Nabi Nuh Rasul Pertama
Nabi Nuh AS adalah nabi yang sangat sabar sebab walaupun berdakwah selama ratusan tahun, namun hanya sedikit orang yang mau beriman kepada Allah SWT.
Nabi Nuh AS bernama lengkap Nuh bin Lamik bin Muttawsyalakh bin Khanukh (Idris AS) bin Yarid bin Mahylayil bin Qanin bin Anusy bin Syaits bin Adam AS. Menurut Ibnu Katsir dalam Kitab Qashashul Anbiya, beliau lahir 146 tahun setelah Nabi Adam AS meninggal.
Allah SWT mengutus Nabi Nuh AS kepada Bani Rasib untuk menghapuskan kesesatan dan kegelapan yang ada di sana. Saat itu kaum Nabi Nuh AS menyekutukan Allah SWT dengan menyembah patung-patung orang saleh.
Bani Rasib menjadikan Wadd, Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr, anak-anak Adam yang saleh, dengan meminta keberkahan dan rezeki dari mereka. Kemudian Allah SWT mengutus Nabi Nuh AS sebagai rasul pertama untuk menyebarkan kebenaran.
Dakwah Nabi Nuh AS berlangsung sangat lama. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Ankabut ayat 14 yang berbunyi,
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلَّا خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ ١٤
Artinya: "Sungguh, Kami benar-benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian, mereka dilanda banjir besar dalam keadaan sebagai orang-orang zalim."
Selama 950 tahun ini Nabi Nuh AS berdakwah dengan segala cara tanpa mengenal waktu, siang dan malam, kala sepi maupun ramai, dengan kabar gembira maupun ancaman, namun mereka tetaplah kaum yang sesat dan berlaku kejam.
"Setiap kali satu generasi berlalu, mereka berpesan kepada generasi berikutnya agar tidak beriman kepada Nuh, harus memerangi dan menentangnya," tulis Ibnu Katsir.
Akhirnya Nabi Nuh AS putus asa mengharapkan kebaikan dan keberuntungan kaumnya yang sesat. Sudah tidak ada cara lagi yang bisa mengembalikan mereka kepada Allah SWT.
Nabi Nuh AS lalu berdoa kepada Allah SWT sebagaimana di dalam surah Asy-Syu'ara ayat 117-118 yang berbunyi,
قَالَ رَبِّ اِنَّ قَوْمِيْ كَذَّبُوْنِۖ ١١٧ فَافْتَحْ بَيْنِيْ وَبَيْنَهُمْ فَتْحًا وَّنَجِّنِيْ وَمَنْ مَّعِيَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ١١٨
Artinya: Dia (Nuh) berkata, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakanku. Maka, berilah keputusan antara aku dan mereka serta selamatkanlah aku dan orang-orang mukmin bersamaku."
Kemudian Allah SWT memerintahkan Nabi Nuh AS untuk membuat sebuah bahtera yang akan digunakan untuk menyelamatkan beliau beserta orang-orang mukmin dari azab banjir yang sangat dahsyat.
Selama pembuatannya, tentu tidak lepas dari ejekan dan cemoohan dari kaum tersebut. Namun, hal itu tidak membuat kaum muslim dan Nabi Nuh AS berkecil hati dan malah membuat mereka semakin giat dalam membangun kapal itu.
Setelah kapal itu jadi, maka Allah SWT menepati janji-Nya. Dia memerintahkan Nabi Nuh AS untuk memasukkan hewan dengan berpasang-pasangan dan orang mukmin untuk masuk ke dalam kapal, sebab Dia akan segera menurunkan azab-Nya yang pedih.
Allah SWT mengirimkan hujan dari langit yang belum pernah dikenal di bumi sebelumnya, juga tidak akan pernah diturunkan lagi sesudahnya. Dia juga memerintahkan bumi untuk mengeluarkan air dari segalam penjuru, sehingga seluruh permukaan bumi tertutup oleh air.
Setelah berbulan-bulan berlayar di atas bahtera Nuh, air pun disurutkan, langit berhenti menurunkan hujan yang dahsyat, dan air yang keluar dari lubang di permukaan bumi pun ditutup. Banjir bandang itu telah usai.
Seluruh orang-orang yang mendustakan kebenaran dan kebaikan, termasuk anak Nabi Nuh AS Kan'an, binasa dalam azab tersebut. Tinggallah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya saja yang selamat.
Ada tiga hal penting, Mengapa Nabi Nuh adalah Nabi pertama :
1. Pertama: memang benar Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah rasul pertama, berdasarkan hadits tentang syafa’at di bawah ini:
يا نوحُ أنتَ أوَّلُ الرسُلِ إلى أهلِ الأرضِ وسَمَّاكَ اللهُ عبدًا شكورًا إشفعْ لنا إلى ربِّكَ
“Wahai Nuh, engkau adalah rasul pertama yang Allah utus kepada penduduk bumi, dan Allah mensifati mu sebagai hamba yang bersyukur, berikan syafaat untuk kami kepada Rabbmu”. (HR. Bukhori [4712], Muslim [194]. Hadits ini shohih).
Hadits ini shahih, dan penunjukannya terhadap rasul pertama adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam sangat jelas.
2. Kedua: ada ikhtilaf di kalangan para ulama tentang Nabi Adam ‘alaihissalam, apakah beliau seorang Nabi atau rasul?.
Pendapat yang dikuatkan oleh penulis adalah beliau seorang nabi, bukan rasul, berdasarkan hal berikut :
Di atas sudah kita sebutkan melalui hadits yang shahih, bahwa rasul pertama adalah nabi Nuh ‘alaihissalam, berarti para Nabi yang Allah ‘azzawajalla utus sebelum Nuh adalah para Nabi bukan rasul.
Dalam hadits yang shahih disebutkan :
عن أبي ذرٍّ، قال : قلتُ : يا رسولَ اللهِ ! أيُّ الأنبياءِ كان أولُ ؟ ! قال : آدمُ، قلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ونبيٌّ كان ؟ ! قال : نعم نبيٌّ مُكلَّمٌ…
“Dari Abu Dzar, dia berkata: aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam: “Siapa nabi yang pertama?” Rasulullah shallallahu ’alaihiwasallam menjawab: “Adam”, aku bertanya lagi: “Wahai Rasulullah, apakah beliau seorang nabi?!” Beliau menjawab: “Ia, dia adalah seorang Nabi dan seorang yang diajak bicara oleh Allah.”
(HR.Ibnu Hibban [361], Al-Hakim [3133], An-Nasai [7891] dan yang lainnya. Hadits ini sahih dan di sahihkan oleh Syaikh Albani di dalam kitab Hidayatur ruwat no.5669).
Melalui dua hadits di atas, jelas bahwa beliau adalah seorang Nabi, bukan rasul.
3. Ketiga: kalau Nabi Adam bukan rasul, lalu Nabi Adam pakai syariat siapa ?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka penulis sarankan untuk membaca artikel sebelumnya yang berjudul: “perbedaan antara Nabi dan Rasul”. Dalam artikel tersebut terdapat perincian pendapat dalam masalah tersebut, beserta penyebutan pendapat yang kuat dalam masalah tersebut.
Perlu diketahui, bahwa pertanyaan ini muncul sebab penanya berpatokan dengan definisi Nabi dan Rasul yang kurang tepat.
Memang definisi Nabi yang cukup masyhur adalah: “Seorang yang Allah utus dengan membawa syariat sebelumnya”. Sedangkan Nabi adam adalah Nabi pertama, bahkan beliau adalah manusia pertama, maka pertanyaannya: syariat siapa yang beliau bawa?!
Maka dari itu, pertanyaan tersebut menjadi bukti bahwa definisi Nabi yang disebutkan di atas tidak tepat.
Dan sudah penulis jelaskan pada artikel sebelumnya bahwa definisi Nabi yang tepat adalah: “Nabi adalah seorang yang Allah utus kepada kaum yang beriman dan bertugas untuk mengingatkan mereka agar berhukum dengan syariat Allah.”
Dengan definisi ini, maka Nabi Adam telah sesuai dengan definisi “Nabi” yang disebutkan, sehingga pertanyaan di atas tidak akan muncul, karena jelas bahwa Nabi Adam adalah utusan Allah ‘azzawajalla dengan membawa syariat dari-Nya.
Jadi baik Nabi ataupun rasul sama-sama utusan Allah ‘azzawajalla, disyariatkan untuk menyampaikan wahyu, baik meneruskan syariat sebelumnya ataupun tidak.
Kisah Nabi Nuh AS Adalah Rasul Pertama Yang Diutus ke Bumi (Artikel "Kisah Nabi Nuh as - Rasul Pertama Yang Diutus ke Bumi" adalah bagian dari seri "Kisah 25 Nabi dan Rasul Islam")
Nuh (Arab: نوح) (sekitar 3993-3043 SM) adalah seorang rasul pertama yang diceritakan dalam Al-Quran. Nuh diangkat menjadi nabi sekitar tahun 3650 SM. Diperkirakan ia tinggal di wilayah Selatan Irak modern. Namanya disebutkan sebanyak 43 kali dalam Al-Quran. Nuh mendapat gelar dari Allah dengan sebutan Nabi Allah dan Abdussyakur yang artinya “hamba (Allah) yang banyak bersyukur”.
Dalam agama Islam, Nuh adalah nabi ketiga sesudah Adam, dan Idris. Ia merupakan keturunan kesembilan dari Adam. Ayahnya adalah Lamik (Lamaka) bin Metusyalih|Mutawasylah (Matu Salij) bin Idris bin Yarid bin Mahlail bin Qainan bin Anusyi bin Syits bin Adam. Antara Adam dan Nuh ada rentang 10 generasi dan selama periode kurang lebih 1642 tahun.
Nuh hidup selama 950 tahun. Ia mempunyai istri bernama Wafilah, sedangkan beberapa sumber mengatakan istri Nuh adalah Namaha binti Tzila atau Amzurah binti Barakil dan memiliki empat orang putra, yaitu Kanʻān, Yafith, Syam dan Ham.
Nuh adalah Rasul pertama yang diutus ke atas bumi ini, sedangkan Adam, Syits dan Idris yang diutus sebelumnya hanyalah bertaraf Nabi saja, bukan sebagai Rasul karena mereka tidak memiliki umat atau kaum.
Dakwah Nabi Nuh 'alaihissalam.
Nabi Nuh as diutus oleh Allah SWT untuk mengajak kaumnya menyembah Allah SWT. Dan, selama lebih dari 900 tahun berdakwah kepada tiga generasi dari kaumnya, Nabi Nuh AS hanya mendapatkan pengikut sebanyak 70 orang dan delapan anggota keluarganya.
Dakwah nabi Nuh kepada umatnya
“Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan yang berhak disembah bagimu selain Dia. Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (QS. Al A’raaf: 59)
Nabi Nuh AS berdakwah siang dan malam, namun kaumnya tak juga mau menerima kehadirannya sebagai pesuruh Allah SWT. Hingga akhirnya, ia memohon kepada Allah agar kaumnya yang suka membangkang itu diberikan pelajaran agar mereka mau menyembah Allah. Doanya pun dikabulkan oleh Allah SWT. Ia diperintahkan untuk membuat sebuah kapal sebagai persiapan bila siksa Allah telah datang berupa banjir. Di dalam kapal tersebut, nantinya diikut sertakan pula semua spesies binatang secara berpasang-pasangan.
Membuat Bahtera.
Bersama para pengikutnya, Nuh mengumpulkan paku dan menebang kayu besar dari pohon yang ia tanam selama 40 tahun. Melalui wahyu-Nya, Allah membimbing Nuh membuat bahtera yang kuat untuk menghadapi serangan topan dan banjir. Bahtera Nuh dianggap merupakan alat angkutan laut pertama di dunia. Pada saat itu kaum nabi Nuh banyak yang mencemoohnya karena pembuatan perahu dilakuakn di atas bukit, umumnya pembuatan perahu dilakukan daerah yang dekat dengan air seperti pantai atau danau.
Sesuai dengan wahyu Allah. Nabi Nuh mengajak kaumnya memasuki kapal yang telah selesai dibuat. Nabi Nuh juga rnembawa berbagai pasang binatang (hanya binatang yang biasa ada di wilayah sekitar) dalam kapalnya itu. Tidak berapa lama sesudah Nabi Nuh dan pengikutnya yang beriman memasuki kapal maka langit yang tadinya cerah berubah menjadi hitam. Mendung tampak tebal sekali diiringi angin kencang yang mulai berhembusan. Bersamaan dengan turunnya hujan lebat, air dari dalam bumi memancar pula ke permukaan. Hujan pun turun dengan lebatnya. Belum pernah ada hujan turun selebat itu. Bagaikan dicurahkan dari atas langit. Rumah-rumah mulai terendam air, angin kencang dan badai menambah kepanikan semua orang.
Nuh pun berkata, “Dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Huud: 41)
Dari kejauhan Nabi Nuh melihat salah seorang putranya yaitu Kan'an sedang berlari-lari menuju puncak gunung. Nabi Nuh memanggil anaknya itu. “Wahai anakku! Naiklah bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (QS. Huud : 42)
Tetapi anaknya menolak ajakannya dan berkata, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari banjir besar!”
Nuh berkata, “Tidak ada yang melindungi pada hari ini dari azab Allah selain Allah Yang Maha Penyayang.”
"Gelombang pn menjadi penghalang antara keduanya; maka anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Huud : 43)
Kan'an dengan sombongnya terus berlari. Ia tak menghiraukan panggilan dari ayahnya sendiri. Ia mengira banjir itu hanya bencana alam biasa yang akan segera reda, maka ia terus berlari mendaki puncak gunung. Pada akhirnya kan'an pun tenggelam ke dalam lautan tanpa sempat bertaubat.
Ketika diketahui oleh Nuh ‘alaihissalam anaknya termasuk orang-orang yang ditenggelamkan, Nuh ‘alaihissalam berkata:n: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.” (QS. Huud : 45)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu agar kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (QS. Huud : 46)
Nuh pun berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tidak mengetahuinya. Dan sekiranya Engkau tidak memberikan ampun kepadaku, serta menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Huud : 47)
Setelah banjir telah reda, kapal Nabi Nuh kemudian terdampar (berlabuh) di sebuah bukit yang tinggi (al-Judy). Peristiwa ini secara lengkap terdapat dalam Alquran Surah Nuh ayat 1-28 dan Hud (11) ayat 25-33, 40-48, dan 89. Cerita serupa juga terdapat dalam berbagai surah lainnya dalam Alquran.
Setelah Nabi Nuh dan para pengikutnya turun dan melepaskan hewan-hewan yang diangkutnya, maka mulailah Beliau dan para pengikutnya menjalani hidup yang baru, Beliau berdakwah kepada kaum mukmin dan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama, Beliau banyak melakukan dzikrullah, shalat dan berpuasa hingga Beliau wafat dan menghadap Allah ‘Azza wa Jalla.
Kapal Nabi Nuh menurut Al-Quran.
Tentang Bahtera Nabi Nuh as ini sesungguhnya Allah swt telah meninggalkannya sebagai salah satu dari tanda kebesaran-Nya dan agar orang-orang yang datang setelahnya dapat mengambil pelajaran dari kejadian yang dialami oleh Nuh dan orang-orang yang bersamanya yang kemudian diselamatkan dengan bahtera itu sementara orang-orang yang kafir terhadapnya ditenggelamkaan oleh Allah swt, sebagaimana firman-Nya :
وَلَقَد تَّرَكْنَاهَا آيَةً فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ ﴿١٥﴾
فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ ﴿١٦﴾
Artinya : “Dan Sesungguhnya telah kami jadikan kapal itu sebagai pelajaran, Maka Adakah orang yang mau mengambil pelajaran? Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.” (QS. Al Qomar : 15 – 16)
Sedangkan keberadaan bahteranya setelah Allah swt menyelamatkannya serta orang-orang yang bersamanya juga telah disebutkan didalam firman-Nya :
وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءكِ وَيَا سَمَاء أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاء وَقُضِيَ الأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْداً لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Artinya : “Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Jud!, dan dikatakan: “Binasalah orang-orang yang zalim .” (QS. Huud : 44)
Menurut Al Qur'an, bahtera Nuh telah mendarat di Bukit Jud! dan banyak perbedaan pendapat mengenai Bukit Jud! tersebut, baik dari para ulama maupun temuan arkeolog. Ada pendapat yang menunjukkan suatu gunung di wilayah Kurdi atau tepatnya di bagian selatan Armenia, ada pendapat lain dari Wyatt Archeological Research, bukit tersebut terletak di wilayah Turkistan Iklim Butan, Timur laut pulau yang oleh orang-orang Arab disebut sebagai Jazirah Ibnu Umar (Tafsir al-Mishbah).
Perlu diketahui bahwa banjir besar yang terjadi pada masa nabi Nuh as tidaklah terjadi di seluruh muka bumi melainkan pada wilayah yang terdapat kaum nabi Nuh as saja, seperti yang tercantum dalam AlQur'an:
“ Dan tidaklah Rabbmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezhaliman." (Surat Al-Qashash ayat59)
Ibnu Katsir : Nuh Adalah Rasul Pertama Bagi Penduduk Bumi.
Ibnu Katsir dalam kitabnya berjudul Qashash Al-Anbiya menulis ketika kerusakan telah meluas di muka bumi, kesesatan telah mewabah di seluruh pelosok negeri dengan disembahnya berhala di mana-mana, maka Allah mengutus hamba dan Rasul-Nya, Nuh AS. Ia mengajak masyarakat untuk kembali menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dan melarang mereka untuk menyembah selain-Nya.
"Karena itulah Nuh dikatakan sebagai Rasul pertama yang diutus Allah untuk penduduk bumi, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Shahihain tentang syafaat, dari Abu Hayyan, dari Abu Zur'ah bin Amru bin Jarir, dari Abu Hurairah &, dari Nabi &, beliau bersabda,“... Lalu mereka mendatangi Adam dan berkata, “Wahai Adam, engkau adalah bapak manusia, Allah menciptakanmu dengan Tangan-Nya, ditiupkan kepadamu roh ciptaan-Nya, memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepadamu, dan menganugrahkan dirimu dengan tinggal di surga, sudikah kiranya engkau memintakan syafaat kepada Tuhanmu untuk kami? Tidakkah engkau lihat keadaan kami dan apa yang kami rasakan?”
Lalu Adam berkata, “Tuhanku sungguh telah murka, tidak pernah ada kemurkaan seperti ini sebelumnya, dan tidak akan pernah ada kemurkaan seperti ini selanjutnya. Aku telah dilarang untuk tidak memakan buah dari pohon terlarang, namun aku melanggarnya.
Dirikulah (yang seharusnya mendapatkan syafaat), dirikulah (yang seharusnya mendapatkan syafaat). Pergilah kalian kepada orang lain, pergilah kalian kepada Nuh.”
Lalu mereka mendatangi Nuh dan berkata, “Wahai Nuh, engkau adalah Rasul pertama bagi penduduk bumi, dan engkau telah diakui sebagai hamba yang bersyukur oleh Allah, tidakkah engkau lihat keadaan kami ini? Sudikah kiranya engkau memintakan syafaat kepada Tuhanmu untuk kami?”
Lalu Nuh berkata, “Tuhanku sungguh telah murka, tidak pernah ada kemurkaan seperti ini sebelumnya, dan tidak akan pernah ada kemurkaan seperti ini selanjutnya. Dirikulah (yang seharusnya mendapatkan syafaat), dirikulah (yang seharusnya mendapatkan syafaat)..” dan seterusnya hingga akhir hadis ini seperti disebutkan oleh Bukhari pada kisah Nuh.
Kisah ini diriwayakan Bukhari Bab Kisah Para Nabi, Bagian: Firman Allah, “Sungguh, Kami benar benar telah mengutus Nuh kepada kaumnya.” (3340) dan Muslim, Bab Iman, Bagian:Nikmat jang Paling Rendah untuk Penghuni Surga (194).
Setelah Nabi Nuh diangkat sebagai Rasul, ia mengajak masyarakatnya untuk mengesakan Allah, tidak menyekutukan-Nya, hanya menyembah kepada-Nya, tidak menyembah berhala, patung, atau apapun selain-Nya, dan mengakui bahwa tidak ada Ilah dan tidak ada Rabb melainkan Allah, sebagaimana juga diperintahkan kepada Rasul-Rasul setelahnya yang notabene semuanya berasal dari keturunannya, seperti difirmankan oleh Allah, “Dan Kami jadikan anak cucunya orang orang yang melanjutkan keturunan.” (Ash Shaffat:77).
Pada ayat lain juga difirmankan, “Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami berikan kenabian dan kitab (wahyu) kepada keturunan keduanya.” (Al Hadid:26). Maksuddari ayat tersebut: semua Nabi yang diutus setelah Nuh adalah dari keturunannya, begitu juga dengan Ibrahim.
Tugas utama para Nabi itu adalah, seperti difirmankan Allah, “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah thagut.” (An Nahl:36). Juga firman-Nya, “Dan tanyakanlah (Muhammad) kepada Rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum engkau, “Apakah Kami menentukan tuhan-tuhan selain (Allah) Yang Maha Pengasih untuk disembah?” (Az Zukhruf:45).
Allah juga berfirman, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (Al Anbiyaa':25).
Oleh karena itu Nabi Nuh berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah! Tidak ada tuhan (sembahan) bagimu selain Dia. Sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang dahsyat (Kiamat) (Al A'raf:59).
Ia juga berkata, “Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Aku benar benar khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih.” (Hud:26).
Ia juga berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, (karena) tidak ada tuhan (yang berhak disembah) bagimu selain Dia. Maka mengapa kamu tidak bertakwa (kepada Nya)?” (Al Mukminun:23).
Ia juga berkata, “Wahai kaumku! Sesungguhnya aku ini seorang pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu, (yaitu) sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku, niscaya Dia mengampuni sebagian dosa dosamu dan menangguhkan kamu (memanjangkan umurmu) sampai pada batas waktu yang ditentukan. Sungguh, ketetapan Allah itu apabila telah datang tidak dapat ditunda, seandainya kamu mengetahui.”
Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, justru mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya aku setiap kali menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri.
Lalu sesungguhnya aku menyeru mereka dengan cara terang terangan. Kemudian aku menyeru mereka secara terbuka dan dengan diam-diam, maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu. Sungguh, Dia Maha Pengampun, niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak anakmu, dan mengadakan kebun kebun untukmu dan mengadakan sungai sungai untukmu.”
Mengapa kamu tidak takut akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian). (Nuh:2-14).
Disebutkan pula, bahwa Nuh mengajak mereka ke jalan Allah dengan berbagai cara, siang dan malam, terang terangan dan sembunyi sembunyi, terkadang disertai ancaman (Allah) dan terkadang disertai janji (Allah), namun semua usaha dan dakwah Nabi Nuh itu ditolak, mereka terus saja memilih jalan yang menyimpang, jalan yang sesat, menyembah patung dan berhala, bahkan mereka menabuh genderang permusuhan terhadap Nabi Nuh dimanapun dan kapanpun ia berada, mereka mengejek dan merendahkan orang orang yang ikut beriman bersamanya, mereka mengancam akan memberi hukuman yang berat serta mengusir mereka dari sana. Namun, meskipun mendapatkan berbagai penekanan namun orang orang beriman tetap kukuh dalam keimanan mereka.
Pemuka masyarakat dan pembesar kaum Nabi Nuh berkata, “Sesungguhnya kami memandang kamu benar benar berada dalam kesesatan yang nyata.”
Namun Nabi Nuh menjawab, “Wahai kaumku! Aku tidak sesat: tetapi aku ini seorang Rasul dari Tuhan seluruh alam,” yakni:Aku tidaklah sesat seperti yang kalian kira, sebaliknya aku berada di jalan yang lurus dan membawa hidayah Allah untuk kalian, karena aku adalah utusan dari Nya, Tuhan semesta alam, Tuhan yang mengatakan pada sesuatu “jadilah” maka “jadilah sesuatu itu”. Nabi Nuh juga berkata, “Aku menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, memberi nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” Inilah tugas yang diemban oleh seorang Rasul, yakni untuk menyampaikan amanat dan nasehat yang diturunkan oleh Allah kepadanya, dan ia adalah orang yang paling mengenal Tuhannya dibanding yang lain.
Namun tetap saja kaumnya tidak mau mendengarkannya, mereka malah berkata, “Kami tidak melihat engkau, melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya. Kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah orang pendusta.”
Mereka merasa heran, bagaimana mungkin seorang manusia menjadi utusan Allah. Mereka juga merendahkan, mencaci dan mengejek para pengikutnya. Mereka menganggap bahwa orang orang yang mau mengikutinya hanyalah kaum lemah yang mudah untuk dipengaruhi begitu saja, seperti pernah dikatakan juga oleh Heraklius (Kaisar Romawi) kepada para utusan Nabi #5, “Para pengikut Rasul memang biasanya orang orang yang lemah, sebabnya tidak lain karena mereka tidak memiliki alasan untuk tidak mengikuti kebenaran.” (Shahih Bukhari, Bab Pertama Kali Diturunkannya Wahyu dan Shahih Muslim, Bab Jihad, Bagian:Surat yang Dikirimkan Oleh Nabi Kepada Heraklius untuk Mengajaknya Masuk Islam (1773).
Teladan Kelembutan Dakwah Nabi Nuh terhadap Kaumnya.
Dalam berdakwah mengajak kaumnya, seorang rasul menggunakan cara-cara tersendiri untuk mendapat pencapaian dakwah yang maksimal. Hal ini karena penyesuaian dan pertimbangan beberapa hal, seperti kondisi mental, emosi, dan tradisi yang berlaku di lingkungan kaum tersebut. Salah satunya adalah Nabi Nuh as yang menggunakan berbagai pendekatan dalam menghadapi kaumnya.
Kisah dakwah Nabi Nuh banyak diabadikan dalam Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah berikut,
لَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَقَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓ إِنِّيٓ أَخَافُ عَلَيۡكُمۡ عَذَابَ يَوۡمٍ عَظِيمٖ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya". Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)” (QS. Al-A’raf [7]: 59).
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan, sebelum Nabi Nuh diutus, beberapa orang salih dari kaumnya meninggal dunia. Untuk mengenang, dibangunkan masjid untuk mereka. Di dalam masjid itu dibuatkan gambar-gambar yang menyerupai orang-orang salih tadi. Dengan demikian, semua orang berharap selalu bisa mengenang amal baik mereka agar selalu menjadi motivasi untuk melakukan apa yang dulu pernah mereka perbuat. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil ‘Adzim, 2002: juz VI, h. 327).
Waktu kain lama berlalu. Sekarang, orang-orang salih itu tidak hanya dibuatkan gambar, tetapi juga patung-patung yang sama persis. Lambat laun, terjadi distorsi akidah. Patung yang dulu hanya dibuat untuk mengenang, kini justru disembah, dijadikan berhala. Lalu mereka menamainya dengan Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, Nasr. Setelah sekian lama, Allah pun mengutus Nabi Nuh untuk meluruskan akidah mereka. (Ibnu Katsir, juz VI, h. 327)
Nabi Nuh terhitung sebagai rasul pertama yang diutus ke bumi setelah Nabi Adam as. Ia diutus untuk mengajak kaumnya menyembah Allah swt, meninggalkan berhala-berhala yang selama ini mereka sembah, menakut-nakuti mereka dengan ancaman siksa Allah. Selama 950 tahun berdakwah, tetapi hanya segelintir kaum yang mau beriman. (Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Mustafâd Min Qhashash al-Qur’ânî, 1998: juz I, h. 129)
Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan. Sebelum Nabi Nuh diutus, kaumnya adalah orang-orang beriman dengan mengikuti ajaran Nabi Adam (Nabi sebelum Nuh). Hanya saja, terjadi distorsi akidah yang menyebabkan mereka jatuh dalam lembah kemusyrikan dengan menuhankan berhala.
Berdoa untuk Kebinasaan Kaumnya.
Melihat kaumnya yang susah diajak beriman, Nabi Nuh pun berdoa kepada Allah untuk membinasakan mereka yang kafir, jangan sampai ada yang tersisa. Bagi Nuh, percuma mereka hidup di muka bumi. Pada akhirnya, mereka yang kafir juga akan melahirkan anak cucu kafir pula. Doa Nabi Nuh ini dijelaskan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an berikut,
وَقَالَ نُوحٞ رَّبِّ لَا تَذَرۡ عَلَى ٱلۡأَرۡضِ مِنَ ٱلۡكَٰفِرِينَ دَيَّارًا إِنَّكَ إِن تَذَرۡهُمۡ يُضِلُّواْ عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوٓاْ إِلَّا فَاجِرٗا كَفَّارٗا
Artinya: “Nuh berkata: "Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (QS. Nuh [71]: 26-27)
Alasan kuat yang membuat Nuh yakin bahwa dari kaumnya yang kafir hanya akan lahir keturunan kafir pula, adalah di antaranya berdasarkan pengalaman Nuh sendiri selama membersamai kaumnya dalam kurun waktu 950 tahun. Dengan begitu, ia paham betul tabiat kaumnya, yang pada akhirnya berkesimpulan bahwa mereka sangat susah untuk beriman. Bahkan terhadap anak cucu yang mereka lahirkan kelak. (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, 1981: juz XXX, h. 146)
Dengan kata lain, doa kebinasaan Nabi Nuh untuk kaumnya bukan semata-mata ketergesa-gesaannya dalam membimbing umat, melainkan berdasar ijtihadnya sendiri setelah melalui eksperimen dakwah yang cukup lama.
Beberapa Pendekatan Dakwah Nabi Nuh.
Untuk menyampaikan risalah Allah kepada kaumnya, Nabi Nuh menempuh beberapa langkah. Di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Berbicara dengan lembut.
Dalam mengajak kaumnya, Nabi Nuh menggunakan cara-cara yang lembut. Harapannya, pendekatan ini mampu membuat mereka cepat luluh dan dan mau diajak untuk beriman. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman,
فَقَالَ يَٰقَوۡمِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مَا لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرُهُۥٓ إِنِّيٓ أَخَافُ عَلَيۡكُمۡ عَذَابَ يَوۡمٍ عَظِيمٖ
Artinya: "...Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya". Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)” (QS. Al-A’raf [7]: 59).
Nabi Nuh memanggil kaumnya dengan redaksi “kaumku”. Dengan redaksi demikian, menunjukkan bahwa Nuh menganggap mereka sebagai kaumnya sendiri. Tentu, seseorang hanya menginginkan kebaikan untuk kaumnya sendiri. Harapannya, kaum tersebut lebih mempercayai Nabi Nuh sebagai nabi yang menganggap mereka sebagai kaumnya. Bukan orang lain. (Dr. Abdul Karim Zaidan, juz II, h. 131)
b. Memperlihatkan rasa belas kasih.
Nabi Nuh selalu mengingatkan kaumnya akan pedihnya bagi yang tidak beriman. Ia selalu mengajak umatnya untuk segera bertaubat agar segera mendapat ampunan. Ini menunjukkan betapa Nuh sangat menyayangi kaumnya agar jangan sampai merasakan pedihnya siksa neraka. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah berikut,
إِنَّآ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦٓ أَنۡ أَنذِرۡ قَوۡمَكَ مِن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan): "Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih.” (QS. Nuh [71]: 1)
c. Berdakwah tak kenal lelah.
Kegigihan Nabi Nuh dalam berdakwah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Dikisahkan bahwa Nuh berdakwah siang dan malam. Selain itu juga berdakwah dengan cara sembunyi dan terang-terangan (QS. Nuh [71]: 5, 8, dan 9). Berdakwah secara terang-terangan menunjukkan bahwa Nabi Nuh sudah menempuh berbagai cara dan tahapan berdakwah, karena dakwah terang-terangan dinilai sebagai cara terakhir setelah melewati berbagai tahapan metode. (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, 2005: juz XII, h. 122)
Demikianlah kisah dakwah Nabi Nuh as yang penuh liku. Kisah ini memiliki pesan penting untuk kita. Bagaimana untuk tidak lelah dalam mengajak kebaikan. Kendati hanya beberapa orang saja yang mengikuti. Tugas kita adalah menyampaikan dan mengajak orang lain untuk berbuat baik. Mengenai banyak yang mengikuti atau tidak, itu di luar tanggung jawab kita. Selain itu, dakwah yang baik juga harus melalui cara-cara yang lembut dan penuh kasih sayang.
Wallahu a’lam.
Artikel Kanti Suci Project