Al-Hikam - Hikmah 01
Bersandar pada Amal
"BERSANDARLAH KEPADA ALLAH JANGAN PADA AMALNYA"
Syeikh, Al-Imam Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari, Al Ghouts Fii zamanihi, Mu'allif Al Hikam berkata :
مِنْ عَلاَ مَةِ اْلاِعْـتِــمَادِ عَلَى الْعَمَلِ، نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُـودِ الزَّ لــَـلِ
"Di antara tanda-tanda orang yang senantiasa bersandar kepada amal-amalnya, adalah kurangnya ar-roja' (rasa harap kepada rahmat n anugrah Allah) di sisi alam yang fana."
Syarah = Penjelasannya adalah :
Ar-roja' adalah istilah khusus dalam terminologi agama, yang bermakna pengharapan kepada Allah Ta'ala. Hikmah 01, Al-Hikam yang pertama ini bukan hanya ditujukan ketika seseorang berbuat salah, gagal atau melakukan dosa. Karena ar-roja' lebih menyifati orang-orang yang mengharapkan kedekatan dengan Allah, untuk taqarrub mendekatkan diri wushul sadar kpd Allah.
Kalimat "wujuudi zalal", artinya segala wujud yang akan hancur, alam fana. Menunjukkan seseorang yang hidup di dunia dan masih terikat oleh alam hawa nafsu dan alam syahwat (Linnafsi Binnafsi). Itu semua adalah wujud al-zalal, wujud yang akan musnah. Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun pengharapannya semata hanya kepada Allah Ta'ala, baik ketika sedang thoat maupun maksiyat. (Lillah Billah).
Seorang mukmin yang kuat tauhidnya, sekalipun masih hidup di dunia dan terikat pada semua wujud yang fana, namun harapannya semata hanya kepada Allah Ta'ala. (Lillah Billah). Tetap optimis n tidak pesimis dlm segala keadaan baik ketika sedang thoat ataupun maksiyat. Bila seseorang sedang thoat optimis dan bila sedang maksiyyat pesimis berarti masih berharap atau menjagakan pada amalnya. Mereka belum berharap hanya pada rahmat dan fadhol Alloh SWT.
Lillah Billah = amal syariat n amal haqikat harus serempak kita laksanakan secara bersama-sama, seiring sejalan, seimbang n saling isi mengisi dan pada tempatnya masing-masing. Amal ibadah perlu syah dan diterima oleh Alloh Swt. Maka kita harus punya ilmunya, memenuhi syarat rukunnya dan harus beradab.
Jika kita berharap akan rahmat-Nya dan fadhol (anugrah)-Nya maka kita tidak akan menggantungkan harapan kepada amal-amal kita (ora jagakne amale), baik itu besar atau pun kecil, dlm segala keadaan apapun. Dan hal yang paling mahal dalam suluk (memperbaiki akhlak, mensucikan amal, dan menjernihkan hati n pengetahuan) adalah hati n ruhani, yaitu apa hakikat yang dicarinya dalam hidup ini. Dunia ini akan menguji sejauh mana kualitas roja' (harap) kita kepada Allah Ta'ala. (Lillah Billah).
Rasulullah SAW. bersabda : "Tidaklah seseorang masuk surga dengan amalnya." Ditanyakan, "Sekalipun engkau wahai Rasulullah ?" Beliau bersabda, "Sekalipun saya, hanya saja Allah telah memberikan rahmat kepadaku." - H.R. Bukhari dan Muslim
Redaksi lain, Suatu hari Rasulullah SAW berkata kepada para sahabatnya, "Tidak ada amalan seorang pun yang bisa memasukkan ia ke dalam surga, dan menyelematkan ia dari neraka. Tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat Allah," (Riwayat Muslim no. 2817).
Orang yang melakukan amal ibadah itu pasti punya pengharapan kepada Allah, meminta kepada Allah supaya hasil pengharapannya, akan tetapi jangan sampai orang beramal itu bergantung pada amalnya (Linnafsi Binnafsi), karena hakikatnya yang menggerakkan bisa beramal ibadah itu hanya Allah (Billah), laa haula wala quwwata illa billah.
Sehingga apabila terjadi kesalahan, seperti, terlanjur melakukan maksiat, atau meninggalkan ibadah rutinnya, ia harus cepat bertaubat, bertaqwa dan istiqomah. Ia tidak merasa putus asa, tidak merasa pesimis dan tidak berkurang pengharapannya kepada Allah. Apabila berkurang pengharapan kepada rohmat n fadhol Allah, maka amalnyapun akan berkurang dan akhirnya bisa berhenti beramal ibadah, karena ia bersandar kpd amalnya, bukan bersandar kepada rahmat dan anugrah-Nya.
Hakikatnya dalam beramal itu menyadari semua itu dikehendaki dan dijalankan oleh Allah (Billah), sedangkan diri kita hanya sebagai media berlakunya Qudrat, Irodat Allah (Billah).
Kalimat : Laa ilaha illAllah. Tidak ada Tuhan, berarti tidak ada tempat beribadah, bersandar, berlindung, berharap kecuali Allah, tidak ada yang menghidupkan dan mematikan, tidak ada yang memberi dan menolak melainkan Allah (Billah).
Pada dasarnya syari'at menyuruh kita berusaha dan beramal ibadah (Lillah). Sedang hakikat syari'at melarang kita menyandarkan diri pada amal dan usaha itu, supaya tetap bersandar, tetap bergembira pada karunia dan rahmat serta anugrah Allah subhanahu wata'ala (Billah).
Apabila kita dilarang menyekutukan Allah dengan berhala, batu, kayu, pohon, kuburan, binatang dan manusia, maka janganlah juga menyekutukan Allah dengan kekuatan dan kemampuan diri sendiri (Binnafsi), seolah-olah merasa sudah cukup kuat dan mampu dapat berdiri sendiri tanpa pertolongan Allah, tanpa rahmat, taufik, hidayat dan fadhol karunia Allah subhanahu wata'ala (Binnafsi).
Insya Alloh ...
Bihaulillah wa quwwatih ...
Al Faatihah ... Mujahadah ...
Catatan :
1. Syeikh Ibn 'Athaillah tergolong ulama yang produktif.
Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab al-Hikam.
2. Mengenal Tokoh Sufi: Syeikh Ibnu Athaillah As-Sakandari
Jauh sebelum menapaki jalan sufi, ia dikenal sebagai seorang fakih, hingga kemudian namanya harum dan menjadi salah satu nama utama dalam dunia tasawuf Islam. Ia adalah Syaikh Ibnu Athaillah, seorang ulama besar dari Iskandariyah, Mesir yang menggabungkan antara syariat dan tasawuf (hakikat) dengan sangat apik, hingga dijuluki sang Sufi Agung.
Karya-karyanya, bagi masyarakat pesantren di Indonesia bahkan dunia, menjadi semacam literatur klasik dan sangat fenomenal. Seorang ulama dari Tuban, Jawa Timur, mengabadikan salah satu karya magnum opusnya tersebut untuk menjadi nama sebuah pesantren di Malang, Al-Hikam.
Kiprah Syeikh Ibnu Athaillah
Nama lengkapnya adalah Abul Fadl Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah al-Sakandari atau dikenal dengan nama Ibnu Athaillah. Ia lahir di Iskandariyah, Mesir pada pertengahan abad ke-7 H/ke-13 M, dan ia wafat di tempat yang sama pada tahun 709 H/1309 M.
Sejak kecil, Syeikh Ibnu Athaillah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Syeikh Abu Al-Abbas Ahmad ibn Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Syeikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fikih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.
Asal-usul keluarganya adalah keturunan orang bernama Judzam (al-Judzam), seorang suku arab yang menetap di negeri Mesir pada waktu terjadinya penyerbuan awal terhadap dunia Islam. Nisbah (keturunan) al-Judzami dalam silsilah lengkapnya menunjukkan sebagai keturunan keluarga Arab.
Hampir separuh hidupnya dihabiskan di Mesir di bawah pemerintahan Mamluk, yang pada masa itu menjadi pusat agama dan pemerintahan dunia Islam belahan timur setelah kekhalifahan Baghdad hancur pada tahun 656 H./1258 M.
Sebagai seorang cendekia, Syeikh Ibnu Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah (dijelaskan). Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.
Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah, dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.
Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syariat.
Sebagai seorang sufi yang menggabungkan tasawuf dan syariat dengan baik, Athaillah menyesuaikan hal tersebut dengan salah satu pernyataan sahabat Nabi SAW, Malik bin Anas: “barang siapa bertasawuf namun tidak bersyariat, sungguh ia telah zindiq (kafir); barang siapa bersyariat namun tidak bertasawuf, sungguh ia telah fasiq; barang siapa menggabungkan keduanya, sungguh ia berlaku benar.”
Selain itu, meskipun ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.
Sekilas tentang Al-Hikam
Syekh Ibnu Ath’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Quran dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik (pejalan), menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Ilahi.
Pemikiran-pemikiran tarikat dalam kitab tersebut adalah :
1. Pertama "Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
2. Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Imam Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
3. Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
4. Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
5. Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
6. Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
7. Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudu, puasa, salat sunah, dan amal salih lainnya.
3. YAA SAYYIDII YAA ROSUULALLOH !
Didalam kitab Kifayah al-Atqiya' hlmn 9, diterangkan bahwa makna LILLAH dan BILLAH adalah terpadunya antara syari’at dan hakikat.
فَالشَرِيْعَةُ وُجُوْدُ الاَفْعَالِ للهِ وَالحَقِيْقَةُ شُهُوْدُالاَفْعَالِ بِاللهِ :
Syariat adalah wujudnya perbuatan yang disertai niat LILLAH, dan hakikat adalah perasaan menyadari bahwa wujudnya semua perbuatan lahir dan batin mahluk itu, atas titah Allah, BILLAH .
Imam Sya’rani Ra dalam kitabnya ‘al-Yawaqit wal Jawahir, juz I halaman 26 juga menjelaskan :
اِعْلَمْ أَنَّ عَيْنَ الشَرِيْعَةِ هِيَ عَيْنُ الحَقِيْقَةِ, اِذْ الشَرِيْعَةُ لَهَا دَائِرَتَانِ عُلْيَا وَسُفْلَى, فَالعُلْيَا لاَهْلِ الكَشْفِ وَالسُفْلَى ِلاَهْلِ الفِكْرِ فَلَمَا فَتَشَ اَهْلُ الفِكْرِ عَلَى مَا قَاَلُهُ اَهْلُ الكَشْفِ فَلَمْ يَجِدُوهُ فِي دَائِرَةِ فِكْرِهِمْ قَالُوا هَذَا خَارِجٌ عَنِ الشَرِيْعَةِ فَاَهْلُ الفِكْرِ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الكَشْفِ وَاَهْلُ الكَشْفِ لاَ يُنْكِرُوْنَ عَلَى اَهْلُ الفِكْرِ. فَمَنْ كَانَ ذَا كَشْفٍ وَذَا فِكْرٍ فَهُوَ حَكِيْمُ الزَمَانِ .
Ketahuilah bahwa kenyataan syari’at adalah hakikat juga. Karena Islam itu memiliki dua sisi. Sisi atas (metafisik) dan sisi bawah (fisik). Sisi atas untuk para ahli kassyaf, sedangkan sisi bawah untuk para ahli pikir. Jika para ahli pikir memahami tentang sesuatu yang dikatakan oleh para ahli kassyaf, sedang akal fikiran mereka tidak menjangkau maka mereka mengatakan bahwa kesimpulan para ahli kassyaf itu telah keluar dari syariat Islam. Dan mereka (ahli pikir) sering mengingkari sesuatu yang diucapkan atau dilakukan oleh para ahli kassyaf. Namun para ahli kassyaf tidak pernah mengingkari sesuatu yang datang dari para ahli pikir. Barang siapa menguasai dan memahami syariah dari kassyaf dan pikir, dialah Hakimuz Zaman (al-Ghauts Ra).
Radaksi kalimat ini juga terdapat dalam kitab al-Hawi lil Fatawi nya Syeh Jalaluddin Suytuthi, juz II, dalam “kitabul ba’tsi” bahasan ke 70.
Al Faatihah ...
Mujahadah ...
KS Project