Hukum Sunnatullah
Sunnatullah adalah hukum alam yang berlaku di alam semesta, sedangkan qadarullah adalah takdir Allah SWT.
Sunnatullah adalah hukum alam yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur alam semesta. Hukum ini berlaku bagi seluruh makhluk di alam semesta, tanpa terkecuali.
Berikut adalah beberapa informasi tentang sunnatullah :
- Sunnatullah bersifat tetap, abadi, dan otomatis.
- Sunnatullah tidak dapat diubah atau diganti dengan hukum lain.
- Sunnatullah berlaku bagi orang yang baik dan jahat.
- Sunnatullah dapat menjadi pedoman atau arahan yang Allah berikan dan tetapkan.
- Sunnatullah dapat membantu kita memahami keteraturan dan ketertiban di alam semesta.
- Sunnatullah dapat menjadi pelajaran bagi generasi muslim selanjutnya.
- Sunnatullah dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya beribadah dengan konsisten.
Sunnatullah adalah hukum alam yang ditetapkan oleh Allah SWT, berlaku untuk seluruh makhluk di alam semesta. Dalam bahasa Arab, sunnatullah berarti "tradisi Allah".
Contoh sunnatullah :
- Siklus siang dan malam
- Matahari terbit di timur dan tenggelam di barat
- Selalu ada dua kondisi saling ekstrem (surga-neraka, benar-salah, baik-buruk)
- Setelah ada kesulitan, pasti ada kemudahan
- Sunnatullah dapat dipelajari oleh siapapun, tidak terbatas pada umat Muslim saja.
Dalam konteks agama Islam, sunnatullah juga merujuk pada kepatuhan manusia terhadap hukum-hukum alam yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Contoh penerapan sunnatullah dalam kehidupan sehari-hari: Menjaga lingkungan, Beribadah dengan konsisten, Berlaku adil dan menghargai sesama, Mengembangkan ilmu dan pengetahuan.
Memahami sunnatullah sangat penting karena dapat membantu kita memahami keteraturan dan ketertiban di alam semesta.
Kata sunnatullah dari segi bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah antara lain berarti kebiasaan. Sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam memperlakukan masyarakat. Dalam al-Quran kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatina atau sunnatul awwalin terulang sebanyak tiga belas kali.
Sunnah atau ketetapan Allah antara lain :
- Selalu ada dua kondisi saling ekstrem (surga-neraka, benar-salah, baik-buruk)
- Segala sesuatu diciptakan berpasangan (dua entitas atau lebih). Saling cocok maupun saling bertolakan.
- Selalu terjadi pergantian dan perubahan antara dua kondisi yang saling berbeda.
- Perubahan, penciptaan maupun penghancuran selalu melewati proses.
- Alam diciptakan dengan keteraturan.
- Alam diciptakan dalam keadaan seimbang.
- Alam diciptakan terus berkembang.
- Setiap terjadi kerusakan di alam manusia,
Allah mengutus seorang utusan untuk memberi peringatan atau memperbaiki kerusakan tersebut. Sunnatullah adalah hukum-hukum Allah yang disampaikan untuk umat manusia melalui para Rasul, undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang termaktub di dalam al-Quran, hukum (kejadian) alam yang berjalan tetap dan otomatis. Sunnatullah menurut pakar teologi, seperti yang dikatakan bahwa alam diatur melalui apa yang oleh al-Quran disebut sebagai sunnatullah. Seperti halnya genesis langit dan bumi dan manusia.
Sunnatullah berbeda dengan hukum alam (natural law), karena sementara hukum alam tidak mengizinkan suatu pengertian kreatifitas apapun, sunnatullah memberikannya. Sunnatullah adalah kebiasaan atau cara Allah dalam menyelenggarakan alam. Sunnah mengandaikan sebuah kebiasaan (adat, menurut istilah al-Ghazali).
Dalam hukum alam, kemungkinan mukjizat tidak mendapat tempat, sementara dalam sunnatullah, kemungkinan tersebut tidak dinafikan. Jika hukum alam mengandaikan sebuah aturan yang tidak mungkin dilanggar, dalam sunnah atau adat pelanggaran terhadap kebiasaan tidak menimbulkan sesuatu yang mustahil. Justru adanya kekecualian atau penyimpangan maka adat menjadi adat atau sunnah dan bukan sebuah hukum yang tidak bisa dirubah. Sunnatullah berlaku secara umum di alam semesta ini, yang menyebabkan adanya kesan keteraturan di dalamnya, sehingga alam semesta disebut kosmos bukan chaos. Tetapi pada level yang lebih tinggi tindak kreatifitas Tuhan mempunyai batas-batas determistik dunia mekanik. Jika pada level dunia normal, hukum mekanik menjadi ciri yang dominan maka pada level sub atomic hukum mekanik tidak berlaku lagi pada prinsip indeterminisme yang justru dominan. Sebagian orang berpendapat bahwa hukum alam mendahului hukum Tuhan. Yang pertama dianggap berubah menjadi yang kedua, ketika manusia mengambilnya, maka dia menisbahkan hukum alamnya kepada Tuhan, dan keyakinannya mengkristalkan bahwa dia berhutang budi pada wujud, sistem dunia, dan kaidah-kaidah kemasyarakatannya pada kekuatan transenden yang gaib. Menurut keyakinan ini, tidak ada artinya bagi manusia untuk memperoleh dari dirinya dan tidak ada hukum yang dia lahirkan sendiri.
Manusia memiliki tujuan yang melampaui dirinya, manusia tidak merealisasikan wujudnya kecuali dengan meraih tujuan gaib dan telah ditakdirkan ini. Pengikut hukum alam dan pengikut hukum Tuhan mencapai titik temu, terlepas dari perbedaan keduanya. Jadi hukum alam adalah imanen sedangkan hukum Tuhan adalah transenden. Dalam alam pertentangan, perkelahian, dan konflik adalah abadi.
Manusia hanya tunduk pada kecenderungan-kecenderungannya dan hanya taat pada dirinya, dan tidak berjalan kecuali demi eksistensinya di hadapan pihak lain. Hukum alam adalah penetapan diri pada batas yang lebh tinggi, dan ia adalah yang benar yang tidak terbatas dalam segala hal yang diinginkan, dijauhi dan dikuasai atau diraih oleh manusia, sebagaimana dikatakan sebagai yang benar atas segala hal.
1. Macam-macam Sunatullah Sunnatullah terdiri dari dua macam, yaitu :
a). Sunnatullah qauliyah adalah sunnatullah yang berupa wahyu yang tertulis dalam bentuk lembaran atau dibukukan, yaitu Al-Qur’an.
b). Sunnatullah kauniyyah adalah sunnatullah yang tidak tertulis dan berupa kejadian atau fenomena alam.
Contohnya, matahari terbit di ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat. Kedua sunatullah tersebut memiliki persamaan, yaitu :
a1. Kedua-duanya berasal dari Allah swt.
b2. Kedua-duanya dijamin kemutlakannya.
c3. Kedua-duanya tidak dapat diubah atau diganti dengan hukum lainnya atau ilmu.
Contohnya adalah hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam Al Qur’an dikatakan bahwa barang siapa yang beriman dan beramal saleh, pasti akan mendapat balasan pahala dari Allah SWT. Selain memiliki persamaan, keduanya juga mempunyai perbedaan. Sunatullah yang ada di alam, dapat diukur. Lain halnya dengan sunnatullah yang ada dalam AL-Qur’an. Walaupun hal itu pasti terjadi, tetapi tidak diketahui secara pasti kapan waktunya.
Al Islamu wa sunnatilullah (Islam & Sunnatilullah)
Allah Ta’ala adalah Pencipta (al-khaliq) alam semesta raya.
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan, 25: 2)
At-taqdirul kauni dan at-taqdirusy syar’i
Artinya :
Dia telah menetapkan at-taqdirul kauni (ketentuan [hukum] di alam semesta),
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Artinya :
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qamar, 54: 49)
Ayat ini menerangkan bahwa seluruh makhluk yang ada ini adalah ciptaan Allah Ta’ala, diciptakan-Nya menurut kehendak dan ketentuan-Nya disesuaikan dengan hukum-hukum yang ditetapkan-Nya untuk alam semesta ini.
Dia pun telah menetapkan at-taqdirusy syar’i (ketentuan [hukum] syariat) bagi manusia,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’am, 6: 153)
Dia menetapkan pedoman dan petunjuk bagi manusia agar mereka memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jalan yang Allah tetapkan ini adalah jalan yang lurus, yang harus diikuti. Jika manusia mengikuti jalan-jalan yang lain, maka mereka akan tercerai-berai dari jalan Allah dan memperoleh kecelakaan.
Berkenaan dengan ayat di atas terdapat sebuah hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا ثُمَّ قَالَ هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ قَالَ هَذِهِ سُبُلٌ قَالَ يَزِيدُ مُتَفَرِّقَةٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ ثُمَّ قَرَأَ إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Artinya :
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah,’ kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, ’Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,’ kemudian beliau membaca,
إِنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Artinya :
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya.” (QS. Al An’am, 6:153).
At-taqdirul kauni, hukum-hukum yang Allah tetapkan kepada alam (al-kauni) bersifat mutlak. Seluruh alam semesta tidak diberi pilihan kecuali al-khudhu’ (tunduk) kepada hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya tersebut. Semuanya selalu berada dalam kondisi sujudun (tunduk), tasbihun (bertasbih), dan tahmidun (memuji) kepada Allah Ta’ala.
Dia berfirman,
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ
Artinya :
“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj, 22: 18)
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لَا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Artinya :
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Isra, 17: 44)
Catatan tambahan :
- Adapun at-taqdirus syar’i (hukum-hukum syariat) yang Allah Ta’ala turunkan berupa ajaran al-Islam yang dibawa ar-rasul memberi peluang kepada manusia untuk memilih: menjadi al-muslimu (orang yang tunduk) atau menjadi al-kafiru (orang yang ingkar).
- Allah Ta’ala menegaskan bahwa agama yang diridhai-Nya hanyalah Islam; dan mereka yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala serta akan merugi di akhirat kelak,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam…” (QS. Ali Imran, 3: 19)
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak-lah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran, 3: 85)
Meskipun begitu Allah Ta’ala memberikan keleluasaan kepada manusia untuk memilih. Allah Ta’ala berfirman,
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا
“Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir’. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al-Kahfi, 18: 29)
Kemudian firman-Nya,
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah, 2: 256).
- Berkaitan dengan at-taqdirul kauni dan at-taqdirusy syar’i ini, bagi orang yang berakal tentu akan memilih istislam (pasrah, menyerah, dantunduk) kepada sunnatullah (ketetapan Allah Ta’ala).
- Di hadapan sunnatullah fil kauni (ketetapan Allah di alam) yang muthlaqun (berlaku umum), tsabitun (tetap/tidak berubah kecuali karena kehendaknya), dan mustamirun (terus menerus berlaku selama ada sebab dan akibatnya) -karena merupakan taqdirul kauni (hukum alam)-manusia telah istislam (menerima, tunduk, pasrah, dan menyerah). Maka begitupula seharusnya sikap mereka di hadapan sunnatullah fil Insan (ketetapan Allah bagi manusia). Manakala mereka diberi hidayah (petunjuk), iradah (kehendak), dan ikhtiyariyah (pilihan) di hadapan taqdirus syar’i (hukum syariat), hendaknya mereka memilih istislam (menerima, tunduk, pasrah, dan menyerah) pula. Yakni memilih menjadi al-muslimu bukannya menjadi al-kafiru. Naudzubillahi min dzalik.
Hukum Alam (Sunnatullah) dalam Pandangan Islam.
Kehendak (iradah) Allah SWT terbagi menjadi dua kategori. Pertama, Sunnatullah. Sunnatullah adalah kehendak yang merupakan takdir atau qadar Allah SWT yang sudah ditetapkan terlebih dulu dan tidak bisa diubah.
Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah “Kitab” atau “Lauh Mahfuzh”. Misalnya, informasi seputar isi langit dan bumi (Q.S. al-Hajj [22]: 70)
أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّ ذَلِكَ فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (70)
Artinya :
Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; sesungguhnya yang demikian itu terdapat dalam sebuah Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah (Q.S. al-Hajj [22]: 70).
Demikian halnya informasi seputar musibah yang terjadi di bumi maupun yang dialami manusia (Q.S. al-Hadid [57]: 22).
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22)
Artinya :
Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (Q.S. al-Hadid [57]: 22).
Jauh sebelum diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an pun sudah ada di Lauh Mahfuzh (Q.S. al-Buruj [85]: 21-22)
بَلْ هُوَ قُرْآَنٌ مَجِيدٌ (21) فِي لَوْحٍ مَحْفُوظٍ (22)
Artinya :
Bahkan (yang didustakan mereka itu) adalah al-Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh (Q.S. al-Buruj [85]: 21-22).
Semua itu merupakan contoh sunnatullah yang tidak bisa diubah lagi (Q.S. al-Ahzab [33]: 62)
سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا (62)
Artinya :
Sebagai sunnatullah yang berlaku atas orang-orang yang terdahulu sebelum(mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnatullah (Q.S. al-Ahzab [33]: 62).
Sunnah dalam ayat ini bermakna sunnatullah, yaitu ketetapan Allah SWT yang dibakukan. Misalnya, kita tidak bisa mengubah perjalanan matahari agar berjalan dari barat ke timur. Kita tidak bisa meminta bumi ini tidak bulat, semisal lonjong. Kita tidak bisa meminta hidup abadi. Kita tidak bisa meminta hidup tanpa mengalami kesulitan. Kita tidak bisa meminta dunia ini bebas dari orang jahat, nakal, preman, dan sebagainya. Semua itu adalah sunnatullah yang sudah dibukukan dan dibakukan.
Kedua, Masyi’atullah. Misalnya, Allah SWT berkuasa membuat setiap manusia dapat hidayah, namun Allah SWT berkehendak ada manusia yang tidak mendapat hidayah, sehingga kelak masuk neraka (Q.S. al-Sajdah [32]: 13).
وَلَوْ شِئْنَا لَآَتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (13)
Artinya :
Dan jika Kami menghendaki, niscaya Kami akan berikan kepada setiap jiwa, hidayah (petunjuk); akan tetapi telah tetaplah perkataan dari-Ku: “Sesungguhnya Aku akan penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama” (Q.S. al-Sajdah [32]: 13).
Jadi, ayat ini mengisyaratkan bahwa ada manusia yang mendapatkan hidayah-Nya; dan ada pula yang tidak mendapatkan hidayah-Nya. Inilah contoh masyi’atullah.
Allah SWT berkuasa menjadikan manusia seragam atau homogen, namun Allah SWT menghendaki manusia beraneka-ragam atau heterogen (Q.S. al-Ma’idah [5]: 48).
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
Artinya :
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu; maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah, (tempat) kembali kalian semua; lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (Q.S. al-Ma’idah [5]: 48).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah SWT berkuasa menjadikan manusia sebagai umat yang satu (homogen): satu tempat, satu tipe, satu kelakuan, semuanya sama. Akan tetapi, Allah SWT tidak menghendaki demikian. Buktinya, orang bule diciptakan berkulit putih; orang Jawa berkulit cokelat; orang Nigeria berkulit hitam. Orang bule berpostur tubuh tinggi, sedangkan orang Indonesia berpostur tubuh pendek. Itu baru perbedaan bentuk fisik, belum perbedaan budaya.
Jangankan perbedaan antara budaya Indonesia dengan negara lain; antara Semarang dengan Surabaya saja sudah berbeda. Misalnya: Bagi orang Surabaya, kata nili’i bermakna mencicipi; sedangkan bagi orang Semarang, kata nili’i bemakna mengunjungi. Sehingga ketika ada calon menantu asal Semarang mengirim surat kepada calon mertuanya asal Surabaya yang isinya “Insya Allah, minggu ngajeng kulo bade nili’i putri panjenengan”. Pasti calon mertua tersebut akan marah, karena menurutnya, belum menjadi menantu saja sudah mau mencicipi putrinya.
Mengapa Allah SWT tidak menghendaki semuanya sama? Tujuannya adalah untuk menguji manusia. Artinya, jika manusia diberi sesuatu oleh Allah SWT, maka apa yang akan dia lakukan dan apa hasilnya. Itulah yang disebut masyi’atullah.
Masyi’atullah bersifat relatif, tidak mutlak sebagaimana sunnatullah. Oleh sebab itu, ada faktor interaksi antara kehendak Allah SWT dengan ikhtiar atau perjuangan manusia. Misalnya, dalam suatu Hadis terdapat keterangan bahwa seandainya seluruh dunia ini hanya dipenuhi orang shalih saja, maka dunia akan ditutup dan diganti dengan dunia yang dihuni orang shalih, orang nakal, preman, dan lain-lain. Dengan adanya perbedaan sifat manusia seperti ini, muncul kegiatan dakwah dan pendidikan.
Contoh lain, jika seluruh manusia di dunia ini diciptakan pandai semua, maka tidak perlu lagi ada sekolah. Seandainya manusia itu sudah pandai sejak lahir, maka sama dengan setan yang sejak lahir sudah pandai. Jadi, makhluk terpandai adalah setan, karena sejak lahir sudah pandai. Oleh karena itu, jangan coba-coba melawan setan dengan rekayasamu sendiri, tanpa meminta pertolongan Allah SWT, karena kamu pasti akan direkayasa oleh setan.
Ketika manusia baru lahir, justru kalah pintar dibandingkan anak ayam yang langsung bisa mematuk makanannya sendiri. Sesungguhnya Allah SWT berkuasa untuk menjadikan manusia langsung pandai, akan tetapi Allah SWT tidak menghendakinya, supaya ada kasih sayang orangtua.
Kesimpulannya, sunnatullah itu pasti dan tidak bisa diubah; sedangkan masyi’atullah itu relatif dan bisa diubah. Bagaimana cara mengubahnya?
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa masyi’atullah dapat diubah melalui doa; sedangkan sunnatullah tidak bisa diubah dengan doa. Ringkasnya, masyi’atullah merupakan tempatnya doa. Misalnya, orangtua berdoa, “Ya Allah, mohon jangan jadikan saya sebagai preman; saya mohon Engkau jadikan orang yang shalih”. Fungsi doa yang mengubah masyi’atullah ini selaras dengan sebuah Hadits :
لاَ يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلاَّ الدُّعَاءُ (رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ)
Artinya :
Tidak ada yang mengubah (menolak) qadha’, kecuali doa (H.R. al-Tirmidzi).
Pengertian qadha’ dalam Hadis tersebut adalah masyi’atullah. Sedangkan doa yang bisa mengubah qadha’ adalah doa yang dikabulkan oleh Allah SWT. Lalu bagaimana caranya agar doa kita dikabulkan Allah SWT ?
Tips pertama, kalau kamu ingin doa yang mustajab (dikabulkan), maka doa dengan perbuatan harus “satu jurusan”. Namun, umumnya tidak demikian. Misalnya, berdoa minta kaya, namun tidak bekerja; berdoa ingin pandai, tapi ketika mengaji mengantuk terus; berdoa ingin menjadi orang shalih, namun mengonsumsi makanan haram. Doa yang seperti ini tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT, sebagaimana keterangan dalam Hadis Shahih Muslim tentang orang yang sudah mengadakan perjalanan jauh dan rambutnya acak-acakan, lalu dia mengangkat tangannya ke arah langit, sembari berdoa: “Ya Tuhanku, ya Tuhanku”; sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, bagaimana doanya bisa dikabulkan (mustajab)?.
Tips kedua, berdoa dengan tawasul. Tawasul berarti pakai wasilah (lantaran). Jangan lupa, yang memberi atau mengabulkan doa itu bukan makhluk, ulama maupun Nabi Muharmmad SAW; melainkan Allah SWT. Kalau kamu meminta kepada selain Allah SWT, maka yang demikian itu perbuatan syirik. Berbeda dengan tawasul yang tetap meminta kepada Allah SWT, namun melalui lantaran. Jadi, tawasul itu bukan “kepada”, akan tetapi “atas rekomendasi”.
Tawasul sendiri terbagi menjadi dua macam. Pertama, tawasul dengan lantaran amal shalih (tawassul bi al-a’mal). Misalnya, setelah membaca al-Qur’an, kamu berdoa : “Ya Allah, saya sudah beramal shalih dengan membaca al-Qur’an, semoga Engkau kabulkan doa saja agar lulus kuliah”. Tawasul dengan amal shalih berfungsi memperkokoh doa kepada Allah SWT, agar lebih berpeluang dikabulkan.
Tawasul jenis ini pernah dilakukan oleh tiga orang yang terjebak dalam gua, lalu diselamatkan oleh Allah SWT, setelah mereka berdoa yang diawali tawasul dengan amal shalih masing-masing. Orang pertama bertawasul dengan amal shalih berupa berbakti kepada kedua orangtua; orang kedua bertawasul dengan amal shalih berupa menghindari perzinahan; orang ketiga bertawasul dengan amal shalih berupa menjaga amanah (H.R. al-Bukhari). Semua ulama sepakat atas kebolehan tawasul dengan amal shalih.
Kedua, tawasul dengan lantaran orang shalih (tawassul bi al-askhash). Contoh tawasul dengan lantaran “Ya Allah, mudah-mudahan saya diberi rahmat, lantaran kemuliaan Nabi Muhammad SAW dan karamah Wali Songo”. Tawasul jenis ini sering dilakukan di makam, seperti makam Syaikh Abdul Qadir al-Jailani atau Wali Songo. Sebenarnya, kita tidak meminta dan berdoa kepada mereka, melainkan kita meminta dan berdoa kepada Allah SWT dengan cara menghormati mereka.
Inilah jenis tawasul yang sejak dulu sudah menjadi pertikaian di kalangan ulama. Ada ulama yang membolehkan dan ada ulama yang melarang. Kita ini (warga NU), termasuk golongan yang membolehkan tawasul dengan lantaran orang shalih. Mengapa demikian? Karena kita meyakini bahwa penghormatan kepada Rasulullah SAW maupun waliyullah juga merupakan amal shalih. Jadi, tawasul dengan lantaran orang shalih, sebenarnya sama dengan tawasul dengan lantaran amal shalih.
Artikel by, Kanti Suci Project