Hubungan Antara Spiritualitas, Agama Dan Membentuk Karakter Beretika
Dimana letak Hubungan antara Spiritualitas dengan Agama ?.
Spiritualitas dengan agama menemukan hubungan nya dalam ekspresi kehidupan yang mencerminkan sikap imanen sekaligus transenden. Spiritual adalah kondisi ruhani, inner, batiniah, invisible. Spiritualitas adalah energi yang memancar dari kondisi batin. Agama-agama merupakan sumber spiritualitas.
Dalam terminologi yang umum, spiritualitas adalah kerohaniahan (bersifat ruhiah) yang inner, batiniah, invisible, sebagai lawan dari yang bersifat jasmaniah, kasat mata, visible dan formal. Tidak ada definisi tentang spiritualitas yang komprehensif yang bisa menggambarkan luasan maknanya.
Namun demikian, pada awalnya spiritualitas berhubungan erat dengan pengalaman pribadi yang bersifat transendental dan individual dalam hubungan individu dengan sesuatu yang dianggapnya bermakna. Atas dasar pengertian tersebut, seorang agamawan mainstream Ulama, Pendeta, Bikhu, Pandita bisa menjadi sangat spiritualis karena kedalaman pengamalan ibadah dan pengalaman ruhaniah keagamaannya.
Spiritualitas otentik, pada awalnya juga merupakan bagian inheren dari sebuah agama. Orang-orang dengan kepenganutan agama yang sama bisa mengalami perbedaan kadar spiritualitasnya. Oleh sebab itu, pada agama-agama mainstream, selalu ada sosok yang memiliki karakteristik spiritualitas yang sangat tinggi.
Kepada mereka, umat beragama menyandarkan diri untuk proses spiritualitas yang dijalaninya agar menjadi lebih spiritual (on being spiritual) yang berarti memiliki ikatan yang lebih kepada yang bersifat keruhaniahan (kejiwaan) dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat fisik material.
Termasuk dalam hal itu adalah treatment-treatmen (ritual religius) untuk menghadirkan sens of connectedness, rasa keterhubungan yang intim dengan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah perkembangan pengalaman dan pengamalan keagamaan yang membuat spiritualitas seseorang semakin menukik ke dalam ke batin agama. Sehingga kadar spiritualitasnya menjadi sangat tinggi, tanpa kehilangan identitasnya sebagai seorang pemeluk agama.
Ketika John Naisbit dan Patricia Aburdene (Megatrend 2000;1990) menggelorakan slogan Spirituality Yes, Organized Religion No, kedua futurolog itu hendak menyatakan adanya proses pelepasan ikatan atas agama formal terlembagakan menjadi sebuah trend baru spiritualitas.
Slogan itu muncul ketika manusia modern berbondong-bondong meninggalkan agama formal yang terlembagakan menuju pengalaman dan pengamalan yang secara agamis tidak lagi terikat secara kelembagaan. Prakatis-praktis spiritualitaspun kemudian menjadi pilihan.
Apa yang menjadi fakta di balik slogan John Naisbit dan Patricia Aburdene di atas adalah fenomena perkembangan spiritualitas yang meloncat dan melenting ke luar dari batin agama formal dan membuat jenis spiritualitas baru, semakin menukik ke luar melepaskan diri dari agama formal.
Yang keluar itulah, di kemudian hari mendorong spiritualitas terlepas dari agama, dan menjadi entitas yang berada di luar lingkaran agama. Dan para penganutnyapun melepaskan diri dari ikatan kepemelukan terhadap agama, baik secara langsung maupun tidak langsung, terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Spiritualitas semacam itu, biasanya dekat dengan gejala sinkretisme dan kultus kharismatik. Dengan sinkretisme dikandung maksud dalam spiritualitas tersebut ditemukan unsur-unsur yang tidak semata-mata bersifat religius, melainkan terdapat unsur magis, mistik, psikologis, sosiologis, medis, dan ritual-ritual yang aneh-aneh dan ganjil.
Sedang dengan kultus-kharismatik, spiritualitas semacam itu sering dikendalikan oleh seseorang yang memiliki dayapikat tinggi yang memosisikan diri atau diposisikan oleh anggotanya sebagai Guru Spiritual.
Praksis spiritualitas yang dengan gegabah melepaskan sendi-sendi agama, tidak akan menemukan tujuan yang hendak diperolehnya. Pada akhirnya kepada agamalah kita semua kembali, karena di dalam agama ada spiritualitas otentik, yang berasal langsung dari Tuhan.
Di dalam jiwa setiap manusia ada perasaan-perasaan mendasar. David Perrin, ahli Sosiologi Spiritualitas, menyebut perasaan-perasan mendasar itu sebagai kapasitas fundamental yang dimiliki semua manusia itu berupa kesadaran diri yang otentik. Kesadaran tersebut bersumber langsung dari Tuhan.
Islam menyebut perasaan-perasaan mendasar itu sebagai Fitrah Allah, potensi Ilahiyah dalam diri manusia. Orang Islam dengan pengembaraan spiritualnya biasanya melalui jalur tasawuf dan thariqah, atau jalan spiritual lain yang ditempuh.
Mereka bisa sampai pada tingkatan-tingkatan spiritual yang dalam Islam dikenal dengan syariat, hakikat dan makrifat. Tapi tanpa harus melepaskan diri dari kepenganutannya secara formal sebagai seorang muslim, dan keislaman-keberislaman-kemusliman nya tidak mengalami penyimpangan.
Dapatkah Religius atau Spiritual Membuat Beretika
Komunitas multi agama di India adalah sebuah contoh sempurna akan bagaimana berbagai kepercayaan melebur ke dalam etika bekerja. Ben Dalton/Flickr, CC BY-SA
Dapatkah agama dan spiritualisme meningkatkan perilaku beretika di tempat kerja ? Ini adalah hal yang masih diperdebatkan, tapi penelitian kami yang mewawancarai 40 eksekutif papan atas India menunjukkan bahwa ada korelasi positif.
Kami menemukan kebajikan yang ditanamkan melalui tradisi berbagai agama dan spiritualisme (Hinduisme, Jainisme, Islam, Sikhisme, Nasrani, dan Zoroastrianisme) berperan dalam pengambilan keputusan yang etis di tempat kerja.
Tiga puluh tiga eksekutif menjelaskan bahwa tradisi tersebut menekankan nilai-nilai seperti integritas, fleksibilitas, moral yang baik, toleransi, dan tanggung jawab.
Seorang eksekutif di sektor otomotif merenungkan nilai fleksibilitas :
…agama Islam mengajarkan kami untuk tidak menutup diri pada pandangan orang lain. Saya menggunakan falsafah atau nilai ini dalam pekerjaan saya. Saya mendengarkan rekan-rekan saya. Kami mencari jalan keluar saat berbeda pandangan dan mencapai titik temu yang sama-sama bisa diterima setiap saat, kami berupaya menghargai kepercayaan masing-masing.
Beberapa eksekutif bahkan merasa bahwa mengundurkan diri dari jabatan mereka saat berhadapan dengan dilema etika adalah pilihan yang lebih baik.
Faravahar, simbol utama Zoroastrianisme yang menekankan ‘Pikiran yang Baik, Perkataan yang Baik, Perbuatan yang Baik’ sebagai prinsip dasar agama tersebut. Kevin McCormick/Wikimedia, CC BY-ND
Mereka mengaitkan keputusan tersebut dengan kebajikan etis yang ditanamkan oleh agama dan spiritualitas mereka saat mengambil keputusan yang sulit. Seorang eksekutif dari sektor TI menyebutkan bahwa dia meninggalkan pekerjaan sebelumnya karena latar belakang agamanya bertentangan dengan pelanggaran hak cipta yang dilakukan perusahaan tersebut secara terus menerus. Dia berpegang teguh pada integritasnya:
Saya tidak bisa tidur selama beberapa malam dan berbicara dengan penasehat agama Zoroaster saya yang menyarankan agar saya mencari pekerjaan di tempat lain. Saya meninggalkan perusahaan tersebut untuk bergabung di tempat saya saat ini dan saya merasa berhasil menghindari situasi yang tidak saya inginkan.
Namun, tujuh orang eksekutif yang tidak menganut agama atau spiritualitas tertentu mengusulkan kebajikan tidak berbasis agama yang menekankan pada pendekatan humanistik dan pragmatisme profesional juga perlu dianjurkan.
India memiliki masyarakat yang terdiri atas berbagai iman, maka ada pertimbangan bahwa pandangan tersebut akan membantu para pekerja untuk tetap bersikap netral.
Seorang eksekutif di sektor media menyarankan agar orang-orang yang tidak religius dan tidak spiritual didorong untuk bergantung pada kepercayaan humanistik mereka sendiri :
Etika harus diterapkan pada tingkat manusia. Ketika kita menggunakan penafsiran agama, ada perdebatan dan kebingungan yang tak berujung. Etika bagi saya adalah topik sekuler. Anda harus peka dan menimbang konsekuensi dari tindakan bisnis Anda dalam membuat suatu kode etik. Agama dapat memberikan suatu gambaran, tapi bagi saya agama justru menjadi penghalang.
Dalam spiritualisme berbasis agama, inspirasi-inspirasi tertentu dari satu atau lebih tradisi agama dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan.
Dalam spiritualisme tidak berbasis agama biasanya ada ketiadaan kepercayaan pada agama. Spiritualisme yang demikian mendasarkan diri pada nilai-nilai sekuler atau humanistik, seperti keterkaitan dengan orang lain di tempat kerja atau di masyarakat dan memiliki tujuan yang lebih tinggi dalam hidup tanpa perlu merujuk pada Tuhan atau Sang Pencipta.
Kajian-kajian terbaru mengaitkan keagamaan dan spiritualisme dengan tanggung jawab sosial perusahaan, perilaku altruistik; dan perilaku pro-sosial dan etis.
Kajian-kajian lainnya justru bertentangan dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut, dengan bukti-bukti temuan yang juga kontradiktif. Ada yang berargumen bahwa keagamaan dan spiritualisme berbasis agama dapat meningkatkan perilaku tidak etis. Misalnya, mendiskriminasi orang lain yang tidak memiliki kepercayaan yang sama. Hal ini bisa juga berdampak saat proses rekrutmen dan bagaimana seseorang berperilaku terhadap koleganya di tempat kerja.
Mengembangkan keputusan yang etis
Merujuk pada makalah yang terbit pada Mei 2017 mengkaji peran keagamaan dalam pengembangan kebajikan etis di India. Kebajikan tersebut termasuk empati, keadilan, kesederhanaan, transparansi, nurani, kebijaksanaan, dan kekuatan moral.
Kebajikan tersebut berkembang menjadi kompetensi yang membantu meningkatkan perilaku-perilaku etis. Misalnya, empati terkait dengan bagaimana cara seseorang berhubungan dengan bawahannya dan membangun hubungan kerja yang berkualitas. Cara-cara tersebut termasuk mengembangkan individu tersebut, membangun hubungan yang bersahabat, dan tidak memanfaatkan senioritas untuk membuat bawahan melakukan sesuatu yang tidak etis.
Kesederhanaan menekankan pada integritas pribadi dan berperan dalam menghindari kontak dengan seseorang yang berkepribadian meragukan dan tidak goyah dari prinsip-prinsip etis pribadi.
Nurani meliputi kemampuan untuk tetap berperilaku etis saat berhadapan dengan godaan.
Seorang eksekutif di sektor teknik menuturkan bahwa ketika koleganya menyarankannya untuk memanipulasi harga produk dengan mencantumkan mark up yang tidak masuk akal, dia menolaknya dan menyarankan :
Saya akan selalu berusaha untuk tidak mengelabui pelanggan saya. Saya akan memastikan mereka mendapatkan kualitas yang baik.
Dilema dan paradoks etika
Meskipun agama dan spiritualisme mengajak pengikutnya untuk turut menerima hal-hal buruk dalam hidup, perilaku tidak etis seperti korupsi, penyuapan, kroniisme, dan nepotisme tampak tak terkendali di India.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada orang-orang yang mendalihkan perilaku tidak etis mereka sebagai akibat tekanan eksternal untuk menyesuaikan diri. Tekanan demikian yang dibarengi ketamakan pribadi bisa dibilang mengalahkan segala tujuan untuk tetap etis.
Pendidikan yang dilakukan secara berkala dalam bentuk seminar, lokakarya, pelatihan, dan studi kasus terkait kebajikan etis penting untuk dilaksanakan. Misalnya, seorang eksekutif di bidang jasa konsultasi menjelaskan:
“Perusahaan kami mengadakan lokakarya yang kami hadiri secara berkala dan kami membaca banyak buku dan jurnal. Kami menjumpai banyak isu terkait praktik dan apa saja yang terjadi di seluruh dunia. Itu cara kami untuk memperbarui diri kami dan berupaya memiliki pemikiran positif dalam praktik etika.”
Inisiatif demikian berdampak pada peningkatan pengambilan keputusan yang etis di tempat kerja ketika kebajikan berdasarkan agama dihilangkan.
Beberapa perusahaan multinasional India berbisnis di berbagai negara dan standar dan ekspektasi etika dapat bervariasi berdasarkan negara dan budaya.
Seorang eksekutif di sektor TI menyebutkan kecerdasan emosional dapat dimanfaatkan saat menghadapi dilema etika dalam konteks persilangan budaya. Hal ini termasuk menyadari dan menyelaraskan diri dengan orang lain serta memiliki pandangan ke depan bagaimana tindakannya berdampak pada orang lain.
Jelas kecerdasan emosional dapat memberikan pencerahan yang dibutuhkan untuk menentukan etis atau tidaknya suatu keputusan. Ini juga merupakan keahlian yang sangat diperlukan dalam pengembangan kepemimpinan diri.
Konsistensi dalam pengambilan keputusan serta memimpin dengan memberikan contoh perlu dilakukan agar etika dapat dikokohkan. Gaya pengambilan keputusan yang tidak konsisten, satu hari pemimpin memandang tinggi etika lalu keesokan harinya mengabaikan etika hanya memberikan kesan bahwa kompromi dapat diterima.
Globalisasi dan perpindahan tenaga kerja membuat banyak perusahaan baik di negara maju (Australia, Singapura) dan berkembang (Brasil, Malaysia) menjadi multikultural.
Di tempat kerja yang memiliki beragam iman seperti itu, memiliki pendekatan etika yang inklusif dan bergantung pada nilai-nilai dasar yang dikandung dalam keagamaan, spiritualisme, dan kemanusiaan dapat memberikan konsistensi dalam pengambilan keputusan yang etis.
Kanti Suci Project