DINUL ISLAM & TUJUAN BANGSA INDONESIA
Dinul Islam yang arti sederhananya “Agama Islam” adalah agama yang ajarannya sangat sempurna karena datang langsung dari Allah SWT. Dinul islam dibawa dan diajarkan oleh para Nabi dan Rasul, sejak Nabi Adam AS, hingga Nai Muhammad SAW. Sebagai nabi terakhir.
Dinul Islam terdiri dari dua kata yaitu Dinan dan Islaman.
“Dinan” merupakan kata dasar, asal kata dari (daana-yadiinu-dinan) salah satu pilihan maknanya adalah tatanan, sedangkan “Islaaman” masdar dari kata (salama-yaslimu) mendapat tambahan alif menjadi (aslama-yuslimu-islaaman), artinya sejahtera, dengan demikian Dinul Islam bisa diartikan “Tatanan Sejahtera”.
Dilihat dari sisi kalimatnya “Dinul Islam” bentuknya mudhaf wa mudhafun ilay (kata majemuk), dimaknai “Tatanan Sejahtera” pengertian dalam bahasa Indonesia bisa digolongkan sebagai bentuk kata majemuk yang mempunyai arti “tatanan yang mampu mewujudkan kehidupan sejahtera” atau lebih singkat disebut “Tatanan Hidup Sejahtera”, sedangkan Dinul Islam dimaknai “Agama Islam” tidak sepadan atau tidak bisa digolongkan sebagai bentuk kata majemuk, sehingga Din diartikan Agama tidak memenuhi kaidah bahasa, oleh karena itu Dinul Islam secara teori tidak bisa diberi pengertian Agama Islam. tetapi dalam kenyataannya semua manusia memberi makna demikian walaupun tidak memenuhi kaidah yang pas. Dengan demikian berdasarkan kaidah tersebut maka Dinul Islam dimaknai Tatanan Hidup Sejahtera menjadi pengertian tersendiri dan Agama Islam juga persoalan tersendiri pula, diantara keduanya mempunyai perwujudan yang tidak sama tetapi berangkat dari perkataan yang sama yaitu Dinul Islam. Jadi secara obyektif sebenarnya Nabi Muhammad SAW diutus bukan membawa dan mengajarkan Agama Islam melainkan membawa dan mengajarkan Dinul Islam, karena agama Islam merupakan alih bahasa dari bahasa Al Quran, perkataan original dari Allah SWT adalah Dinul Islam.
Kita pasti sepakat bahwa “TULISAN” adalah lambang sebuah bunyi dari suatu ucapan/bahasa, dimana tulisan sebagai lambang mempunyai makna tertentu, untuk itu tulisan sebagai lambang harus dipahami sesuai kaidah bahasa, kalau tidak berdasar kaidah dipastikan tidak akan memenuhi pengertian yang terkandung di dalam tulisan tersebut. Makna atau arti yang tidak mengikuti kaidah bahasa boleh-boleh saja seperti Dinul Islam diartikan Agama Islam, tetapi maknanya menjadi tidak pas atau tidak sesuai dengan yang sebenarnya bukan salah, karena pengambilan makna tersebut didasarkan atas SELERA yang berlaku umum serta dirasa pas dengan selera diri dan kelompoknya, sehingga dalam menentukan benar tidak nya bukan berdasarkan teori melainkan yang MEMENUHI SELERA, hal demikian dipastikan akan menimbulkan berbagai macam interpretasi. Interpretasi yang mengikuti SELERA tersebut tanpa mereka sadari akan memunculkan berbagai macam pemahaman sehingga membentuk berbagai macam aliran keyakinan aliran keyakinan tersebut akan membentuk KEIMANAN terhadap AGAMA yang diyakininya.
Ironisnya aliran keyakinan agama yang diawali atas dasar SELERA tersebut menjadi BENAR setelah diikuti oleh banyak orang dan selanjutnya akan terbentuk sekte kepercayaan atau mazhab keagamaan. Mazhab tersebut oleh pengikutnya dianggap paling benar tetapi tidak bisa dibuktikan secara ilmiah karena awalnya dari selera kemudian membentuk keyakinan. Perbedaan selera dipastikan akan terjadi benturan pemahaman bahkan lebih buruk lagi saling mengkafirkan yang mengakibatkan timbulnya perpecahan dan bahkan saling membunuh dengan dalih membela agama.
Dinul Islam diberi arti Agama Islam merupakan pangkal, ditinjau dari teori nahwu tidak memenuhi kaidah, sehingga bisakah obyektif pengertian dari cabang-cabang ilmu yang lainnya? sebagai contoh misalnya ilmu Tauhid yaitu cabang ilmu yang membicarakan tentang wujud Allah, sementara dalam penjelasan hadits tidak boleh berbicara Zat atau wujud kalau dipaksakan akan fatahliku atau menjadi tidak obyektif. Sehingga untuk menyikapi yang demikian perlu satu tinjauan yang lebih seksama dan bersifat apriori, karena DINUL ISLAM merupakan satu konsep hidup yang tidak diragukan lagi kebenarannya (la raiba fihi) sebagai sistem tatanan hidup yang mampu mewujudkan kehidupan hasanah di dunia, yang secara ilmiah pernah diwujudkan oleh Rasulullah sebagai satu pembuktian.
Pergeseran pemahaman pengertian Dinul Islam menjadi Agama Islam adalah penyebab umat Nabi Muhammad SAW menjadi terpecah belah, masing-masing aliran merasa paling benar tapi kebenarannya berdasarkan dogma yang diramu oleh para pendahulunya yang dianggap ahli dan mumpuni, bukan dari penelitian obyektif.
ANDAI saja boleh dan dibenarkan Dinul Islam diartikan Tatanan Hidup Sejahtera, MAKA…. konsekuensinya bicara Dinul Islam tidak lagi bicara tentang Agama Islam melainkan bicara Dinul Islam adalah bicara tentang bagaimana mewujudkan Tatanan Hidup Sejahtera atau bagaimana mewujudkan Dinul Islam menjadi kenyataan hidup hasanah di muka bumi, karena Din atau tatanan yang diridho’i Allah adalah tatanan yang pasti dapat mewujudkan kehidupan hasanah di dunia (QS 5:3). dengan kata lain Islam sebagai bentuk tatanan merupakan rahmatan lil alamin atau rahmat untuk kehidupan semua mahluk di bumi, dalam arti “Dinul Islam” merupakan sistem tatanan hidup yang mampu mewujudkan kehidupan sejahtera bagi semua tanpa memandang agama atau kepercayaan apapun, seperti yang pernah diwujudkan Rasulullah sebagai pembuktiannya.
Islam sebagai agama membentuk manusia menjadi eksklusif dengan bangunan berfikir yang terkotak-kotak dan saling antagonis satu dengan yang lainnya, semua ini diakibatkan oleh keyakinan dogmatis yang berkembang menjadi bentuk pembenaran diri, sehingga menganggap yang lainnya salah.
Pemikiran yang demikian tidaklah mungkin bisa mewujudkan tata kehidupan saling kasih sayang, saling hormat dan saling mensejahterakan, apalagi ukhuwah islamiah akan menjadi slogan mimpi belaka, sedangkan pencerahan agama hanya sebatas siraman rohani yang bertujuan membangun mimpi indah untuk hidup diakhirat kelak melalui investasi pahala.
Dengan kenyataan tersebut agama sebagai bentuk keyakinan membikin manusia menjadi sibuk memantapkan diri berdasarkan keyakinannya serta sibuk melaksanakan ibadah menurut kepercayaannya masing2, sehingga lupa dengan tujuan utamanya yaitu membangun dan mewujudkan satu kehidupan sejahtera bagi semua ummat manusia. Secara objektif sebenarnya SEMUA AGAMA mempunyai misi yang sama untuk membangun kehidupan indah yaitu hidup saling kasih sayang, saling hormat dan saling mensejahterakan yaitu memayu hayuning bawono yang membuat bumi menjadi indah bukan untuk saling mencaci dan merendahkan akibat keyakinan agama yang berbeda, sehingga sebenarnya misi yg dibawa Para Utusan Tuhan adalah konsep universal dalam bentuk konsep tatanan hidup yg bisa diterima semua ummat, namun setelah wafatnya pembawa konsep tersebut, dalam perjalanannya terjadi pergeseran pemahaman.
Hadits menegaskan untuk mewujudkan tatanan hidup sejahtera mutlak dibangun atas lima proses (urutan/rukun) yang harus dilalui secara berurutan, konsisten dan berkesinambungan. (lihat hadist “Buniyal islamu ala khamsin….dst”= Dibangun Dinul Islam atas lima proses atau lima urutan……dst)
Lima proses dimaksud hadits tersebut diatas mempunyai pengertian yang berbeda akibat dari pemaknaan Dinul Islam sebagai satu tatanan hidup sejahtera, yaitu :
1. SYAHADAT
Yaitu satu pernyataan bahwa tidak ada pembimbing tatanan kehidupan apapun kecuali Allah sebagai pembimbing tatanan kehidupan bernegara yang mampu mewujudkan bangunan kehidupan sejahtera serta menegaskan bahwa Nabi Muhammad telah berhasil mewujudkan menjadi kenyataan hidup menurut sunnah Rasulnya.
Sehingga Dinul Islam merupakan satu sistem hidup yang mampu membangun kehidupan indah, secara obyektif perwujudannya telah dibuktikan oleh Muhammad Rasulullah.
Syahadat merupakan pernyataan yang keluar dari lubuk yang paling dalam dari seorang manusia dan manusia lainnnya yang sama-sama menginginkan satu perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai sunnah rasul, sehingga syahadat diibaratkan sebagai pondasi dalam perwujudan bangunan Dinul Islam. Jadi syahadat adalah satu ikrar bersama yang melekat pada masing-masing pribadi, yang menginginkan perubahan nasib kehidupan bangsanya, oleh sebab itu syahadat merupakan syarat mutlak untuk menjadi Islam artinya dengan kemantapan syahadat menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan bangunan hidup sejahtera.
Syahadat ini dapat menjadi ikrar bersama tentunya harus didukung dengan konsep yang sudah tersusun dalam bentuk tulisan yang jelas, sistematik dan obyektif serta tidak diragukan lagi isi di dalamnya, sehingga diyakini benar-benar dapat diwujudkan menjadi tatanan yang mampu mensejahterakan rakyat, yang diinterpretasikan dari gagasan yang beliau ajarkan dan disusun dalam sebuah tulisan yang isinya berupa aturan2 yang bersifat universal sehingga bisa diterima oleh semua kalangan. Tulisan yang dimaksud adalah sebuah konstitusi dasar untuk mengatur sebuah negara berdaulat, konsitusi dasar tersebut seperti Piagam Madinah yang pernah diuji cobakan oleh Rasulullah di kota Yatzrib dan sukses.
2. SHALATUN
Merupakan satu bentuk do’a atau senandung harap suatu kaum/bangsa untuk bersatu padu mewujudkan satu bangunan tatanan hidup sejahtera. Shalatun merupakan satu keinginan atau do’a yang harus ditindak lanjuti secara konsisten, terukur dan terencana. Shalatun merupakan proses kedua yang diibaratkan sebagai tiang penyangga bangunan Dinul Islam atau tatanan hidup sejahtera. Keberhasilan tegaknya Dinul Islam tergantung atas kemantapan serta keinginan dari masing-masing pribadi yang bersatu padu mengikatkan diri untuk mewujudkan harapan secara bersama (itulah sebenarnya hakikat dari shalat jamaah), seperti yang pernah dilakukan uji coba oleh penduduk kota Yatsrib melalui perjanjian Piagam Aqabah 2 yang dilanjutkan Hijrah ke Yatsrib dan dimulainya pelaksanaan shalat jamaah. Shalat jamaah sebagai ikatan bersama untuk mewujudkan Dinul Islam diikat dengan sebuah perjanjian yaitu Piagam Madinah yang isinya merupakan bentuk konstitusi dasar untuk menjalankan sebuah negara. Setelah 8 tahun hijrah kota Yatsrib mendapat julukan MADINAH AL-MUNAWWARAH yaitu kota yang bercahaya karena rakyatnya hidup damai dan sejahtera.
Wudhu sebagai kunci pembuka shalat merupakan ungkapan pembersihan diri dari daki-daki kehidupan keji dan munkar, sehingga ucapan takbir pada awal shalat (Allahu Akbar = Allah dengan konsep tatanannya pasti mewujudkan kehidupan lebih agung), sehingga takbir merupakan pernyataan yang keluar dari lubuk yang paling dalam dan sekaligus penyerahan diri untuk siap sedia menghapus semua isi kepala untuk tidak lagi hidup digerakkan dengan sistem Liberalis maupun Komunis yaitu hidup individualis atau kolektif yang keji dan munkar, yang demikian ini sebenarnya hakikat dari pengertian hijrah.
Oleh karena itu Allah dengan konsep penataannya, tidak akan merubah nasib suatu kaum/bangsa kecuali bangsa itu sendiri mau merubahnya.
3. SHAUM
Merupakan satu proses pembinaan kesabaran untuk tetap teguh bertahan memperjuangkan keinginan tegaknya Dinul Islam, walaupun dalam situasi dan kondisi sesulit apapun.
Proses ini merupakan proses yang sangat berat untuk dilalui dalam upaya mewujudkan kehidupan sejahtera, karena pada masa transisi setelah terhapusnya isi kepala masing-masing individu bersih dari sistem hidup individual maupun kolektif, maka dengan demikian akan terbentuk satu bangsa/kaum yang berkeinginan kuat untuk merubah sistem tata kelola negara yang anti Liberalis dan anti Komunis yang bergelimang riba akibat sistem kapitalistik, sehingga kehidupan individual maupun kolektif yang keji dan munkar menjadi sirna.
Dalam proses transisi tersebut akan terjadi satu situasi dan kondisi yang tidak menentu, yang berdampak terhadap rusaknya sistem ekonomi yang sedang berlangsung khususnya yang menyangkut distribusi bahan-bahan pokok kebutuhan pangan, dalam kondisi ketersediaan pangan yang sulit, kita diminta tetap bersabar dan teguh bertahan untuk tetap konsisten memperjuangkan terwujudnya Dinul Islam atau tatanan hidup sejahtera, walau kondisi perut kosong dan kurang asupan.
Demikianlah hakikat sabar yang dimaksud dalam proses pelaksanaan Shaum sebagai pembinaan kesabaran.
4. ZAKAT
Merupakan satu sistem tata kelola ekonomi berdasar Al-Qur’an menurut sunnah rasul Muhammad yang bebas dari riba, yaitu dengan menempatkan fungsi uang hanya sebatas alat tukar, bukan sebagai modal yang mengakibatkan uang menjadi penggerak sistem ekonomi kapitalis, sehingga uang menjadi penentu segala gerak dalam kehidupan sehari-hari dan tanpa disadari menempatkan uang menjadi Tuhan.
Zakat sebagai satu sistem perekonomian dipastikan akan mampu mewujudkan kehidupan sejahtera, perekonomian zakat dapat dijalankan dan diwujudkan, apabila sistem perekonomiannya diundangkan berdasarkan atas prinsip kebersamaan melalui musyawarah dan gotong royong serta menempatkan seluruh kekayaan alam menjadi milik Allah dan dikelola bersama dengan asas kebersamaan yang diatur melalui tata kelola negara demi terwujudnya kesejahteraan ummat, yang demikian inilah sebenarnya hakikat dari pengertian sistem khilafah sebagai satu sistem tata kelola negara.
Zakat sebagai satu sistem perekonomian menempatkan dan mendudukkan seluruh kekayaan alam menjadi milik Allah untuk dikelola bersama melalui negara (selaras dgn pasal 33 UUD-45), sistem perekonomian zakat dapat dipastikan mampu menggusur sistem perekonomian riba yang saat ini sedang berlangsung menjadi tata kelola ekonomi dunia, apabila sistem perekonomian zakat benar-benar dijalankan maka dipastikan akan terwujud satu tata kelola ekonomi dunia baru yang anti kapitalis dan feodalis.
Sistem perekonomian Zakat mutlak tergantung terhadap kemantapan masing-masing individu yang mengikatkan diri secara bersama-sama untuk tidak lagi hidup individualis yang materialistis dan menghapus diri terhadap faham kepemilikan pribadi.
5. HAJJ
Merupakan kongres tahunan setelah sistem perekonomian zakat sudah diundangkan dan berjalan dengan baik. Kongres tersebut dihadiri oleh wakil-wakil daerah untuk bermusyawarah membahas dan merumuskan rencana kerja tahunan dalam rangka mewujudkan pemerataan untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat.(selaras dengan Sila 4 & 5 Pancasila).
Untuk itu yang bisa mengikuti kongres tersebut adalah wakil rakyat yang ditunjuk oleh masyarakat di wilayahnya dengan kriteria mempunyai kemampuan penguasaan teritorial secara menyeluruh serta benar-benar bisa bekerja mewakili kepentingan masyarakatnya. Hasil kongres tahunan yang dibahas dalam mimbar haji dibawa pulang oleh peserta perwakilan, yang diibaratkan seperti oleh-oleh guna untuk ditindak lanjuti menjadi kebijaksanaan pembangunan di wilayahnya masing- masing.
Demikian gambaran singkat tentang Rukun Islam atau Rukun Pembangunan Tatanan Hidup Sejahtera, kemantapan pada point 1,2 dan 3 merupakan penentu keberhasilan berjalannya sistem ekonomi zakat, kemantapan tersebut merupakan wujud welas asih atau saling kasih sayang toto tentrem kerto raharjo baldatun toyyibatun wa rabbun ghofur. Sedangkan upaya pemerataan kesejahteraan secara menyeluruh dibicarakan pada mimbar haji yang dilaksanakan dalam kongres tahunan yang masing-masing perwakilan daerah membawa masukan atau usulan dari masyarakatnya untuk dibahas bersama.
Falsafah Dinul Islam di atas merupakan gambaran obyektif dari pengertian Rukun Islam, sehingga syahadat, shalat, shaum, zakat dan haji, bukanlah rangkaian ibadah wajib melainkan sebuah proses untuk mencapai kehidupan sejahtera atau kehidupan hasanah di dunia, ANDAI Dinul Islam diartikan “Tatanan Hidup Sejahtera”, jadi Rukun Islam merupakan strategi dan taktik untuk membangun JANNAH, sehingga untuk membangun Jannah mutlak melalui 5 proses tersebut, kita tidak bisa hanya menunggu kebaikan yang diberikan Allah SWT tetapi harus berjuang habis-habisan melalui strategi dan taktik dan tidak bisa hanya teriak-teriak “Allahu Akbar” atau hanya melalui dzikir.
Gambaran yang selama ini kita fahami tentang Rukun Islam hanya sebatas doktrin, sehingga apa yang kita kerjakan sebagai satu ibadah tidak pernah mewujudkan kehidupan sejahtera untuk seluruh ummat, namun kita sudah merasa sukses dengan ibadah yang telah kita lakukan dan perbuat, karena dibalik itu ada sebuah impian semu yang dijanjikan yaitu berupa ganjaran yang kelak akan diterima di akhirat, sehingga tidak masalah kehidupan di dunia amburadul dan tidak pernah terwujud kehidupan damai dan sejahtera, yang penting nanti bisa dinikmati di akhirat, padahal hadits menegaskan kehidupan di dunia merupakan kaca pemantul kehidupan akhirat (ad-dunya mir’atul akhirah).
Selanjutnya untuk bisa menindak lanjuti proses tegaknya tatanan kehidupan yang mampu mewujudkan kehidupan sejahtera adil dan makmur, tidak mungkin kita gaungkan dengan mengatas namakan Dinul Islam, karena bangsa kita bangsa yang majemuk dengan berbagai macam pola pikir dan agama, kalau dipaksakan dipastikan terjadi perpecahan dan bahkan mungkin perang saudara, maka hal tersebut harus dikemas dengan tanpa mengedepan “Dinul Islam” melainkan dengan mengedepankan sebutan dalam bahasa Indonesia “Tatanan Hidup Sejahtera”, sehingga lepas dari anggapan yang bersifat eksklusif.
Konsep Tatanan Hidup Sejahtera secara implisit sebenarnya sudah terangkum di dalam Pancasila yang mempunyai tujuan sama yaitu untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia atau seperti yang termaktub di dalam Pembukaan UUD-45 alinea keempat. Pancasila dan UUD-45 sudah diterima menjadi kesepakatan bersama dan telah final disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi landasan tata kelola negara, oleh karena itu untuk mewujudkan kehidupan sejahtera lebih tepat dengan mengedepankan Pancasila dan UUD-45, karena isinya diakui atau tidak merupakan cerminan pemikiran anggota BPUPKI yang anggotanya dominan beragama Islam. Pancasila dan UUD-45 (naskah asli) bentuk bangunan tata kelolanya tidak seperti yang ada saat ini, karena sejak ditetapkan hingga saat ini belum pernah diundangkan sesuai cita-cita para leluhur pendiri NKRI.
Demikian sekilas tentang pembangunan perwujudan “Dinul Islam atau Tatanan Hidup Sejahtera” yang dibangun melalui proses 5 urutan, dimana isinya selaras dan paralel dengan Pancasila sebagai dasar tata kelola negara. Tetapi kalau Dinul Islam mutlak pengertiannya Agama Islam dan tidak terbuka dengan makna tersebut, maka Pancasila tidak akan bisa selaras, kalaupun dipaksakan untuk bisa selaras hanya sebatas lip servis atau hanya sebatas slogan. Dan dipastikan Persatuan Indonesia hanya terwujud dalam bentuk mimpi, yang wujudnya SEPERTI PERSATUAN DI MEJA JUDI terlihat seperti bersatu namun sebenarnya mereka saling bermusuhan.
Koleksi artikel Kanti Suci Project