Qalbu Menurut Al-Qur’an
&
Makna Qolbu Menurut KH A Musthofa Bisri (Gus Mus)
Al-Qur’an al-karim adalah kitab samawi yang paling terakhir diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dan berfungsi sebagai petunjuk bukan hanya terhadap anggota masyarakat Arab, akan tetapi juga bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman. Al-Qur’an memuat seluruh aspek kehidupan manusia, baik aspek vertikal maupun horizontal bahkan hubungan dengan alam semestapun tertera dalam al-Qur’an.
Ayat al-Qur’an memiliki keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan nurani manusia sehingga menjadi perpaduan yang indah untuk mengingatkan manusia bahwa ajaran-ajarannya adalah satu kesatuan terpadu yang tidak dapat dipisahkan. Olehnya itu, terlihat betapa al-Qur’an memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal dan qalb, pikir dan zikir, iman dan ilmu dengan memperhatikan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmani untuk mengantarkan manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya.
Qalb merupakan suatu anugerah Allah swt. yang diberikan kepada manusia yang mempunyai kedudukan dan fungsi yang sangat penting dan utama, sebab qalb berfungsi sebagai penggerak dan pengontrol anggota tubuh lainnya.
Qalb adalah salah satu aspek terdalam dalam jiwa manusia yang senantiasa menilai benar salahnya perasaan, niat, angan-angan, pemikiran, hasrat, sikap dan tindakan seseorang, terutama dirinya sendiri. Sekalipun qalb ini cenderung menunjukkan hal yang benar dan hal yang salah, tetapi tidak jarang mengalami keragu-raguan dan sengketa batin sehingga seakan-akan sulit menentukan yang benar dan yang salah. Tempat untuk memahami dan mengendalikan diri itu ada dalam qalb. Qalbu-lah yang menunjukkan watak dan jati diri yang sebenarnya. Qalbu-lah yang membuat manusia mampu berprestasi, bila qalbu bening dan jernih, maka keseluruhan diri manusia akan menampakkan kebersihan, kebeningan, dan kejernihan. Yang suatu saat akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dilakukan oleh indera manusia sejak berada di dunia.
Sebagaimana terdapat dalam QS al-Isrā’/17: 36:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya”.
Peranan qalb menjadi sangat penting sekali melihat potensi-potensi yang ada di dalamnya. Termasuk potensi untuk selalu mengarahkan manusia ke arah kebaikan. Dalam pandangan al-Ghazali bahwa manusia dengan nalar qalb-nya pada dasarnya dapat membenarkan wahyu Allah swt. meski daya rasionalnya menolak. Dengan demikian, adanya potensi qalb sangat dimungkinkan memiliki fungsi menuntun seseorang ke arah kesalihan tingkah laku lahiriah sesuai yang digariskan wahyu yang bersifat supra rasional.
Jika daya rasa positif dapat diupayakan untuk selalu diberdayakan dengan baik, maka potensi ini sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai media pengembangan tingkah laku lahiriah yang salih dan berbasis rasa cinta, senang, riang, dan rasa persaudaraan. Namun jika daya rasa negatif yang dibiarkan, tanpa adanya upaya pengendaliannya, maka perilaku yang nampak dipermukaan cenderung selalu menolak terhadap kebenaran, sekalipun datangnya dari Tuhan. Hal tersebut dapat secara mudah terjadi kapan saja disebabkan keadaan psikologis seseorang sudah didominasi dengan adanya daya rasa yang berupa kebencian dan ketidaksenangan yang dalam bahasa al-Ghazali disebut al-ghadab.
Al-Qur’an juga memberikan ketegasan tentang keharusan mempergunakan al-qalb untuk merasakan dan menghayati, untuk meningkatkan kualitas diri seseorang, sebagaimana firman Allah swt dalam QS al-Hadid/57: 16.
“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka menjadi orang orang fasik”
Ayat ini menegaskan betapa pentingnya mempergunakan daya al-qalb untuk merasa dan menghayati sesuatu. Salah satu cara untuk meningkatkan daya rasa al-qalb yang diharuskan oleh al-Qur’an adalah berzikir, seseorang akan menemukan ketenangan batin dan merasa dekat dengan Allah swt. Dengan merasa dekat kepada Allah swt. jiwa seseorang akan terkontrol. Sebaliknya, jika seseorang tidak memungsikan qalb-nya untuk berzikir, maka ia akan mengalami kekeringan jiwa, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam QS Taha/20: 124.
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”
Melihat begitu pentingnya keberadaan dan kedudukan al-qalb dalam diri manusia, maka al-Qur’an sangat memperhatikan dan banyak membicarakannya. Mengenal hakikat al-qalb adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan mempergunakannya dengan sebaik-baiknya adalah cara yang tepat untuk menemukan kebenaran dan kebaikan. Sebab ada beberapa penyakit yang terkait dengan qalb yang tidak bisa disembuhkan oleh tim medis sebagaimana penyakit fisik.
Makna Qolbu Menurut KH A Musthofa Bisri (Gus Mus)
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH A Musthofa Bisri (Gus Mus) menjelaskan makna qolbu bukanlah hati secara fisik. Melainkan qolbu adalah sesuatu yang berhubungan dengan jiwa, nafsu, dan akal yang sifatnya ghaib.
Demikian beliau sampaikan dalam malam pertama Ngaji Pasanan Kitab Kimya as-Sa’adah karya Imam Al-Ghazali di Pondok Raudlatuth Thalibien, Leteh, Rembang inti sari pengajian tersebut adalah sebagai berikut :
Qolbu bukanlah potongan daging yang berada di dada sebelah kiri. Sebenarnya yang digambarkan orang-orang mengenai hati itu adalah jantung bukan hati. Dan yang dikatakan mengenai hati tidak seperti yang diperkirakan banyak orang.
Kalau di Arab, orang mau beli hati hewan itu juga tidak bisa pakai istilah qolbu tetapi qibdah. Maka di kitab ini Imam Al-Ghazali merumuskan qolbu itu bukan potongan daging itu yang dimaksud. Sebab hati yang bisa dilihat itu berasal dari alam syahadah (bisa disaksikan), padahal qolbu itu sifatnya ghaib. Hanya dia sendiri dan Allah yang tahu kondisi qolbu seseorang.
Adapun hakikat hati adalah bukan dari alam syahadah. Tetapi hanya ada di alam ghaib. Jadi bukan jantung atau hati secara fisik, tetapi memang hakikat hati (qolbu) itu sesungguhnya ghaib.
Meskipun begitu, dalam diri manusia qolbu ini tetap butuh sandaran. Ia melekat pada hati yang secara fisik bisa dilihat itu. Maka dikatakan dalam hadits ada salah satu bagian tubuh manusia yang jika baik maka seluruhnya baik dan jika rusak maka rusaklah seluruhnya.
Qolbu itu bukan dari alam syahadah tetapi dari alam ghaib. Ia bersandar pada hati secara fisik itu, tetapi bukan yang kelihatan itu. Dan qolbu itu adalah raja, ia bisa mengenali Allah, dan sifat-sifat keindahan alam semesta ini dikenali qolbu.
Bahwa qolbu ini hanya diberikan kepada manusia. Maka sejatinya yang dihukum sebab dosa itu pertama kali hati (qolbu), maka termasuk yang menjadi bagian dari qolbu adalah akal.
Taklif atau akal itu berada dalam qolbu. Yang kamu merasa sedih, perihatin, susah itu tempatnya di qolbu. Begitu juga yang kamu merasa bahagia sampai lupa diri itu juga sebab ada qolbu.
Maka itu, orang yang hilang nyawanya, hilang juga hatinya. Maka Imam Al-Ghazali dalam kitab itu mengatakan wajib bagi manusia untuk sungguh-sungguh dalam mengenal qolbu.
Sebab qolbu menurut Imam Al-Ghazali adalah inti yang mulia dari jenisnya inti malaikat.
Maka kadang (qolbu) ini disebut hati nurani karena bentuknya cahaya, bukan bersifat fisik atau jasad,” pungkas Gus Mus dengan kata Tsumma qola.
Wallahu A’lam Bisshowab.
Sumber Referensi :
- Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya. Kementerian Agama RI. Surakarta: Abyan, 1435 H/2014 M.
- Al-Qattan, Manna’. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. Cet. XIX; Bairut: Muassasah al-Risalah, 1406 H/1983 M.
- Abdullah, Hadziq. Rekonsiliasi Psikologi Sufistik dan Humanisti. Semarang: Rasail, 2005.
- Al-Ghazali, Al-Imam. Ihya Ulum al-Din”. Dar al-Ihya’ al-Kutub, t.th.
Shihab, M. Quraish. Sejarah dan Ulūm al-Qur’ān. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
- NU online
Kanti Suci Project