manusia telah mengenali diri dan kepribadiannya, maka pencapaian menuju kesempurnaan sudah bukan lagi menjadi opsi melainkan keharusan baginya.
Pada awal penciptaannya dari setetes benih kecil dan tidak berarti, ketika masuk ke alam rahim, dengan cepat dia berubah dan sempurna secara fisik. Sperma yang tidak bernilai itu dengan cepat berubah menjadi manusia yang utuh. Menurut seorang pakar, “Kota yang besar ini dengan ribuan pintu dan gerbang yang menarik, ribuan pabrik, gudang, jaringan pipa, serta berbagai pusat kontrol, hubungan yang rumit dan berbagai tugasnya, pada sebuah sel, termasuk di antara kota terumit dan menakjubkan yang jika kita ingin membangun kota tersebut dengan kinerja yang sama, maka kita memerlukan puluhan ribu hektar, berbagai pabrik dan gedung serta mesin yang sangat rumit untuk mewujudkannya. Akan tetapi menariknya, alam penciptaan mewujudkan semuanya dalam ukuran 15 juta mikromilimeter.”
Jantung, ginjal, paru-paru, dan purluhan ribu kilometer urat dan cabangnya, bertugas menyalurkan air dan makanan untuk lebih dari 100 trilyun lebih sel dalam tubuh manusia. Manusia juga memiliki berbagai indera yang masing-masingnya merupakan tanda kebesaran Allah Swt. Lebih menariknya lagi, ini semua hanya satu bagian dari wujud manusia yaitu dimensi materi. Akan tetapi, ruh manusia hingga kini masih menjadi alam yang tidak dapat dinalar oleh akal. Oleh karena itulah, dengan sendirinya manusia mengucapkan tasbih dan pujian kepada Allah Swt atas kebesaran-Nya.
Pengenalan hakiki manusia terhadap dirinya akan menggiringnya untuk mengenal Allah Swt yang merupakan wujud kesempurnaan mutlak. Akan tetapi perlu diperhatikan pula bahwa untuk mengenal wujud Allah Swt, tidak bisa dengan menggunakan sarana atau alat materi, melainkan dengan menggunakan pemahaman, makrifat dan merenungi tanda-tanda kebesaran-Nya. Sama seperti ketika kita merasakan panas pada sebuah benda yang menjadi sumber panas, begitu pula dengan sumber-sumber cahaya, suara dan lain-lain. Oleh karena itu, manusia juga dapat mencapai makrifat wujud Allah Swt dengan merenungi dan memahami berbagai tanda kebesaran Allah Swt di alam semesta. Di antara sekian banyak tanda-tanda kebesaran Allah Swt, tidak ada yang lebih baik untuk dipahami manusia kecuali wujudnya sendiri. Jika seseorang tidak dapat mengenali dirinya, maka dia juta tidak akan pernah mengenal yang lain.
Keyakinan bahwa manusia adalah makhluk paling unggul dan ada tujuan di balik pemilihan keunggulannya tersebut, akan menciptakan sebuah pengaruh pada dirinya. Dengan mengenal hakikatnya, manusia akan terdorong untuk mencapai kesempurnaan dan menjauhkan dirinya dari segala keburukan.
Manusia akan menemukan hakikat paling esensial dalam dirinya. Penyingkapan hakikat tersebut secara otomatis akan mendorongnya untuk menghindari kehinaan dan kelemahan. Ketika dia memahami nilainya, maka sekali pun dia tidak mengijinkan noda kenistaan pada wujudnya. Setelah itu, dia akan mampu mengubah esensi setiap kecenderungan dalam dirinya. Kecenderungan seperti kecintaan pada harta, kedudukan, jabatan, kekuatan dan popularitas.
Yang pasti, manusia yang telah menyadari bahwa dirinya adalah khalifah Allah Swt di muka bumi, akan mengerahkan seluruh daya dan potensi dalam dirinya untuk mencapai tujuan yang bernilai. Manusia seperti ini, jika menerima sesuatu, tidak akan menggunakannya untuk pribadi melainkan demi mewujudkan tujuan-tujuan penciptaannya. Di sisi lain, ketika kehilangan sarana maupun kekayaan materi, dia tidak merasa kehilangan dan kesedihan. Karena dia telah memiliki ruh dan makrifat yang sangat berharga dan bernilai. Seperti ini pula penjelasan jika manusia telah mengenal dirinya maka dia telah mengenal Tuhannya.
Kanti Suci Project